Kamis, 19 Agustus 2010

MENGHITUNG BULAN PUASA TAHUN DEPAN

BERKAH KEMERDEKAAN PADA BULAN RAMADHAN
Oleh AK Fahmi

Sesekali iseng mencoba menghitung tanggal berapa Ramadhan tahun depan. Maka jika asumsi bulan hijriah maju 10-11 hari, pada tahun 2011 awal Ramdahan bisa dimulai tanggal 1 Agustus, dimana artinya pada tanggal 17 Ramadhan persis dengan tanggal proklamasi kemerdekaan. Saat itu usia kemerdekaan Insya Allah sudah mencapai 66 tahun, konon pas tanggal proklamasi juga berlangsung pada 17 Ramadhan saat awal mula turunnya Al-Quran.
Jika benar, asumsi saya ini—maaf saya belum bisa menghitung dengan metode hisab dan tulisan ini juga belum saya rechek terkait penaggalan ke kalender abadi dan juga belum bertanya kepada ahli hisab—maka ini momentum untuk berharap untuk merumuskan perjalanan dan tekad bangsa ini ke depan agar lebih baik pada tahun-tahun ini. Sehingga saat upacara tujuhbelasan tahun depan tinggal diproklamasikan dan berdoa pada Allah agar keinginan kita terwujud dengan lancar.
Pekerjaan Rumah bangsa kita ini terlalu banyak dan berjubel, sumpek dan bertabrakan. Jangankan urusan nasional. Di tingkat lokal atau Rumah tangga, suara dan gejala keputusasaaan sering kita saksikan. Seakan-akan segala perencanaan, kerja, teori, pendapat dan berbagai aspek pembangunan negara ini belum mampu menyelesaikan problem dmei problem yang menghentak.
Artinya selama ini khususnya setelah reformasi, seakan-akan cara berfikir kita mutlak rasionalisme, setelah puluhan tahun terjerembab lebih banyak pada tahayulisme dan mitos. Reformasi sekaan-akan mendewakan akal, sehingga ujung dari itu perhitungannya adalah materi. Lebih kongkrit urusan pembagian rejeki dan eksistensi. Lebih kongkrit lagi duit. Naudzubillah.
Setiap perencanaan dan gerakan apapun di masyarakat tolok ukurnya adalah hal itu. Semakin langka menemukan semangat gotang royong—kecuali "gotong royong" dalam rangka ngamuk atau amock dalam tradisi melayu. Terlebih lagi rakyat sudah lelah dengan perhelatan demokrasi yang lebih banyak praktek manipulasi dan money politik. Awal mula dari hal ini disebabkan karena memang sebagai negara yang menganut asas demokrasi, kekuasaan tertinggi memang ditangan rakyat. Sedangkan definisi rakyat bisa jadi sumir alioas kabur ketika berurusan dengan logika politik.
Yang terpikir adalah legitimasi kuasa semata. Untuk mengejar legitimasi uang adalah senjata paling ampuh. Urusan budaya dan norma-norma nomor 102, yang penting berkuasa dulu. Ini realitas yang terjadi. Dan memang kita juga tak ingin menjadikan negara ini seperti negara berdasar agama tertentu, khususnya Islam secar formal. Akan tetapi tidaklah kemudian aturan yang dihasilkan adalah murni produk manusia secara akal bebas. Dari sisi ini saja sudah akan mengarah pada bnegara bebas Tuhan alias sekuler. Dan Undang-Undang adalah hasil dari logika politik semata.
Dan negara ini walaupun bukan negara agama, akan tetapi negara mengakui eksistensi agama, " negara ini berdasar pada agama" dan mengakui bahwa Republik Indonesia bisa merdeka adalah campur tangan Allah SWT. "Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa….." Artinya cita-cita pendirian negeri ini adalah bagi orang-orang yang melaksanakan kewajiban agamanya.
Untuk itulah semangat spiritualisme harus terus dikumandangkan. Dalam hal ini tentu Umat Islam sebagai penanam saham terbesar atas kemerdekaan sangat bertangungjawab dalam koridor merengkuh kembali "berkat" atau berkah dari upaya mendirikan negara ini yang memang bertujuan dnegan adanya negara Indonesia Allah SWT akan disembah, bukan dimanipulasi.
Darisanalah pintu keberkahan hidup mudah-mudahan muncul. Sebab pendketan semata rasional terbukti gagal menyelesaikan satu persoalan keputus asaan penduduk, terlebih lagi cita-cita besar lain. Intinya upaya melakukan ketaqwaan dulu sebelum ikhtiar, termasuik dalam hal ini ikhtiar melakukan perencanaan.
Inilah kesempatan menata perencanaan bangsa sebagai ikhtiar dan memperbaiki bangsa agar memiliki daya saing. Sebab rasanya kita terlalu menggunakan pendekatan rasio saja selama ini. Padahal para founding fathers negeri ini tidak semata menetapkan sesuatu dengan rasio.
Mengapa dipilih tanggal 17 bukan 16 oleh Bung Karno ketika mengumandangkan proklamasi, saya kira ini pertimbnagan terkait dengan keyakinan beliau sebagai seorang Muslim. Bukan karena paham lain, sekalipun sering kita dapati bahwa trade merk Bung Karno itu abangan. Namun begitu Dia pernah intens belajar Islam pada substansinya di rumah Tjokroaminoto dan pada sisi syariatnya pada A. Hasan sebagaiamna kita lihat dalam surat menyurat beliau di DDBR.
Dan menurut kesaksian juga ketika pertama kali membaca Proklamasi—proklamsi yang resmi diakui adalah tanggal 17, sedang pada tanggal 16 adalah proklamasi yang dipaksakan para pemuda dalam upaya menjaga bahwa kemerdekaan kita bukan pemberian Jepang. Sebetulnya Proklamasi tanggal 16 di Rengasdengklok lebih militer sifatnya dan formal, akan tetapi jika dibandingkan proklamasi 17 Agustus bahwa Proklamais ini berdasarkan persetujuan seluruh perwakilan bnagsa Indonesia, walaupun lebih sederhana. Inilah yang diakui negara-- di Rengas Dengklok tanggal 16 Agustus 1945, Bung Karno sebelum membaca proklamasi terlebih dahulu membaca syahadat. Disaksikan para pemuda Peta, Bung Hatta, M. Natsir, dan juga Kartosuwiryo. (lihat Suara Merdeka 15/8/2010 dan16/8/2010, kesaksian seorang…)
Inilah yang mengapa Proklamasi NII dan lain-lain menjadi hukumnya bughot atau untuk mendirikan negara baru, ingat mendirikan negara baru. Bukan persoalan menjungkalkan kekusaan yang ada. Sebab itu urusan lain. Jadi kita berharap dibawah naungan NKRI dakwah Islam akan saling dukung mendukung. NKRI tanpa kekuatan Islam akan hilang, dan dakwah Islam tanpa NKRI akan terhambat, sebab pendirian negeri ini juga dilakukan oleh para pendiri negara yang memiliki pemahaman Tauhid yang lurus, benar dan mendalam serta memahami konteks dan corak masyarakat yang dihadapi.
Memang para pemimpin Islam pernah "memaksa" atau memperjuangkan konsep negara Islam melalui jalur konstitusional. Akan tetapi perbandingannya secara statistik jika merunut model musyawarah yang setuju negara Islam masih kalah Jumlah.
Dan akirnya disepakati Dekrit 5 Juli 1959 dengan melandaskan pada bahwa Pancasila dan UUD 1945 dijiwai Piagam Jakarta. Ini artinya sesungguhnya memberi arti bahwa Dakwah Islam terbuka lebar di Indonesia. Cuma memang kemudian menjadi masalah ketika terjadi fitnah politik dan kekuasaan otoriter sehingga kekuatan islam politik terpinggirkan.
Akibatnya dakwah Islam menjadi asing bagi bangsa Indonesia, bahkan oleh pemeluknya sendiri, dan hingga saat ini. Di satu sisi bahwa Paham Ideologi Islam adalah memang ingin ekslusif sehingga dianggap akan meruntuhkan NKRI bagi para penyokong gagasan nasionalisme, sedangkan titik ekstrim umat Islam adalah NKRI 17 agustus 1945 negeri haram, kafir dholim dan sebagainya karena tidak menerapkan syariat Islam secara menyeluruh.
Dua hal ini tidak menguntungkan bagi dakwah Islam, sebab hanya akan menjadikan titik-titik ekstrem. Yang benar justru Islam adalah laksana garam yang menjadi rasa bagi bangsa ini. Tidak kelihatan secara formal, akan tetapi terasa sebagai Jiwa.
Tentu bagi Umat Islam tidaklah kemudian menjadi unjuk bangga diri dan menjadikan hak-hak orang lain yang tidak seagama tidak mendapatkan tempat di negeri majemuk seperti ini. Akan tetapi justru menjadikan orang-orang Muslim, khususnya yang ditempa dalam pendidikan dan organisasi Islam untuk memberi contoh teladan berislam secara benar, sesuai akhlak Islam, tanpa terlalu membesar-besarkan urusan bahwa saya muslim toleran dan moderat agar diterima oleh orang lain, sehingga kadang berkompromi dnegan nilai-nilai sekuler. Cukup saksikan saya seorang Muslim dan saya menghargai sikap keyakinan anda, asal anda juga taat pada aturan yang dibuat bersama dalam bangsa majemuk yang kita sepakati. Kami tidak akan memaksakan keyakinan kami. Bagiku keyakinanku bagimu keyakinanmu..
Korupsi, saling memuslihati dengan cara-cara kotor, penyalahgunaan wewenang dengan alasan membela kedudukan Islam juga tidak benar. Sebagaiamna meledakkan bom di kawasan Indonesia yang bukan wilayah perang.
Sedangkan persoalan hormat bendera, menyanyi Indoensia raya, Pancasila hingga anggapan Undang-undang milik manusia, maka kita memandang itu bukan persoalan aqidah. Ini murni muamalah dan ijtihadi, dimana dibutuhkan saling toleransi dan saling melengkapi dengan komponen bangsa lain.
Jika ada satu kelompok tidak mau menyanyi Indonesia raya atau hormat bendera, tidak mengapa, sebab ini adalah persoalan internal meraka sendiri dan dalam hal ini mereka hati-hati. Artinya mereka menganggap ini ada kaitannya dnegan ibadah atau aqidah. Sah-sah saja berfikir demikian, sepanjang dia mau menerima ada pendapat lain. Toh, dalam hal-hal prinsip Islam tidak berbeda. Akan tetapi jika salah satu anggota kelompok ini menjadi pejabat atau mengikuti acara kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan dan negara harus mengikuti aturan yang ada, ikut menghormati bendera dan Indonesia Raya. Dan selamanya sebelum ada kesepaktan baru, Indonesia Raya dan Merah Putih adalah final.
Namun bagi orang yang memahami nasionalisme secara sempit juga jangan curiga bahwa umat Islam gerilya undang-undang syariat. Toh sudah sewajarnya umat Islam yang paham agamanya, ingin diatur hidupnya agar sesuai dengan aturan undang-undang yang minimal mendekati aturan Al-Quran dan hadits. Sebab Umat Islam tidak sedang memkasakan formalisasi negara. Dalam hal ini pendekatan diktumnya adalah substansi aturan yang menjiwai, bukan aturan yang tertulis.
Dan berkaca pada pembukaan UUD 1945 dengan kalimat atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa…sudah seharusnya keyakinan religius menjadi ruh bagi pergerakan dan perencanaan bangsa ini ke depan. Bukan semata rasionalisme model Barat.
Dari sanalah kita berharap dimana pintu keberkahan akan terbuka bagi negeri ini. Satu orang dengan orang yang lain merasa selamat, bukan saling mematai apalagi memangsa. Mampu mendayagunakan pemberian alam yang berlimpah bagi kemakmuran penduduknya. Dan akhirnya menjadikan negeri ini rumah bagi siapapun.
Jika 17 Ramadhan tahun depan dicanangkan sebagai tahun perubahan yang dahsyat, maka pada bulan puasa tahun depannya 2012, Insya Allah tanggal 17 Ramadhan hampir bertepatan dengan Idul Fitri dimana itu adalah simbol kemenangan umat Islam. Kemenangan bangsa ini juga untuk bangkit bersama dari keterpurukan dengan memulai fase baru yang lebih berarti sebagai negara milik semua. Dan tentu saja kehendak untuk mempertegas harga diri bangsa sebagaimana dahulu awal-awal proklamasi di lima tahun pertama dimulai dengan perjuangan kemerdekaan secara fisik dalam mempertahankan proklamasi yang dilakukan serentak seluruh Nusantara. Tentu ujudnya bisa beda antara awal tahun 1945 dengan sekarang. Namun substansinya sama yaitu membangun bangsa yang merdeka, lepas dari penjajahan—termasuk penjajahan dari bangsa sendiri-- seutuhnya dengan percaya pada diri sendiri sehingga akhirnya memiliki daya
saing yang kuat di percaturan global. Insya Allah.
Dan sebagai umat Islam yang mayoritas dans sekaligus sebagai negara dengan penduduk muslim tertinggi di dunia, Umat Islam wajib pertama kali mereformasi diri, sebelum orang lain. Mungkin yang bisa diharapkan, bahwa Orang Islam semakin diberikan taufik dan hidayahNya oleh Allah untuk lebih mengerti dan mampu melaksanakan ajarannya. Dan sekaligus Umat Non Muslim mengerti pendirian Umat Islam sesunguhnya tentang NKRI, bahwa itu satu tubuh.Satu cita-cita. Negeri yang Adil Makmur dan negeri yang mendapatkan ampunan, berkah dan Ridho ALLAH SWT.

Wallahu alam Bisshowab.

Penulis AK Fahmi
akfahmi2009@yahoo.com <mailto:akfahmi2009%40yahoo.com>

Dosen STIE Putra Bangsa Kebumen, Ketua LPM Wira Mandiri Kebumen dan Pengelola Pesantren Al-Azhary Ajibarang Banyumas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar