Jumat, 19 Agustus 2011

Messenger of the Proclamation

RIWU GA

Messenger of the Proclamation

SEJARAH tidak bisa melupakan anaknya sendiri. Ini mungkin sebuah
ungkapan yang tepat untuk menilai sosok seorang pria yang selalu
menjadi dekat Soekarno jelang 17 Agustus 1945. Namanya tidak setenar
Sajuti Melik, SK Trimurti, Latief Hendraningrat si pengibar bendera
pusaka atau Soewirjo, orang yang menjadi event organizer upacara
pembacaan proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 di
berandah rumah Soekarno dan kelak menjadi walikota pertama Jakarta.

Dia adalah Riwu Ga. Pria asal Sabu, Nusa Tenggara Timur yang namanya
seperti dipetieskan bila kita membicarakan proklamasi kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945. Namanya benar-benar dilupakan dan dikuburkan
dalam-dalam. Dia memang tidak berperang secara fisik mempertahankan
negara. Juga dia tidak melakukan diplomasi di luar negeri membela
keberadaan negaranya dengan argumentasi tajam. Riwu Ga juga bukan
seorang menteri atau pejabat yang punya kekuasaan yuridiksi untuk
berbicara dan melakukan tugasnya sebagai seorang orang penting yang
sedang mempertahankan kemerdekaan negaranya.

Jauh sebelum negaranya lahir tanggal 17 Agustus 1945, Riwu Ga seperti
sudah ditakdirkan untuk selalu berperan dan berhubungan dengan hari
yang tidak pernah akan dilupakan oleh setiap orang Indonesia itu. Bila
Ibu Inggit Garnasih, istri Soekarno, dijuluki banyak orang sebagai
sosok wanita yang mengantarkan Soekarno ke gerbang kemerdekaan 17
Agustus 1945, maka Riwu Ga-lah orang yang menjaga kunci gerbang itu
agar tidak hilang, sehingga bisa dibuka oleh Soekarno bersama
patriot-patriot sejati lainnya.

Pada usia 18 tahun di tahun 1934 dia berkenalan pertama kali oleh
Soekarno di Ende, Flores, semasa menjalani pengasingannya oleh
pemerintah kolonial Belanda. Sikapnya yang rendah hati dan penuh
kepatuhan pada peraturan dan etika, membuat dia dipercaya Soekarno dan
disayang oleh keluarga besar proklamator itu, baik oleh pihak Ibu
Inggit maupun oleh Ibu Fatmawati.

Sebelum Soekarno shalat shubuh selama di Ende, Riwu Ga bangun lebih
dulu dan mempersiapkan segelas air putih dicampur kapur. "Biar suara
Bung Karno lebih menggelegar", katanya. Ketika Soekarno dipindahkan ke
Bengkulu, dia diikutsertakan bahkan sampai berakhir masa pembuangan
dan Indonesia merdeka, Riwu Ga tetap mengabdi kepada keluarga
Soekarno. Dia juga dijadikan harta yang diperebutkan oleh Inggit dan
Soekarno ketika pasangan itu bercerai. Riwu Ga berat hati memilih ikut
Soekarno, meski Inggit tetap menyayanginya.

Setelah turut mempersiapkan upacara pembacaan proklamasi, Riwu Ga
diperintahkan Soekarno untuk menyebarkan berita proklamasi kemerdekaan
itu ke sekeliling Jakarta. Banyak rakyat Indonesia tidak tahu bahwa
negera mereka sudah merdeka, karena kemerdekaan itu ditentang banyak
pihak termasuk penguasa Jepang di sini.

Bersama adik Mr. Sartono (kelak menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung
pertama), yang bernama Sarwoko yang mengemudikan jeep, Riwu Ga
berteriak-teriak heroik mengumumkan kepada kumpulan rakyat sambil
membawa bendera berah putih. "Kita sudah merdeka, kita sudah merdeka!"
Tindakannya sangat konyol dilakukan saat itu, karena bisa saja aparat
keamanan tentara Jepang menembaknya sesuka hati.

Hasil tugas Riwu Ga itu membuat banyak rakyat Jakarta percaya bahwa
Indonesia sudah merdeka. Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia,
mirip berita pendaratan Christopher Columbus ke Dunia Baru, yang baru
diketahui oleh rakyat Eropa berbulan-bulan kemudian.

Memang ada yang mewartakan berita kemerdekaan RI secepat mungkin
melalui medium elektronik berupa radio. Namun barang kotak bersuara
itu sangat langka dimiliki oleh kebanyakan orang dan kalaupun ada, isi
beritanya sudah dikontrol penuh oleh penguasa Jepang. Jusuf Ronodipuro
juga menyiarkan berita kemerdekaan RI secara heroik melalui stasiun
radio yang dikuasai Jepang. Juga di daerah-daerah berita proklamasi
disiarkan ulang, seperti di Sumatera oleh Mohammad Sjafe'i atau di
Riau oleh Angkatan Muda Perusahaan Telefon dan Telegraf beberapa
minggu setelah 17 Agustus 1945.

Riwu Ga (bersama Sarwoko) adalah orang yang pertama kali menyiarkan
berita proklamasi kemerdekaan secara langsung kepada rakyat Indonesia.
Selama tahun 1945 tidak ada berita apapun di surat kabar manapun
tentang proklamasi kemerdekaan. Keadaan ini memang aneh tetapi bisa
dimengerti mengingat keadaan masa itu yang kritis.

Fakta ini pertama kali saya tahu, ketika membaca sebuah feature di
harian Kompas 15 tahun silam, yang memuat profil Riwu Ga dengan jelas
dan mencoba mengukuhkan perannya yang kecil bak sekrup dalam sebuah
mesin penggerak yang bernama proklamasi. Ini membuat alasan saya
mengingatkan kembali perannya yang memang pantas dilupakan oleh kita,
bangsa pelupa.

Berita kemerdekaan Indonesia secara resmi baru dimuat pertama kalinya
dalam harian Merdeka edisi tanggal 20 Februari 1946. Artinya setengah
tahun lebih baru diberitakan! Tanpa Riwu Ga, mungkin berita
kemerdekaan di harian Merdeka itu menjadi berita paling basi dalam
sejarah jurnalistik Indonesia, bahkan dunia!

Ketika bangsa Indonesia tepat merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus
1996, Riwu Ga si Mesengger of the Proclamation itu, merayakan
'kemerdekaan yang sesungguhnya'. Dia wafat sore hari tepat di hari
yang dia bela mati-matian sampai dia mati. (*)

Selasa, 16 Agustus 2011

Janji Kemerdekaan oleh Anies Baswedan

Berikut tulisan Kanda Anies Baswedan dalam rubrik Opini, Harian Kompas 15
Agustus 2011.
-----------------------

Janji Kemerdekaan

Oleh Anies Baswedan*

Kibarannya membanggakan. Merah-Putih berkibar gagah di tiang bambu depan
rumah batu. Rumah sepetak kecil, alasnya tanah dan atapnya genting berlumut.
Di tepi rel kereta tak jauh dari stasiun Jatibarang. Rumah batu itu polos
tanpa polesan material mewah.
 
Pemiliknya jelas masih miskin. Tapi dia pasang tinggi bendera kebanggaannya.
Seakan dia kirim pesan bagi ribuan penumpang kereta yang tiap hari lewat
depan rumahnya: Kami juga pemilik sah republik ini, dan kami percaya di
bawah bendera ini suatu saat kami juga akan sejahtera !
 
Yang miskin nyatakan cinta dan bangga pada negerinya. Keseharian hidupnya
mungkin sulit, mungkin serba kerontang. Mungkin tak punya tabungan di bank,
tapi tabungan cintanya pada Republik ini luar biasa banyak. Negeri ini
dicintai dan dibanggakan. Rakyatnya cinta tanpa syarat.
 
Tiap memasuki bulan Agustus ada rasa bangga. Kemerdekaan diongkosi dengan
perjuangan. Di tiap hela napas anak bangsa hari ini, ada tanda pahala para
pejuang, para perintis kemerdekaan.
 
Jangan pernah lupa bahwa saat merdeka mayoritas penduduknya serba sulit.
Hanya 5% rakyat yang melek huruf. Siapapun hari ini, jika menengok ke masa
lalunya maka masih jelas terlihat jejak ketertinggalan adalah bagian dari
sejarah keluarganya. Kemiskinan dan keterbelakangan adalah baju bersama di
masa lalu.

Republik ini didirikan bukan sekadar untuk menggulung kolonialisme tapi
untuk menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Republik hadir untuk
melindungi, mensejahterakan, dan mencerdaskan rakyatnya serta memungkinkan
berperan dalam tataran dunia.

Isi Pembukaan UUD 1945 selama ini diartikan sebagai cita-cita. Cita-cita
kemerdekaan adalah kata kunci paling tersohor. Istilah cita-cita kemerdekaan
adalah istilah yang sudah jamak dipakai dalam mengilustrasikan tujuan
republik ini. Tapi ada ganjalan fundamental disini.
 
Kemerdekaan perlu beri ekspresi yang lebih fundamental, bukan sekadar
bercita-cita. Lewat kemerdekaan, sesungguhnya Republik ini berjanji. Narasi
di Pembukaan UUD 1945 bukanlah ekspresi cita-cita semata, tapi itu adalah
janji. Pada setiap anak bangsa dijanjikan perlindungan, kesejahteraan,
pencerdasan dan bisa berperan di dunia global. Republik ini dibangun dengan
ikatan janji!
 
Cita-cita itu adalah harapan, dan ia bisa tidak mengikat. Secara bahasa
cita-cita itu bermakna keinginan (kehendak) yg selalu ada di dalam pikiran
atau dapat juga diartikan sebagai sebuah tujuan yang hendak dilaksanakan.
Bila tercapai cita-citanya maka akan disyukuri.

Tapi, jika tidak tercapai maka cita-cita bisa direvisi. Ada komponen
ketidakpastian yang abstrak pada kata cita-cita. Indonesia hadir bukan
sekadar untuk sesuatu yang didalamnya mengandung komponen yang belum tentu
bisa dicapai. Sudah saatnya tidak lagi menyebutnya sebagai cita-cita tapi
mulai menyebutnya sebagai Janji Kemerdekaan.
 
Berbeda dengan cita-cita, sebuah janji adalah kesediaan, kesanggupan untuk
berbuat, untuk memenuhi dan untuk mencapai. Janji adalah hutang yang harus
dilunasi. Janji memberikan komponen kepastian. Janji itu kongkret. Janji
tidak abstrak dan uncertain.

Republik ini bukan sekadar bercita-cita tapi berjanji mensejahterakan dan
mencerdaskan tiap anak bangsa.
 
Hari ini janji itu telah dilunasi bagi sebagian rakyat. Sebagian rakyat
sudah tersejahterakan, tercerdaskan, terlindungi dan bisa berperan di dunia
global. Mereka sudah mandiri. Mereka tak lagi tergantung pada negara mulai
dari soal kehidupan ekonomi keseharian, pendidikan, sampai dengan kesehatan.
Ya pada mereka, janji kemerdekaan itu sudah dibayar lunas.

Tapi masih jauh lebih banyak yang kepadanya janji itu belum dilunasi. Bangsa
ini perlu melihat usaha mencerdaskan dan mensejahterakan bukan sekadar
meraih cita-cita tapi sebagai pelunasan janji kemerdekaan. Pelunasan janji
itu bukan cuma tanggung-jawab konstitusional negara dan pemerintah tapi juga
tanggung jawab moral setiap anak bangsa yang kepadanya janji itu telah
dilunasi: telah terlindungi, tersejahterakan, dan tercerdaskan.

Jangan lupa dahulu seluruh rakyat sama-sama miskin, buta huruf, terjajah dan
terbelakang. Mayoritas mereka yang hari ini sudah tersejahterakan dan
tercerdaskan mendapatkannya lewat keterdidikan. Pendidikan di Republik ini
adalah eskalator sosial ekonomi; keterdidikan mengangkat derajat secara
kolosal jutaan rakyat untuk mendapatkan yang dijanjikan: tercerdaskan dan
tersejahterakan.

Saat Republik ini didirikan semua turun tangan menegakkan Merah-Putih,
menggulung kolonialisme. Ada yang sumbang tenaga, harta dan banyak
sumbangannya nyawa. Mereka menegakkan bendera tanpa minta syarat agar
anak-cucunya nanti lebih sejahtera dari yang lain. Semua paham adanya janji
bersama untuk menggelar kesejahteraan bagi semua. Itu bukan sekadar
cita-cita. Kini bendera itu sudah tegak, makin tinggi dan dibawah
kibarannya, janji kemerdekaan harus dilunasi untuk semua.

Bayangkan di kampung kecil pinggiran kota, di rumah kayu ala kadarnya. Kabel
listriknya berseliweran dipakai gantungan dan aliran listrik lampu kecil.
Dibawah sinar lampu seadanya beberapa orang bersila diatas tikar
membincangkan rencana perayaaan kemerdekaan di kampungnya. Mereka belum
sejahtera dan mereka akan rayakan kemerdekaan !
 
Tidak pantas rasanya terus menerus merayakan kemerdekaan sambil berbisik
memohon maaf bagi mereka yang belum terlindungi, belum tercerdaskan dan
belum tersejahterakan. Bangun kesadaran baru bahwa usaha ini sebagai
pemenuhan janji. Sebagai janji ia mengikat, bisa mengajak semua ikut
melunasinya dan agar semua lebih yakin bahwa janji itu untuk dilunasi.

Perayaan kemerdekaan bukan sekadar pengingat gelora perjuangan. Merayaan
kemerdekaan adalah meneguhkan janji.  Biarkan pemilik rumah batu itu
menerawang kibaran Merah-Putih di rumahnya sambil senyum membayangkan bahwa
dia dan anak-cucunya akan tersejahterakan dan tercerdaskan. Semua bangga
jika perayaan Kemerdekaan adalah perayaan lunasnya janji kemerdekaan bagi
tiap anak bangsa.
 
 
Anies Baswedan
Rektor Universitas Paramadina
@aniesbaswedan

Link Notes Facebook : 
http://www.facebook.com/notes/anies-baswedan/tulisan-opini-anies-baswedan-ja
nji-kemerdekaan/234156599954667

------------------------------------------

Senin, 15 Agustus 2011

Sekelumit Kisah Bung Hatta

 

Sekelumit Kisah Bung Hatta

28 July 2011 2:34 pm

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta. Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"–Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa. PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda.

Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi. Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Februari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu. Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka. Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Rajat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Rakjat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya. Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Rakjat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).

Pada bulan Februari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul Krisis Ekonomi dan Kapitalisme.

Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain. Pada tanggal 3 Februari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh. Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda. Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden. Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul Lampau dan Datang. Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul Menuju Negara Hukum .

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus. Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.

http://www.fimadani.com/sekelumit-kisah-bung-hatta/

__._,_.___

Tokoh - Bung Hatta

 

Sepatu yang ingin dimiliki bung hatta tapi tidak kesampean sampai mati


Bung hatta ternyata dulu pernah ingin punya sepatu. Bahkan ia sangat terobsesi dengan sepatu itu sampai-sampai menabung untuk membelinya. Merknya BALLY. Pada tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.

Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.

Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta. Pada hal, jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta.

http://portalstmik-im.indonesianforum.net/t61-sepatu-yang-ingin-dimiliki-bung-hatta-tapi-tidak-kesampean-sampai-mati

__._,_.___

_,___

Bung Karno dan Islam

Bung Karno dan Islam

I

Bung Karno lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga yang tak membaca Qur'an sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Ayahnya seorang priyayi Jawa, pengikut theosofi, ibunya seorang perempuan Hindu Bali. [1]

Seperti dikatakannya di tahun 1962, di hadapan Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Jakarta:

Ibu adalah meskipun beragama Islam asal daripada agama lain, orang Bali. Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adalah beragama, jikalau boleh dinamakan agama, theosofi. Jadi kedua kedua orangtua saya ini yang saya cintai dengan segenap jiwa saya, sebenarnya tidak dapat memberikan pengajaran kepada saya tentang agama Islam.

Apa yang diajarkan orangtuanya? Ada sebuah detail dalam Sukarno, an Autobiography as told to Cindy Adams, yang sekilas menunjukkan dasar etis yang diajarkan sang ayah, seorang guru, kepadanya. [2] Pada suatu hari si kecil Karno memanjat pohon jambu di pekarangan rumah. Tak sengaja ia membuat sarang burung di dahan itu jatuh. Ayahnya memarahinya: anak itu harus menghargai hidup makhluk apapun.

 

Father was livid. "I taught you to love animals", he thundered.

I shook with fright. "Yes, Father, you did."

"You will please be as good as to explain the meaning of the phrase: 'Tat Twam Asi, Tat Twam Asi.'"

It means 'He is I and I am he, you are I and I am you'".

"And were you not taught this has a special significance?"

"Yes, Father. It means God is in all of us," I said obediently.

Tidak kita ketahui, tahukah si ayah bahwa ucapan itu, "Tat Twam Asi", berasal dari Upanishad Chandogya. Sebagai seorang yang mempraktekkan ajaran theosofi, Raden Sukemi Sosrodiharjo tentu tak asing akan kitab-kitab suci Hindu.

Pada masa itu, pengaruh theosofi cukup berarti di Jawa. Perhimpunan Theosofi, yang didirikan di New York di tahun 1875 oleh Helena Blavatsky, Henry Steel Olcott dan William Quan Judge, kemudian berpusat di Madras, India, dan kepemimpinannya diteruskan oleh Annie Besant. Perhimpunan ini mengajarkan semangat pluralis: ingin membentuk satu inti "persaudaraan universal" yang tak memandang ras, keyakinan dan gender. Telaah perbandingan agama digalakkan, juga mengenai daya dalam diri manusia yang selama ini, oleh ilmu modern, tak dapat dijelaskan. [3]

Di Indonesia, di bawah kolonialisme yang dibangun atas pembedaan etnis, latarbelakang sosial dan asal-usul (sebuah rezim yang oleh Ann Laurie Stoller disebut "taxonomic state") [4], tampaknya theosofi menemukan tempat di mana banyak orang membutuhkannya. Waktu itu di Batavia, ada Taman Blavatsky, di Bandung Taman Olcott dan di Semarang Lapangan Annie Besant. Banyak kalangan priyayi seperti Raden Soekemi Sosrodihardjo yang jadi anggota Perhimpunan. Di antara anggota Volksraad, parlemen bikinan Hindia Belanda waktu itu, tercatat lima orang orang Theosofi, terutama warga yang berdarah Belanda. Di kalangan intelektuil, Moh. Yamin, Sanoesi Pane dan Dr. Amir termasuk pengikut Theosofi yang aktif. [5]

Dalam sajak-sajak Sanusi Pane, kita temukan kekaguman yang jelas kepada warisan India (Hindu dan Budha) dalam khasanah kebudayaan Indonesia; Sanusi sendiri pernah melawat ke India di tahun 1929-30.

Ada sesekali Bung Karno memakai acuan ajaran dari India dalam tulisannya, misalnya ketika ia menyebut "Bhagavad Ghita" dan "Cri Krishna" dalam memberi penghormatan kepada Tjipto Mangunkusumo ketika dibuang. [6] Tapi pandangan theosofi tak nampak jejaknya dalam pemikiran Bung Karno, setidaknya dalam pemikiran politiknya. Mungkin karena di Hindia Belanda, Perhimpunan Theosofi yang ingin meniadakan diskriminasi itu pada akhirnya menolak untuk mengambil posisi radikal. [7] Bahkan seorang pemimpinnya, D. Van Hinloopen Labberton, pada tanggal 6 September 1913 menulis dalam Theosofisch Maandblad voor Nederlandsch-Indiรซ sepucuk surat terbuka yang mengritik Tjipto Mangunkoesoemo dan Soewardi Soerjoningrat ketika kedua orang itu, bersama pendiri Indische Partij yang satunya, Douwes Dekker, dibuang oleh pemerintah kolonial.

Kedua orang itu pemberani, kata Hinloopen Labberton, tapi tak paham benar apa arti "kemerdekaan". Kemerdekaan baginya harus tetap ada ikatan, dan "untuk negeri ini, hanya otoritas Pemerintah yang punya hak mengayunkan godam hukuman." Dan dengan huruf kapital ia menegaskan: "JAWA DAN NEDERLAND HARUS SATU".

Dengan pandangan politik seperti itu, para pendukung Theosofi – yang oleh kaum kiri pernah diejek dengan kata "tai sapi" [8] — tak mungkin menarik hati seorang anak muda yang sejak remaja terpikat pemikiran Karl Marx.

II

Pada umur 15, Sukarno meninggalkan Blitar dan bersekolah di sekolah menengah HBS di Surabaya. Di situlah gurunya, C. Hartogh, seorang sosial-demokrat, menjelaskan kepadanya teori-teori Marxisme, dan ia terpesona. Tapi tak hanya itu.

Kita tahu ia indekos di rumah Oemar Said Tjokroaminoto, tokoh besar pergerakan nasional yang kemudian jadi mertuanya itu. Pada masa itu, Tjokroaminoto sudah tiga tahun lamanya memimpin Sarekat Islam (SI). Organisasi ini berubah dari sebuah organisasi dengan tujuan terbatas – perbaikan kaum pedagang yang beragama Islam – menjadi sebuah organisasi yang kian lama kian bersifat politik dan akhirnya menjadi partai, yang jadi tempat bertemu bermacam ragam orang. [9]

Dalam Sarekat Islam terdapat misalnya Semaoen, yang setahun setelah jadi anggota SI, juga jadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi sosial demokrat Hindia Belanda yang jadi cikal bakal Partai Komunis. Semaoen, seperti halnya Alimin, adalah orang-orang kiri yang lebih tua dan sering Bung Karno temui. Alimin, kata Bung Karno, "adalah orang yang mengajarinya Marxisme". [10]

Dari yang dikenang kembali oleh Bung Karno dari masa hidupnya bersama Tjokroaminoto dan keluarganya, saya tak mendapatkan kesan di sana ia telah mendalami ajaran Islam. Tjokroaminoto sendiri, keturunan priyayi dari Madiun dan lulusan OSVIA (sekolah untuk para calon pamong praja) ini tampaknya tak bertolak dari pendalaman ilmu agama. Sebagaimana ketika ia dilahirkan, SI, dalam hal ini Tjokroamnioto, lebih "menggunakan simbol Islam, sebagai gerakan kebangsaan", dan baru kemudian timbul gagasan pada Tjokro untuk mempelajari Islam lebih lanjut. [11] Selain kursus tentang teori politik dan sosiologi, di dalam SI diadakan juga kursus tentang agama, misalnya oleh K.H. Ahmad Dahlan.

Tapi yang diteruskan Bung Karno dari Tjokro (di samping kemampuan berpidato) adalah sikap eklektiknya. Bagi Tjokroaminto, persatuan antara kalangan yang berbeda adalah jalan dan sekaligus tujuan. Dalam Kongres Ketiga SI di Bandung di tahun 1916, Tjokroaminoto menegaskan: "Kita bermaksud bahwa SI menuju arah persatuan yang utuh dari semua golongan bangsa Indonesia yang harus dibawa setinggi-tingginya ke tingkat natie." [12]

Dengan sikap seperti itu, seperti disebut di atas, Tjokro bersedia menerima unsur-unsur komunis dalam partainya. Bahkan baginya, Marx dan Engels tak membawa paham yang tercela. Ia sendiri memberikan kursus tentang sosialisme, dan seperti dikenang oleh Hamka, Tjokro "tidak mencela Marx dan Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya". Teori Historis Materialisme, kata Tjokro menurut Hamka, "telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad." [13] Di tahun 1924, Tjokroaminoto menerbitkan bukunya, Islam dan Sosialisme.

Dua tahun setelah Islam dan Sosialisme terbit, Bung Karno menulis risalahnya yang terkenal, "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme" – yang kelak jadi dasar gagasan NASAKOM yang dipegangnya sampai ia wafat. Motif eklektikisme yang sama seperti Tjokro kelihatan di sini.

Ada yang menganggap bahwa dorongan dalam diri Bung Karno untuk persatuan seperti yang tampak dalam risalah itu bermula dari "sinkretisme Jawa tradisional" yang ada dalam dirinya, seperti dikatakan Bernard Dahm dalam Sukarno and struggle for Indonesian Independence. [14] Kesimpulan "orientalistis" seperti ini tak melihat sejarah.

Dalam masyarakat kolonial, ketidak-puasan meliputi hampir semua lapisan sosial. Kelompok dengan aliran yang berbeda-beda, atau bertentangan, mengacu ke sesuatu yang secara universal dirasakan tak adil. Masing-masing kelompok dengan demikian tak membentuk perbedaan yang murni. Identitas masing-masing (komunis, Islam, Jawa, nasionalis, Sumatra) tak ditentukan oleh adanya sifat-sifat dasar dalam diri masing-masing, dan tak didukung dan dikukuhkan oleh perbenturan kepentingan sosial-ekonomi yang bertahan. Perpaduan pelbagai aliran pikiran yang dikemukakan Bung Karno terjadi karena masih cairnya hubungan antara "isme-isme" itu dengan kondisi sosial para penganutnya – hingga misalnya tokoh seperti Haji Misbach menjadi seorang Marxis-Leninis yang aktif. Antikolonialisme atau cita-cita kemerdekaan mengatasi semua aliran, dan masing-masing aliran, dalam satu untaian chain of equivalence (dalam pengertian Laclau), mencoba merebut dukungan seluas-luasnya bagi dirinya; sebab itu, mereka membuka diri ke pihak yang berbeda-beda.

Itulah yang agaknya tercermin dalam eklektisisme Bung Karno.

Dahm tak melihat hal itu. Kesimpulannya bahwa Sukarno "manusia Jawa" bertolak dari salah paham: seakan-akan pengertian "Jawa" dapat meniadakan perbedaan antara seorang yang dibesarkan di Jawa Timur dengan pendidikan Belanda (dan terlibat dalam pergerakan nasionalis) dan seorang Mangkunegara IV dari sebuah kraton di Surakarta. Bung Karno memang menyukai wayang kulit, dan tak jarang menggunakan ekspresi dari ungkapan Dalang ("cakrawati", "rawe-rawe rantas, malang-malang putung"). Tapi ia menampik kontinuitas tradisi, bahkan dengan yang sering disebut "Jawa".

Dalam teks bertuliskan tangan dalam Di Bawah Bendera Revolusi, ia menganjurkan orang semasanya untuk meninggalkan apa yang disebutnya "oude-cultuur-maniak" yang "pikiran dan angan-angannya hanya merindui candi-candi, negarakertagama, empu Tantular dan Panuluh, dan lain-lain barang kuno". Zaman dulu zaman indah, kata Bung Karno, "tetapi ia sudah mati!" [15]

Dengan kata lain, Bung Karno memang bukan pemikir Islam dalam arti seperti Moh. Natsir, bukan pula pemikir "Jawa", melainkan lebih dari semuanya, ia seorang penerus semangat modernitas – yang dalam hal ini dibentuk oleh Marxisme. "Saya adalah murid dari Historische School van Marx," kata Bung Karno dalam wawancara dengan koresponden "Antara" yang kemudian dimuat dalam Pandji Islam di tahun 1939.

Wawancara itu dilakukan setelah diberitakan, Bung Karno meninggalkan sebuah rapat umum Muhammadiyah sebagai protes. Dalam rapat umum ini ada tabir yang memisahkan pengunjung perempuan dari lelaki. Bagi Bung Karno, "tabir adalah simbol dari perbudakan perempuan". Tetapi ia melihat penggunaan tabir itu secara "historisch" – dan di situlah Bung Karno menunjukkan pandangan dasarnya tentang Islam. Ia, sebagaimana galibnya seorang Marxis, memandang tafsir agama sebagai sesuatu yang contingent terhadap sejarah sosial di mana tafsir itu dikemukakan.

Pertautan tafsir dengan sejarah itu berarti juga pertautan tafsir dengan perubahan. Sebab dalam sejarah, seperti kata Bung Karno, ada "garis dinamis" yang makin lama makin meningkat ke arah terang. [16]

Sejarah bergerak. Zaman bergerak. Tak pernah akan berhenti. [17]

III

Pandangan tentang sejarah itu mencerminkan hasrat yang dominan di antara inteligensia Indonesia di tahun 1930-an. Di dalam pemikiran mereka berkait tiga hal: (1) antikolonial, (2), keyakinan akan modernitas, (3) dinamis atau optimistis. Marxisme sangat cocok untuk memenuhi hasrat itu, seperti tercermin dalam pemikiran Tan Malaka, Bung Karno, Sjahrir, bahkan dalam derajat tertentu, Hatta. Tapi Marxisme bukan satu-satunya. Ada pemikiran S. Takdir Alisjahbana, misalnya, yang dengan jelas bisa diikuti dalam polemik di majalah Poedjangga Baroe yang kemudian dikenal sebagai "Polemik Kebudayaan."

Kalangan inteligensia Islam mau tak mau harus merespons apa yang agaknya bisa disebut sebagai "imperatif modernitas" itu. Dengan cara mereka sendiri, mereka melakukannya.

Tjokroaminoto dan H. Agus Salim sudah tentu merupakan pelopornya, terutama melalui SI. Kemudian lahir Muhammadiyah di tahun 1912, di Yogya, dipimpin K.H. Ahmad Dahlan. Seperti umum diketahui, organisasi ini membawa pengaruh pemikiran Muhammad Abduh di Mesir dan menyebut diri sebagai "gerakan tadjid" yang hendak menghalau "takhayul, bid'ah dan khurafat".

Tak hanya Muhammadiyah. Dalam pelbagai variasinya, munculnya pelbagai organisasi Islam langsung atau tak langsung bersentuhan dengan "zaman bergerak" itu. Di tahun 1913 lahir Al-Irsyad, kemudian di tahun 1923 di Bandung Pesatuan Islam (Persis) didirikan oleh H. Zamzam, dengan tokoh yang lebih terkenal, A. Hassan, dengan siapa Bung Karno berkorespondensi selama ia dibuang di Ende, Flores. Muncul juga Ahmadiyah, sejak 1925, yang buku-bukunya dikagumi Bung Karno. Di tahun 1926, Nahdhatul Ulama didirikan K.H. Hasjim Asj'ari.

Dengan keyakinan yang besar akan modernitas, tak mengherankan bila Bung Karno lebih merasa dekat dengan gerakan reformis Islam di masa itu. Mula-mula dengan SI, tapi kemudian dengan Muhammadiyah. Ia mengenal K.H. Ahmad Dahlan sejak umur 15 tahun, ketika pendiri Muhammadiyah itu berceremah di kalangan SI. "Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto," cerita Bung Karno, "saya telah terpukau dengan K.H. Ahmad Dahlan…. Saya sudah menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938".

Bahkan dalam uraiannya di depan Muktamar Muhammadiyah di tahun 1962, ia berdoa, agar bisa "dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan"-nya.

Dengan hasrat ke modernitas pula Bung Karno menghargai gerakan Ahmadiyah. Bung Karno, yang selama ia dibuang di Ende pernah didesas-desuskan mendirikan cabang Ahmadiyah, membantah. "Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi", tulisnya dalam sepucuk surat di tahun 1936, "dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid". Tapi ia menyatakan mendapatkan "banyak faedah" dari buku-buku yang dikeluarkan Ahmadiyah, misalnya Mohammad the Prophet karya Mohammad Ali dan Het Evangelie van den daad karya Chawadja Kamaloedin. Majalah Ahmadiyah, Islamic Review, kata Bung Karno, "banyak memuat artikel yang bagus."

…mengenai Ahmadiyah, walaupun beberapa fatsal di dalam mereka punya visi saya yolak dengan yakin, toch pada umumnya ada mereka punya 'features' yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati kepada hadits, mereka punya striven Qur'an sahaja dulu, mereka punya systematise, aannemelijk, making van den Islam. [18]

Pada waktu itu Bung Karno tentu sadar akan sikap negatif kalangan Islam, terutama Muhammadiyah, terhadap Ahmadiyah, yang terungkap sejak tahun 1929. Tapi ia tak menutup pintu bagi ide-ide yang ia anggap baik dari kalangan ini – "baik" dalam perspektif seorang penganjur modernitas. "Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan pengertian Islam di India", kata Bung Karno dalam tulisannya, "Me-'Muda'-kan Pengertian Islam". [19]

Dalam hal ini Bung Karno tidak sendirian. Seperti dia, sebelumnya, Tjokroaminoto, juga mendapatkan Qur'an dari terjemahan dan tafsir oleh seorang ulama Ahmadiyah, Muhammad 'Ali, The Holy Qur'an. Organisasi pemuda Islam yang berpengaruh, Jong Islamiten Bond, yang didirikan oleh para pemuda terpelajar di tahun 1924, juga pernah mengundang seorang mubaligh Ahmadiyah Lahore, Wali Ahmad Baig, sebagai salah seorang pengajar di organisasi itu – sebagaimana halnya tokoh Islam "reformis" lain, misalnya A. Fachruddin dari Muhammadiyah. [20]

Meskipun demikian, ada hal yang tak akan mendekatkan Bung Karno ke kalangan Ahmadiyah: selain kultus mereka terhadap Mirza Gulam Ahmad, adalah apa yang dikatakan Bung Karno sebagai "kecintaan" para pelopor Ahmadiyah "kepada imperialisme Inggris". Sebab semangat antikolonial, bertaut dengan keyakinan akan modernitas dan pandangan sejarah yang Marxistis – itulah yang mewarnai cara Bung Karno memandang Islam. [21]

IV

Apakah "Islam" bagi Bung Karno? Jawab yang mendekati tepat agaknya: pada awalnya, Islam adalah sebuah enersi politik pembebasan.

Di tahun 1917, ketika Bung Karno berusia 16, Sarekat Islam yang dipimpin Tjokroamnioto berkembang jadi sebuah partai dengan anggota mencapai 800.000 dan tersebar lebih dari 80 cabang – dan dengan sikap yang lebih keras terhadap pemerintahan kolonial ketimbang ketika didirikan. Memang kemudian terjadi perpecahan dalam organisasi yang telah berkembang jadi partai politik itu, namun sisa-sisa pertautan pendapat tentang kolonialisme masih tampak jelas di antara faksi-faksi yang memisahkan diri. Tak mengherankan bila Bung Karno, meskipun melihat perpecahan itu sebagai hal yang menyedihkan, tetap memandang "Islam" lebih sebagai satu elemen dalam perjuangan antikolonial. Tapi tidak sebagai sumber gagasan.

Ketika ia berbicara tentang "Islamisme" dalam risalahnya "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme", yang diuraikannya terutama bukan pandangan yang ditakik dari Qur'an dan Hadith. Ia lebih banyak menunjukkan semangat dan pemikiran Jamaluddin al-Afghani, yang, menurut dia, "pertama-tama membangunkan rasa-perlawanan di hati sanubari rakyat-rakyat Muslim terhadap bahaya imperialisme Barat". [22]

Yang menarik, karena agak kontradiktif, Bung Karno melihat dalam pandangan Jamaluddin al-Afghani — yang ia gambarkan sebagai "harimau Pan-Islamisme yang gagah berani" — bersumber "benih nasionalisme". Al-Afghani, kata Bung Karno, "di mana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisme dan patriotisme". [23]

Di sini tampak bahwa Bung Karno tak hendak menunjukkan adanya ketegangan antara "Pan-Islamisme" sebagai cita-cita yang menafikan pentingnya nation-state dengan "nasionalisme". Dalam hal ini ia punya pandangan yang sama dengan Tan Malaka, yang empat tahun sebelumnya, dalam Kongres ke-IV Komunisme Internasional (Komintern) di Kremlin, mengemukakan hal ini. Bagi Tan Malaka, "Pan-Islamisme" bukan lagi sebagaimana makna asalnya. Kata itu menandai "perjuangan pembebasan nasional" dan sekaligus solidaritas rakyat yang terjajah imperialii mana-mana.

Tak kurang penting, dalam pandangan Al-Afghani Bung Karno menemukan anjuran modernisasi yang berani. Pendekar Pan-Islamisme itu, kata Bung Karno, menanamkan keyakinan bahwa untuk melawan imperialisme Barat, "kaum Islam 'harus mengambil tekniknya kemajuan Barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan Barat'." [24]

Dengan demikian Islam, sebagai energi pembebasan, harus menengok ke Barat. Jika dilihat bahwa dalam percakapan ide-ide di Indonesia, setiap kata "Barat" ditanggapi dengan waspada (juga kemudian oleh Bung Karno sendiri, terutama di masa "Demokrasi Terpimpin", 1959-1966), anjuran demikian cukup kontroversial. Tapi dalam sebuah artikel panjang untuk Pandji Islam di tahun 1940, Bung Karno memajang kutipan dari kata-kata Zia Keuk Alp, seorang penulis Turki (1976-1924): "Kita datang dari Timur. Kita berjalan menuju ke Barat."

Dalam tulisan itu, sebuah pembelaan yang berapi-api terhadap Revolusi Kemal di Turki yang memisahkan agama dari Negara, tampaknya Bung Karno secara implisit memujikan "Barat" sebagai daya dinamis yang merupakan antitesis dari kemandegan yang merundung dunia Islam, sebagaimana tampak di Turki di bawah Sultan-Sultan Usmani terakhir. Dengan kata lain, "Barat" itu adalah sebuah peradaban yang rasional, ke mana bangsa Indonesia mesti datang, bukan "Barat" sebagai kekuatan yang kapitalistis dan imperialistis yang harus ditentang.

Di sini Bung Karno, meskipun kadang-kadang menunjukkan pandangan yang paralel dengan anjuran "kembali ke Qur'an dan Hadith", dan dengan kedekatan hati kepada Muhammadiyah, lebih menekankan perlunya "rasionalisme" ketimbang "pemurnian". Uraiannya tentang gerakan Wahabi di Arab Saudi — diwarnai dengan gaya bahasa yang memikat – mengandung pujian dan sekaligus kritik, tetapi dengan sikap sebagai seorang pengamat sejarah yang berjarak.

Jasa Wahabisme yang terbesar, menurut Bung Karno, adalah "kemurnian"-nya, "keaslian"-nya. Artinya Wahabisme menggerakkan umat untuk "kembali ke asal, kembali kepada Allah dan Nabi, kembali kepada Islam sebagai di zamannya Muhammad!"

Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannya seribu-satu takhayul dan seribu-satu bid'ah. Lemparkanlah jauh-jauh takhayul dan bid'ah itu, nyahkanlah segala barang sesuatu yang membawa kepada kemusyrikan! Murni dan asli sebagai hawa padang-pasir, begitulah Islam musti menjadi. Dan bukan murni dan asli sahaja!

Udara padang-pasir juga angker, juga kering, juga tak kenal ampun, juga membakar, juga tak kenal puisi. Tidakkah Wahabisme begitu juga. Ia pun angker, tak mau mengetahui kompromi dan rekonsiliasi. Ia pun tak kenal ampun – leher manusia ia tebang kalau leher itu memikul kepala yang otaknya penuh dengan fikiran bid'ah dan kemusyrikan dan kemaksiatan.

"Allah berdiam di dalam pedang…", begitulah Ibnu Saud berkata…

Allah di dalam pedang! Keangkeran dan kekerasan bukit-bukit-batu padang-pasirlah yang terbayang-bayang, kalau orang mendengar perkataan Wahabisme. Padang-pasir yang juga kering…tak kenal tiupannya hawa-hawa-sejuk yang datang dari lapisan-lapisan udara negeri lain: tiap-tiap kemodernan, Wahabi curigai, tiap-tiap ajakan zaman kepada kemajuan ia terima dengan keangkuhan… [25]

Pada akhirnya, Ibnu Saud sendiri yang harus berhadapan dengan ulama-ulamanya. Tiang antene dan lampu listrik dilarang masuk ke Mekkah dan Madinah, karena hal-hal itu tak ada di zaman Nabi. Tapi zaman terus mendesakkan perubahan. Akhirnya benda-benda modern itu dihalalkan juga. "Wahabisme tahun 1940 bukanlah lagi Wahabisme tahun 1920", tulis Bung Karno.

Dari uraian Bung Karno itu kita menemukan pandangannya: meskipun pemurnian bermula sebagai sebuah kekuatan progresif – menghalau takhayul dan bid'ah – pada perkembangannya kemudian jadi sebuah kekuatan konservatif, bahkan reaksioner. Kembali kepada "Allah dan Nabi" dapat juga berarti mengingkari "garis dinamis" sejarah. Walhasil, pemurnian bukan sebuah pilihan untuk membebaskan umat Islam dari keadaan "sebagai badan yang pingsan, mati tidak mati, hidup tidak hidup". [26]

V

Sebab itu pilihan yang dianjurkan Bung Karno adalah "rasionalisme". "Rasionalisme", tulis Bung Karno, "kini diminta kembali lagi duduk di atas singgasana Islam".

Kata "kembali lagi" di dalam kalimat itu tidak mengacu ke Qur'an dan Hadith, melainkan ke sebuah zaman ketika "pahlawan-pahlawan akal" hidup bebas. Itulah "zamannya kaum mu'tazillah", zaman al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Baja, Ibnu Tufail, Ibnu Rushd atau zaman kekhalifatan di Baghdad abad ke-9 sampai dengan di Spanyol abad ke-12. Bung Karno tentunya tahu, di masa itulah orang-orang Islam membuka diri kepada filsafat Yunani, matematika Hindi, dan sumber-sumber keilmuan lain – dan pada gilirannya melahirkan filsafat, teori aljabar, logaritma, ilmu-ilmu kimia dan kedokteran, ilmu bumi dan tentu saja astronomi, yang kemudian dipungut dan berkembang di Eropa.

Tapi, kata Bung Karno, arus pasang pemikiran dan keilmuan itu habis. Dari bacaan yang didapat Bung Karno, penyebabnya adalah menguatnya "haluan sifatiyah" yang dipelopori Abu'l Hasan al-Ash'ari. Sejak berkembangnya Ash'arisme, dan itu berarti di abad ke-9, "akal menjadi terkutuklah di ingatan umat". Paham inilah "pokok-pangkalnya taqlidisme di dalam Islam" dan "kependetaan" di dalam Islam.

Sejak itu, "Islam bukan lagi satu agama yang boleh difikirkan secara merdeka, tetapi menjadi monopolinya kaum faqih dan tarikat". [27]

Kita dapat mempersoalkan konklusi Bung Karno di sini: ia tak menyertainya dengan penjelasan bagaimana sebuah "haluan" pemikiran dapat demikian berkuasa, hingga "akal, fikiran, rede, reason, dienyahkan". Bung Karno – seorang Marxis yang menafsirkan sejarah — seharusnya tak percaya bahwa Ash'arisme dengan begitu saja telah menghentikan "rasionalisme" berkembang di dunia Islam, hingga akal "hampir seribu tahun dikungkung." Seorang Marxis tak seharusnya percaya, satu paham, satu "haluan", dapat menciptakan sebuah kondisi yang bertahan lama. Apalagi dalam catatan sejarah, keadaan "terkungkung" itu tak benar berlangsung "hampir seribu tahun", dan juga tak pernah secara mutlak. Dunia Islam terus melanjutkan vitalitasnya di abad ke-12 di Spanyol, di abad ke-15 Turki Usmani meluaskan kekuasannya ke Balkan dan merebut Konstantinopel. Bahkan mengepung Wina untuk kedua kalinya di abad ke-17. Di India, raja-raja Moghul menghasilkan sastra, teater dan arsitektur yang dikagumi sampai sekarang, misalnya Tadj Mahal. Di Iran, filosof Mulla Sadra membangun Mazhab Ishfahan. Baru setelah Negara-negara Eropa menguasai samudra – termasuk menemukan Amerika — dan perdagangan antar benua mereka kuasai, bagian dunia di luar mereka, tak hanya Dunia Islam, mundur dan terpuruk.

Tapi agaknya kita harus memaklumi satu hal yang pokok: tulisan-tulisan Bung Karno tentang Islam lebih merupakan suara advokasi seorang jurubicara modernisasi ketimbang hasil sebuah telaah. Bung Karno sepenuhnya terkait dengan sebuah agenda: menumbangkan kolonialisme bersama kaum Muslimin. Tapi untuk itu kaum ini harus merupakan energi yang sesuai dengan tantangan zaman.

VI

"Islam is progress. Islam itu kemajuan", tulis Bung Karno dalam salah satu "Surat-Surat Islam dari Endeh", korespondensinya dengan T.A. Hasan, tokoh "Persatuan Islam" di Bandung. [28]

Dengan itu, kita tahu, Bung Karno lebih berbicara preskriptif, berbicara tentang Islam-yang-seharusnya. Pada saat yang sama, dengan semangat yang bergelora, ia cenderung untuk mengemukakan bahwa "Islam-yang-seharusnya" itu adalah hakikat Islam itu sendiri.

Dalam rumusannya tentang hakikat Islam itu Bung Karno dengan demikian menyisihkan apa yang berulang kali disebutnya sendiri tentang keadaan Islam selama berabad-abad, Islam yang hanya "abu", berupa "Islam-mulut dan Islam-ibadat", [29] yang tak hidup tak juga mati, Islam yang dirundung takhayul dan "taqlidisme", [30] dihambat "hadramautisme yang jumud-maha-jumud." [31]

Ia tak melihat Islam-sebagaimana-adanya-sekarang itu sebagai "Islam". Bung Karno dengan segenap daya verbalnya meyakinkan adanya "Roh Islam yang sejati", atau "api Islam".

Tampaklah di sini ia, seorang Marxis, mengabaikan historisitas dari "Roh" dan "api" itu: Bung Karno tak pernah menjelaskan dari mana kedua hal itu terjadi, dan tidakkah keduanya hanya tafsir tentang "esensi" Islam – sebuah tafsir yang tergantung pada suatu masa, suatu tempat.

Mungkin karena Bung Karno sendiri tak pernah jelas, apa sebenarnya yang dimaksudkannya dengan "Roh" dan "api" Islam itu. Sering yang mengemuka ketika ia menyebut "Roh" itu adalah semacam tenaga yang dimatikan dari diri manusia oleh hukum yang sudah usang; dalam hal umat Islam, oleh fiqh:

"Ya, kalau dipikirkan dalam-dalam, maka kitab fiqh itulah yang seakan-akan ikut menjadi algojo 'Roh' dan "Semangat' Islam. ..dunia Islam sekarang ini setengah mati, tiada Roh, tiada nyawa, tiada Api, karena umat Islam sama sekali tenggelam di dalam 'kitab fiqh' itu, tidak terbang seperti burung garuda di atas udara-udaranya Agama yang Hidup." [32]

Tapi apa gerangan tenaga pembebasan itu? Tak jarang ada kesan, "Roh" atau "api" itu identik, atau terpaut dengan, "rasio", atau "rasionalisme". Agar tak "mendurhakai Zaman", kata Bung Karno, "marilah kita mengangkat Rasionalisme itu menjadi kita punya bintang-petunjuk dalam mengartikan Islam". [33]

Tiap-tiap kalimat di dalam Qur'an, tiap-tiap ucapan di dalam Hadith… haruslah kita interpretasikan (di dalam) cahayanya ruh Islam sejati ini. [34]

Namun juga berkali-kali gambarannya tentang "Roh", "api", atau "cahayanya ruh Islam yang sejati" itu lebih mirip sebuah elan kreatif yang merdeka รก la Bergson, atau dorongan hidup untuk memperbaharui atau "me-muda-kan" diri. Bung Karno sering mengutip kata-kata Herclaitus, panta rei – semua mengalir terus menerus, arus tak pernah mengulang dirinya dua kali di titik yang sama. Dari kutipan seperti ini kita akan menduga, bahwa bagi Bung Karno, dengan elan kreatif itu, Islam menjadi sama dengan kemajuan, Islam is progress. Dan "Progress berarti pembikinan baru, creation baru – bukan mengurangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang lama." [35]

Tapi daya kreatif yang menghasilkan "pembikinan baru" itu bukanlah lahir dari subyektifitas manusia. Manusia hanya terbawa oleh apa yang disebutnya sebagai, dalam bahasa Inggris, "dynamical laws of progress". [36]

Bung Karno, sebagaimana umumnya para penganjur modernisasi awal abad ke-20, berada dalam semangat yang datang dari tiga "ledakan" pemikiran Eropa abad ke-19: visi Hegel tentang progresi dari roh (Geist), desain besar Marx tentang progresi material, dan teori Darwin tentang progresi yang tersirat dalam evolusi biologis — terutama dua yang disebut pertama. Maka sebenarnya ada inkonsistensi yang patut ditelaah ketika Bung Karno jadi penganjur "rasionalisme". Tampaknya ia melihat "rasio" atau "rasionalisme" sama dengan elan kreatif: dengan itulah manusia, dalam sejarah, melepaskan hidup dari kemandegan.

Tapi rasionalisme sebenarnya tak ada hubungannya dengan ide tentang progresi, perubahan, dan elan kreatif. Rasionalisme bertolak dari tesis bahwa akal, bukan pengalaman, yang jadi penentu kebenaran. Pengetahuan yang bisa dipercaya sebagai benar adalah pengetahuan a priori, bukan yang empiris. Jika kita ikuti argumen Bung Karno tentang kemajuan, sejarah dan perlunya perubahan tafsir bahkan hukum, tampak bahwa ia sebenarnya lebih cenderung menyambut pandangan yang mengintegrasikan empirisme dengan rasionalisme – dengan kata lain: pragmatisme.

Tapi dunia pemikiran Indonesia di tahun-tahun sebelum Perang Dunia ke-II, yang hampir sepenuhnya menggemakan pemikiran Eropa, tak melihat bahwa ketiga "ledakan" yang saya sebut di atas pada gilirannya bertaut dengan Pragmatisme. Tapi pada dasarnya, itulah yang mendasari pikiran BungKarno. Bagi Pragmatisme, progresi, yang juga perubahan, menyebabkan informasi lama tentang hal ihwal berbenturan dengan informasi baru. Pengetahuan, teori dan hukum pada akhirnya tak bisa dianggap sebagai sesuatu yang stabil. Kebenaran tak statis, dan tak bisa mutlak, dan tak bisa tunggal: satu hal yang dianggap benar memerlukan kerja terus menerus untuk bisa dibuat benar. Sebuah ide, sebab itu, merupakan "satu rencana kerja", a plan of action.

Dengan pandangan atau sikap pragmatis itulah Bung Karno memujikan apa yang dianggapnya elastisitas hukum Islam, seraya mengutip Ameer Ali dalam The Spirit of Islam. Hukum yang ia gambarkan "seperti karet" ini membuat Islam "bisa cocok dengan semua kemajuan", katanya. Argumen Bung Karno di bawah ini sepenuhnya artikulasi pragmatisme par excellence:

Islam tidak akan dapat hidup hampir seribu empat ratus tahun, kalau hukum-hukumnya tidak 'seperti karet'. Islam tidak akan bisa meninggalkan suasananya abad pertama, tatkala manusia tak kenal lain kendaraan melainkan onta dan kuda, tak kenal lain senjata melainkan pedang dan panah, tak kenal lain alam melainkan alamnya padang-pasir, — kalau hukum-hukumnya tidak seperti 'karet'. Zaman beredar, kebutuhan manusia berobah, — panta rei! – maka pengertian manusia tentang hukum-hukum itu adalah berobah pula. [37]

Sudah tentu, apa yang dikemukakan Bung Karno itu – apalagi dengan menggambarkan hukum Islam "seperti karet" — tak membuat tenteram penjaga ortodoksi. Bung Karno menyadari itu: "Bahwa orang akan menjadi 'onar' karena tulisan-tulisan saya", tulisnya dalam Pandji Islam di tahun 1940, "akan 'membuat dendeng' kepada saya karena tidak setuju…sudah saya ketahui lebih dahulu". Ia bersyukur ia punya "canang" yang menunjukkan "kebekuan" para ulama, bahkan "kejahatan" agama tanpa akal dan "kepincangan" agama yang semata-mata fiqih. Ia senang bahwa "canang"-nya "sudah menggoyangkan banyak sekali" jiwa-jiwa yang berpikir di Indonesia waktu itu.

Di antara jiwa yang berpikir yang tergugah, dan bereaksi, adalah Mohammad Natsir, pemikir Islam yang pernah dipuji Bung Karno dalam "Surat-Surat Islam dari Endeh". Dalam sebuah artikel yang berjudul "Sikap Islam terhadap Kemerdekaan Berpikir" yang juga dimuat dalam Pandji Islam, menunjukkan bagaimana seorang Islam reformis menjawab "canang" Bung Karno.

Natsir tak menyangkal manfaat berpikir bebas dari tradisi. Iman bisa diperkukuh dengan berpikir merdeka. Tapi, sementara akal merdeka membuka jendela agar udara segar masuk, ada bahaya bila udara itu jadi topan yang megacau dan menggoyahkan tiang-tiang agama. "Akal-merdeka-zonder-disiplin menjadikan khaos yang centang-perenang", tulis Natsir. Kemerdekaan yang tanpa otoritas (gezag) adalah anarki. [38]

Meskipun dikemukakan oleh seorang pemikir yang sering dikategorikan sebagai "modernis" (bahkan "liberal", menurut buku Charles Kurzman, Liberal Islam), [39] argumen Natsir adalah argumen klasik pandangan yang konservatif: harus ada "otoritas", posisi yang punya wibawa (gezag), karena kemerdekaan bisa mengundang kekacauan.

Tak dijelaskan, bagaimana "otoritas" itu lahir atau terbentuk di dalam sejarah: siapa atau apa saja yang membentuknya; tidakkah dengan demikian "otoritas" itu dipengaruhi ruang dan waktu, dengan segala percaturan kekuasaan dalam politik dan wacana. Dan lebih jauh lagi, tidakkah "otoritas" itu akan mengambil alih tanggungjawab orang perorang yang menafsir dan menjalankan pertintah agama? Tidakkah di sini akan terjadi apa yang dikrtitik oleh Bung Karno sebagai "ke-pendeta-an" dalam Islam?

Saya tak menemukan jawaban Bung Karno terhadap Natsir. Tapi ada satu hal yang mungkin tak akan dapat dijawabnya: kritik Natsir kepada "rasionalisme". Menurut Natsir, orang yang percaya ia dapat memecahkan misteri dengan akalnya sebenarnya tidak lagi menggunakan akal merdekanya. Ia sudah terikat dengan "taqlidisme modern" yang bernama "rasionalisme".

Dalam hal itu Natsir benar: "rasionalisme" tak dengan sendirinya membebaskan dan akal pada akhirnya terbatas untuk bisa memecahkan misteri. Tapi kesalahan Natsir adalah kesalahan Bung Karno juga: yang jadi dasar kritik terhadap Islam yang kehilangan "api"-nya bukanlah rasionalisme, melainkan pragmatisme.

Pragmatisme Bung Karno tentu saja tak menafikan iman – sebagaimana halnya William James, dalam Varieties of Religious Experience tak menganggap agama sebagai kesalahan. Pragmatisme itu menilai agama bukan benar atau tidak (dalam pengertian kebenaran sebagai kesesuaian yang penuh antara yang saya yakini dengan yang ada di luar saya, adequatio rei et intellectus) melainkan menilai agama dari manfaatnya bagi manusia.

Itulah sebenarnya dasar pandangan Bung Karno tentang Islam. Baginya, Islam akan terus ada bukan karena ia ditakdirkan abadi, dengan ajaran yang kekal, melainkan karena ia terus menerus bisa menjadi berharga. Dalam masa perjuangan antikolonialisme, harga itu terletak dalam perannya untuk menggerakkan manusia, terutama orang banyak, untuk menumbangkan apa yang tak adil. Dalam abad modern, harga itu terletak dalam kemampuannya jadi bagian zaman yang bergerak.

Salihara, 3 September 2010.

Catatan Kaki

1. Ibid., hal. 21.

2. Sukarno, An Autobiography as told to Cindy Adams, (selanjutnya: Autobiography), New York: The Bobbs Merryl Company Inc. 1965), hal. 23.

3. Lihat website The Theosophical Society International Headquarters, Adyar: http://www.ts- adyar.or/

4. Ann Laura Stoler, Carnal, Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate Colonial Rule, (University of California Press, Berkely Los Angeles, London: 2002), hal. 207.

5. Bahan terbaik tentang theosofi di Indonesia saya dapatkan dalam website "Biar Sejarah Bicara", http://serbasejarah.wordpress.com/2010/07/29 politik-kebijaksanaan-dewata. Juga dari http://www.stelling.nl/simpos/poldieng.htm, "The Politics of Divine Wisdom" (Theosophy in Asia: summary (selanjutnya: Wisdom].

6. Di Bawah Bendera Revolusi (selanjutnya disebut "DBR"), hal. 42.

7. Lih. Wisdom.

8. Ibid.

9. H. Agus Salim, dalam mengenang Tjokroaminoto, mengatakan, pada mulanya pergerakan Sarekat Islam "tidak membeda-bedakan antara rakhyat yang beragama Islam dengan yang beragama lain-lain…[ini] tidak bersifat atau bersemangat pergerakan agama, melainkan semata-mata bersifat atau bersemangat kerakyatan…kaum kromo, yang dibedakan daripada kaum pertuanan (bangsa Eropa) dan kaum ningrat (bangsa priyayi) yang menjadi tulang punggung kekuasaan penjajahan". Dikutip M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa, [selanjutnya: Dawam] Penerbit Mizan (Jakarta: 1993), hal. 238-39. Buku ini sebuah khasanah yang berharga untuk mengetahui sejarah pergerakan Islam di awal abad ke-20.

10. Autobiography, hal. 40.

11. Dawam Rahardjo, hal. 218.

12. Ibid., hal. 235.

13. Ibid., hal. 244.

14. Dahm, Bernhard, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, (selanjutnya: Dahm) LP3ES, (Jakarta: 1987), hal. viii, juga 237.

15. DBR, hal. 621-22.

16. Ibid. 618.

17. Ibid. hal. 476: "Saya percaya, saya yakin, bahwa perikemanusiaan akan selalu maju, selalu naik, selalu bertambah sedar. Bahwa perikemanusiaan itu satu-satu kali jatuh, atau beberapa kali jatuh, itu tidaklah saya anggap sebagai berhentinya sejarah."

18. Ibid., 345, 346.

19. Ibid., hal. 389

20. Dardiri Husni, Jong Islamiten Bond: a study of a Muslim youth movement in Indonesia during the Dutch Colonial era 1924 – 1942, a thesis submitted to the Faculty of Graduate Studies and Research, Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada, 1998, p. 54 (cacatan kaki).

21. Dalam kesempatan ini saya akan membatasi diri pada pandangan Bung Karno sebelum kemerdekaan – persisnya ketika ia, sebagai seorang inteligensia yang bebas, dan aktivis politik, bergulat dan harus merespons masalah-masalah pemikiran mengenai masa depan Indonesia. Pandangan ini akan terus membayang dalam pidato-pidatonya tentang Islam setelah kemerdekaan. Lihat Bung Karno, Islam, Pancasila, NKRI, (editor: Iman Toto K. Rahardjo dan Suko Sudarso), Jakarta: Komunitas Nasionalis Religius, 2006.

22. DBR., hal.10.

23. Ibid., hal. 10-11

24. Ibid., hal. 8.

25. Ibid., hal. 390.

26. Ibid., hal. 396.

27. Ibid., hal. 385.

28. Ibid., hal. 340.

29. Ibid., hal. 340.

30. Ibid., hal. 337.

31. Ibid., hal. 341.

32. Ibid., hal. 348.

33. Ibid., hal. 398-399

34. Ibid., 400.

35. Ibid., 340.

36. Ibid., 341. Dahm, yang mengangap filsafat Bung Karno tentang kemajuan "merupakan suatu percampuran yang aneh anara dinamika sosial dan konformitas kepada hukum-hukum sejarah" luput untuk tak melihat bahwa ke-"aneh"-an itu bermula dalam Hegel. Dahm, hal. 225.

37. DBR, hal. 375. Dahm menunjukkan bahwa ada yang tak tepat dalam kutipan Bung Karno atas teks The Spirit of Islam. Ameer Ali tak menyebut elastisitas hukum Islam pada umumnya; ia hanya bicara soal poligami dalam Islam. Lih. Dahm, hal. 232-33. Catatan kaki.

38. Dikutip dalam Dahm, hal. 235-36.

39. Charles Kurzman (ed.) Liberal Islam: a source book, (New York, N.Y.: Oxford University Press, 1998), hal. 59-66.

http://goenawanmohamad.com/esei/bung-karno-dan-islam.html

__._,_.___

Recent Activity:

·         New Members 2

.

Image removed by sender.

__,_._,___

Tokoh - Bung Karno

 

Melihat Bung Karno dan Sarinem dalam Bingkai

Image removed by sender.Indra Akuntono
"Ketika Bung Karno tengah menyapa dan bercakap-cakap dengan seorang "Sarinem", rakyat yang dicintainya dan diperjuangkannya. Koleksi : Dok. Kel, P Prabowo dalam pameran foto Bung Karno "Aku Melihat Indonesia".

Minggu, 26 Juni 2011 | 08:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah Anis terhenti di depan sebuah bingkai foto yang terpancang di dinding Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (25/6/2011). Sosok yang ada dalam foto itu adalah seorang pemimpin besar bangsa ini. Dia lah Soekarno, yang akrab disapa Bung Karno. Berbagai fotonya dipamerkan dalam pameran foto yang bertajuk "Bung Karno Melihat Indonesia", 13-25 Juni 2011. Foto dokumen Pranenda Prabowo lah yang membuat langkah Anis terhenti. Di dalam foto itu, terlihat Bung Karno tengah berbincang dengan seorang wanita tua. Sarinem namanya.

Dari sekian foto Bung Karno yang dipamerkan, sejumlah pengunjung memilih foto ini karena dinilai menggetarkan dan menyentuh emosi.

"Bagaimana dalam foto ini ia (Bung Karno) terlihat sangat memperhatikan rakyat kecil. Sekarang ini presiden sulit seperti itu, mungkin kareena terlalu kebanyakan pengawal," kata Anis, Sabtu (25/6/2011).

Pengunjung lainnya, Sures menilai, foto "Sarinem" sangat natural. "Tidak nampak dibuat-buat," ujarnya.

Baik Sures maupun Anis menganggap, meski hanya melihat sosoknya melalui foto, getaran semangat nasionalisme Bung kArno bisa mereka rasakan. "Bung Karno seperti mempunyai daya magis yang menebarkan pesona kewibawaan dan keramahan kepada rakyatnya. Hal inilah yang terpancar dari foto dan karya-karyanya," ujar dia.

Dalam sebuah puisinya, Bung Karno menuliskan, "Wahai engkau rakyatku, saudara sebangsaku, putra-putri dan sahabatku. Aku ingin mengajakmu mendengarkan lautan membanting di pantai bergelora. Aku ingin mengajakmu melihat awan putih berarak di angkasa. Aku ingin mengajakmu mendengarkan burung perkutut di pepuhunan. Aku ingin mengajakmu mengetahui lebih dalam bagaimana aku melihat Indonesia."

Yudha, seorang pemuda yang sangat fanatik dengan Bung Karno mengungkapkan, tokoh idolanya itu memang tidak bisa diragukan lagi sosok ketokohannya. Bung Karno dinilainya selalu bisa menempatkan diri dengan rakyatnya dan mampu mensejajarkan diri dengan para tokoh di seluruh dunia.

"Ia dekat dengan rakyat dan seorang sahabat yang tidak lupa asalnya, tidak menciptakan sekat dan memang begitulah seharusnya seorang pemimpin. Ketokohannya setara dengan tokoh-tokoh dunia pada masanya. Terutama para pemimpin yang mengkritisi kebijakan-kebijakan Amerika. Saat ini, bahkan terbentuk opini membenci Amerika adalah tindakan teroris. Stigmanya seperti itu," kata Yudha.

Setelah di Jakarta, "getaran" Bung Karno juga akan sampai di Bandung, Jawa Barat. Pameran foto yang sama akan digelar di Bandung pada 24-30 Juni 2011.


Indra Akuntono

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/06/26/0832421/Melihat.Bung.Karno.dan.Sarinem.dalam.Bingkai

Minggu, 14 Agustus 2011

Wawancara U Magazine dengan Anies Baswedan


U Magazine, Mei 2011

Anies Baswedan
Mencetak Pemimpin

AKHIR April lalu, Aula Profesor Soedarto di Universitas Diponegoro,
Semarang, sesak melampaui daya tampungnya. Sekitar seribu enam ratus
anak muda sudi berimpitan demi mendengar pidato Anies Rasyid
Baswedan.

Intisari seluruh pidato itu mengajak kaum muda agar mau "hidup
susah": pergi ke pelosok-pelosok Indonesia, hidup tanpa listrik,
bahkan tanpa air "apalagi sinyal telepon"selama setahun penuh.

Semua yang dia sampaikan adalah bagian dari program Gerakan Indonesia
Mengajar yang digagas Anies sejak 2009. Bersama timnya, rektor
termuda Indonesia ini mendatangi kampus-kampus di seluruh Indonesia.

Dia merekrut para lulusan terbaik untuk menjadi guru selama setahun
di desa-desa Indonesia yang jauh dan terpencil. Untuk angkatan ketiga
tahun ini, sudah seribu enam ratus orang melamar. "This is beyond our
expectation," kata Anies.

Senang karena bisa menularkan optimisme kepada banyak anak muda
melalui Indonesia Mengajar, Anies mengaku belajar optimistis dari
para pendiri negeri ini. Termasuk dari kakeknya sendiri, Abdurrahman
(A.R.) Baswedan, mantan anggota Konstituante dan Menteri Penerangan
zaman Sukarno.


****

Lahir di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969, dia tumbuh di rumah sang
eyang di Jalan Dagen, Yogyakarta. Ayahnya, Rasyid Baswedan, pernah
menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, dan ibunya, Aliyah
Rasyid, guru besar Universitas Negeri Yogyakarta.

Lingkungan serba akademis adalah dunia yang dia kenal sejak kanak-
kanak. Dan dunia akademi pulalah yang menyertai dia, praktis
sepanjang hidupnya.

Lulus Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada 1995, Anies
meraih beasiswa Fulbright untuk pendidikan master bidang Keamanan
Internasional dan Kebijakan Ekonomi University of Maryland, College
Park, Amerika Serikat. Program doktor dia tunaikan di Departemen Ilmu
Politik Universitas Northern Illinois.

Kembali ke Tanah Air, Anies dilantik menjadi Rektor Universitas
Paramadina pada 2007. Aneka peluang terbentang di hadapannya dari
pendidikan hingga "menyerempet" politik.

Dialah moderator debat calon Presiden dan Wakil Presiden RI di
televisi pada 2009. Berpola tutur santun dan berbahasa jernih-tertata
membuat Anies kian luas dikenal di dalam negeri maupun di latar
internasional.

Majalah Foreign Policy memasukkan namanya dalam daftar 100
intelektual publik dunia pada 2008 (bersanding antara lain dengan
Noam Chomsky, Al Gore, Muhammad Yunus, dan Amartya Sen).

World Economic Forum di Davos menunjuk dia sebagai salah satu Young
Global Leaders pada 2009. Dan majalah Foresight di Jepang memilihnya
sebagai satu dari 20 tokoh pembawa perubahan dunia 20 tahun
mendatang, bersama antara lain Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin,
Presiden Venezuela Hugo Chavez, serta anggota parlemen dan Sekretaris
Jenderal Indian National Congress Rahul Gandhi.

Anies mengaku rileks menanggapi aneka penghargaan itu. Karena, "Saya
tak pernah mencari atau mengajukan diri untuk penghargaan apa pun,"
ujarnya. Dan, "Energi akan habis untuk menjaga citra," dia meneruskan
sembari tertawa, bila penghargaan dipandang sebagai beban.

*****

Wartawan U-Mag Hermien Y. Kleden dan Andari Karina Anom, serta
fotografer Ijar Karim, mewawancarainya dalam dua kesempatan: di
kantor Gerakan Indonesia Mengajar di Kebayoran Baru, dan di rumahnya
di Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Pertanyaan tentang pendidikan dan politik dia ladeni dengan serius,
sedangkan hal-hal pribadi dijawab Anies dengan rileks, senyum lebar,
dan diselingi tawa berderai.

Berikut ini petikannya.


U Magazine (U) :
Apa yang membuat Anda yakin Gerakan Indonesia Mengajar bisa berhasil?

Anies Baswedan (ABW) :
Kapan pun kita bicara Indonesi "dari hotel bintang lima hingga
warteg" isinya keluhan dan daftar kegagalan melulu. Ketika republik
ini merdeka, populasi buta hurufnya 95 persen. Para founder (kita)
punya semua persyaratan untuk pesimistis: keterbelakangan dan
kemiskinan.

Nyatanya, mereka optimistis. Optimism is contagious. Jadi jangan
hanya mengeluh, tapi tak mau terlibat. Hari ini kita punya banyak
persyaratan optimistis. Salah satunya lewat anak-anak muda pengajar
(dalam Gerakan Indonesia Mengajar).

U : Punya ide menularkan optimisme?

ABW :
Kalau kita tanya apa kekayaan Indonesia, hampir pasti orang menjawab
laut, gas, bahan tambang, dan sejenisnya. Mimpi saya, suatu saat
nanti jawabannya adalah people!

Manusia menjadi aset jika mereka cerdas, salah satunya lewat
pendidikan. Dan mendidik adalah tanggung jawab tiap orang. Yang
penting go out and do something.


U : Bagaimana meyakinkan anak-anak muda itu agar mau ke pelosok?

ABW :
Mereka sebenarnya bukan tak mau menjadi guru, melainkan tak mau jadi
guru seumur hidup. Profesi guru selalu diasumsikan seumur hidup.
Kalau begitu, waktunya dibikin pendek, satu tahun. Attract the best
menjadi guru setahun, lalu ganti yang lain.

Ini bukan hal baru. Pada 1952, selama sepuluh tahun ada 1.400 anak
muda republik ini dikirim ke 161 kabupaten di seluruh Indonesia untuk
mengajar selama dua tahun.


U ; Impresif betul. Apa bisa diterapkan di masa kini?

ABW:
Insya Allah bisa. Program ini bukan untuk mengisi kekurangan guru,
melainkan mengajak anak-anak terbaik (Indonesia) hidup bersama rakyat
selama setahun. Tujuannya? To create future leaders with world class
competence and grass root experience.

Kebanyakan anak-anak itu tahu London dan New York, tapi tidak tahu
Halmahera dan Tulangbawang. Kami ingin memberi kesempatan pada
anak-anak yang punya kompetensi world class untuk mengenal daerah
pedesaan Indonesia.

U : Apa yang bisa dihasilkan dari proses ini?

ABW:
Anak-anak muda Indonesia yang berbeda. Bukan hanya satu orang, tapi
satu generasi. Mereka kelak akan menjadi diplomat, CEO, politikus,
jurnalis, apa saja. Tapi mereka bisa berkata dengan  penuh
kebanggaan: "I have served my nation."

Selama ini yang bisa bilang begitu hanya orang-orang berseragam. Jadi
(Gerakan Indonesia Mengajar) bukan soal mengajar, melainkan menjadi
one of the suppliers for future leaders in Indonesia.

U : Jangan-jangan banyak anak muda tertarik bergabung karena
pendekatan Anda, dan bukan karena programnya?

ABW :
Bukan karena saya, melainkan karena semua yang terlibat. Itu
sebabnya, kami menyebutnya Gerakan Indonesia Mengajar. Ini satu
gerakan sosial untuk pendidikan. Kata-kata Bung Hatta "yang menjadi
slogan kami," mendidik adalah memimpin. Itu yang kami sampaikan
kepada anak-anak muda itu.

U : Jadi ini soal komunikasi?

ABW :
Banyak hal baik dan mulia di negeri ini yang tak dikomunikasikan
dengan baik. Misalnya, mau jadi dokter PTT (pegawai tidak tetap),
skemanya seperti hukuman. Kalau dekat kota waktunya 2 tahun, agak
jauh 1 tahun, di pelosok 6 bulan.

Mereka menghindar dikirim ke pelosok karena program ini dilihat
seperti hukuman, bukan suatu kehormatan. Padahal mengobati anak
sakit, lalu melihat kebahagiaan terpancar di mata ibunya, adalah
kehormatan, entah di kota atau pelosok. Ini yang saya tekankan di
Indonesia Mengajar.

U : Bagaimana respons terhadap Indonesia Mengajar pada tahun ketiga
ini?

ABW :
Terus terang saya agak kaget—karena melebihi yang kami bayangkan.
Anak-anak berlomba-lomba mendaftar, bukan untuk tinggal di tempat
ber-AC dan mobil mewah, melainkan di pelosok tanpa listrik. Kemarin
kami bikin acara di Semarang, yang hadir 1.600-an orang.

Selama ini kita sering dengar tentang remaja yang bermasalah ini dan
itu, padahal banyak juga yang berniat baik. They are willing to serve.

U : Bisa beri contoh?

ABW :
Ada anak yang baru mengajar satu bulan, mendapat panggilan dari
Boston Consulting Group. Dia sempat dilema, mau pilih yang mana.
Ternyata dia memutuskan menolak Boston. Wah.... Kalau menolak Boston,
lalu memilih McKenzie, okelah. Tapi ini pilihannya mengajar di
kampung.

Padahal lokasi mengajarnya di Passer, Kalimantan Timur, yang amat
berat, karena di sana mereka tak menghargai pendidikan. Oh my God!
Hal-hal seperti ini membuat kita punya alasan untuk tetap optimistis.

U : Boleh tahu Anda ini memposisikan diri seperti apa?

ABW : Bagi saya, yang penting bukan posisi, melainkan peran. Aktor
Deddy Mizwar, ketika jadi raja atau pengemis, (perannya) sama-sama
mengesankan.

U : Maksudnya?

ABW :
Saya ingin menjalankan peran dengan baik. Tapi saya tidak mengejar
posisi tertentu. Saya tidak mengejar menjadi Rektor (Universitas
Paramadina). Ketika dilantik menjadi rektor pada 2007, saya bilang: I
didn't fight for this position, but I will fight to do the job.

U : Posisi apa yang tak ingin Anda kejar?

ABW :
Any position.

U : Even for president?

ABW :
Even for president. Yang penting kita bisa menginspirasi orang, apa
pun posisinya. Tapi harus dibedakan antara siap dan ingin. Kalau
ditanya, are you ready? Yes I am. Tapi apakah saya ingin? Itu soal
lain. Di republik ini, kita oversupply dengan orang yang ingin,
padahal belum tentu siap.

U : Apa prioritas Anda sekarang: bidang pendidikan atau...?

ABW :
Saya tidak pernah merencanakan menjadi apa pun. Dalam perjalanan
hidup saya, banyak yang terjadi tanpa saya rencanakan. Ia datang
begitu saja, dan kalau kita tidak siap, akan lewat.

Intinya, seperti kata dramawan Stanislavski: empower yourself, be
able to contribute a lot, then opportunity will come.

U : Sejumlah orang menyebut Anda safety player, karena tak pernah
mengambil posisi berseberangan dengan siapa pun. Ada komentar?

ABW :
Karena tak berada di partai, tak ada keputusan politik yang membuat
saya berbeda. Tapi bukan karena saya menghindar atau takut untuk
berbeda. Not at all. Perbedaan bukan barang baru bagi saya.

Tapi harus dengan cara berwibawa, seperti dicontohkan para pejuang
kita. Mereka berdebat terbuka, tapi tetap akrab. Apakah keakraban Pak
Natsir dengan Pak Kasimo dianggap safety playing?

Berbeda tak harus mengambil jarak. Tradisi inilah yang harus kita
hidupkan kembali. Harus dibedakan antara safety player dan being able
to communicate to everyone.

U : Cukup kuatkah Anda bila mesti beralih dari pendidikan ke dunia
politik yang jauh lebih keras?

ABW :
Kekuatan itu proses. Tak bisa mendadak. Kita sering mengasosiasikan
sikap tegas dengan kasar, karena kita sering ketemu ketegasan dengan
pendekatan militer. Padahal (para founder negara kita) adalah
orang-orang tegas tapi ekspresinya amat santun dan tanpa kekerasan.

Saya membayangkan orang bisa berbeda tanpa saling mengintimidasi,
tanpa kekerasan. Saya tidak bisa mengatakan saya kuat, itu proses,
makin dibenturkan makin tangguh.

U : Anda merasa punya modal untuk ke politik?

ABW :
Tadi malam saya berdiskusi tentang trust. Rumus trust adalah:
competency + integrity+ intimacy - self interest. Meski (memiliki)
competency, integrity, dan intimacy, seseorang bisa drop kalau self
interest-nya terlalu banyak.

Banyak pemimpin di Indonesia yang terlalu besar self interest-nya,
sementara para pendiri bangsa kita adalah orang-orang sudah selesai
dengan diri sendiri. Mereka tak lagi bicara apa yang saya dapat dari
sini. Kita kini kekurangan orang yang sudah selesai dengan dirinya.


U : Sejumlah penghargaan internasional yang Anda terima, apakah
terasa membebani?

ABW :
Biasa saja karena saya tidak pernah meminta atau mengajukan diri
untuk mendapatkannya. I take it easy, tidak merasa terbebani. Kalau
itu dijadikan beban, energi saya bisa habis hanya untuk menjaga
citra. Jadi jalani saja, biarkan orang menilai.

*****

ANIES baru berumur tujuh tahun saat ia dikeroyok sekelompok anak
sebayanya. Ibunya melintas dan melihat kejadian itu. Alih-alih turun
tangan, sang ibu malah terus memacu sepeda motor dan pulang. Sampai
di rumah, ibunya menangis, dan seorang budenya bertanya: kenapa. "Itu
si Anies dikeroyok orang."

"Lho, kok tidak ditolong," kata si bude. "Biar dia menghadapi
sendiri, biar dia belajar."

Sang bude menceritakan kejadian itu setelah Anies dewasa. Anies
mengaku tak ingat kejadian itu tapi dia amat terkesan oleh cara
ibunya mendidik: karena melihat situasinya terukur, dia tak menolong
anaknya, walau sebenarnya amat sedih.

Sang ayah juga setali tiga uang dalam mendidiknya. Pernah suatu
ketika di masa SMP, Anies disetop polisi karena membawa sepeda motor
tanpa SIM. Anies pulang, mengadu kepada bapaknya. Sang ayah kemudian
mengantarnya ke kantor polisi. tapi meminta anaknya menyelesaikan
sendirian semua urusan dengan polisi.

Anies mengaku beruntung tidak tumbuh dalam kemanjaan, dia dididik
dengan tegas. "Saya amat bersyukur dibesarkan oleh keluarga seperti
itu," katanya.

*****

U : Sejak dulukah Anda berniat jadi pendidik?

ABW :
I am very much blessed dibesarkan oleh kakek-nenek dan orang tua yang
baik. Apa pun yang Anda lihat pada diri saya sekarang adalah cermin
dari pahala mereka. Tapi kami tidak pernah dididik untuk menjadi
guru.

Saya datang dari keluarga aktivis. Rumah kami adalah home of the
activist. Sehari-hari yang saya lihat adalah diskusi dan perdebatan
keras tentang aneka topik: dari masyarakat sampai negara.

U : Anda paham apa yang mereka bicarakan?

ABW :
Of course not, I was just standing there and listening. Tapi saya
bersyukur tumbuh di lingkungan amat dinamis dan penuh diskusi.

U : Kami dengar Anda sebenarnya ingin jadi musisi?

ABW :
Ceritanya begini, waktu kecil, saya selalu menonton drum band 17
Agustus-an di Jalan Malioboro. Yang main anak-anak Akademi Angkatan
Udara. Keren sekali mereka. Saya terkagum-kagum. That's my hero. Saya
mau seperti mereka kalau sudah gede nanti.

Minggu lalu saya datang ke HUT Angkatan Udara di Halim, saya bilang
ke anak saya, "Dulu Bapak ingin seperti itu." Tapi sampai sekarang
saya bahkan tidak bisa main musik, ha-ha-ha.

U : Apa kesenangan di masa kecil?

ABW :
Waktu SD, saya sering naik sepeda ke perpustakaan Kedaulatan Rakyat,
pinjam buku-buku. Saya senang baca buku biografi. Hampir semua tokoh
yang saya baca lahir dan besar di Bukittinggi, seperti Hatta, Sjahrir
dan Sjafruddin.

Saya kemudian pergi ke sana karena ingin melihat seperti apa Jam
Gadang, Koto Gadang, Ngarai Sianok di Kota Bukittinggi. Saya ingin
tahu mengapa kota ini menghasilkan banyak orang besar.

U : Bagaimana kedekatan dengan Kakek A.R. Baswedan?

ABW :
Waktu kelas III atau IV SD, saya rutin mengetik surat-surat kakek
saya. Di akhir surat, dia selalu bilang: surat ini saya diktekan dan
diketik oleh cucu saya, Anies.

Saya amat bangga, walaupun saya tahu itu juga caranya untuk bilang ke
orang: there are many mistakes here. Ha-ha-ha... biasanya, setelah
saya ketik, surat dia koreksi lagi dengan dicorat- coret. Setelah itu
saya yang mengirim ke kantor pos.

U : Seperti apa Anda mendidik anak- anak di rumah?

ABW :
Situasinya sekarang berbeda. Kalau lagi libur, orang secara sadar
terpaksa pergi ke tempat yang gampang, misalnya mal. Kami sering ke
museum dan sering menjadi satu-satunya pengunjung. Anak sulung saya
Tia --kini 13 tahun-- memilih liburan seminggu lebih di sebuah desa
di Majene, Sulawesi Barat.

U : Anda mengarahkan pilihan itu?

ABW :
Ada beberapa pilihan, tapi itu (ke Majene) kemauan dia sendiri—dan
bisa melatih dia hidup bersahaja. Saya berusaha mendekatkan anak
dengan kehidupan sehari-hari. Kakek-nenek dan orang tua saya
terpelajar, tapi bukan orang kaya. We live a very decent life, dan
saya menerapkan hal itu ke anak-anak.

U : Umpamanya?

ABW :
Kalau ke sekolah (di Al-Izhar Pondok Labu)—anak saya diantar sepeda
motor. Sedangkan semua temannya diantar mobil. Dia termasuk tiga
orang di kelasnya yang tak pakai BlackBerry. Baru minggu lalu dia
dapat, bekas (milik) istri saya.

U : Rupanya Anda tidak suka bermewah-mewah?

ABW :
Anda tahu saya beli baju ini di mana? (Anies memegang kemeja
birunya.) Ini dari Pasar Ular. Itu pasar yang saya datangi sejak
masih kuliah, so what?

Semua dasi saya beli di Yogya, harganya sepuluh ribu per dasi. Ini
dasi bekas dari Jepang, diperbaiki sedikit dan jadi bagus lagi.
Kenapa mesti beli yang mahal? Kita membeli barang karena fungsi,
bukan karena mahal.

U : Apakah anak-anak Anda bisa terima hal ini?

ABW :
Pernah ada cerita lucu. Anak saya nomor dua, Kaisar, saya belikan
sepatu di Pasar Ular. Itu sebenarnya asli. Tapi, kalau kelebihan
produksi dan ada cacat, pasti dilempar ke secondary market. Lalu
Kaisar bilang: my friend has the real one, ha-ha-ha...

Pernah dia mengeluh karena sepatu bola yang dibeli di Pasar Rumput
solnya mudah copot. Saya bilang, itu bukan karena Pasar Rumputnya,
melainkan lantaran tidak dijahit. Begitu sol dijahit, selesai
persoalan, sepatu jadi tahan lama. Saya ingin mengajar anak-anak
membeli sesuatu karena fungsinya, bukan karena itu mahal.

U : Jadi Anda tidak pernah membawa anak ke mal?

ABW :
Tentu pernah. Kami tidak mendorong gerakan anti-mal. Kadang-kadang
mereka melihat sesuatu di mal, lalu memintanya sebagai hadiah ulang
tahun. Oke, kami menunggu sampai ulang tahun, dan membelikannya. Tapi
saya mau mengajari anak-anak menikmati apa saja, dan tidak harus di
mal.

*****

SEORANG teman di sekolah menengah sekali waktu bertanya kepada Anies,
benarkah dia tak punya pacar di masa SMA? Si teman kemudian
meneruskan penelusurannya kepada kawan-kawan mereka, mencari "saksi"
yang tahu pacar Anies di masa sekolah. Ramai mereka membahas, dan
hasilnya: tak ada yang ditaksir Anies.

Begitulah. Meski dikerubungi sejumlah fan wanit, "banyak yang
diam-diam mengirim surat cinta" Anies memilih sendirian di masa SMA
dan kuliah. Dia mengaku banyak berkonsultasi kepada ibu dan neneknya
tentang wanita. "Saya tak mau membuat wanita berharap-harap, lalu
menjatuhkan harapan itu," katanya.

Selain itu, ujarnya, "Saya agak sombong sedikit kalau memilih
pasangan, ha-ha-ha..."

Dia mengaku "kena batunya" saat nyaris ditolak Ferry Farhati, sepupu
yang kemudian menjadi istrinya. Kesibukan Anies yang tiada henti
sempat membuat Ferry cemas sang kekasih kelak tak punya waktu untuk
keluarga. Semasa pacaran, mereka jarang bersama- sama. "Bukan karena
tak mau, tapi tak sempat," kata Anies.

Kini, keduanya telah dikaruniai empat buah hati: Mutiara Annisa, 13
tahun, Mikail Azizi (10), Kaisar Hakam (5), dan Ismail Hakim (2).
Keluarga ini menempati sebuah rumah serba hijau dan ramai dengan
cuitan burung di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Di halaman belakang dipasang dua ayunan dan dua tempat bergelantung
seperti yang dipakai pesenam anak-anak. Bahkan ayah-ibu keempat anak
ini bebas bergelayutan di pohon dan berlarian di rumput. "Walau
tinggal di Jakarta, saya tetap ingin menciptakan suasana kampung,"
tutur Anies.

Dia memamerkan burung beo, cucakrawa, dan anis (ya, ada burung dengan
nama serupa pemiliknya), yang riuh berkicau di taman belakang. Sang
beo sesekali merepet: How are you, nggolek bojo ayu, seakan
mencerminkan pemiliknya yang berbahasa Jawa dan Inggris.


*****

U : Banyak yang sudah Anda peroleh: prestasi, kepandaian, keluarga
bahagia. Jadi apa yang kurang?

ABW :
Kalau saya merasa my life is full, there is no more space to grow.
Pertanyaan itu kalau dibalik menjadi: what I have only this and this.
Banyak yang belum saya capai, seperti ide, yang saya selalu merasa
belum cukup. Tapi saya merasa bersyukur karena selalu ada keinginan
untuk tumbuh.

U : Kira-kira godaan apa yang tak bisa Anda tolak?

ABW :
When people around you are no longer able to be truthful. Saya sering
khawatir banyak pemimpin yang berjarak dari kenyataan, dari problem
masyarakat. Saya khawatir kalau saya tanpa sadar berjarak.

Ada pelayan kantor dan satpam, yang sebenarnya hanya berbeda karena
fungsi, tapi tanpa sadar kita berjarak dengan mereka. Ini yang sering
saya khawatirkan.

U : Bagaimana dengan uang, harta, atau perempuan?

ABW :
Kalau soal perempuan, silakan tanya teman-teman saya di sekolah
menengah tentang Anies girlfriend. Jawabannya pasti tidak ada. Minggu
lalu, saya syuting di TV One, kebetulan produsernya teman SMA saya.
Dia bilang: Nies, kowe tenanan ora nduwe wedhok (dari bahasa Jawa,
Nies, benar kamu tidak punya pacar, Red.) di SMA?


U : Benar nih enggak ada?

ABW :
Kalau ditanya, apakah saya tak tertarik pada seseorang waktu itu?
Come on, tentu saja ada. But if I am able to control people who are
approaching me, I feel: yes, I win! Ha-ha-ha....

Selain itu, saya amat berhati-hati di urusan yang satu ini. Saya
sering ngobrol dengan ibu atau nenek. Mereka bilang, menunjuk contoh,
itu perempuan baru ditinggal pacarnya atau bercerai dari suaminya.
Maka saya tak mau bermain-main.

U : Kabarnya banyak dapat surat cinta dari para fan.

ABW :
Ini agak membanggakan diri. Well, I was rather popular in high
school. Saat itu saya mengisi acara Tanah Air di TVRI Yogya, banyak
surat dari fan.

Tidak saya tanggapi karena ibu saya yang banyak memberi petunjuk soal
perempuan. Lalu saya ke Amerika ikut program pertukaran pelajar AFS
(American Field Service) selama setahun.

U : Jadi Anda "akhirnya" jatuh cinta ke Ferry, sepupu Anda?

ABW :
When I decide to marry someone,I think about the atmosphere of family
I would like to have. Of course she has to be beautiful, smart, and
understands the challenge we face.

Saya lihat semua itu ada di Ferry. Memang tidak mudah, karena waktu
saya habis mengurusi macam-macam. Tanya sama Ferry, kapan kami
pacaran. Nyaris enggak sempat. Untungnya dia bersedia. Saya amat
bersyukur dengan adanya Ferry dan anak-anak.

U : Dan awalnya Ferry sempat menolak Anda?

ABW :
Ha-ha-ha...iya tuh, berani-beraninya dia nolak Anies.

U : Kalau bepergian, oleh-oleh apa yang Anda bawakan untuk Ferry
selain buku?

ABW :
Biasanya buku memang, terutama buku parenting, karena dia psikolog
spesialis keluarga dan parenting. Tapi saya juga sering kasih
oleh-oleh bros atau kalung, terutama kalau dari tempat unik, misalnya
dari Zanzibar. [ ]

__._,_.___

Recent Activity:

Web Address http://groups.yahoo.com/group/kahmi_pro_network/

MAKLUMAT:

1. MILIS INI TIDAK MENERIMA SEGALA BENTUK ATTACHMENT.
2. AGAR MENULISKAN NAMA ASLI (PANGGILAN ATAU NAMA LENGKAP).
3. TIDAK MENGUMBAR PERMUSUHAN DAN/ATAU MENGGUNAKAN KATA-KATA KASAR.
   dan
4. TIDAK MENYERTAKAN POSTING SEBELUMNYA ATAU YANG DITANGGAPI SECARA 
   KESELURUHAN, CUKUP EMAIL BAGIAN/PARAGRAF YANG INGIN DITANGGAPI.

.

Image removed by sender.

__,_._,___