Kamis, 29 April 2010

Ketuaan bisa dihambat


Buat yang ingin awet muda,

Beberapa waktu yang lalu di acara pengajian kompleks KARINDA, Dr. Djoko Marjono SPPD, SPJP, FASE yang juga penghuni kompleks KARINDA, dan pengasuh acara kesehatan di Radio Delta FM setiap Jumat pagi, memberikan ceramah, sebelum ceramah dari Ustadz dimuali.

Inilah isi ceramah beliau yang sempat saya tulis, yang sudah diedit oleh beliau.

PROSES KETUAAN

Setiap orang yang tentu ingin terlihat awet muda. Menurut dr. Djoko Marjono, ketuaan adalah suatu progressive inflammation atau keradangan progresif yang bisa dimundurkan.

Tentang teori ketuaan:

1. Teori Wear and Tear (dipakai – sobek)

Contoh: Ibu-ibu yang mengalami osteo-artrosis karena permukaan sendi kasar, lalu sobek. Lutut jika digerakkan berbunyi.

Dapat dicegah dengan makanan yang mengandung glukosamin seperti kikil, cakar ayam. Ada dalam lendirnya, ini bukan kolesterol.

Terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat mengakibatkan sel-sel pankreas lelah, mengakibatkan diabetes.

2. Teori Radikal Bebas

Terdapat dalam bahan tambahan makanan (pengawet, pemanis buatan, pewarna).

AC mengakibatkan sick building syndrome karena jamur tumbuh subur dalam filter AC, terutama yang lama dan jarang dibersihkan.

Visual Computer Syndrome (VCS) karena gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh layar komputer. Untuk menghindari dipakai hukum 20 yaitu 20 menit di depan komputer, diseling 20 detik menghindar dari layar komputer.

Radikal bebas bisa ditangkap dengan antioksidan. Yang penting dalam hidup ini, sesedikit mungkin terpapar radikal bebas, dan suplementasi antioksidan supaya radikal bebas yang masuk dinetralisir.

3. Teori Neuro Hormonal

Hubungan syaraf dengan hormon dikendalikan oleh kelenjar hipofise yang sebesar kacang, terletak di antara kedua alis mata agak ke atas. Ini adalah konduktor atau pengatur semua hormon.

Orang yang stres fungsi hipofisenya terganggu sehingga dapat mengarah ke diabetes.

Orang selalu bersyukur dengan mengucapkan Alhamdulillah maka keadaan hormonnya bagus sehingga fungsi organ lebih bagus.

Menurut penelitian orang yang suka berderma hormon adrenalinnya menurun sehingga denyut jantung menjadi lebih tenang. Insya Allah usia sel maupun organ lebih panjang, walhasil umur lebih panjang.

Dengan keseimbangan tersebut proses ketuaan bisa diundurkan, dicegah, distop.

Proses ketuaan yang ditandai dengan rambut rontok, kerut-kerut di lingkar bawah mata, bintik-bintik ketuaan (age spot) tidak bisa dihilangkan dengan obat luar. Bisa diperbaiki atau dihentikan dengan olahraga teratur dan pola makan yang baik, dengan konsumsi makanan yang banyak mengandung antioksidan.

Bahan makanan yang memperbaiki proses ketuaan:

1. Ikan, karena kandungan Omega-3 dan Magnesium

Omega-3 mempengaruhi perkembangan otak anak-anak, jika diberikan sewaktu masih dalam kandungan sampai balita, mood lebih baik, refleks-refleks lebih bagus. Omega-3 mencegah penyakit kanker dan koroner.

Magnseium mengurangi serangan jantung, terdapat dalam ikan laut. Ikan darat yang mengandung omega-3 dan Mg tinggi adalah ikan patin, ikan kembung, ikan tude.

2. Teh hitam

Teh Indonesia paling bagus untuk pencegahan koroner dan stroke.

Disarankan minum teh hitam 6 cangkir sehari (sekali minum 2 cangkir). Dapat menurunkan kolesterol dan LDL. Bersifat antioksidan yang bagus sekali.

Diminum 15 menit pertama setelah dibuat, kalau terlalu lama banyak mengandung tanin (zat samak). Teh hijau hanya untuk radikal bebas, tetapi untuk anti aging lebih baik teh hitam.

3. Madu, Bee product.

Lebah adalah binatang tidak mengalami evolusi dari sejak jaman purba. Dalam lendirnya terdapat anti jamur, anti bakteri, anti virus. Rumah lebah (propolis) untuk menyimpan larva, dapat dikonsumsi untuk mencegah proses radang. Seperti diketemukan para ahli akhir-akhir ini proses ketuaan adalah proses "inflamasi" atau keradangan akibat radikal bebas yang berujud jamur, virus, dll.

Bee propolis dapat membatasi proses tersebut sehingga usia insyaallah lebih panjang.

4. Buah-buahan dan sayuran segar.

Disarikan dari ceramah dr. Djoko Marjono DSPD,DSPJ,FASE

Oleh:

Ibu Djamaludin

.

__,_._,___

Rabu, 28 April 2010

Memimpikan Indonesia Yang Lain

http://www.indrapiliang.com/2010/04/28/ijp-memimpikan-indonesia-yang-lain/


Memimpikan Indonesia Yang Lain
(Materi Diskusi Panel di PSJ UI, 29 April 2010)
Oleh
Indra Jaya Piliang
Mensesneg Kabinet Indonesia Muda

Saya percaya bahwa Indonesia tidak hanya bangunan kata-kata yang muncul dalam naskah konstitusi dan pidato-pidato para pejabat negara. Indonesia, sebagai kata, tentu sama di manapun digunakan. Tetapi Indonesia sebagai imajinasi dalam benak setiap manusia Indonesia, tentulah berbeda-beda. Indonesia sebagai bangunan kata bisa runtuh seperti rumah kartu, sementara sebagai imajinasi tidak akan pernah habis-habisnya. Romawi, Majapahit, Sriwijaya, Uni Sovyet, sampai Yugoslavia tidak lagi ada dalam peta bumi, pecah ke dalam beragam bentuk negara atau bekas kerajaan/negara, karena ketiadaan imajinasi itu.

Saya berani bertaruh bahwa sebagian besar orang di dalam ruangan ini tidak puas dengan Indonesia yang sekarang. Kalau tidak, mengapa juga kita membayangkan Indonesia yang lain, sesuai dengan tema diskusi ini? Dan yang paling penting adalah peserta diskusi berasal dari kelompok yang dulu termasuk kategori elite Indonesia: mahasiswa. Kini, setidaknya, anda di sini adalah bagian dari kelas sosial baru yang sedang bersiap diri dengan kelengkapan talenta, keahlian, idealisme dan imajinasi tentang Indonesia yang lain. Tetapi, dengan kemajuan teknologi informasi, anda yang ada di sini sama cepatnya atau sama lambatnya dalam berkejaran mendapatkan berita atau ilmu apapun di luar sana, terutama lewat internet. Dulu, buku terbatas dimiliki oleh para dosen atau profesor. Kini, buku berserakan di banyak tempat, bahkan sampah-sampah digital.

Apa Indonesia yang lain itu?

Dari sisi pemerintahan, berhubung saya adalah seorang Menteri Sekretaris Negara Kabinet Indonesia Muda (KIM), maka yang terbayang adalah pengelolaan administrasi negara secara transparan. Istana Negara tidak boleh menjadi rumah hantu yang diam atau markas bagi serdadu yang mengarahkan senapan ke jalanan. Lembaran-lembaran negara dikabarkan ke setiap penjuru, terutama dari level pemerintahan pusat sampai ke desa, lewat teknologi informasi. Kalaupun lembaran negara itu nauzubillah tebalnya, staf di kantor Mensesneg bisa membuat semacam rangkuman, terutama yang penting buat kepentingan dan hajat hidup rakyat banyak. Tidak boleh ada satu dokumenpun yang sudah memiliki kekuatan mengikat orang lain disembunyikan atas nama rahasia negara.

Yang juga saya hindari sebagai Mensesneg adalah kegiatan politik. Pertama saya dilantik, maka saat itu juga saya menyatakan pengunduran diri secara terbuka sebagai pejabat politik. Saya merasa tidak perlu lagi melibatkan diri dalam berjenis organisasi, baik sosial, bisnis ataupun politik. Biarlah pekerjaan itu dilakoni oleh anak-anak muda di bawah usia saya, sehingga cadangan kepemimpinan nasional tetap terjaga. Dalam masa yang pendek itu, saya akan melaporkan seluruh kekayaan pribadi dan keluarga. Biar masyarakat tahu bahwa memimpin bukanlah tugas untuk menjadi kaya. Memimpin adalah jalan untuk mengarah kepada level kehidupan berikutnya yang lebih tinggi, yakni tingkatan seorang pertapa atau sufi. Memimpin, kata H Agus Salim yang disebut cerdas oleh Raden Ajeng Kartini itu adalah jalan untuk menderita.

Tentu di sekeliling saya akan dipenuhi oleh para profesional, terutama para ahli di bidangnya. Untuk kepentingan negara, mereka layak digaji bahkan lebih tinggi dari seorang menteri. Karena mereka dibajak dari korporasi-korporasi multi-nasional, harga pemikiran dan profesionalitas mereka harus setara. Saya mungkin akan melibatkan sedikit senior untuk menemukan kearifan dalam kebijakan. Tetapi juga tentu dipenuhi oleh para junior yang telah belajar puluhan tahun, baik di dalam negeri ataupun diluar negeri. Syarat yang sama akan saya perlakukan buat mereka, yakni tidak boleh ikut kegiatan politik, sosial ataupun ekonomi. Ya, bolehlah sesekali mereka menjalankan kegiatan olahraga dan seni pavoritnya, tetapi tanpa mengalami conflict of interest dengan kepentingan apapun. Untuk meringankan beban pekerjaan, mereka sesekali berlibur ke tempat yang terjangkau anggaran.

Tugas utama mereka adalah bukan membuat rantai birokrasi yang semakin rumit dengan naskah-naskah atau dokumen-dokumen yang menumpuk, melainkan mempersingkatnya. Kalau perlu, semua urusan bisa dikerjakan dalam hitungan menit dan jam, bukan bulan dan tahun. Sedangkan tugas lain adalah bagaimana mereka bisa mengajak masyarakat, terutama dari segmen kelompok muda yang kritis, bisa mengawasi dengan baik kebijakan-kebijakan yang saya buat.

Indonesia adalah negara yang luas. Saking luasnya, tidak cukup waktu bagi seorang menteri, apalagi Mensesneg, untuk mengunjungi setiap pulaunya. Bayangkan, dengan jumlah pulau besar dan kecil mencapai 18.000 lebih, butuh 180 tahun untuk mengunjungi 100 pulau dalam setahun. Paling banter, saya sebagai menteri mengunjungi 33 provinsi dalam setahun, terutama untuk memeriksa jalur-jalur peredaran surat-menyurat yang terkait dengan bidang saya. kalau ada kemacetan sebuah surat keputusan presiden menyebar, saya akan cek dimana letak kemacetan itu. Saya tidak ingin lagi ada anggota-anggota DPRD atau kepala-kepala dinas pergi ke Jakarta menghabiskan uang banyak, hanya untuk mendapatkan fotokopi sebuah surat atau peraturan atau undang-undang. Artinya, saya bisa mengunjungi 3 provinsi dalam sebulan. Syukur-syukur saya bisa sampai di kabupaten-kota yang berjumlah hampir 500 itu.

Setiap menteri adalah simbol perekat bagi apa yang disebut sebagai negara. Dengan hanya berkunjung dari satu daerah ke daerah yang lain, sang menteri akan melihat bahwa Indonesia memiliki danau, gunung, hutan, lembah, sampai beragam jenis iklim, ketinggian, potensi, sampai juga beragam jenis kebudayaan yang menopangnya. Indonesia yang memiliki 220 Juta lebih penduduk dengan indeks pembangunan manusia yang rendah ini harus dilihat pada tingkatan paling terpuruk dan paling tertindas. Sentuhan seorang menteri sangat membantu bagi keterikatan satu daerah dengan daerah lain, serta melihat apa yang dilihat rakyat pada lapisan terbawah. Tugas pemerintahan pusat adalah menjaga keterikatan itu atau yang dikenal dengan sebutan Persatuan Indonesia berdasarkan aspek-aspek kemanusiaan.

Dan alangkah baiknya apabila sebelum menjadi menteri, seluruh provinsi sudah terjelajahi oleh anak-anak muda yang terjun ke dunia politik praktis. Saya termasuk yang beruntung. Kecuali Manokwari di Papua Barat, saya sudah sampai di 32 Provinsi lainnya dalam waktu yang berbeda-beda, sejak tahun 1990-an awal. Kata Muhammad Hatta, banyak-banyaklah berjalan, maka anda akan mencintai negara ini. Seorang Muhammad Hatta tidak akan lahir, andai saja hanya tinggal atau dipenjara di Batavia atau Bangka Belitung. Pengasingannya ke Ende dan Tanah Merah telah membawanya pada perjalanan intelektual yang nyata.

Tentu kita paham, kenapa tentara begitu mudah menjadi pemimpin politik di negeri ini. Alasan yang paling masuk akal adalah penguasaan teritorial, disamping sistem komando dan jenjang karir yang dibuat. Dan semuanya atas biaya negara. Sementara bagi seseorang lewat jalur rakyat biasa, akan sangat kesulitan untuk mencapai puncak. Saya sering menyaksikan orang-orang hebat gagal lahir, layu sebelum berkembang, ketika tidak memiliki kesempatan untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi atau digagalkan masuk ke satu organisasi sosial-politik. Mereka tidak mendapat kesempatan dan dikalahkan oleh orang-orang yang memiliki "kualitas" darah biru dan kantong tebal. Betul, itu tidak ada masalah kalau idealismenya sama. Tetapi kalau berbeda?

Karena itu, jalur-jalur alternatif layak dibuat, termasuk untuk kaderisasi kepemimpinan. Dan itu adalah Indonesia yang lain. Indonesia yang tidak hanya dihuni oleh kalangan yang selama puluhan tahun berasal dari kasta-kasta politik atau dinasti-dinasti politik yang kekurangan gairah atas kemajuan peradaban dan pengejaran ilmu pengetahuan, tetapi hanya memiliki libido kekuasaan yang kuat. Kasta-kasta politik yang menikmati pertarungan demi pertarungan demi pertarungan itu sendiri. Indonesia yang lain adalah Indonesia yang tidak tergantung kepada dinasti-dinasti politik itu. Indonesia yang bisa menghancurkan feodalisme yang gagal dilakukan oleh generasi 1945 yang melahirkan Republik Indonesia.

Dalam bentuk yang lebih jauh, Indonesia yang lain adalah Indonesia yang memberikan penghargaan kepada setiap ilmuwan, seniman, olahragawan, sampai kepada para petani yang bekerja bertahun-tahun, turun-temurun, di dunianya. Indonesia yang lain adalah Indonesia yang menghasilkan para nelayan yang tidak lagi takut akan gelombang, karena memiliki kapal canggih untuk melaut. Indonesia yang lain adalah Indonesia yang bisa memenggal gedung-gedung pemerintahan dan perbankan yang serba tinggi di Jakarta, agak efisiensi birokrasi terjadi. Indonesia yang lain adalah Indonesia yang meletakkan berbagai departemen dan kantor-kantor penting pemerintahan yang disebarkan merata di seluruh Indonesia, sesuai dengan potensinya.

Kini, kita melihat Indonesia yang jumud, Indonesia yang lembam, Indonesia yang dibaluri oleh pertarungan-pertarungan kecil. Indonesia yang menjalankan politik dalam "p" kecil, bukan politik dalam "P" besar. Politik "p" kecil hanya sekadar meraih kekuasaan dengan harga mahal dan mengorbankan banyak hal, termasuk harga diri. Politik dalam "P" besar adalah kehidupan yang berjibaku dengan sekian banyak diskusi akan visi yang visioner atas masa depan, sekaligus mampu memperdebatkan segala macam kebijakan dengan nafas yang saling jalin-menjalin. Bukan membunuh orang lain atas nama character assasination.

Apakah anda ada di barisan Indonesia yang lain itu ataukah anda sudah cukup menjadi bagian dari Indonesia hari ini? Silakan tanya kedalam diri anda sendiri....

Jakarta, 28 April 2010




.

__,_._,___

JOKE : Mesin mobil hilang

Paidi pagi2 sudah tereak2 dibawah pohon klengkeng "mbokne mesinné
montor ilang" katanya sambil menunjuk kap depan yg hanya tersisa ban
serep;
Tanpa pikir panjang, mbak Tumini tereak2 "Mesin montorè bapak ilang;
Maling, maliíng, mmaalliing"
Dan . . . . . hebohlah tetangga Paidi dan Tumini";
Tak ketinggalan pak Camat ikut datang dan dengan senyum pak Camat
berkata "Coba tho pak Paidi tenang, jangan2 karo malinge nyimpen
mesine nang mburi (belakang)"
Maklum mobil itu tahun 80an mobil dinas pak Camat sewaktu njabat Ketua
PPK; VW Safari;

--
Sent from my mobile device

Lamaran kerja ke ISTANA NEGARA

NICE STORY
 
"Lamaran kerja ke Istana Negara"

Seorang pengangguran melamar pekerjaan sebagai "office boy" di Istana Negara
(kantor SBY), Jakarta.

Seorang staf Sekretariat Negara mewawancarai dia dan sebagai tesnya dia
disuruh membersihkan lantai."Kamu diterima," katanya, "Berikan alamat e-
mailmu dan saya akan mengirim formulir untuk diisi dan pemberitahuan kapan
kamu mulai bekerja."

Laki-laki itu menjawab,"Tapi saya tidak punya komputer, apalagi e-mail."

"Maaf," kata staf Setneg. "Kalau kamu tidak punya e-mail, berarti kamu tidak
hidup. Dan siapa yang tidak hidup, tidak bisa diterima bekerja."

Laki-laki itu pergi dengan harapan kosong. Dia tidak tahu apa yang harus
dilakukan hanya dengan Rp.100.000 di dalam kantongnya. Kemudian ia
memutuskan untuk pergi ke Pasar dan membeli 10 kg peti tomat. Ia menjual
tomat itu dari rumah ke rumah. Kurang dari 2 jam, dia berhasil
melipatgandakan modalnya. Dia melakukan kerjanya tiga kali, dan pulang
dengan membawa Rp.300.000

Dia pun sadar bahwa dia bisa bertahan hidup dengan cara ini. Ia mulai pergi
bekerja lebih pagi dan pulang larut.

Uangnya menjadi lebih banyak 2x sampai 3x lipat tiap hari. Dia pun membeli
gerobak, lalu truk, kemudian akhirnya ia memiliki armada kendaraan
pengirimannya sendiri.

Lima tahun kemudian, laki-laki itu sudah menjadi salah satu pengusaha
makanan terbesar di Indonesia .

Ia mulai merencanakan masa depan keluarga, dan memutuskan untuk memiliki
asuransi jiwa.Ia menghubungi broker asuransi, dan memilih protection
plan.Sang brokerpun menanyakan alamat e-mailnya.

Laki-laki itu menjawab, "Saya tidak punya e-mail."

Sang broker bertanya dengan penasaran, "Anda tidak memiliki e-mail, tapi
sukses membangun sebuah usaha besar.

Bisakah Anda bayangkan, sudah jadi apa Anda kalau Anda punya e-mail?!"

Laki-laki itu berpikir sejenak lalu menjawab, "Ya, saya mungkin sudah jadi
office boy di Istana Negara !!! 

Pesan Moral:

Segala yang kita anggap baik, belum tentu baik dan segala yang kita anggap
buruk belum tentu buruk.

Maka HIDUP ini hanya perlu DUIT.

D : Do'a

U : Usaha

I : Ikhlas

T : Tawakal


Salam sukses,
MS


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Selasa, 27 April 2010

Religius-Humanis (kolom Hamid Fahmy Zarkasy)

 

 "Religius-Humanis"

"jimat"  orang sekuler-liberal, dan bahkan atheis, untuk menyerang agama adalah dalih humanisme

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasy*

"Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi", "daripada  beragama tapi jahat, lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama". Itulah logika geram para pembenci agama dan pengusung humanisme. Logikanya begitu humanis, tapi justru seperti atheis. Dan ternyata "jimat" atau aji-aji pamungkas orang sekuler-liberal dan bahkan atheis untuk menyerang agama adalah dalih humanisme.

Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi anthroposentris (manusia sebagai pusat). Perubahan itu yang dianggap sangat revolusioner itu mengiringi perjalanan kebudayaan Barat modern hingga postmodern.  Argumentasi mereka begitu mudah diterima.  Dengan doktrin empirisisme Tuhan dianggap tidak riel, sedangkan manusia begitu riel dan kasat mata. Membela Tuhan, mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan, atau mensucikan Tuhan dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Dalilnya "Tuhan tidak perlu dibela karena sudah Maha Kuasa". Seperti membela Tuhan tapi sejatinya membuka jalan bagi blasphemy.

Bukti orientasi antroposentrisme sudah terwakili oleh doktrin kematian Tuhan ala Nietzsche. Dari situ penistaan agama, Tuhan, dan kebenaran menjadi absah. Tapi benih yang ditabur Nietzsche itu tahun 1948 menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).  Ini adalah stadarisasi kemanusiaan yang formal dan disepakati banyak negara pendukung humanisme.  Maka dari itu hak-hak asasi manusia benar-benar dominan dan agama-agama tidak lagi diberi ruang.

Karena penyusunan Deklarasi ini tidak melibatkan agama-agama, maka banyak hal yang menjadikannya tidak universal.  Terbukti banyak agama yang tidak puas. Pada  bulan Juli tahun 1993 di New York diadakan peluncuran acara Project on Religion and Human Right. Acara ini merupakan reaksi agama-agama terhadap DUHAM dan merupakan prakarsa untuk merevisinya. Bukan hanya itu, pada ulang tahun ke-50 DUHAM dan ulang tahun ke-50 Fakultas Religious Studies universitas McGill, Montreal , Canada, upaya merevisi DUHAM itu pun terulang lagi. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions.  Setelah itu berturut-turut acara revisi merivisi berlanjut di berbagai tempat, seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris, dan terakhir di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Anehnya, acara ini disaksikan oleh pihak UNESCO. Resmilah sudah bukti perseteruan antara kaum humanis dan kaum religius.

Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat dan negara-negara Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir, dan sebagainya, juga turut menyadari dominasi humanisme dalam DUHAM.  Mereka menganggap DUHAM gagal memasukkan pertimbangan konteks kultural dan religius dari negara-negara non-Barat.  Utusan Negara Iran di PBB tahun  1981, Said Rajaie-Khorassani malah menyatakan bahwa "DUHAM adalah hasil pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi Kristen yang tidak dapat diterapkan ke dalam Islam".

Tiga tahun lebih awal dari acara di New York, umat Islam mengeluarkan deklarasi tandingan yang disebut Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI).  Deklarasi yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 ini diikuti  45 menlu negara OKI. Intinya memberi gambaran hak-hak asasi manusia menurut Islam yang sumber satu-satunya adalah syariah Islam.

Jika logika sekuler, liberal dan atheis di atas benar, maka isi Deklarasi Cairo itu mestinya hanya mensucikan Tuhan belaka dan menginjak-injak kemanusiaan. Tapi ternyata tidak dan logika sekuler liberal atheis itu salah. Bahkan deklarasi Cairo itu tidak ekslusif untuk umat Islam. Dalam salah satu pasalnya menyatakan, "Diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks, agama, afiliasi politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang". Bahkan pelindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariah. Maka dalam situasi perang, mereka yang tidak terlibat perang seperti orang tua, wanita and anak-anak, yang terluka dan yang sakit, dan juga tawanan perang, berhak diberi makan, tempat tinggal, keamanan serta pelayanan kesehatan.

CDHRI juga memberi hak kepada laki-laki dan wanita hak untuk menikah tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit atau kebangsaan, tapi tetap mempertimbangkan agama. Selain itu wanita juga diberi penghargaan dan penghormatan yang sama sebagai manusia, hak untuk menjalankan pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian finansial, dan hak untuk mempertahankan nama dan kekeluargaannya, meski tidak sama dalam segala hal.

Dalam Pasal ke -10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Melakukan segala bentuk pemaksaan terhadap manusia atau mengeksploitasi kemiskinan atau kebodohan untuk mengkonversikan seseorang dari satu agama kepada agama lain atau atheism adalah dilarang. Masih banyak lagi pasal-pasal yang membela manusia, tapi tidak serta merta menistakan agama apalagi Tuhan.

Baca misalnya Pasal 22 yang berbunyi: a) Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara yang tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. b) Setiap orang berhak untuk membela yang benar, dan mendakwahkan yang baik, serta memperingatkan hal-hal yang salah dan mungkar sesuai dengan norma-norma syariah Islam. c) Informasi adalah kebutuhan vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitasi atau disalahgunakan sehingga menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi, merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak atau membahayakan masyarakat atau melemahkan keimanan.  d) Memicu kebencian yang bersumber dari kebangsaan atau doktrin keagamaan atau melakukan sesuatu yang mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah dilarang.

Dari Pasal 22 di atas terbukti bahwa memberi tempat pada agama tidak berarti menistakan manusia. Sebab syariah adalah sumber segala perlakuan terhadap manusia, Dalam syariah terdapat maslahat yang telah didesain oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi tidak semua yang dianggap maslahat manusia dapat dibenarkan syariat. Pelacuran, homoseks, lesbianism, nikah beda agama bagi pembenci agama adalah maslahat, tapi tidak dibenarkan syariat. Jadi logikanya yang benar, semakin religius seseorang justru ia semakin manusiawi, tapi semakin humanis seseorang justru semakin atheis. Innal insana layatgha an ra'ahustaghna.

*)Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com

http://hidayatullah.com/kolom/worldviews/11389?task=view

__._,_.___

.

__,_._,___

Ada Udang di Balik Kepala

Koran Tempo, 23 Mei 2010
Ada Udang di Balik Kepala
Oleh
Indra Jaya Piliang
Penulis Buku "Mengalir Meniti Ombak" dan "Bouraq-Singa Kontra Garuda"

Pendekatan spasial akan membawa kita pada kesimpulan bahwa beragam peristiwa yang bersumber kepada kekuasaan hari ini tidak saling berhubungan. Kasus Susno Duadji berbeda dengan Gayus Tambunan. Tragedi Koja tidak sama dengan kompetisi merebut ketua umum partai-partai politik. Kupu-kupu yang terbang di lembah Gunung Merapi, Sumatera Barat, tidak terkait dengan badai di Lautan Pasifik. Para demonstran kaos merah di Bangkok hanyalah serpihan yang tidak hinggap di kepala kelompok-kelompok tani yang minta haknya di Sumatera. Pra-peradilan kasus Bibit-Chandra bukan bagian dari kisah Anggodo.

Tetapi, bagaimana kalau kita melihatnya secara holistis dan komprehensif? Bagi penganut teori sistem, satu gigitan nyamuk saja di tungkai kaki bisa menembus selaput otak. Dari sini, pola pandang perlu diperbesar lagi. Kemajuan teknologi informasi zaman ini mengejar setiap individu dengan tumpukan sampah-sampah tak berguna. Apabila tidak mampu memilahnya, manusia tertimbun dalam ketidak-tahuan justru karena penuhnya data dan informasi. Daya ledak terjadi akibat over-information.

Dengan merangkai seluruh informasi dan meletakkannya di dinding kamar kerja, lalu menggunting dan menstabilo bagian-bagian kecil yang tersembunyi, kita segera tahu masalah besar bangsa ini. Apa itu? Kerusakan di kepala kekuasaan. Saya tidak menyebut kepala negara atau kepala pemerintahan. Tetapi, sekali lagi, kepala kekuasaan.

Kekuasaan di sini bisa didefenisikan kepada setiap orang yang memiliki otoritas publik. Otoritas yang didapatkan atas dasar kerja-kerja pelayanan publik. Otoritas yang juga bermodalkan anggaran publik yang diperoleh dari hak pengelolaan kekayaan negara dan warga negara. Kepala kekuasaan itu bisa saja seorang petugas pajak yang mendatangi wajib pajak atau wali nagari yang mengelola bantuan gempa. Kekuasaan yang tersebar, bukan dimonopoli oleh hanya segelintir orang saja.

***

Di sungai Batang Naras di depan rumah orang-tua saya, terdapat banyak sekali ikan. Yang paling mudah ditangkap pakai tangan adalah udang. Udang-udang itu bersembunyi di balik batu. Kita tinggal mengangkat batunya pelan-pelan atau langsung menjepit di bawah batu itu agar udang tak sempat lari. Cara lain, kalau ada semak belukar tempat udang bersembunyi, langsung saja diangkat dengan cepat dan dibuang ke darat. Udang akan menggelepar-gelepar.

Makna udang di masa kecil hanyalah sebagai lauk untuk menemani nasi. Tetapi, setelah dewasa, udang memiliki banyak makna. Satu yang saya ingat adalah labirin kecil warna hitam di punggungnya. Bagi tukang-tukang masak di restoran, labirin itu dibuang, karena itulah aliran kotoran dari kepala ikan ke bagian tubuh yang lain. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa bagian paling berbahaya dari udang adalah sisiknya bagi kesehatan. Sisik yang tidak mudah dicerna dan mengandung kolesterol tinggi. Itu informasi yang saya dapat, entah salah, entah benar.

Pada pelajaran yang lain tentang udang, lalu dikaitkan dengan kekuasaan, saya diberitahu tentang sebuah kesimpulan. Ya, udang itu kalau kotorannya terletak di kepala. Jadi, bagian yang paling cepat busuk setelah udang mati adalah kepalanya. Apakah di kepala itu terdapat otak, saya tidak tahu. Barangkali ada, tetapi tidak sebanyak kotorannya sendiri. Hubungannya dengan kekuasaan? Seperti udang, kekuasaan itu busuk di kepalanya sendiri.

Barangkali itulah yang terjadi belakangan ini. Setiap kepala kekuasaan memiliki kebusukan yang endemik dan sistemik. Kepala-kepala itu seperti ular-ular kecil di kepala Medusa, seorang perempuan yang tubuhnya juga ular. Siapapun lelaki yang memandang kepala itu, akan berubah menjadi batu. Tidak peduli lelaki itu seorang raja atau anak dewa sekalipun.

***

Tetapi, belum ada makhluk menyerupai udang dalam mitologi Yunani. Dalam alam moderen ini, kita sungguh disibukkan dengan penanda dan petanda yang berubah bentuk. Maqam Mbah Priuk, misalnya, sekalipun hadir lewat mitologi yang dipercaya oleh para pelayat, sebentar lagi malahan akan diresmikan sebagai bangunan cagar budaya oleh Presiden SBY. Saya percaya bahwa itu bagian dari pencitraan biasa. Tetapi, tanpa kejelasan sejarah tentang sesosok manusia yang bernama Mbah Priuk, jelas akan menimbun satu soal yang nanti pastilah mengundang masalah lagi.

Seperti rangkaian, baik Mbak Priuk, maqam Mbak Priuk, pelayat-pelayatnya, pewaris-pewarisnya, Pemda DKI Jakarta, Pelindo II, sampai Presiden SBY sendiri, terjebak dalam lingkaran kekuasaan yang saling tindih-menindih. Bukannya mengarah kepada kejernihan atas informasi yang masih samar-samar, kita seperti ingin melupakan masalah ini dengan cara win-win solution. Adagium yang entah mengapa makin sering dipraktekkan.

Padahal, cara-cara yang lebih berguna bagi masa depan sungguh banyak tersedia. Misalnya, sebuah studi arkeologis dan sejarah yang dilakukan oleh ahli-ahli yang bertebaran di banyak kampus. Sekalipun Fauzi Bowo sebelum menjadi Gubernur DKI berkampanye "Bang Foke Ahlinya", tetap saja Fauzi bukan ahli soal sejarah dan arkeologi. Biarkan pakar-pakar ini yang bekerja dalam masa jeda. Jangan juga jeda itu dihentikan dengan cara membuat program-program pencitraan baru.

Selain itu, tentu mempekerjakan ahli-ahli bangunan, kalangan arsitek, serta perencanaan kota. Kalau selama ini maqam Mbak Priuk dianggap sebagai bagian dari "benalu" dalam fungsi pelabuhan, para arsitek dan perencana kota pastilah bisa membuatkan maket yang menjadikan maqam itu sebagai bagian integral dalam sistem pelabuhan. Di pintu pelabuhan bisa saja dipasang arah penunjuk jalan, bahwa maqam Mbah Priuk bisa dibuka pada jam sekian dan dikunjungi para pelayat. Para pedagang juga bisa difungsikan dengan baik, tanpa harus mengganggu arus keluar-masuk kontainer-kontainer raksasa.

Dengan cara-cara yang lebih realistik itu, udang-udang di balik kuasa bisa dicarikan jalan bernafasnya. Bukan malah terus disembunyikan untuk sewaktu-waktu menjadi bom-bom waktu. Begitupula atas masalah-masalah lain bangsa ini. Jangan biarkan kepala-kepala kuasa, kuasa-kuasa kepala, malah menjadi mahkluk yang membuat bangsa ini menjadi busuk. Diremehkan oleh bangsa lain. Dilecehkan oleh bangsa sendiri.

Saatnya udang masuk ke penggorengan. Jangan biarkan berubah menjadi kepala kita sendiri....

__._,_.___

__,_._,___

Madu jeung Racun di Rangkasbitung

Madu dan Racun di Rangkasbitung
Bonnie Triyana (Sejarawan)
Majalah Tempo, 26 April 2010

INI bukan roman tapi gugatan," demikian tema peringatan 190 tahun kelahiran Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Acara itu berbarengan dengan perayaan 150 tahun penerbitan Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia Belanda karya Multatuli, yang diselenggarakan di Belanda tahun ini. Dirayakan di tanah kelahirannya, Dekker dan Max Havelaar nyaris dilupakan di negeri yang pernah dibelanya: Indonesia.

Max Havelaar diajukan Universitas van Amsterdam sebagai salah satu warisan dunia. Karya itu pernah dianggap sebagai roman picisan berdasarkan khayalan belaka. Tak sedikit orang yang menganggap Multatuli manusia frustrasi yang menumpahkan kekecewaannya pada sosok Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanagara yang ia benci. Sempat pula muncul pernyataan bahwa Multatuli tak berbeda dengan orang Belanda kulit putih lainnya yang datang ke Indonesia dengan satu tujuan: menjajah.

Dekker alias Multatuli datang ke Rangkasbitung, Lebak, Banten pada pengujung Januari 1856. Posisi sebagai asisten residen ia dapatkan berkat lobi khusus E. de Waal kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist. De Waal-kelak menjadi menteri urusan daerah kolonial-adalah kerabat dekat Everdine Huberte Baronesse van Wijnbergen, istri Dekker.

Sebelum ke Rangkasbitung, Lebak, Dekker telah malang-melintang dalam berbagai penugasan sebagai amtenar-di Sumatera Barat, Karawang, Bagelen, Manado, dan Ambon. Penugasan ke Rangkasbitung adalah pengalaman baru bagi Dekker. Lebak, seperti beberapa daerah di Banten lainnya, adalah daerah minus yang menjadi ladang subur bagi tumbuhnya pemberontakan. Paling tidak ada dua pemberontakan besar yang terjadi pada abad ke-19: pemberontakan Haji Wakhia (1850) dan pemberontakan petani Banten (1888).

Beberapa pekan setelah tiba di Rangkasbitung, Dekker tidak menunjukkan tanda-tanda bermusuhan dengan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanagara. Ia malah pernah menawarkan uang kepada Bupati karena pejabat itu menanggung hidup banyak orang di luar keluarga inti. Hubungan baik yang dijalin oleh Dekker tampak dalam surat yang tak sempat ia kirimkan ke Gubernur Jenderal Van Twist. Kata Dekker, "Bupati adalah orang yang sangat menyenangkan."

Kalaupun Dekker mencium gelagat tak beres dari cara Karta Natanagara memerintah, ia tak langsung menegur. Dekker malah mengajak Bupati bicara dari hati ke hati layaknya sahabat. Patih Lebak yang menyaksikan pertemuan itu mengatakan baru pertama kali melihat pejabat Belanda bicara halus dan ramah. Pada waktu yang bersamaan, Natanagara sedang menyiapkan jamuan besar menyambut kunjungan Bupati Cianjur yang masih kerabatnya. Dekker mengulurkan tangan membantu perhelatan itu.

Tapi hubungan baik itu berubah ketika Dekker mendengar laporan janda C.E.P. Carolus tentang kematian suaminya yang tak wajar. Beredar kabar bahwa C.E.P. Carolus, asisten residen yang digantikan Dekker, tewas diracun oleh menantu Natanagara, Raden Wirakusuma. Sebelum meninggal, Carolus tengah menyusun laporan pelanggaran Bupati Lebak. Dekker menemukan dan membaca laporan itu.

Moechtar dalam bukunya Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Kebenaran dan Keadilan menyebutkan, setelah mendengar laporan janda Carolus dan menemukan laporan asisten residen nahas itu, Dekker menulis surat pengaduan kepada Residen Banten Brest van Kempen di Serang. Inilah awal dari semua konfrontasi.

Dalam surat tersebut Dekker mengusulkan agar Natanagara diberangkatkan secepatnya ke Serang untuk diadili. Raden Wirakusuma, Demang Distrik Parungkujang sekaligus menantu Bupati Lebak, diusulkan untuk ditahan. Dekker juga meminta pemerintah menahan semua orang, termasuk keluarga Natanagara, jika mereka diketahui menghalangi jalannya penyelidikan. Dekker meminta kasus Carolus diselidiki dan laporan atasnya disusun selengkap-lengkapnya.

Siapakah C.E.P. Carolus yang dalam roman Max Havelaar diwakili oleh karakter Slotering itu? Moechtar dalam buku yang sama mengemukakan bahwa Carolus digambarkan sebagai orang yang unik. Ia dapat berbicara dalam bahasa Sunda dialek Banten laiknya penutur asli. Istrinya pribumi yang tak bisa berbahasa Belanda. Kemampuannya berbahasa lokal membuatnya dekat dengan warga Lebak dan warga pun merasa nyaman melaporkan tindakan Bupati yang merugikan rakyat.

Ada versi lain mengenai kematian Carolus. E. du Perron dalam bukunya De Man van Lebak menulis bahwa sebenarnya Carolus telah lama mengidap sakit lever kronis dan pernah dirawat oleh dr Benzen dari Serang. Beberapa bulan sebelum Dekker datang menggantikannya, sakit Carolus bertambah parah. Benzen lantas menganjurkan agar Carolus dirawat di rumah sakit militer di Serang. Pada hari terakhir sebelum ajal datang menjemput, ia dibawa ke Serang dengan menggunakan kereta kuda yang dipacu kencang. Tubuh lemah Carolus semakin parah karena terguncang-guncang dalam perjalanan. Ia wafat tiga jam setelah tiba di rumah sakit.

Cerita orang diracun bukan pertama kali terjadi di Rangkasbitung. Syahdan tersebutlah Muller de Montigny, Asisten Residen Lebak yang bertugas di Rangkasbitung pada 1906-1908. Montigny dipecat karena dianggap tak bisa menjaga relasi baik dengan rekan sekerjanya. Berdasarkan laporan rahasia Residen Banten Overduyn tanggal 7 November 1907 Nomor 234/g kepada Direktur Departemen van Bineland Bestuur (Departemen Dalam Negeri) yang ditembuskan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, disebutkan Muller de Montigny melakukan tindakan tak terpuji karena setiap hari memerintahkan bawahannya membawa perempuan untuk ditiduri.

Selain dituduh memelihara gundik dan terlibat dalam skandal seksual, Montigny dituduh terlibat dalam peristiwa peracunan seorang pejabat pribumi. Montigny menyangkal tuduhan itu dan balik menuduh ada konspirasi yang dirancang oleh Bupati Serang untuk meracun dirinya. Belakangan hari terbukti bahwa racun yang disebut-sebut oleh Montigny hanyalah obat penyubur jenggot.

Seperti Montigny, Residen Banten Brest van Kempen terlibat skandal perempuan. Berdasarkan cerita dari S. Hasselman-mantan Asisten Residen Pandeglang sebelum Dekker bertugas di Lebak-diketahui bahwa Bupati Lebak selalu mencarikan perempuan cantik untuk Kempen. Agaknya itulah yang membuatnya tak tertarik pada laporan Dekker tentang pelanggaran sang Bupati. Kempen punya kepentingan menjaga kasus itu agar tak melebar karena Bupati memegang kartu truf dirinya.

Dekker akhirnya dimutasi ke Ngawi, Jawa Timur, dengan pangkat lebih rendah. Ia menolak pemindahan itu dan mengajukan berhenti pada 29 Maret 1856 atau dua pekan setelah ia merayakan ulang tahunnya ke-36. Permohonan pensiun dini baru dikabulkan pada 4 April 1856. Setahun kemudian, Dekker kembali ke Eropa mencari pekerjaan yang tak pernah ia temukan. Dekker kemudian menyewa sebuah kamar hotel di Brussel, Belgia, tempat ia menulis roman Max Havelaar selama tiga minggu saja (17 September-3 November 1859).

Semua kejengkelannya di Lebak ia tumpahkan dalam roman tersebut. Besar kemungkinan kabar mengenai penderitaan rakyat Lebak secara lengkap ia ketahui dari laporan Carolus. Sementara itu, konfrontasi yang terjadi antara dirinya dan Bupati menurut hemat saya pertama-tama bukan karena cara Bupati mengeksploitasi rakyat Lebak, melainkan lebih karena perasaan esprit de corps yang muncul saat mendengar kabar peracunan terhadap Carolus. Dari laporan yang disusun Carolus pula Dekker bisa tahu lebih lengkap tentang kekurangcakapan Bupati Lebak menjalankan pemerintahan sehingga rakyatnya sengsara.

Ketika menulis Max Havelaar, Dekker sudah lebih berjarak dengan peristiwa Lebak, yang terjadi tiga tahun sebelumnya. Tampaknya jarak itulah yang membuat ia lebih mampu melihat peristiwa Lebak sebagai bagian kecil dari dampak kolonialisme yang lebih luas lagi. Dalam Max Havelaar ia pun tak hanya menggugat Bupati Karta Natanagara, tapi lebih jauh lagi ia menggugat kolonialisme yang dijalankan oleh bangsa terhadap rakyat di Hindia Belanda.

Penting juga digarisbawahi peran C.E.P. Carolus dalam mengungkap pelanggaran yang dilakukan Bupati Karta Natanagara. Carolus adalah orang yang pertama kali menyelidiki pelanggaran itu untuk kemudian dilanjutkan Dekker ketika Carolus meninggal. Max Havelaar yang ditulis Dekker bak bola salju yang menggelinding-membawa perubahan di Hindia Belanda dan memberi inspirasi banyak tokoh nasionalis dalam perjuangan membangun nation-state Indonesia.

__,_._,___

Senin, 26 April 2010

Pangeling-ngeling ti Eyjafjallajokull

 

 

Baraya,

Lamun aya ngaran gunung anu panghesena ditulis tur diucapkeun, nya gunung anu aya di Eslandia baris kaasup di jajaran pangluhurna. Ngaran eta gunungapi teh nyaeta: Eyjafjallajokull. Ku pohara hese nuliskeun jeung ngucapkeunana, juru warta di urang leuwih milih nyebutkeun eta gunung teh "Gunung Eslandia" wae.

Gunung Eslandia anu anyar bitu, mimiti nembongkeun aktivitas gelobang seismikna dina katompernakeun taun 2009, nepi ka mimiti bitu (eksplosiv) kalawan angka VEI (volcanic explosivity index) 1. Mangsa puncak bituna (VEI 2 nepi ka 3) mah antara tanggal 14-20 April 2010, ngabalukarkeun loba penerbangan di Eropa katunda nepi ngaakibatkeun karugian ekonomi gede ka nagara-nagara Eropa di sabudeureunana.

Ceuk beja dina Yahoo, karugian akibat larangan penerbangan di nagara-nagara Eropa jero saminggu mangsa bituna eta gunung ngahontal angka $ 1,7. Hiji karugian anu kacida gedena, nepi ka sababaraha pausahaan jasa hiber di Eropa kaancam baris rugi dina taun 2010 ieu. Padahal, bituna eta gunung teh teu sabaraha (paling banter VEI tingkat 3) lamun dibandingkeun jeung ngabeledugna Gunung Tambora di NTB taun 1815 (VEI tingkat 7) atawa Gunung Rakata (Krakatau, VEI tingkat 6) taun 1883.

Ari VEI teh ukuran atawa skala gedena bitu hiji gunung sakumaha skala Richter (SR) pikeun badagna hiji gempa. Skala VEI ti mimiti 1 (anu pang handapna) nepi ka 8 (pang badagna). Tiap naek 1 angka dina eta skala ajenna kudu dikalikeun 10 ti skala sahandapeunana. Upamana, bituna gunung skala 2 dina VEI eta 10 kali leuwih badag atawa leuwih rosa tinimbang bituna gunung skala 1 VEI. Jadi, bituna ieu gunung Eslandia ukur 1/10.000 rosa-bituna gunung Tambora atawa 1/1.000 na tina rongkah-bituna gunung Rakata, sakumaha dina
http://nasional. vivanews. com/news/ read/146351- letusan_tambora_ vs_eyjafjallajok ull__1_10_ 000 ,

Disebutkeun dina panujul (referensi) di luhur yen bituna ieu gunung di Islandia teh lain bandingkeuneun pikeun Tambora. Badan Geologi Amerika Serikat atawa US Geological Survey geus mere gelar ka bituna Tambora taun 1815 salaku "bitu gunung anu pangkuatna dina catetan sejarah". Sakumaha disebutkeun oge dina Wiki (http://en.wikipedia.org/wiki/Mount_Tambora). Korban anu maot-langsungna  wae alatan bituna Tambora taun 1815 leuwih ti 71.000 jiwa, ngabalukarkeun "taun anu teu ngalaman musim panas" di Eropa.

Malahan leuwih ti eta. Ceuk panujul Yahoo anu ka sebut di luhur disebutkeun yen lebu tina bituna G. Tambora taun 1815 teh lian ti mateni rebuan jelama oge ngarobah hawa/cuaca, malah nepi ka ngarobah sajarah. Ceuk Yahoo, poe ieu (bhs Indonesia): "Tambora juga jadi salah satu pemicu kerusuhan di Perancis yang warganya kekuarangan makanan. Juga mengubah sejarah saat Napoleon kalah akibat musim dingin berkepanjangan dan kelaparan pada 1815 di Waterloo".

Upama dibandingkeun jeung bituna G. Rakata, rongkah bituna G. Eslandia ukur 1/1000 na. Atawa, bituna G. Rakata dina taun 1883 eta 1000 kali leuwih rongkah dibanding kakuatan bituna G. Eslandia anu anyar keneh kajadian. Rongkahna bitu G. Rakata taun 1883 ngabalukarkeun korban jiwa leuwih ti 36.000 jiwa. Lolobana korban kasapu ku ombak tsunami anu diakibatkeun ku ngajelegurna eta gunung.
 
Ari  G. Tambora teh di urang, di Indonesia, Komo G. Rakata mah, baheula, jaman samemeh Gus Dur alm jadi Presiden, ayana di wewengkon Jawa Barat pisan, pasna mah di selat Sunda. Sakuduna urang waspada jeung nyieun kasiapan-kasiapan boh bisi G. Rakata teh ngabeledug deui (ari Tambora mah sigana keur rada tibra sare, jeung puncak gunungna teu sabarah gede ayeuna mah). Atawa, naha geus siap urang salaku masyarakat nyanghareupan kajadian gunung bitu anu aya di sabudeureun urang?

Aya sababaraha gunung di wewengkon Jabar anu kudu terus ditalingakeun ayeuna-ayeuna ieu jeung ka hareup kusabab geus rada lila istirahat. Diantara eta gunung-gunung nyaeta (jero kurung: daerah anu kapangaruhanana) : Gunung Guntur (Garut), Gunung Papandayan (Garut), Gunung Gede (Cianjur, Sukabumi, Bogor) jeung Gunung Cireme (Cirebon, Kuningan, Majalengka). Kudu terus ditalingakeun kalayan kudu aya anu nepikeun jeung nyiapkeun masyarakat di sabudeureun eta gunung-gunung sangkan parigel nyinglar bahaya bituna eta gunung-gunung dina mangsana kajadian.

Urang henteu apal, rek iraha eta gunung-gunung teh bitu, jeung baris ngahontal angka sabaraha VEI-na. Tapi urang kudu tetep nitenan jeung ngayakeun sasadiaan - upamana: latihan nyinglarkeun bahaya atawa nyalametkeun diri dina waktuna eta gunung2 bitu; mere pangajaran ka barudak sakola ngeunaan cara-cara nyinglar bahaya gunungapi, jst. Mataholangna: atikan ngeunaan bencaa gunungapi kudu jadi kurikulum di sakola-sakola anu aya di sabudeureun atawa pangaruh eta gunung2.

Latihan kasiap-siagaan nyanghareupan bituna hiji gunung teu kudu dilakukeun unggal waktu atawa unggal poe. Tapi, mutlak perlu hiji masyarakat anu kaancam ku bahaya bituna hiji gunung kungsi ngalaman latihan anu dimaksud, jeung parigel dina ngalaksanakeun evakuasi dina waktuna breng kajadian gunung bitu. Utamana, para pupuhu atawa tokoh masyarakat atawa pimpinan anu ucap lampahna katurut ku masyarakatna, kudu pisan nyangkin eta kaparigelan supaya bisa mimpin evakuasi atawa ngungsi dina waktuna kajadian kalawan henteu galideur jeung tagiwur anu - ieu sikep galideur jeung panik - bisa jadi panyabab karugian atawa korban jiwa.

Naha geus dikanyahokeun ku pangagung anu pakait wewengkon mana wae di Jabar anu kaancam ku bahaya bituna hiji gunung? Naha geus kungsi diayakeun latihan pikeun masyarakat anu nyicinganana sangkan bisa ngahindar tina bahaya bituna eta gunung? Naha geus diitung sabaraha wae karugian anu baris kaalaman lamun eta gunung teh bitu tur dilakukeun tarekah-tarekah pikeun nyinglarkeun eta karugian, boh korban jiwa atawa harta benda?

manar



 

__._,_.___

Kamis, 22 April 2010

HEBATNYA PETANI

 

Beberapa tahun yang silam, seorang pemuda terpelajar dari Semarang sedang berpergian naik pesawat ke Jakarta.

Disampingnya duduk seorang ibu yang sudah berumur.

Si Pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan.
"Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta?" tanya si Pemuda.
"Oh... Saya mau ke Jakarta terus "connecting flight" ke Singapore nengokin anak saya yang kedua" jawab ibu itu.
"Wouw..... hebat sekali putra ibu, pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak.

Pemuda itu merenung.
Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahu pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.
"Kalau saya tidak salah, anak yang di Singapore tadi, putra yang kedua ya Bu? Bagaimana dengan adik-adiknya?"
"Oh ya tentu", si Ibu melanjutkan ceritanya
"Anak saya yang ketiga seorang Dokter di Malang,
yang keempat Kerja di Perkebunan di Lampung,
yang kelima menjadi Arsitek di Jakarta.
yang keenam menjadi Kepala Cabang Bank di Purwokerto.
yang ke tujuh menjadi Dosen di Semarang."
Pemuda tadi diam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak anaknya dengan sangat baik, dari anak kedua sampai ke tujuh.
"Terus bagaimana dengan anak pertama ibu?"
Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab.
"Anak saya yang pertama menjadi Petani di Godean Jogja nak. Dia menggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar"
Pemuda itu segera menyahut, "Maaf ya Bu..... kalau ibu agak kecewa ya dengan anak pertama ibu, adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedang dia menjadi petani?”
Dengan tersenyum ibu itu menjawab,
"Ooo ...tidak tidak begitu nak... Justru saya sangat bangga dengan anak pertama saya, karena dialah
yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani"

...... Semoga jadi pembelajaran buat kita semua.


Salam
Yudha herry asnawi

__,_._,___

Rabu, 21 April 2010

Hidup jgn tertidur


Hidup Jangan Tertidur!

oleh Arvan Pradiansyah, penulis buku You Are A Leader!

Untuk dapat menikmati hidup, hal terpenting yang perlu Anda lakukan adalah
menjadi SADAR. Inti kepemimpinan adalah kesadaran. Inti spiritualitas juga adalah
kesadaran. Banyak orang yang menjalani
hidup ini dalam keadaan tertidur. Mereka lahir, tumbuh, menikah, mencari
nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya meninggal dalam keadaan tertidur.

Analoginya adalah seperti orang yang terkena hipnotis. Anda tahu di mana
menyimpan uang. Anda pun tahu persis nomor pin Anda. Dan Andapun menyerahkan
uang Anda pada orang tidak dikenal. Anda tahu,
tapi tidak sadar. Karena itu, Anda bergerak bagaikan robot-robot yang
dikendalikan orang lain, lingkungan, jabatan, uang, dan harta benda.

Pengertian menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Anda tahu berolah raga
penting untuk kesehatan, tapi Anda tidak juga melakukannya. Anda
tahu
memperjualbelikan jabatan itu salah, tapi Anda menikmatinya. Anda tahu
berselingkuh dapat menghancurkan keluarga, tapi Anda tidak dapat menahan
godaan. Itulah contoh tahu tapi tidak sadar!

Adadua hal yang dapat
membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah.
Musibah sebenarnya adalah rahmat terselubung karena dapat membuat kita bangun
dan sadar. Anda baru sadar pentingnya kesehatan kalau Anda sakit. Anda baru
sadar pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol Anda mencapai tingkat yang
mengkhawatirkan. Anda baru sadar nikmatnya bekerja kalau Anda di-PHK. Seorang
wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting setelah anaknya
terkena narkoba. Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa ia baru menyadari
bahayanya judi setelah hartanya habis.

Kematian
mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak
tokoh terkenal meninggal
begitu saja. Mereka sedang
sibuk memperjualbelikan kekuasaan, saling menjegal, berjuang meraih jabatan,
lalu tiba-tiba saja meninggal. Bayangkan kalau Anda sedang menonton film di
bioskop. Pertunjukan sedang berlangsung seru ketika tiba-tiba listrik padam. Petugas
bioskop berkata, Silakan Anda pulang, pertunjukan sudah selesai! Anda protes,
bahkan ingin menunggu sampai listrik hidup kembali. Tapi, si penjaga hanya
berkata tegas, Pertunjukan sudah selesai, listriknya tidak akan pernah hidup
kembali.

Itulah analogi sederhana dari kematian. Kematian orang yang kita kenal, apalagi
kerabat dekat kita sering menyadarkan kita pada arti hidup ini. Kematian
menyadarkan kita pada betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita
meributkan hal-hal sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang
tidak sempat kita nikmati.

Hidup ini seringkali menipu dan meninabobokan orang. Untuk menjadi bangun kita
harus
sadar mengenai tiga hal, yaitu siapa diri kita, darimana kita berasal,
dan ke mana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu sering mengambil jarak dari
kesibukan kita dan melakukan kontemplasi.

Ada sebuah ungkapan menarik dari seorang filsuf Perancis, Teilhard de Chardin,
Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman- pengalaman spiritual, kita
adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalam an manusiawi. Manusia
bukanlah makhluk bumi melainkan makhluk langit. Kita adalah makhluk spiritual
yang kebetulan sedang menempati rumah kita di bumi. Tubuh kita sebenarnya
hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh diperlukan karena merupakan
salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tetapi, tubuh ini lama kelamaan
akan rusak dan akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Pada saat itulah jiwa kita
akan meninggalkan rumah untuk mencari rumah yang lebih layak. Keadaan ini kita
sebut meninggal dunia. Jangan lupa,
ini bukan berarti mati karena jiwa kita tak
pernah mati. Yang mati adalah rumah kita atau tubuh kita sendiri.

Coba Anda resapi paragraf diatas dalam-dalam. Badan kita akan mati, tapi jiwa
kita tetap hidup. Kalau Anda menyadari hal ini, Anda tidak akan menjadi manusia
yang ngoyo dan serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal,
dan kebutuhan dasar lainnya. Bila Anda sudah mencapai semua kebutuhan tersebut,
itu sudah cukup! Buat apa sibuk mengumpul-ngumpulka n kekayaan -- apalagi
dengan menyalahgunakan jabatan -- kalau hasilnya tidak dapat Anda nikmati
selama-lamanya. Apalagi
Anda sudah merusak jiwa Anda sendiri dengan berlaku curang dan korup. Padahal,
jiwa inilah milik kita yang abadi.

Lantas, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit
tersebut agar kita sadar? Jawabnya: ya! Tapi kalau Anda merasa cara tersebut
terlalu mahal, ada cara kedua yang jauh lebih mudah:
Belajarlah MENDENGARKAN. Dengarlah
dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk
mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma Anda. Sayang,
banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka
sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan
dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang yang seperti ini masih tertidur dan
belum sepenuhnya bangun.

Bila lidah kelu, tulisan menjadi perlu Pena lebih tajam dari pedang Tinta
seorang berilmu lebih mulia dari darah seorang syahid


.

__,_._,___

Essay - Ilmu Bela Diri Tertinggi

 

 

ILMU BELA DIRI TERTINGGI
 
Ilmu bela diri itu ada berbagai jenis dan memiliki tingkatan-tingkatan, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Banyak orang sudah tahu tentang adanya tingkatan-tingkatan ini.
Namun, tingkatan-tingkatan yang akan saya sebutkan ini mungkin agak berbeda dengan yang pernah Anda tahu.
 
Terus terang, saya sebenarnya memang bukan ahli bela diri. Saya hanyalah sekadar penggemar film kungfu dan fans aktor-aktor laga semacam Bruce Lee, Jet Li, Jacky Chen, Ti Lung, Chen Kuan Tai, David Chiang, dan sebagainya. Saya juga penggemar kisah-kisah silat klasik, yang dulu pernah dituliskan oleh Gan KL, O.K.T, Asmaraman S. Kho Ping Hoo, dan lain-lain. Jadi, tingkatan ilmu bela diri yang saya paparkan di sini lebih merupakan hasil perenungan saya, dari sekian banyak bacaan yang campur aduk, termasuk hasil membaca kisah-kisah sufi.
 
Supaya tidak berkepanjangan, langsung saja saya mulai dari tingkatan ilmu bela diri yang paling rendah. Ini adalah bela diri yang semata mengandalkan kekuatan fisik kasar. Di tingkatan terendah ini, orang yang berbadan gede, berotot kuat, bertubuh seperti badak, akan memiliki keunggulan nyata terhadap orang yang berbadan kerempeng. Sebagaimana seorang petinju kelas berat sudah dipastikan akan menang melawan petinju kelas layang.
 
Tingkatan kedua, yang lebih tinggi, adalah ilmu bela diri dengan penggunaan tenaga dalam. Tenaga dalam ini bisa dibangkitkan dan dilatih, misalnya, lewat olah pernapasan. Di tingkatan kedua ini, seorang bertubuh kerempeng –yang memiliki tenaga dalam-- bisa saja mengalahkan seorang pegulat berbadan kekar. Bahkan kita bisa mementalkan dan merubuhkan lawan tanpa harus menyentuh tubuhnya.
 
Tingkatan ketiga, ini sudah melebihi sekadar tenaga dalam. Pada tingkatan ini Anda bahkan tidak perlu bertarung sama sekali. Begitu menatap Anda, misalnya, lawan anda sudah gentar atau sungkan, dan memilih urung bertarung. Padahal Anda tidak melakukan apa-apa.
 
Bisa juga, Anda dilindungi "secara halus atau gaib" oleh Allah SWT. Misalnya, rumah Anda dikepung oleh musuh atau gerombolan perampok ganas yang ingin membunuh Anda. Secara logika awam, Anda tidak mungkin selamat dan tidak mungkin bisa lolos dari kepungan mereka. Namun, mata para pengepung yang mengincar Anda itu "dibutakan" oleh Allah. Sehingga Anda dengan tenang bisa melangkah ke luar meninggalkan rumah, dan anehnya tidak ada satu pun dari para pengepung itu yang melihat Anda. Padahal Anda jelas-jelas melintas di depan hidung mereka.
 
Tingkatan ketiga itu sudah cukup tinggi. Namun, masih ada tingkatan keempat, tingkatan yang saya anggap paling tinggi. Nah, pada tingkatan ini, ilmu bela diri atau kiat-kiat menyelamatkan diri secara fisik sudah kehilangan makna, sudah kehilangan relevansi, bahkan sudah tidak penting lagi. Itu bukan lagi merupakan isu, sesuatu yang masih dipentingkan pada ilmu bela diri tingkatan pertama, kedua, dan ketiga. Mengapa? Karena di tingkatan keempat ini, orang bersangkutan sudah bertawakal dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah.
 
Bagi orang semacam ini, ia sudah tidak lagi mendahulukan kehendak atau keinginan hawa nafsunya sendiri. Ingin menang dalam pertarungan dan ingin selamat secara fisik adalah kehendak diri kita. Ingin menang dan ingin selamat bukanlah sesuatu yang salah, namun tetap bahwa itu adalah keinginan dan hasrat kita. Sesuatu yang berkaitan dengan ego dan kepentingan diri kita.
 
Pada tingkatan keempat ini, orang bersangkutan sudah lepas dari cara pandang yang menekankan pada egoisme atau rasa ke-aku-an. Semua hal sudah ia kembalikan kepada Allah SWT, yang kepada-Nya semula makhluk bergantung.
 
Pada tingkatan ini, kita yakin seyakin-yakinnya bahwa apapun yang diputuskan oleh Allah SWT, Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu, adalah yang terbaik untuk kita. Kalau Allah menghendaki kita selamat secara fisik, jadilah. Kita bersyukur pada-Nya. Sebaliknya, jika Allah menghendaki kita mati sekarang, kita pun menerima dengan ikhlas dan ridla atas semua kehendak-Nya.
 
Menurut dugaan saya, itulah sebabnya kita tidak pernah membaca riwayat atau hadist yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW mengajarkan ilmu kebal, ilmu tenaga dalam, ilmu menghilang, dan sebagainya. Padahal, jika Rasulullah mau, dengan mudah beliau bisa memohon kepada Allah agar diberi ilmu kebal, sehingga tidak mempan bacokan pedang musuh, atau ilmu kontak yang bisa merobohkan musuh tanpa menyentuh.
 
Nyatanya, Rasulullah terluka dan berdarah oleh pedang lawan pada Perang Uhud. Namun, pada tingkatan batin tertinggi itu, bagi Rasulullah dan bagi kaum Muslimin yang percaya penuh pada kebijaksanaan Allah, semua yang diberikan oleh Allah SWT padanya adalah yang terbaik.
 
Jika Allah menghendaki keselamatan untuk kita, maka tidak ada satu pun kekuatan di muka bumi ini yang bisa mencelakai kita, meskipun seluruh manusia dan jin berkomplot untuk mencelakai kita. Sebaliknya, jika Allah menghendaki sesuatu terjadi pada kita, tidak ada satu kekuatan pun di muka bumi ini yang bisa mencegahnya. Seluruh hidup dan mati kita adalah untuk Allah SWT. Semua di luar itu sudah tidak lagi penting.
 
Jakarta, 21 April 2010
 
 
sumber : milist KAHMI

__,_._,___

Kartini dan Islam

 

 (Dikutip dari: posting mohammad arafat di Multiply) 
 
Pada zaman sekarang orang-orang salah kaprah memperingati Hari Kartini. Saya tidak ingin membeberkan rinciannya. Tapi, saya perlu mengungkapkan bahwa sejarah istilah 'Habis Gelap Terbitlah Terang' itu berasal dari Al-Quran (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Inilah bukti surat-surat Kartini kepada sahabatnya dari Belanda:

"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?" [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]

"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902.
Untuk ukuran seorang perempuan dan ukuran zaman itu (bahkan ukuran zaman sekarang sekalipun) pendapat Kartini ini benar-benar sangat kritis dan sangat berani.

Suatu ketika, takdir membawa Kartini pada suatu pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat yang juga adalah pamannya. Pengajian dibawakan oleh seorang ulama bernama Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar(atau dikenal Kyai Sholeh Darat) tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertarik sekali dengan materi yang disampaikan (ini dapat dipahami mengingat selama ini Kartini hanya membaca dan menghafal Quran tanpa tahu maknanya). Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Berikut ini dialog-nya (ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat).

"Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?"

Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.
"Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?". Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.

"Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"

Setelah pertemuan itu nampaknya Kyai Sholeh Darat tergugah hatinya. Beliau kemudian mulai menuliskan terjemah Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada pernikahan Kartini , Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa.

Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena Kartini merasakan sendiri proses perubahan dirinya, dari kegelisahan dan pemikiran tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah (how amazing…).

Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat "Dari Gelap Kepada Cahaya" ini. (Sayangnya, istilah "Dari Gelap Kepada Cahaya" yang dalam Bahasa Belanda adalah "Door Duisternis Tot Licht" menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah "Habis Gelap Terbitlah Terang").

Nampaknya masa-masa ini terjadi transformasi spiritual bagi Kartini. Pandangan Kartini tentang Barat-pun mulai berubah, setelah sekian lama sebelumnya dia terkagum dengan budaya Eropa yang menurutnya lebih maju dan serangkaian pertanyaan-pertanyaan besarnya terhadap tradisi dan agamanya sendiri.

Ini tercermin dalam salah satu suratnya;

"Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?" [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]

"Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan" (surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 10 Juni 1902)

Kartini juga menentang semua praktek kristenisasi di Hindia Belanda :

"Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? …. Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?" [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903]

Bahkan Kartini bertekad untuk berupaya untuk memperbaiki citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan :

"Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai." [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

Di surat-surat lain:
"Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang" (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 5 Maret 1902)
"Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdulloh)." (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 1 Agustus 1903)

[Kutipan tulisan Muh. Tamim di http://mtamim.wordpress.com/2007/09/...ni-dan-islam/]

Penutup:

Seharusnya di hari Kartini para wanita banyak-banyak menela'ah Al-Quran seperti yang dilakukan Kartini sehingga ia dapat mengutip istilah ' Minazh-Zhulumaati ilan Nuur'. Semestinya kaum ibu dan wanita mengenang sosok Kartini sebagai sosok wanita yang kritis dalam mencari kebenaran, kemudian dipegangnya sebagai pedoman hidup. Instannya, di hari Kartini kaum ibu maupun bapak seharusnya merayakannya dengan banyak mengaji, bukan cuma mengajarkan kepada anaknya dalam menghiasi dirinya dengan budaya yang tidak sesuai dengan Islam. Kita perkenalkan kepada anak kita istilah emansipasi, tapi tidak kita perkenalkan kepada istilah dan ajaran Qurani. Kita buta dengan sejarah, serta tidak mengetahui esensi sejarah, termasuk Hari Kartini.
 
 

 

__,_._,___

Selasa, 20 April 2010

The Return of Christian Terrorism - By Mark Jurgensmeyer

The Return of Christian Terrorism

By Mark Jurgensmeyer

April 19, 2010 "Religion Dispatches " -- When Scott Roeder, the murderer of Wichita Kansas abortion clinic provider Dr. George Tiller, had his day in court, he spent much of his rambling self-defense quoting the words of another abortion clinic assassin, Reverend Paul Hill. In the 1990s my own research had brought me into conversation with others in the inner circle in which Hill and Roeder were at that time involved. So it was a chilling experience for me to realize that this awful mood of American Christian terrorism—culminating in the catastrophic attack on the Oklahoma City Federal Builiding—has now returned.
Christian terrorism has returned to America with a vengeance. And it is not just Roeder. When members of the Hutaree militia in Michigan and Ohio recently were arrested with plans to kill a random policeman and then plant Improvised Explosive Devices in the area where the funeral would be held to kill hundreds more, this was a terrorist plot of the sort that would impress Shi'ite militia and al Qaeda activists in Iraq. The Southern Poverty Law Center, founded by Morris Dees, which has closely watched the rise of right-wing extremism in this country for many decades, declares that threats and incidents of right-wing violence have risen 200% in this past year—unfortunately coinciding with the tenure of the first African-American president in US history. When Chip Berlet, one of this country's best monitors of right-wing extremism, warned in a perceptive essay last week on RD that the hostile right-wing political climate in this country has created
the groundwork for a demonic new form of violence and terrorism, I fear that he is correct.
Christian Warrior, Sacred Battle
Though these new forms of violence are undoubtedly political and probably racist, they also have a religious dimension. And this brings me back to what I know about Rev. Paul Hill, the assassin who the similarly misguided assassin, Scott Roeder, quoted at length in that Wichita court room last week. In 1994, Hill, a Presbyterian pastor at the extreme fringe of the anti-abortion activist movement, came armed to a clinic in Pensacola, Florida. He aimed at Dr. John Britton, who was entering the clinic along with his bodyguard, James Barrett. The shots killed both men and wounded Barrett's wife, Joan. Hill immediately put down his weapon and was arrested; presenting an image of someone who knew that he would be arrested, convicted, and executed by the State of Florida for his actions, which he was in 2003. This would make Hill something of a Christian suicide attacker.
What is interesting about Hill and his supporters is not just his political views, but also his religious ones. As I reported in my book, Terror in the Mind of God, and in an essay for RD several months ago, Hill framed his actions as those of a Christian warrior engaged in sacred battle. "My eyes were opened to the enormous impact" such an event would have, he wrote, adding that "the effect would be incalculable." Hill said that he opened his Bible and found sustenance in Psalms 91: "You will not be afraid of the terror by night, or of the arrow that flies by day." Hill interpreted this as an affirmation that his act was biblically approved.
One of the supporters that Paul Hill had written these words to was Rev. Michael Bray, a Lutheran pastor in Bowie, Maryland, who had served prison time for his conviction of fire-bombing abortion-related clinics on the Eastern seaboard. Bray published a newsletter and then a Web site for his Christian anti-abortion movement, and published a book theologically justifying violence against abortion service providers, A Time to Kill. He is also alleged to be the author of the Army of God manual that provides details on how to conduct terrorist acts against abortion-related clinics.
Recently Bray has publicly defended Paul Roeder, the Wichita assassin, saying that he acted with "righteousness and mercy." Several years earlier, another member of Bray's network of associates, Rachelle ("Shelly") Shannon, a housewife from rural Oregon, had also attacked Dr. George Tiller as he drove away from his clinic in Wichita. She was arrested for attempted murder.
When I interviewed Bray on several occasions in the 1990s, he provided a theological defense of this kind of violence from two different Christian perspectives. In the remainder of this essay, I'll summarize from Terror in the Mind of God some of my observations about these theological strands behind their terrorism in the 1990s—and which, amazingly, are surfacing again today.
Theological Illogic
The more traditional Christian justification that Bray used for his violence was just-war theory. He was fond of quoting two of my own heroes, Dietrich Bonhoeffer and Reinhold Niebuhr, in what I regard as perverse ways. Bray thought that their justification of military action against the Nazis (and an attempted assassination plot on Hitler's life Bonhoeffer was involved in) was an appropriate parallel to his terrorism against the US government's sanctioning of legal abortions. It seemed highly unlikely to me that Bray's positions would have been accepted by these or any other theologian within mainstream Protestant thought. Bonhoeffer and Niebuhr, like most modern theologians, supported the principle of the separation of church and state, and were wary of what Niebuhr called "moralism"—the intrusion of religious or other ideological values into the political calculations of statecraft. Moreover, Bray did not rely on mainstream theologians
for his most earnest theological justification.
The more significant Christian position that Bray and Hill advanced is related to the End-Time theology of the Rapture as thought to be envisaged by the New Testament book of Revelation. These are ideas related, in turn, to Dominion Theology, the position that Christianity must reassert the dominion of God over all things, including secular politics and society. This point of view, articulated by such right-wing Protestant spokespersons as Rev. Jerry Falwell and Pat Robertson, have been part of the ideology of the Christian Right since at least the 1980s and 1990s.
At its hardest edge, the movement requires the creation of a kind of Christian politics to set the stage for America's acceptance of the second coming of Christ. In this context, it is significant today that in some parts of the United States, over one-third of the opponents of the policies of President Barack Obama believe he is the Antichrist as characterized in the End-Times Rapture scenario.
The Christian anti-abortion movement is permeated with ideas from Dominion Theology. Randall Terry (founder of the militant anti-abortion organization Operation Rescue and a writer for the Dominion magazine Crosswinds) signed the magazine's "Manifesto for the Christian Church," which asserted that America should "function as a Christian nation." The Manifesto said that America should therefore oppose "social moral evils" of secular society such as "abortion on demand, fornication, homosexuality, sexual entertainment, state usurpation of parental rights and God-given liberties, statist-collectivist theft from citizens through devaluation of their money and redistribution of their wealth, and evolutionism taught as a monopoly viewpoint in the public schools."

At the extreme right wing of Dominion Theology is a relatively obscure theological movement that Mike Bray found particularly appealing: Reconstruction Theology, whose exponents long to create a Christian theocratic state. Bray had studied their writings extensively and possessed a shelf of books written by Reconstruction authors. The convicted anti-abortion killer Paul Hill cited Reconstruction theologians in his own writings and once studied with a founder of the movement, Greg Bahnsen, at Reformed Theological Seminary in Jackson, Mississippi.
Leaders of the Reconstruction movement trace their ideas, which they sometimes called "theonomy," to Cornelius Van Til, a twentieth-century Presbyterian professor of theology at Princeton Seminary who took seriously the sixteenth-century ideas of the Reformation theologian John Calvin regarding the necessity for presupposing the authority of God in all worldly matters. Followers of Van Til (including his former students Bahnsen and Rousas John Rushdoony, and Rushdoony's son-in-law, Gary North) adopted this "presuppositionalism" as a doctrine, with all its implications for the role of religion in political life.
Recapturing Institutions for Jesus
Reconstruction writers regard the history of Protestant politics since the early years of the Reformation as having taken a bad turn, and they are especially unhappy with the Enlightenment formulation of church-state separation. They feel it necessary to "reconstruct" Christian society by turning to the Bible as the basis for a nation's law and social order. To propagate these views, the Reconstructionists established the Institute for Christian Economics in Tyler, Texas, and the Chalcedon Foundation in Vallecito, California. They have published a journal and a steady stream of books and booklets on the theological justification for interjecting Christian ideas into economic, legal, and political life.
According to the most prolific Reconstruction writer, Gary North, it is "the moral obligation of Christians to recapture every institution for Jesus Christ." He feels this to be especially so in the United States, where secular law as construed by the Supreme Court and defended by liberal politicians is moving in what Rushdoony and others regard as a decidedly un-Christian direction; particularly in matters regarding abortion and homosexuality. What the Reconstructionists ultimately want, however, is more than the rejection of secularism. Like other theologians who utilize the biblical concept of "dominion," they reason that Christians, as the new chosen people of God, are destined to dominate the world.
The Reconstructionists possess a "postmillennial" view of history. That is, they believe that Christ will return to earth only after the thousand years of religious rule that characterizes the Christian idea of the millennium, and therefore Christians have an obligation to provide the political and social conditions that will make Christ's return possible. "Premillennialists," on the other hand, hold the view that the thousand years of Christendom will come only after Christ returns, an event that will occur in a cataclysmic moment of world history. Therefore they tend to be much less active politically.
Rev. Paul Hill, Rev. Michael Bray, and other Reconstructionists—along with Dominion theologians such as the American politician and television host Pat Robertson and many other right-wing Christian activists today—are postmillenialists. Hence they believe that a Christian kingdom must be established on Earth before Christ's return. They take seriously the idea of a Christian society and a form of religious politics that will make biblical code the law of the United States.
These activists are quite serious about bringing Christian politics into power. Bray said that it is possible, under the right conditions, for a Christian revolution to sweep across the United States and bring in its wake Constitutional changes that would allow for biblical law to be the basis of social legislation. Failing that, Bray envisaged a new federalism that would allow individual states to experiment with religious politics on their own. When I asked Bray what state might be ready for such an experiment, he hesitated and then suggested Louisiana and Mississippi, or, he added, "maybe one of the Dakotas."
Not all Reconstruction thinkers have endorsed the use of violence, especially the kind that Bray and Hill have justified. As Reconstruction author Gary North admitted, "there is a division in the theonomic camp" over violence, especially with regard to anti-abortion activities. Some months before Paul Hill killed Dr. Britton and his escort, Hill (apparently hoping for Gary North's approval in advance) sent a letter to North along with a draft of an essay he had written justifying the possibility of such killings in part on theonomic grounds. North ultimately responded, but only after the murders had been committed.
North regretted that he was too late to deter Hill from his "terrible direction" and chastised Hill in an open letter, published as a booklet, denouncing Hill's views as "vigilante theology." According to North, biblical law provides exceptions to the commandment "Thou shalt not kill" (Ex 20:13), but in terms similar to just-war doctrine: when one is authorized to do so by "a covenantal agent" in wartime, to defend one's household, to execute a convicted criminal, to avenge the death of one's kin, to save an entire nation, or to stop moral transgressors from bringing bloodguilt on an entire community.
Hill, joined by Bray, responded to North's letter. They argued that many of those conditions applied to the abortion situation in the United States. Writing from his prison cell in Starke, Florida, Paul Hill said that the biblical commandment against murder also "requires using the means necessary to defend against murder—including lethal force." He went on to say that he regarded "the cutting edge of Satan's current attack" to be "the abortionist's knife," and therefore his actions had ultimate theological significance.
Bray, in his book, A Time to Kill, spoke to North's concern about the authorization of violence by a legitimate authority or "a covenental agent," as North put it. Bray raised the possibility of a "righteous rebellion." Just as liberation theologians justify the use of unauthorized force for the sake of their vision of a moral order, Bray saw the legitimacy of using violence not only to resist what he regarded as murder—abortion—but also to help bring about the Christian political order envisioned by the radical dominion theology thinkers. In Bray's mind, a little violence was a small price to pay for the possibility of fulfilling God's law and establishing His kingdom on earth.
For most of the rest of us, even a little violence is a price too high to pay for these fantastic visions of Christian politics and for America's recent return to Christian terrorism.
Mark Juergensmeyer is Professor of Sociology and Director of Global and International Studies at the University of California, Santa Barbara. He is the winner of the Grawemeyer Award for his book Terror in the Mind of God (UC Press). He is the editor of Global Religions: An Introduction and is also the author of The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State and Gandhi's Way: A Handbook of Conflict Resolution, both from UC Press.
© 2010 Religion Dispatches All rights reserved.

Senin, 19 April 2010

Pupuh 17 - downloadeun

 

Baraya,
bisi aya nu perlu lagu-lagu pupuh, kuring meunang link na yeuh.

http://sharebee.com/27d16c3f

link ieu meunang ti websitena sinyo walanda anu nganjrek di bandung.
alamatna: madrotter.blogspot.com

manehna khusus ngumpulkeun lagu-lagu indonesia, lolobana lagu-lagu lila
ti mimiti taun 40'an nepi ka kiwari.

dina postingan bareto kuring oge pernah nuduhkeun ieu alamat website si
sinyo. tapi teu salah lain, lamun kuring ngabejaan deui. Bisi aya anu
can nyaho atawa poho.

Bisi aya baraya anu rumasa jadi produser atawa anu nyieun ieu kaset 17
pupuh, hampuranya kuring geus ngabajak. he..he..he..
Ngabajak kaset ieu teh lain jang kaperluan komresil, tapi dina raraga
ngarumat budaya sunda. Mugia barang bajakan ieu jadi sumber pahala
pikeun anu ngarekamna.
amiin.

.

__,_._,___

Asal usul 10 Perintah ALLAH turun bagi bangsa Israel‎

Asal usul 10 Perintah ALLAH turun bagi bangsa Israel‎

Mengapa 10 perintah Allah diberikan ke bangsa Israel? ‪

Konon, 10 Perintah Allah itu sebenarnya bukan untuk orang Israel, melainkan untuk bangsa lain. Tapi justru bangsa lain yang ditawarkan malah menolak. ‪

Begini kisahnya...

Malaikat ke Italia.‪
Malaikat: "Hei kamu orang Italia, mau perintah Allah nggak?"
Orang Italia: "Apa isinya?"
Malaikat: "Jangan membunuh!"
Orang Italia: "Sorry yaa, kami ini mafia, membunuh adalah kegiatan kami" ‪

Lalu malaikat itu terbang ke Rusia. ‪
Malaikat: "Hei kamu orang Rusia, mau perintah Allah nggak?"
Orang Rusia: "Apa Isinya?" ‪
Malaikat: "Sembahlah TUHAN, Allahmu!"
Orang Rusia: "Sorry yaa, kami ini atheis. Tidak percaya sama Tuhanmu!" ‪

Lalu malaikat itu terbang ke Cina. ‪
Malaikat: "Hei kamu orang Cina,mau perintah Allah nggak?"
Orang Cina: "Apa isinya?" ‪
Malaikat: "Jangan berdusta!"
Orang Cina: "Sorry yaa, kami ini pedagang, jadi mesti menipu supaya dapat untung." ‪

Dan malaikat singgah ke Indonesia
Malaikat: "Hei kamu orang Indonesia, mau perintah Allah nggak?"
Orang Indonesia: "Apa isinya?" ‪
Malaikat: "Jangan ingin memiliki harta yang bukan hakmu"
Orang Indonesia: "Sorry yaa, kami ini koruptor, jadi mesti merampas harta orang lain."

‪Malaikat tsb menjadi frustrasi. ‪Akhirnya sang malaikat terbang ke Israel yang umatnya terkenal bandel dan pelit!
Siapa tahu mereka mau, gumam malaikat. ‪
Malaikat: "Hei kamu orang Israel, mau perintah Allah nggak?"
Orang Israel : "Mmmh...bayar nggak?" ‪
Malaikat: "Gratis!!!"
Orang Israel : "OK, kami minta SEPULUH!!":)


Sumber : Dari Maya, milist alumni ipb

Pygmalion

 

Alhamdulillah mas HY, nuansa islam seperti inilah yang mestinya sering kita sampaikan...... Karena sesungguhnya sebagai rahmatan lil alamin, Islam adalah agama yang lembut penuh kasih sayang....

Pada zaman khalifah Umar bin khatab (era khulafaurrasyidin), ada sebuah kisah, Gubernur qabti (mesir), amru bin ash, hendak membangun masjid, untuk kepentingan pembangunan masjid tsb gubernur membongkar rumah seorang yahudi. Yahudi tsb protes tetapi tak dihiraukan oleh gubernur tsb, maka iapun berangkat ke madinah menjumpai khalifah umar dan menyampaikan apa yang terjadi. Singkat cerita, Umar kemudian mengambil sebilah tulang dan membuat garis lurus dengan goresan pedangnya, " berikan ini ke amru bin ash ! Katakan ini dari umar bin khatab!"
Yahudi itupun kembali ke mesir, menyerahkan tulang tsb spt perintah umar. Melihat tulang tsb, amru bin ash sang gubernur menggigil ketakutan. Amru bin ash meminta maaf kepada yahudi tsb, dan membangun kembali rumah yang dirobohkan, pembangunan masjid diteruskan dengan menggeser posisi.

Yahudi tsb bertanya, apa arti tulang itu?, amru bin ash menjawab," khalifah umar marah karena saya telah berlaku zalim, Islam harus ditegakkan dengan kebenaran dan keadilan. Tidak boleh ada kezaliman dan tindakan perusakan sekalipun untuk membangun rumah ibadah.... "

Yahudi itu terharu.... Dan mendapat hidayah.....

Salam
Yudha herry asnawi


Kang Yudha,
Dlm buku "Tadzkirat Al Auliya" karya Fariduddin Attar, ada kisah menarik Syekh Hasan Al Basri.

Beliau tinggal bertetangga dengan orang Yahudi yg beragama Yahudi. Karena rumahnya dempet (mirip model kapel kalau jaman sekarang), bagian tertentu dari rumah Hasan Al Basri sering mendapat rembesan/bocoran air dari tetangganya, yg tentu sangat mengganggu. Keadaan seperti itu berlangsung lebih dari 20 tahun.

Pada suatu hari tetangganya mendengar bahwa Hasan Al Basri sedang jatuh sakit. Maka bezoeklah tetangga itu.

Pada saat bezoek itu, tetangga itu baru tahu kalau ada bocoran air dari rumahnya yg masuk ke rumah Hasan Al Basri.

"Sudah berapa lama ini berlangsung, "tanya tetangga ke Hasan Al Basri.

"Sudah dua puluh tahun, "jawab Hasan Al Basri.

Tetangga itu sangat malu sekaligus kagum kepada Hasan Al Basri atas kesabarannya, yg menyebabkan dia melepaskan sabuk Yahudinya, lalu masuk Islam.

HY

 

Pymalion impact, dalam khasanah religi (islam) dikenal dengan terminologi " khusnudzon "..... Berprasangka baik.

Seorang ulama besar Hasan Al basri, mengatakan, belum sempurna keagamaan (keislaman) dan keimanan seseorang, sampai ada khusnudzon di hatinya.

Dalam sejarahnya, hasan al basri pernah dizalimi oleh penguasa damaskus (khilafah bani umayyah) dengan pelarangan mengajar dan tindakan intimidasi, murid2nya marah dan ingin berontak, tapi Hasan Al Basri melarangnya, sambil tersenyum beliau mengatakan..... "Mereka melakukan semua itu... Mungkin karena mereka belum tahu.... Sabarlah mari kita lakukan amal yang baik2 sehingga mereka menjadi tahu... Insya Allah mereka akan berubah"

Sikap seperti itulah yang membuat Hasan Al Basri dikenang sepanjang masa.

Salam
Yudha Herry Asnawi

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!


PYGMALION

Pygmalion adalah seorang pemuda yang berbakat seni memahat. Ia sungguh
piawai dalam memahat patung. Karya ukiran tangannya sungguh bagus.Tetapi
bukan kecakapannya itu menjadikan ia dikenal dan disenangi teman dan
tetangganya.

Pygmalion dikenal sebagai orang yang suka berpikiran positif. Ia memandang
segala sesuatu dari sudut yang baik. Apabila lapangan di tengah kota becek,
orang-orang mengomel.Tetapi Pygmalion berkata, "Untunglah, lapangan yang
lain tidak sebecek ini."

Ketika ada seorang pembeli patung ngotot menawar-nawar harga,kawan-kawan
Pygmalion berbisik, "Kikir betul orang itu." Tetapi Pygmalion
berkata,"Mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk urusan lain yang
lebih perlu".

Ketika anak-anak mencuri apel dikebunnya, Pygmalion tidak mengumpat. Ia
malah merasa iba, "Kasihan,anak-anak itu kurang mendapat pendidikan dan
makanan yang cukup di rumahnya."

Itulah pola pandang Pygmalion. Ia tidak melihat suatu keadaan dari segi
buruk, melainkan justru dari segi baik. Ia tidak pernah berpikir buruk
tentang orang lain; sebaliknya, ia mencoba membayangkan hal-hal baik
dibalik perbuatan buruk orang lain.

Pada suatu hari Pygmalion mengukir sebuah patung wanita dari kayu yang
sangat halus. Patung itu berukuran manusia sungguhan. Ketika sudah rampung,
patung itu tampak seperti manusia betul. Wajah patung itu tersenyum manis
menawan, tubuhnya elok menarik. Kawan-kawan Pygmalion
berkata,"Ah,sebagus-bagusnya patung, itu cuma patung, bukan isterimu."
Tetapi Pygmalion memperlakukan patung itu sebagai manusia betul.
Berkali-kali patung itu ditatapnya dan dielusnya.

Para dewa yang ada di Gunung Olympus memperhatikan dan menghargai sikap
Pygmalion, lalu mereka memutuskan untuk memberi anugerah kepada
Pygmalion,yaitu mengubah patung itu menjadi manusia betul. Begitulah,
Pygmalion hidup berbahagia dengan isterinya itu yang konon adalah wanita
tercantik di seluruh negeri Yunani.

Nama Pygmalion dikenang hingga kini untuk menggambarkan dampak pola
berpikir yang positif. Kalau kita berpikir positif tentang suatu keadaan
atau seseorang,seringkali hasilnya betul-betul menjadi positif.

Misalnya,

* Jika kita bersikap ramah terhadap seseorang, maka orang itupun akan
menjadi ramah terhadap kita.
* Jika kita memperlakukan anak kita sebagai anak yang cerdas, akhirnya dia
betul-betul menjadi cerdas.
* Jika kita yakin bahwa upaya kita akan berhasil, besar sekali kemungkinan
upaya dapat merupakan separuh keberhasilan.

Dampak pola berpikir positif itu disebut dampak Pygmalion. Pikiran kita
memang seringkali mempunyai dampak fulfilling prophecy atau ramalan
tergenapi, baik positif maupun negatif.

* Kalau kita menganggap tetangga kita judes sehingga kita tidak mau bergaul
dengan dia, maka akhirnya dia betul-betul menjadi judes.
* Kalau kita mencurigai dan menganggap anak kita tidak jujur,akhirnya ia
betul-betul menjadi tidak jujur.
* Kalau kita sudah putus asa dan merasa tidak sanggup pada awal suatu
usaha, besar sekali kemungkinannya kita betul-betul akan gagal.

Pola pikir Pygmalion adalah berpikir, menduga dan berharap hanya yang baik
tentang suatu keadaan atau seseorang. Bayangkan, bagaimana besar dampaknya
bila kita berpola pikir positif seperti itu. Kita tidak akan berprasangka
buruk tentang orang lain. Kita tidak menggunjingkan desas-desus yang jelek
tentang orang lain. Kita tidak menduga-duga yang jahat tentang orang lain.

Kalau kita berpikir buruk tentang orang lain, selalu ada saja bahan untuk
menduga hal-hal yang buruk. Jika ada seorang kawan memberi hadiah kepada
kita, jelas itu adalah perbuatan baik. Tetapi jika kita berpikir buruk,
kita akan menjadi curiga, "Barangkali ia sedang mencoba membujuk," atau
kita mengomel, "Ah, hadiahnya cuma barang murah." Yang rugi dari pola pikir
seperti itu adalah diri kita sendiri.Kita menjadi mudah curiga. Kita
menjadi tidak bahagia.Sebaliknya, kalau kita berpikir positif,kita akan
menikmati hadiah itu dengan rasa gembira dan syukur, "Ia begitu murah hati.
Walaupun ia sibuk, ia ingat untuk memberi kepada kita."

Warna hidup memang tergantung dari warna kaca mata yang kita pakai. Kalau
kita memakai kaca mata kelabu, segala sesuatu akan tampak kelabu. Hidup
menjadi kelabu dan suram. Tetapi kalau kita memakai kaca mata yang terang,
segala sesuatu akan tampak cerah. Kacamata yang berprasangka atau benci
akan menjadikan hidup kita penuh rasa curiga dan dendam. Tetapi kacamata
yang damai akan menjadikan hidup kita damai.

Hidup akan menjadi baik kalau kita memandangnya dari segi yang baik.
Berpikir baik tentang diri sendiri. Berpikir baik tentang orang lain.
Berpikir baik tentang keadaan. Berpikir baik tentang Tuhan.

Dampak berpikir baik seperti itu akan kita rasakan. Keluarga menjadi
hangat. Kawan menjadi bisa dipercaya. Tetangga menjadi akrab. Pekerjaan
menjadi menyenangkan. Dunia menjadi ramah. Hidup menjadi indah. Seperti
hidupnya Pygmalion.

<Source: Unknown>

.

__,_._,___