Selasa, 27 April 2010

Ada Udang di Balik Kepala

Koran Tempo, 23 Mei 2010
Ada Udang di Balik Kepala
Oleh
Indra Jaya Piliang
Penulis Buku "Mengalir Meniti Ombak" dan "Bouraq-Singa Kontra Garuda"

Pendekatan spasial akan membawa kita pada kesimpulan bahwa beragam peristiwa yang bersumber kepada kekuasaan hari ini tidak saling berhubungan. Kasus Susno Duadji berbeda dengan Gayus Tambunan. Tragedi Koja tidak sama dengan kompetisi merebut ketua umum partai-partai politik. Kupu-kupu yang terbang di lembah Gunung Merapi, Sumatera Barat, tidak terkait dengan badai di Lautan Pasifik. Para demonstran kaos merah di Bangkok hanyalah serpihan yang tidak hinggap di kepala kelompok-kelompok tani yang minta haknya di Sumatera. Pra-peradilan kasus Bibit-Chandra bukan bagian dari kisah Anggodo.

Tetapi, bagaimana kalau kita melihatnya secara holistis dan komprehensif? Bagi penganut teori sistem, satu gigitan nyamuk saja di tungkai kaki bisa menembus selaput otak. Dari sini, pola pandang perlu diperbesar lagi. Kemajuan teknologi informasi zaman ini mengejar setiap individu dengan tumpukan sampah-sampah tak berguna. Apabila tidak mampu memilahnya, manusia tertimbun dalam ketidak-tahuan justru karena penuhnya data dan informasi. Daya ledak terjadi akibat over-information.

Dengan merangkai seluruh informasi dan meletakkannya di dinding kamar kerja, lalu menggunting dan menstabilo bagian-bagian kecil yang tersembunyi, kita segera tahu masalah besar bangsa ini. Apa itu? Kerusakan di kepala kekuasaan. Saya tidak menyebut kepala negara atau kepala pemerintahan. Tetapi, sekali lagi, kepala kekuasaan.

Kekuasaan di sini bisa didefenisikan kepada setiap orang yang memiliki otoritas publik. Otoritas yang didapatkan atas dasar kerja-kerja pelayanan publik. Otoritas yang juga bermodalkan anggaran publik yang diperoleh dari hak pengelolaan kekayaan negara dan warga negara. Kepala kekuasaan itu bisa saja seorang petugas pajak yang mendatangi wajib pajak atau wali nagari yang mengelola bantuan gempa. Kekuasaan yang tersebar, bukan dimonopoli oleh hanya segelintir orang saja.

***

Di sungai Batang Naras di depan rumah orang-tua saya, terdapat banyak sekali ikan. Yang paling mudah ditangkap pakai tangan adalah udang. Udang-udang itu bersembunyi di balik batu. Kita tinggal mengangkat batunya pelan-pelan atau langsung menjepit di bawah batu itu agar udang tak sempat lari. Cara lain, kalau ada semak belukar tempat udang bersembunyi, langsung saja diangkat dengan cepat dan dibuang ke darat. Udang akan menggelepar-gelepar.

Makna udang di masa kecil hanyalah sebagai lauk untuk menemani nasi. Tetapi, setelah dewasa, udang memiliki banyak makna. Satu yang saya ingat adalah labirin kecil warna hitam di punggungnya. Bagi tukang-tukang masak di restoran, labirin itu dibuang, karena itulah aliran kotoran dari kepala ikan ke bagian tubuh yang lain. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa bagian paling berbahaya dari udang adalah sisiknya bagi kesehatan. Sisik yang tidak mudah dicerna dan mengandung kolesterol tinggi. Itu informasi yang saya dapat, entah salah, entah benar.

Pada pelajaran yang lain tentang udang, lalu dikaitkan dengan kekuasaan, saya diberitahu tentang sebuah kesimpulan. Ya, udang itu kalau kotorannya terletak di kepala. Jadi, bagian yang paling cepat busuk setelah udang mati adalah kepalanya. Apakah di kepala itu terdapat otak, saya tidak tahu. Barangkali ada, tetapi tidak sebanyak kotorannya sendiri. Hubungannya dengan kekuasaan? Seperti udang, kekuasaan itu busuk di kepalanya sendiri.

Barangkali itulah yang terjadi belakangan ini. Setiap kepala kekuasaan memiliki kebusukan yang endemik dan sistemik. Kepala-kepala itu seperti ular-ular kecil di kepala Medusa, seorang perempuan yang tubuhnya juga ular. Siapapun lelaki yang memandang kepala itu, akan berubah menjadi batu. Tidak peduli lelaki itu seorang raja atau anak dewa sekalipun.

***

Tetapi, belum ada makhluk menyerupai udang dalam mitologi Yunani. Dalam alam moderen ini, kita sungguh disibukkan dengan penanda dan petanda yang berubah bentuk. Maqam Mbah Priuk, misalnya, sekalipun hadir lewat mitologi yang dipercaya oleh para pelayat, sebentar lagi malahan akan diresmikan sebagai bangunan cagar budaya oleh Presiden SBY. Saya percaya bahwa itu bagian dari pencitraan biasa. Tetapi, tanpa kejelasan sejarah tentang sesosok manusia yang bernama Mbah Priuk, jelas akan menimbun satu soal yang nanti pastilah mengundang masalah lagi.

Seperti rangkaian, baik Mbak Priuk, maqam Mbak Priuk, pelayat-pelayatnya, pewaris-pewarisnya, Pemda DKI Jakarta, Pelindo II, sampai Presiden SBY sendiri, terjebak dalam lingkaran kekuasaan yang saling tindih-menindih. Bukannya mengarah kepada kejernihan atas informasi yang masih samar-samar, kita seperti ingin melupakan masalah ini dengan cara win-win solution. Adagium yang entah mengapa makin sering dipraktekkan.

Padahal, cara-cara yang lebih berguna bagi masa depan sungguh banyak tersedia. Misalnya, sebuah studi arkeologis dan sejarah yang dilakukan oleh ahli-ahli yang bertebaran di banyak kampus. Sekalipun Fauzi Bowo sebelum menjadi Gubernur DKI berkampanye "Bang Foke Ahlinya", tetap saja Fauzi bukan ahli soal sejarah dan arkeologi. Biarkan pakar-pakar ini yang bekerja dalam masa jeda. Jangan juga jeda itu dihentikan dengan cara membuat program-program pencitraan baru.

Selain itu, tentu mempekerjakan ahli-ahli bangunan, kalangan arsitek, serta perencanaan kota. Kalau selama ini maqam Mbak Priuk dianggap sebagai bagian dari "benalu" dalam fungsi pelabuhan, para arsitek dan perencana kota pastilah bisa membuatkan maket yang menjadikan maqam itu sebagai bagian integral dalam sistem pelabuhan. Di pintu pelabuhan bisa saja dipasang arah penunjuk jalan, bahwa maqam Mbah Priuk bisa dibuka pada jam sekian dan dikunjungi para pelayat. Para pedagang juga bisa difungsikan dengan baik, tanpa harus mengganggu arus keluar-masuk kontainer-kontainer raksasa.

Dengan cara-cara yang lebih realistik itu, udang-udang di balik kuasa bisa dicarikan jalan bernafasnya. Bukan malah terus disembunyikan untuk sewaktu-waktu menjadi bom-bom waktu. Begitupula atas masalah-masalah lain bangsa ini. Jangan biarkan kepala-kepala kuasa, kuasa-kuasa kepala, malah menjadi mahkluk yang membuat bangsa ini menjadi busuk. Diremehkan oleh bangsa lain. Dilecehkan oleh bangsa sendiri.

Saatnya udang masuk ke penggorengan. Jangan biarkan berubah menjadi kepala kita sendiri....

__._,_.___

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar