Rabu, 28 April 2010

Memimpikan Indonesia Yang Lain

http://www.indrapiliang.com/2010/04/28/ijp-memimpikan-indonesia-yang-lain/


Memimpikan Indonesia Yang Lain
(Materi Diskusi Panel di PSJ UI, 29 April 2010)
Oleh
Indra Jaya Piliang
Mensesneg Kabinet Indonesia Muda

Saya percaya bahwa Indonesia tidak hanya bangunan kata-kata yang muncul dalam naskah konstitusi dan pidato-pidato para pejabat negara. Indonesia, sebagai kata, tentu sama di manapun digunakan. Tetapi Indonesia sebagai imajinasi dalam benak setiap manusia Indonesia, tentulah berbeda-beda. Indonesia sebagai bangunan kata bisa runtuh seperti rumah kartu, sementara sebagai imajinasi tidak akan pernah habis-habisnya. Romawi, Majapahit, Sriwijaya, Uni Sovyet, sampai Yugoslavia tidak lagi ada dalam peta bumi, pecah ke dalam beragam bentuk negara atau bekas kerajaan/negara, karena ketiadaan imajinasi itu.

Saya berani bertaruh bahwa sebagian besar orang di dalam ruangan ini tidak puas dengan Indonesia yang sekarang. Kalau tidak, mengapa juga kita membayangkan Indonesia yang lain, sesuai dengan tema diskusi ini? Dan yang paling penting adalah peserta diskusi berasal dari kelompok yang dulu termasuk kategori elite Indonesia: mahasiswa. Kini, setidaknya, anda di sini adalah bagian dari kelas sosial baru yang sedang bersiap diri dengan kelengkapan talenta, keahlian, idealisme dan imajinasi tentang Indonesia yang lain. Tetapi, dengan kemajuan teknologi informasi, anda yang ada di sini sama cepatnya atau sama lambatnya dalam berkejaran mendapatkan berita atau ilmu apapun di luar sana, terutama lewat internet. Dulu, buku terbatas dimiliki oleh para dosen atau profesor. Kini, buku berserakan di banyak tempat, bahkan sampah-sampah digital.

Apa Indonesia yang lain itu?

Dari sisi pemerintahan, berhubung saya adalah seorang Menteri Sekretaris Negara Kabinet Indonesia Muda (KIM), maka yang terbayang adalah pengelolaan administrasi negara secara transparan. Istana Negara tidak boleh menjadi rumah hantu yang diam atau markas bagi serdadu yang mengarahkan senapan ke jalanan. Lembaran-lembaran negara dikabarkan ke setiap penjuru, terutama dari level pemerintahan pusat sampai ke desa, lewat teknologi informasi. Kalaupun lembaran negara itu nauzubillah tebalnya, staf di kantor Mensesneg bisa membuat semacam rangkuman, terutama yang penting buat kepentingan dan hajat hidup rakyat banyak. Tidak boleh ada satu dokumenpun yang sudah memiliki kekuatan mengikat orang lain disembunyikan atas nama rahasia negara.

Yang juga saya hindari sebagai Mensesneg adalah kegiatan politik. Pertama saya dilantik, maka saat itu juga saya menyatakan pengunduran diri secara terbuka sebagai pejabat politik. Saya merasa tidak perlu lagi melibatkan diri dalam berjenis organisasi, baik sosial, bisnis ataupun politik. Biarlah pekerjaan itu dilakoni oleh anak-anak muda di bawah usia saya, sehingga cadangan kepemimpinan nasional tetap terjaga. Dalam masa yang pendek itu, saya akan melaporkan seluruh kekayaan pribadi dan keluarga. Biar masyarakat tahu bahwa memimpin bukanlah tugas untuk menjadi kaya. Memimpin adalah jalan untuk mengarah kepada level kehidupan berikutnya yang lebih tinggi, yakni tingkatan seorang pertapa atau sufi. Memimpin, kata H Agus Salim yang disebut cerdas oleh Raden Ajeng Kartini itu adalah jalan untuk menderita.

Tentu di sekeliling saya akan dipenuhi oleh para profesional, terutama para ahli di bidangnya. Untuk kepentingan negara, mereka layak digaji bahkan lebih tinggi dari seorang menteri. Karena mereka dibajak dari korporasi-korporasi multi-nasional, harga pemikiran dan profesionalitas mereka harus setara. Saya mungkin akan melibatkan sedikit senior untuk menemukan kearifan dalam kebijakan. Tetapi juga tentu dipenuhi oleh para junior yang telah belajar puluhan tahun, baik di dalam negeri ataupun diluar negeri. Syarat yang sama akan saya perlakukan buat mereka, yakni tidak boleh ikut kegiatan politik, sosial ataupun ekonomi. Ya, bolehlah sesekali mereka menjalankan kegiatan olahraga dan seni pavoritnya, tetapi tanpa mengalami conflict of interest dengan kepentingan apapun. Untuk meringankan beban pekerjaan, mereka sesekali berlibur ke tempat yang terjangkau anggaran.

Tugas utama mereka adalah bukan membuat rantai birokrasi yang semakin rumit dengan naskah-naskah atau dokumen-dokumen yang menumpuk, melainkan mempersingkatnya. Kalau perlu, semua urusan bisa dikerjakan dalam hitungan menit dan jam, bukan bulan dan tahun. Sedangkan tugas lain adalah bagaimana mereka bisa mengajak masyarakat, terutama dari segmen kelompok muda yang kritis, bisa mengawasi dengan baik kebijakan-kebijakan yang saya buat.

Indonesia adalah negara yang luas. Saking luasnya, tidak cukup waktu bagi seorang menteri, apalagi Mensesneg, untuk mengunjungi setiap pulaunya. Bayangkan, dengan jumlah pulau besar dan kecil mencapai 18.000 lebih, butuh 180 tahun untuk mengunjungi 100 pulau dalam setahun. Paling banter, saya sebagai menteri mengunjungi 33 provinsi dalam setahun, terutama untuk memeriksa jalur-jalur peredaran surat-menyurat yang terkait dengan bidang saya. kalau ada kemacetan sebuah surat keputusan presiden menyebar, saya akan cek dimana letak kemacetan itu. Saya tidak ingin lagi ada anggota-anggota DPRD atau kepala-kepala dinas pergi ke Jakarta menghabiskan uang banyak, hanya untuk mendapatkan fotokopi sebuah surat atau peraturan atau undang-undang. Artinya, saya bisa mengunjungi 3 provinsi dalam sebulan. Syukur-syukur saya bisa sampai di kabupaten-kota yang berjumlah hampir 500 itu.

Setiap menteri adalah simbol perekat bagi apa yang disebut sebagai negara. Dengan hanya berkunjung dari satu daerah ke daerah yang lain, sang menteri akan melihat bahwa Indonesia memiliki danau, gunung, hutan, lembah, sampai beragam jenis iklim, ketinggian, potensi, sampai juga beragam jenis kebudayaan yang menopangnya. Indonesia yang memiliki 220 Juta lebih penduduk dengan indeks pembangunan manusia yang rendah ini harus dilihat pada tingkatan paling terpuruk dan paling tertindas. Sentuhan seorang menteri sangat membantu bagi keterikatan satu daerah dengan daerah lain, serta melihat apa yang dilihat rakyat pada lapisan terbawah. Tugas pemerintahan pusat adalah menjaga keterikatan itu atau yang dikenal dengan sebutan Persatuan Indonesia berdasarkan aspek-aspek kemanusiaan.

Dan alangkah baiknya apabila sebelum menjadi menteri, seluruh provinsi sudah terjelajahi oleh anak-anak muda yang terjun ke dunia politik praktis. Saya termasuk yang beruntung. Kecuali Manokwari di Papua Barat, saya sudah sampai di 32 Provinsi lainnya dalam waktu yang berbeda-beda, sejak tahun 1990-an awal. Kata Muhammad Hatta, banyak-banyaklah berjalan, maka anda akan mencintai negara ini. Seorang Muhammad Hatta tidak akan lahir, andai saja hanya tinggal atau dipenjara di Batavia atau Bangka Belitung. Pengasingannya ke Ende dan Tanah Merah telah membawanya pada perjalanan intelektual yang nyata.

Tentu kita paham, kenapa tentara begitu mudah menjadi pemimpin politik di negeri ini. Alasan yang paling masuk akal adalah penguasaan teritorial, disamping sistem komando dan jenjang karir yang dibuat. Dan semuanya atas biaya negara. Sementara bagi seseorang lewat jalur rakyat biasa, akan sangat kesulitan untuk mencapai puncak. Saya sering menyaksikan orang-orang hebat gagal lahir, layu sebelum berkembang, ketika tidak memiliki kesempatan untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi atau digagalkan masuk ke satu organisasi sosial-politik. Mereka tidak mendapat kesempatan dan dikalahkan oleh orang-orang yang memiliki "kualitas" darah biru dan kantong tebal. Betul, itu tidak ada masalah kalau idealismenya sama. Tetapi kalau berbeda?

Karena itu, jalur-jalur alternatif layak dibuat, termasuk untuk kaderisasi kepemimpinan. Dan itu adalah Indonesia yang lain. Indonesia yang tidak hanya dihuni oleh kalangan yang selama puluhan tahun berasal dari kasta-kasta politik atau dinasti-dinasti politik yang kekurangan gairah atas kemajuan peradaban dan pengejaran ilmu pengetahuan, tetapi hanya memiliki libido kekuasaan yang kuat. Kasta-kasta politik yang menikmati pertarungan demi pertarungan demi pertarungan itu sendiri. Indonesia yang lain adalah Indonesia yang tidak tergantung kepada dinasti-dinasti politik itu. Indonesia yang bisa menghancurkan feodalisme yang gagal dilakukan oleh generasi 1945 yang melahirkan Republik Indonesia.

Dalam bentuk yang lebih jauh, Indonesia yang lain adalah Indonesia yang memberikan penghargaan kepada setiap ilmuwan, seniman, olahragawan, sampai kepada para petani yang bekerja bertahun-tahun, turun-temurun, di dunianya. Indonesia yang lain adalah Indonesia yang menghasilkan para nelayan yang tidak lagi takut akan gelombang, karena memiliki kapal canggih untuk melaut. Indonesia yang lain adalah Indonesia yang bisa memenggal gedung-gedung pemerintahan dan perbankan yang serba tinggi di Jakarta, agak efisiensi birokrasi terjadi. Indonesia yang lain adalah Indonesia yang meletakkan berbagai departemen dan kantor-kantor penting pemerintahan yang disebarkan merata di seluruh Indonesia, sesuai dengan potensinya.

Kini, kita melihat Indonesia yang jumud, Indonesia yang lembam, Indonesia yang dibaluri oleh pertarungan-pertarungan kecil. Indonesia yang menjalankan politik dalam "p" kecil, bukan politik dalam "P" besar. Politik "p" kecil hanya sekadar meraih kekuasaan dengan harga mahal dan mengorbankan banyak hal, termasuk harga diri. Politik dalam "P" besar adalah kehidupan yang berjibaku dengan sekian banyak diskusi akan visi yang visioner atas masa depan, sekaligus mampu memperdebatkan segala macam kebijakan dengan nafas yang saling jalin-menjalin. Bukan membunuh orang lain atas nama character assasination.

Apakah anda ada di barisan Indonesia yang lain itu ataukah anda sudah cukup menjadi bagian dari Indonesia hari ini? Silakan tanya kedalam diri anda sendiri....

Jakarta, 28 April 2010




.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar