Senin, 11 Juni 2012

SOSOK KELAS MENENGAH

SOSOK KELAS MENENGAH
Makin Konsumtif, Makin Konservatif

Oleh BAMBANG SETIAWAN

Kelas menengah Indonesia saat ini merupakan lapisan masyarakat yang gigih mengejar identitas kelas lewat gaya hidup, tetapi konservatif dalam ideologi dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap peran negara.

Kebangkitan kelas menengah dalam politik sempat menjadi kalimat penanda ketika Soeharto berhasil ditumbangkan dari tampuk kekuasaannya lewat demonstrasi besar tahun 1998. Terlebih, ketika demokrasi liberal kemudian diterapkan di Indonesia dengan pemilihan umum yang bebas tahun 1999, lalu diikuti pemilu langsung anggota parlemen dan presiden sejak tahun 2004, dan berikutnya pemilihan kepala daerah secara langsung sejak tahun 2005. Pengadopsian demokrasi dengan menerapkan prosedur-prosedur yang menjamin kebebasan memilih seolah menggambarkan pesatnya perubahan ideologi kelas menengah dari konservatif menjadi liberal.

Namun, 14 tahun setelah reformasi, pertanyaan sebaliknya justru layak diajukan. Apa yang terjadi dengan kelas menengah kita saat ini? Di tengah ketegangan sosial yang memburuk dan banyaknya pejabat yang korup, kelas menengah lebih suka antre mengejar diskon telepon genggam merek Blackberry daripada membentuk barisan menegakkan pilar demokrasi.

Survei Litbang Kompas yang dilakukan Maret-April 2012 memperlihatkan, semakin tinggi kelas sosial, semakin banyak mereka mengoleksi semua ornamen dan aktivitas gaya hidup. Di satu sisi, masyarakat berlomba menaikkan citra kelasnya dengan berusaha mengadopsi gaya hidup konsumerisme. Di sisi lain, mereka cenderung menanggalkan nilai-nilai demokrasi dan kembali menarik bandul politik ke arah otoritarianisme.

Membandingkan kelas menengah saat ini dengan hasil survei sejenis yang pernah dilakukan Litbang Kompas tahun 1997, gambaran yang tertangkap sungguh mengejutkan. Pada survei yang dilakukan setahun menjelang kejatuhan Soeharto tersebut, gambaran tentang demokrasi begitu menggembirakan. Semua kelas, termasuk kelas menengah, cenderung memandang pentingnya demokrasi.

Namun, sekarang gambaran yang tertangkap adalah masyarakat yang antidemokrasi yang mengharapkan negara lebih berperan dalam mengendalikan "keliaran" demokrasi. Tirani mayoritas tumbuh subur di semua kelas, mengesampingkan minoritas.

Kecenderungan melakukan simplifikasi nilai demokrasi dengan hanya berpegang pada makna "mayoritas" menang melawan "minoritas" ekuivalen dengan perkembangan yang terjadi sejak reformasi bergulir hingga hari ini. Masyarakat, termasuk kelas menengah, kian tak peduli terhadap orang-orang yang termarjinalkan, minoritas yang tersingkirkan dalam tata kehidupan kenegaraan. Terhadap penganut Ahmadiyah yang dikejar-kejar dan dimusnahkan, mereka cenderung tidak ambil pusing. Mereka lebih suka berlindung aman di balik ideologi "mainstream".

Kelas menengah merupakan strata sosial dengan anggota terbesar saat ini yang terbentuk oleh mobilitas ke atas yang cukup besar, yakni berupa naiknya status sosial sejumlah orang yang tadinya berasal dari kelas bawah menjadi kelas menengah. Komposisinya juga dilengkapi oleh turunnya sejumlah orang dari kalangan atas dan menengah atas ke kelompok menengah.

Kelas menengah mencerminkan sebuah strata yang secara sosial ekonomi belum cukup kuat. Mereka dicirikan oleh rata-rata pendidikannya yang setingkat SMA dengan penghasilan sekitar Rp 1,9 juta dan pengeluaran Rp 750.000-Rp 1,9 juta per bulan.

Mereka juga dicirikan oleh luasnya variasi pekerjaan, mulai dari wirausaha perseorangan, pedagang, pegawai negeri rendahan, pegawai swasta setingkat supervisor dan karyawan biasa, serta mereka yang memilih profesi sebagai ibu rumah tangga, pelajar/mahasiswa, dan pensiunan. Jumlah mereka diperkirakan berada di kisaran 50 persen dari jumlah penduduk perkotaan yang disurvei.

Kelas menengah juga dicirikan sebagai kelas yang mulai melek teknologi dan lebih banyak pergi ke mal dibandingkan dengan kelas bawah. Mereka memiliki waktu luang lebih banyak dibandingkan dengan kelas menengah atas. Rata-rata pencari nafkah dari kelas ini bekerja 8 jam per hari, sedangkan kelas menengah atas bekerja 10 jam sehari.

Meskipun memiliki kecenderungan mengejar materi dan berusaha tampil modis demi mempertahankan identitas kelasnya, sesungguhnya kelas menengah lebih menampakkan gambaran psikologis tipe pemeluk teguh (believer) yang konvensional, memiliki kepercayaan tebal pada tradisi dan nilai-nilai keluarga, agama, masyarakat, serta kehidupan bernegara.

Kelas ini cenderung tidak berani mencoba sesuatu yang baru tanpa melihat terlebih dahulu bagaimana kelompok menengah ke atas melakukannya. Demikian juga dalam pembelian barang-barang, mereka cenderung memakai merek-merek yang sudah terkenal, dan baru mau coba-coba setelah betul-betul yakin banyak yang memakainya.

Gila karier

Sifat-sifat progresif dan keinginan untuk meraih kemajuan baru muncul di kelas menengah atas, tetapi sayangnya jumlahnya masih terlalu sedikit untuk dapat menjadi kekuatan pendorong perubahan sosial. Kelas menengah atas-lah yang sesungguhnya memiliki ciri-ciri paling menonjol dari sebuah kelas yang jauh berbeda dibanding kelas bawah, dan memiliki karakter khusus yang dapat dibedakan dengan kelas-kelas lainnya.

Kelas ini jumlahnya 1,7-5,5 persen, dan memiliki gaya hidup lebih mewah, menikmati kemakmuran setelah berjuang keras. Mereka adalah para pemilik usaha dengan jumlah karyawan 1-10 orang, para manajer, atau pegawai swasta setingkat supervisor tetapi bergaji besar. Pendidikan mereka rata-rata setingkat sarjana dan memiliki dorongan untuk selalu maju dalam karier.

Rata-rata kelas menengah atas termasuk ke dalam kelompok "gila karier" (achiever). Tipe ini dicirikan oleh keinginan yang kuat untuk meraih kemajuan, berorientasi pada hasil, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap keluarga. Dengan kemauan dan kebutuhan yang besar, mereka aktif berada di pasar barang-barang konsumsi kualitas atas. Bagi mereka, citra adalah penting sehingga kelas ini cenderung menyukai barang-barang yang dapat mengangkat prestise, dan menyenangi variasi dalam penggunaan waktu luangnya.

Kelompok profesional muda dari kelas menengah atas yang berusia di bawah 30 tahun menjadi pengunjung paling aktif pusat perbelanjaan. Mereka mendatangi mal beberapa kali dalam seminggu.

Sementara itu, kelas menengah atas yang berusia 46-55 tahun turut andil dalam menyumbang kemacetan di jalur-jalur wisata. Mereka menikmati hidup dengan rekreasi ke luar kota beberapa kali dalam sebulan. Kelompok usia ini pula yang paling banyak membaca koran setiap hari dengan cara berlangganan. Sebaliknya, kelompok muda 22 tahun ke bawah dari kelas ini hampir-hampir tidak suka mencari informasi dari televisi, tetapi mereka sangat aktif menelusurinya melalui internet.

Meskipun tampak menikmati kemewahan hidup dan rakus dalam mengonsumsi barang-barang penunjang gaya hidup kelas atas, pandangan politik kelas menengah dan menengah atas cenderung konservatif, menghargai otoritas dan "status quo". Terhadap berbagai permasalahan bangsa, mereka kritis menilai baik atau buruknya keadaan, tetapi belum tergerak untuk mengorganisasi diri untuk mengubahnya.

Kelas menengah dan menengah atas lebih menggantungkan harapan kepada kewenangan negara untuk memperbaiki apa yang buruk, mengambil jarak dengan problem-problem sosial, dan menempatkan dirinya sebagai "penonton" berbagai peristiwa.

Kedua kelas ini hanya sebatas sebagai "kelas penceloteh" yang ramai menanggapi sejenak tetapi ragu bertindak. Mereka adalah kelas pencinta sinetron yang selalu mengejar sensasi dan komedi. (Litbang Kompas)

http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/02212693/Makin.Konsumtif.Makin.Konservatif

__._,_.___

__

Soegija: 100 persen Indonesia, 100 persen Katolik

Ibu dan Bapak yang saya hormati. Selamat berhari Minggu.

Sebuah film berjudul Soegija karya Garin Nugroho tentang pahlawan nasional bernama Soegijapranata ini patut ditonton. Tetapi jangan mengharapkan kisah heroik dan perjuangan fisik dari film tersebut. Film ini tenang-tenang saja. Simak saja tulisan tangan Soegija dan percakapannya.

Soegija adalah nama asli Soegijapranata, lahir di Surakarta 25 November 1896 dari keluarga abdi dalem Kasunanan Surakarta. Nama tambahan Pranata (dibaca Pranoto) itu diberikan 15 Agustus 1931 ketika Soegija menerima Sakramen di kota Maastricht, Belanda. Garin, sutradara senior itu memanfaatkan catatan harian Romo Soegija untuk dijadikan film ini. Saya rasa tidak mudah membuat sebuah film perjuangan dari seseorang yang berjuang melalui pola silent diplomacy pada masa revolusi. Untungnya Bung Karno, yang merasakan jasa Romo Soegija ketika pemerintahan harus pindah ke Yogyakarta karena kembalinya Belanda ke Indonesia sehingga pada tahun 1963 pemerintahan Bung Karno memberikan gelar Pahlawan Nasional untuk Soegijapranata. Pada masa pendudukan kembali Indonesia oleh Belanda memaksa para pejuang dan masyarakat harus mengungsi ke Yogyakarta. Begitu juga Romo Sogija dan seluruh jajaran gereja dan pengikutnya di Semarang, mengungsi ke Yogya. Di sini terlihat bahwa Romo Soegija adalah seorang nasionalis sejati. Beliau menamkan ajaran kepada penganut Katolik di Indonesia untuk menjadi Indonesia sejati, katanya 'Seratus persen Indonesia, seratus persen Katolik'. Pemerintahan Indonesia memberikan status pahlawan nasional kepada Romo Soegija, empat hari saja setelah Romo meninggal. Beliau wafat tg 22 Juli 1963 dan status kepahlawanan diberikan pada tg 26 Juli 1963. Terlihat pemerintahan Bung Karno sangat cepat untuk hal2 prinsip, tidak bertele-tele, tidak 'ngayayay'.

Soegija adalah uskup pribumi (Indonesia) pertama yang diberikan oleh Vatikan. Beliau dibaptis menjadi uskup tanggal 6 Nov 1940, masih dalam kondisi pemerintahan Hindia Belanda. Baik di gereja ataupun di luar gereja, Beliau selalu menekankan pentingnya pendidikan dan kebudayaan lokal untuk karakter bangsa. Digambarkan betapa gereja menyatu dengan masyarakat, bahkan saat itu kebaktian pun dilakukan di hamparan lahan terbuka.

Pada tahun 1943 ketika Jepang menduduki Indonesia, gereja dan Rumah Sakit St Carolus dapat terus berjalan. Padahal, pemerintahan Jepang pada waktu itu akan mengambil tempat tersebut untuk markas serdadu Jepang di Semarang. Romo Soegija dengan tenang mengatakan 'penggal dulu leher saya kalau mau mengambil tempat ini'. Komandan tentara Jepang tidak meneruskan pengambilan gereja dan rumah sakit St Carolus. Statement Soegija meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia paling tidak di Semarang, bahwa mepertahankan negara adalah harga mati. Tidak bisa ditawar.

Sisi kemanusiaan Romo Soegijapranata sangat menonjol. Dan juga merakyat. Obrolan dengan pembantunya yang dimainkan oleh Butet Kartaredjasa, memperlihatkan mereka tidak ada jarak. Sebenarnya ini adalah salah satu tipe pemimpin saat ini, di zaman modern.

Film itu mengambil kejadian tahun 40-49, masa Hindia Belanda, Jepang, dan pendudukan kembali Indonesia oleh Belanda. Ada esensi-esensi kemanusiaan dan kecintaan, termasuk dari para penjajah. Kita adalah satu. Hakekatnya manusia adalah sama. Perbedaan pemunculan sifatnya alamiah, sebagai d'etre, tidak perlu dipertentangkan, dipaksakan, apalagi menjadi perang. Biarkan mereka berbeda, dan cintailah perbedaan ini. Bagaimana detilnya, silakan saja nonton..he he he.

AS


Jumat, 08 Juni 2012

Syair khalil gibran diterjemah BEBAS jadi sajak sunda

 

bu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir – bibir manusia.
Dan "Ibuku" merupakan sebutan terindah.


Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.
Ibu adalah segalanya.


Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kta dalam rengsa, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta,
kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi.


Siapa pun yang kehilangan ibunya,
ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasamerestui dan memberkatinya.
Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu.
Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.

Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan.
Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya.
Pepohonandan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.
Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.Penuh cinta dan kedamaian.

~ Khalil Gibran~



Pasti aya aslina nu "sajak"na endah.
Tapi ieu mah diindonesiakeun, jadi teu endah deui.
Ayeunaa ku uraang kudu disundakeun; atawa make syair basa sunda.

Jadi di dieu kudu aya kaciri rasa Sundana :

indung ............
kecap "indung" kacida loba hartina pikeun pribadi manusa,
duuuh EMA anjeun salawasna ngadoa pikeun urang hirup mulya
hirup nu endah pinuh ku barokah .............
ibu naon ngaranna mun tara ngadoa pikeun para putra......
duh  ema anjeun teh sinar surya keur kuring
kuring nu tara tinggal tina ngaharep du'a anjeun
mun anjeun teu aya ibu ..........
duuuh hiji harepan na hate milu musna......
harepan ti na do'a nu ihlas ti na sanubari nu suci .........
ibu .......   kuring butuh do'a jeung kaihlasan ibu ........
mudah2an hirup kuring jadi waluya.........
lain bah willy

__._,_.___

[kisunda] Fiksimini - Balébat

Fikmin #Balébat#

Ngalangeu dina dék kapal. Nanggeuy gado nyawang sagara. Nyindekel kana galangan kapal. Angin laut nyéor nyingraykeun buuk ririaban. Nyambuang aroma cai laut nu teu weléh ngabéngbat. Balébat ukur ngolébat. Birat luncat kasuntrungkeun matapoé. Lir bola seuneu nyurungkuy dina beuteung laut. Merejel ngahuru budah laut. Langit ngempur burahay neumbag beungeut sagara. Tingburicak marakbak lambak oyag-oyagan. "Paingan turis daék datang ti jauhna!" Ukur hayang nyaksian meletékna srangéngé. Da geuning sakitu matak kelarna. Sabubuhan camar tingkalayang ngabagéakeun mangsa isuk. Aya nu ngangkleung ti kajauhan. Rada anggang tina jajalaneun kapal. Beuki lila beuki atra. Boa enya! Éta kitu nu keur ditéangan? Jiga enya! Jiga peti leutik nu dipalidkeun ku Aki duapuluh taun ka tukang. Hanjakal jauh di sagara nu hamo kadongkang (Ki Hasan).

Fiksimini - E R A

Fikmin #Era#
Ti tempat kongrés ka més téh teu jauh. Cukup ku mapay trotoar taman kota bari gogonjakan jeung babaturan. Leumpang antaré, sagala diobrolkeun, bari ngolomoh peremén. Aya oge nu ngambéng friedfrench, sésa konsumsi ti tempat kongrés. Méméh meuntas, luak-lieuk heula. Horéng satukangeun abringan aya opatan murid TKA. Barudak téh leumpangna bari mulungan cangkang peremén jeung cangkang kadaharan urut ngambéng. Mireungeuh kuring saparakanca rék meuntas, barudak ngarandeg. "Sampahnya, udah, Bu?" cenah. Tuluy lalumpatan muru wadah runtah (Teti Taryani).

__._,_.___