Selasa, 14 Februari 2012

Analisis: FPI dan Media

Oleh, Mohamad Fadhilah Zein (Produser TvOne)

 

Front Pembela Islam (FPI) menjadi bulan-bulanan media. Berangkat dari sinisme terhadap FPI, akhirnya pemberitaan yang dilakukan sebagian media menjadi tidak obyektif. Kecuali media Islam, beberapa media menyajikan pemberitaan yang mengarahkan pembacanya pada citra buruk FPI.

 

Sikap sinis ini semakin kentara ketika media menghadirkan berita yang tidak sama antara badan berita dengan judul. Misalnya, Kompas.com tertanggal 12 februari pukul 12.40 WIB, yang menurunkan berita tentang statemen Din Syamsudin terkait penolakan kehadiran FPI di Kalimantan Tengah. Judul berita yang diturunkan Kompas.com adalah "Din Syamsudin: Tolak Ormas Anarkis". Isi berita tersebut adalah pernyataan Din Syamsudin yang menolak segala bentuk kekerasan. Tidak ada satu kalimat pun dari Ketua Umum PP Muhammadiyah, di berita itu, yang menyebut "Tolak Ormas Anarkis."

 

Pemberian judul di atas menjadi bias karena seolah-olah Din Syamsudin menolak FPI, padahal dalam pernyataannya, Din hanya mengatakan tolak segala bentuk aksi kekerasan yang bisa dilakukan siapa saja. Bisa disimpulkan, Kompas.com sudah melakukan penghukuman terhadap FPI (Trial by The Press) dengan memberikan judul seperti itu.

Selengkapnya bisa dilihat http://nasional.kompas.com/read/2012/02/12/12403753/Din.Syamsuddin.Tolak.Ormas.Anarkis


Lain pula yang dilakukan Vivanews.com. Media ini menurunkan sejumlah berita terkait kehadiran FPI di Kalimantan Tengah namun mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Salah satu berita yang cukup bombastis adalah berita dengan judul "Usir FPI karena Warga Dayak Trauma Konflik" tertanggal 14 februari pukul 00:02 WIB.

Dengan judul menggunakan tanda kutip, pembaca disuguhi pernyataan langsung dari seorang pengamat. Redaksi tentu sudah memilih siapa pengamat yang jawabannya sesuai dengan keinginan mereka. Uniknya, ada lead yang memperkuat judul dalam berita itu, "Tak ada terkait agama. Mereka tidak menolak Islam, tapi menolak radikalisme." Pemilihan lead semacam ini menjadi biasa dilakukan awak redaksi untuk mengarahkan kemana pembaca akan digiring.

Selengkapnya bisa dilihat http://nasional.vivanews.com/news/read/287841--usir-fpi-karena-warga-dayak-trauma-konflik-

 

Detik.com sebagai portal berita internet yang kini dikuasai Transcorp juga tidak kalah menunjukkan sinisme terhadap FPI. Media ini bahkan menghilangkan identitas Habib pada Ketua Umum FPI Muhammad Rizieq Shihab. Di setiap penulisan berita, Detik.com selalu menyebut Ketua Umum FPI Rizieq Shihab. Tidak ada penjelasan mengenai hal ini dari portal berita ini.

 

Di beritanya lainnya, Detik.com mewawancarai peneliti SETARA Institute yang notabene adalah lawan ideologis FPI. Dalam wawancara itu, FPI digambarkan sebagai organisasi yang kebal terhadap hukum karena merusak tempat-tempat prostitusi , penyebaran miras dan lain sebagainya, namun dibiarkan oleh pemerintah. Statemen peneliti SETARA Institute pun dikutip hanya sebagian oleh Detik.com, karena di akhir badan berita, penulisnya hanya mengutip penggalan kalimat dari berita yang sudah tayang sebelumnya.

Beritanya bisa di lihat http://news.detik.com/read/2012/02/13/020916/1840605/10/insiden-tolak-fpi-di-palangkaraya-bentuk-kekecewaan-pada-pemerintah?nd992203605

Yang harus diperhatikan lebih di Detik.com adalah komentar-komentar dari pembaca yang kebanyakan anonim. Setiap berita menyangkut FPI atau Islam, pasti banyak komentar-komentar sinis, bahkan menghina, yang sepertinya dibiarkan oleh redaksi Detik.com.

 

Sementara itu, Antaranews.com yang menjadi kantor berita resmi pun menurunkan sejumlah berita yang bisa disimpulkan tidak setuju dengan adanya FPI. Beberapa judul yang ditulis media ini bahkan menunjukkan sikap redaksi yang demikian. Salah satunya adalah berita dengan judul "Warga Dayak Tolak FPI" tertanggal 11 Februari pukul 15:54 WIB. Beritanya http://www.antaranews.com/berita/296896/warga-dayak-tolak-fpi

Antaranews.com rupanya juga menurunkan berita yang sama dengan Kompas.com tertanggal 12 Februari dengan narasumber Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin. Berbeda dengan Kompas.com, Antaranews.com tidak mengutip satu kata pun tentang ormas anarkis.Dalam artikel itu, Din Syamsudin menekankan tidak ada agama di Indonesia yang menolak keberagaman.

 

Bagaimana media massa Islam?

Berbeda dengan media-media massa mainstream, media Islam justru melakukan pembelaan terhadap FPI. Sebut saja eramuslim.com, voa-islam.com, arrahmah.com, hidayatullah.com dan republika.co.id. Sebagian dari media massa itu bahkan menyebut Dayak Kafir untuk menunjukkan sikap redaksi.

Mereka mengutip statemen dari seluruh pengurus FPI, pengamat Islam yang menguntungkan FPI, atau statemen-statemen pejabat negara, dalam hal ini kepolisian, untuk memposisikan FPI sebagai pihak yang tidak dirugikan. Hidayatullah.com bahkan tidak ragu menyebut adanya upaya pembunuhan atas apa yang terjadi pada Sabtu (11/2) yang lalu.

 

Media ini mengutip pernyataan Wasekjen FPI, KH. Awit Masyhuri yang menyebut ada pihak-pihak yang khawatir kepentingan ekonominya terganggu dengan kedatangan FPI. Menurut Awit, sebulan lalu delegasi warga Dayak Kalteng dari berbagai agama mendatangi DPP FPI di Petamburan untuk meminta bantuan untuk menghadapi arogansi Gubernur Kalteng dan Kapolda Kalteng tentang konflik agraria seperti Kasus Mesuji– Lampung.

Voice of Al-Islam atau VOA-Islam.com lebih keras lagi menyebut Dayak Kafir atas apa yang terjadi dengan FPI. Media ini juga menunjukkan pembelaan terhadap Habib Rizieq Shihab dan seluruh pendukungnya. Hal ini jelas karena posisi media ini adalah sesuai dengan visi dan misinya yang khawatir dengan nasib umat Islam yang semakin termarjinalkan dengan kelompok-kelompok Kapitalis dan Zionis.

 

Eramuslim.com yang lebih dulu menjadi portal berita dunia Islam juga membela FPI. Ada yang menarik dari tulisan editorial Media Islam Rujukan ini. Editorial berjudul "Mengapa Menolak Habib Rizieq?" mempertanyakan sikap ambivalensi media terhadap pelaku-pelaku kekerasan di tanah air.

Dalam tulisan itu, Eramuslim mengkritisi arti kekerasan yang sering disematkan pada FPI. Padahal, pada kenyataannya, banyak kekerasan-kekerasan yang dialami umat Islam di daerah, justru dilakukan kelompok-kelompok non-muslim, namun hal itu tidak diungkap media-media massa mainstream.

 

Dalam kerusuhan Madura vs Dayak, Eramuslim.com mengungkit kembali kerusuhan antara Muslim vs Kristen. Selengkapnya bisa dilihat http://www.eramuslim.com/editorial/mengapa-menolak-habib-riziq.htm

Arrahmah.com yang mengusung tagline Berita Dunia Islam & Berita Jihad Terdepan, mengeluarkan sikap redaksi yang keras. Meminjam pernyataan Ketua bidang Nahi Munkar DPP FPI Munarman, media online ini menghalalkan darah kafir harbi yang menghalang-halangi dakwah Islamiyah.

Bahkan, Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, dicap sebagai kafir harbi yang darahnya halal untuk ditumpahkan. Beritanya ada disini: http://arrahmah.com/read/2012/02/11/17991-munarman-kafir-yang-menghalangi-dakwah-adalah-kafir-harbi-halal-darahnya.html

Kebenaran Hakikat vs Kebenaran Prosedural

Dari uraian pemberitaan di atas, terbukti bahwa media-media memiliki banyak kepentingan, bisa ideologis, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Awak redaksi akan menentukan seperti apa wajah media tersebut. Seorang muslimkah dia, liberal, agnostik, kejawen dan sebagainya, akan mempengaruhi berita-berita yang disuguhkan.
Pembaca pun hanya menjadi penonton, yang jika tidak hati-hati dan cerdas, akan terhanyut dan terombang-ambing dalam pusaran informasi yang begitu deras dan terbuka. Independensi media massa pun dipertanyakan, jika melihat dari pemberitaan FPI.

Bahkan, media berperan besar dalam menstigmakan FPI sebagai organisasi pro-kekerasan. Bayangkan saja, setiap ada penggerebekan yang dilakukan FPI, maka jurnalis televisi akan selalu hadir. Tayangan video itu lalu disiarkan secara langsung di setiap program berita. Masyarakat pun tercengang dengan apa yang disaksikannya. Jadilah, FPI tertuduh sebagai ormas kekerasan.

Apakah kekerasan hanya dilakukan FPI? Jawabnya tidak. Kita semua tahu bahwa pelaku kerusuhan di daerah banyak juga yang dilakukan oleh non-muslim. Namun, porsi pemberitaannya tidak sama dengan apa yang dilakukan FPI.

 

Jika kita melihat hakikat yang dilakukan FPI, maka kebenaran yang diusung tidak terbantahkan. Maksudnya begini, siapa pun pasti setuju bahwa minuman keras, prostitusi, perjudian dan sejenisnya adalah tindak kejahatan yang harus diberantas. Tidak perlu ditanya betapa banyak bukti kehancuran akibat perbuatan-perbuatan tersebut. Kecuali bagi penganut adanya kebenaran relatif, maka hal-hal tersebut tentu tidak berlaku.

Apa yang dilakukan FPI secara hakikat adalah benar, karena mereka menghilangkan penyakit sosial masyarakat yang sudah endemik. Kekerasan yang mereka lakukan biasanya menjadi pilihan terakhir, karena adanya kelompok penentang. Pun hingga saat ini, kekerasan itu tidak sampai menimbulkan korban jiwa.

 

Bandingkan dengan kekerasan di daerah, misalnya Ambon, Poso, Bima, Makassar dan lainnya sebagainya, yang menyebabkan korban meninggal dunia. Kebenaran hakikat yang diyakini FPI bertabrakan dengan kebenaran prosedural yang ditetapkan dalam kehidupan masyarakat.

 

Ambil contoh kasus Perda Miras yang ramai beberapa waktu lalu. Kementerian Dalam Negeri berdalih Perda-perda Miras bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 1997. Oleh sebab itu, muncul wacana pencabutan Perda-perda tersebut.

 

Secara prosedural perundang-undangan, upaya Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi benar untuk mencabut Perda-perda tersebut. Tapi, secara hakikat, dia akan bertabrakan dengan kebenaran yang diyakini umat Islam secara mayoritas.

 

Inilah contoh kasus yang menyebabkan lahirnya kelompok-kelompok seperti FPI. Selama kebenaran prosedural tidak berdasarkan kebenaran hakikat, maka akan selalu lahir generasi pembela Islam. Dan, bagi mereka yang sungguh-sunggu memerangi FPI dikhawatirkan terjangkit penyakit Islamophobia yang wabahnya sudah mendunia. (*)

_.___

Orang-Orang Bloomington: Quiet Before the Storm

 

Orang-Orang Bloomington: Quiet Before the Storm

 

(Disclaimer: Namaku KenSatria. Asal dari Indonesia dan sekarang hidup di Amerika. Izinkan aku untuk bercerita tantang apa saja yang aku lihat, dengar, dan rasakan selama hidup di sini. Tanpa editing dan sensor. Jika ada hal-hal yang yang sekiranya perlu diedit dan disensor, mohon para pembaca untuk mengedit dan meyensornya sendiri sesuai dengan tingkat umur dan kedewasaannya. Dengan berbagi cerita semacam ini, tujuanku bukan sok berbagi inspirasi. Tapi siapa tahu ada manfaat yang dapat dipetik dari kisah-kisah sederhana yang akan aku tuturkan nanti).

 

Sudah hampir tiga tahun aku hidup di rumah sepasang suami-istri sepuh yang bernama Vince Amstrong  dan Lindsay Amstrong. Vince kira-kira berumur 92 tahun, sementara istrinya, Lindsay, berumur sekitar 77 tahun. Mereka hidup di rumah yang terletak di hutan pinggiran kota Bloomington itu berdua saja. Tanpa anak, tanpa cucu. Vince memang pernah memiliki dua orang anak dari istri sebelumnya, tapi  kedua anaknya sudah meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

 

Saat masih muda dan aktif bekerja, Vince adalah orang yang sangat disegani di kalangan akademisi. Dia adalah pencetus dan pembela utama teori "public choice" di bidang kebijakan publik; pembaru teori-teori Alexis De Tocqueville, James Buchanan dan Gordon Tullock,  Alexander Hamilton, serta James Madison dalam disiplin ilmu politik; dan yang terakhir, teori-teorinya juga menjadi pondasi bagi konsep "collective action" yang menghantarkan Elinor Ostrom untuk memenangi Penghargaan Nobel Ekonomi tahun 2009. Di tahun pertama aku hidup bersamanya, dia masih bisa menceritakan idealismenya secara berapi-api. Dia ingin melihat Amerika, Kanada, dan Meksiko berada dalam sebuah ikatan politik bersama,  dalam sebuah "Compound Republic." Di ulang tahunnya ke-90, para koleganya bertanya tentang apa keinginannya. Dia jawab, "Aku ingin hidup 25 tahun lagi."

 

Tahun berikutnya, memorinya sudah banyak berkurang, dan raganya mulai tampak makin rapuh; apalagi setelah dia didiagnosis menderita kanker prostat yang membuatnya harus hilir mudik ke dokter dan rumah sakit. Beberapa perawat (caregiver) dipekerjakan untuk membantu keperluan sehari-harinya. Ada yang masih bertahan sampai sekarang; tapi ada pula yang dalam hitungan minggu dan bahkan dalam bilangan hari. Satu hal yang dulu membuatnya hebat tapi kini membuat orang di sekitarnya keder, yakni, pendirian dan keinginan yang sulit dibantah atau ditolak.  Misalnya, dia sangat menikmati kehangatan yang memancar dari tungku perapian di beranda rumahnya. Tanpa mengenal musim, dia meminta perawatnya untuk memasukkan kayu ke tungku perapian tersebut walau di dalamnya sudah penuh dengan bara. Permintaannya saat seperti itu layaknya sebuah sabda. Bantahan hanya akan membangkitkannya dari tempat duduk untuk mengambil sendiri kayu-kayu itu meski sambil terhuyung. Meski tidak ada amarah yang meladak, tapi muka merahnya menyiratkan kharisma yang masih tersisa. Bagusnya, kalau permintaanya dipenuhi, dia akan mengucapkan terima kasih dengan ketulusan yang tak pernah kujumpai sebelumnya.      

 

Tahun ketiga dalam kebersamaan kami, kesehatan Vince tak kunjung membaik. Pernah suatu kali dia tidak bisa bangun dari tempat tidurnya, bahkan sulit berkomunikasi dan mengingat nama-nama orang di sekitarnya, bahkan nama istrinya sendiri. Saat aku berusaha membangunkan dan menyadarkannya, dia sempat sadar dan berujar di telingaku, "Saya akan segera mati. Kalau saya meninggal nanti, tolong jaga istri saya, ya!" Aku kaget bukan kepalang.  Sebenarnya masih banyak kisah berharga yang dapat dituturkan dari sosok Vince ini. Tapi, karena ini cerita pengantar, untuk sementara kisahnya sampai di sini dulu saja dan sekarang beralih ke kisah tentang istrinya yang bernama Lindsay.

 

Lindsay bukan hanya istri yang sangat baik bagi Vince. Dia adalah juga penyempurna pencapaian intelektual dan akademik Vince. Dia yang setiap pagi membuatkan kopi dan sarapan buat suami tercintanya. Dia pula yang mengganti pakaian dan diaper suaminya saat para perawat belum datang dan pada saat mereka sudah pulang.  Begitu aku bangun pagi lalu mengambil koran dan menyalakan tungku api setiap jam 8 pagi, Lindsay sudah membuat kopi dan duduk di depan komputernya. Kadang dia melakukan konferensi jarak jauh dengan koleganya di Swedia, Swiss, Jerman, India, China, Korea, dan kolega dari berbagai belahan dunia lainnya. Kadang menyelesaikan sebuah artikel, menyusun atau mengedit sebuah buku, memeriksa paper mahasiswanya, dan kadang membayar tagihan-tagihan yang menumpuk. Apapun yang dia lakukan pagi dan hari itu, dia akan berbagi cerita denganku setelah aku menyelesaikan tugas menyalakan api. Suatu pagi, saat aku masih sibuk dengan kayu dan ranting untuk perapian, suara telpon berdering kencang. Dia tergopoh-gopoh meraih gagang telpon itu. Terdengar suara di seberang sana memberitahukan bahwa Lindsay memenangkan penghargaan yang paling bergengsi dalam bidang ekonomi.

 

Kebahagiaan membuncah. Aku menghambur kepadanya untuk mengucapkan selamat. Dia juga segera menghampiri dan memeluk suaminya yang masih pulas untuk memberitakan kabar membanggakan itu. Tak lama berselang permintaan wawancara datang silih berganti. Berganti bulan dan tahun jadwalnya makin padat saja. Undangan wawancara, permintaan menjadi pembicara, pemberian penghargaan dan gelar honoris causa, serta sederet kegiatan lainnya membuat roda kehidupannya berpilin kencang. Dan dia menjalani semuanya dengan gembira, tanpa mengeluh.

 

Sampai suatu waktu, tepatnya bulan Oktober tahun 2011 lalu, mukanya tampak sangat pucat. Jalannya juga agak limbung. Saat aku tanya apa yang terjadi dan apa yang dirasakan. Dia jawab bahwa sudah hampir dua minggu rasa perih dan sakit menyerang perut dan punggungnya. Selama dua minggu itu pula dia tidak bisa buang air besar, sehingga perutnya terasa sangat sakit. Siang harinya dia memutuskan untuk ke rumah sakit untuk mengeluarkan isi perutnya, dan juga  memeriksakan darah serta kadar gulanya. Begitu pulang konsidinya sedikit membaik. Hanya saja rasa sakitnya masih menjalar di daerah pinggang hingga punggungnya. Beberapa hari berikutnya dia menjalani pemeriksaan lebih lanjut di Indiana Health Bloomington Hospital. Hasilnya, dia didiagnosis terkena kanker pankreas stadium lanjut. Berita itu betul-betul memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Sesampai di rumah, Lindsay terlihat lunglai saat sendiri tapi berusaha menunjukkan ketegarannya saat berhadapan dengan orang. Namun benteng ketegaran yang dia coba bangun sempat digerogoti oleh kenyataan bahwa beberapa hari kemudian dia terjatuh dan tak sanggup berdiri lagi. Tulang metatarsalnya patah. Aku mengantarnya ke Prompt Care untuk mendapatkan perawatan. Setelah diketahui ada yang patah pada telapak kakinya, dia segera diberi sepatu boot khusus untuk mengurangi tekanan. Disarankan pula agar Lindsay memakai kursi roda.

 

Beberapa hari kemudian, jadwal kemoterapi untuk kanker pankreasnya datang. Lindsay diantar oleh perawat yang sebenarnya dia angkat untuk merawat suaminya. Namanya Calvin. Kemoterapi hari itu berjalan lancar. Hanya saja, sebagaimana penuturan Lindsay, dia tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang apa diet dan aktivitas pendukung untuk menaklukkan kanker. Bahkan, tidak ada informasi yang cukup dari dokter tentang apa saja efek samping kemoterapi dan bagaimana cara mengatasi efek samping tersebut. Yang dia tahu dari dokter itu, kemoterapi adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkan kanker. Ada satu hal yang tidak diketahui, atau mungkin sengaja tidak disampaikan, oleh Lindsay kepadaku. Calvin mengatakan kepadaku bahwa saat dia mendampingi Lindsay untuk kemoterapi, dokternya memberitahukan satu hal yang menyetakkan. Katanya, Lindsay mempunyai kesempatan hidup antara 6 minggu sampai 6 bulan lagi. Mendengar cerita itu, air mataku menetes tanpa terasa.

 

Dengan kondisi yang sakit seperti itu, minggu lalu Lindsay masih melakukan perjalanan seminggu penuh ke New Delhi dan Bangalore sendiri. Dia masih bangun pagi untuk membaca, menulis, telekonferensi, dan mengurusi proyek artikel dan bukunya.  Saat aku menulis sekarang ini, dia sedang menghadiri sebuah konferensi bersama koleganya di Munster, Jerman selama tiga hari.  Menanggapi kondisi Lindsay yang sanggup melakukan perjalanan jauh dengan semua aktivitasnya,  dokternya hanya bilang, " This is a period of Quiet Before The Strom." Hanya Dia yang tahu persisnya kapan saatnya memanggil dan siapa yang dipanggil untuk kembali. Hanya doa yang terpanjat dari lubuk hatiku untuk Lindsay: "Semoga kesehatan dan kepulihan dikaruniakan untukmu, perempuan tangguh yang tak pernah lelah menebarkan ilmu."

 

 

KenSatria,

Senin 13 Februari, 2012.

 

__._,_.___

Senin, 13 Februari 2012

[kisunda] Kutu Tongo Walang Tage

 

[Attachment(s) from Mang Kaby included below]

Ngobrol-ngobrol dengan Kang Yoyon di Ciptagelar dimana beliau sudah keliling-2 sampai ke daratan eropah dan beliau mendapatkan kedamaian di Kaki Gunung Halimun, ternyata banyak kearifan lokal yg bisa diserap diantaranya "kutu, tongo, walang, tage" ke empat kata tersebut merupakan mahluk yang diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa yang ukurannya relatif kecil dan rupanya atas kuasa-Nya pulalah mahluk-2 tersebut bisa hidup.

Oleh karenanya tidak ada alasan bagi manusia yg dikaruniai rahmat dan barokah berupa ke-5 panca indra, serta akal, pikiran, dan perasaan untuk berserah diri tanpa ada perlawanan dan perjuangan mencapai apa yg diinginkan dalam kehidupan. "Mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu peurih moal peurah, mun teu ngarah moal ngarih", kalau tidak berusaha tidak akan menghasilkan apapun karena there's no free lunch in the universe :).

Walopun demikian "rizki teu pahili-hili, bagja teu paala-ala" rezeki tidak akan tertukar, selain faktor usaha ada juga faktor luck/ hoki dan jaminan dari Yang Maha Kuasa, setiap mahluk hidup ada Rezeki-nya, ada HOKI-nya tinggal pandai-2nya lah kita mencari. Jangan kalah sama "Kutu, Tongo, Walang, & Tage".

Pun sapun kaluluhuran :).

__._,_.___

Attachment(s) from Mang Kaby

3 of 3 Photo(s)

Minggu, 12 Februari 2012

Fenomena "Komunitas PKS" yang tak ada di partai lain

Fenomena "Komunitas PKS" yang tak ada di partai lain

Senin, 13 Februari 2012

 

Suka atau tidak suka, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah menjadi sebuah fenomena. PKS telah membuktikan diri sebagai parpol yang solid, hidup, dan kuat. PKS tampaknya bukanlah parpol biasa yang konvensional. PKS adalah parpol dengan genre baru yang unik yang telah menjadi semacam komunitas.

Apa yang disebut dengan 
"komunitas PKS" itu ada dan nyata. Salah satu karakteristik dari partai dengan genre ini adalah apa kata partai, itulah kata anggotanya! Sementara dalam parpol lain, apa kata partai tidak selalu paralel dengan apa kata anggota. Padahal paralelisme seperti itu sangatlah sentral dan signifikan dalam sebuah partai politik.

Paralelisme ini bukan hanya menunjukkan soliditas dan solidaritas internal partai, tetapi juga merefleksikan adanya saling kepercayaan (mutual trust) antara anggota dan pimpinan yang juga menunjukkan berjalannya mesin politik sebuah partai. Manakala mesin politik tidak berjalan, sejatinya partai politik tersebut telah kehilanganraison d'etre-nya.

Tan Malaka dalam bukunya Aksi Maksa (1926) menegaskan bahwa "keputusan yang setengah betul tetapi dengan gembira dikerjakan oleh seluruh barisan anggota lebih baik daripada keputusan yang bagus sekali tetapi dikhianati oleh setengah anggota".

Frase 'dengan gembira dikerjakan oleh seluruh barisan anggota' ini penting karena perasaan gembira inilah yang menjadi roh partai. Seluruh barisan anggota bersedia bekerja menjalankan keputusan partai dengan gembira-meski keputusannya hanya setengah betul-,ini menunjukkan mesin politik dalam partai tersebut berjalan. Inilah yang disebut dengan partai politik yang sebenarnya alias partai politik par excellence!

Sangat sedikit

Di Indonesia sangatlah sedikit parpol yang organisasinya hidup, solid, dan kuat seperti itu. Di antara yang sedikit itu,demikian menurut banyak studi, adalah-jangan terkejut-Partai Komunis Indonesia (PKI). Antonie CA Dake dalam In The Spirit of The Red Banteng: Indonesian Communists Between Moscow and Peking (2002) menggambarkan betapa hidup dan dinamisnya PKI di bawah kepemimpinan Aidit.

Di samping berhasil menghela partai keluar dari isolasi politik, Aidit menerapkan disiplin partai serta membuka diri dengan menggandeng aliansi dengan kalangan borjuis nasional. Begitu pula, "The party was to increase its membership in six months from around 7,000 to 100,000. At the same time, a multitude of mass organizations were to be created or revamped, encompassing not only workers and peasents but also youth, women, poor people,ex-servicemen, and others."

Sementara Tempo (7 Oktober 2007) melukiskan dengan sangat baik sebagai berikut, "Kantor PKI adalah markas yang hidup dan bergerak. Organisasi tak hanya mengurus program partai tapi juga tetek bengek lainnya seperti anggota yang meninggal dan melahirkan".

PKI tak hanya menjadi organisasi politik tapi juga menjadi komunitas. Ketika kantor pusat PKI dibangun di Jalan Kramat Raya, Jakarta, sebagian besar dananya diperoleh dari sumbangan anggota yang pengelolaannya dilaporkan secara transparan. Koran Harian Rakjat digenjot oplahnya hingga mencapai 60 ribu eksemplar--jumlah yang fantastis untuk zaman itu!"

Kini PKS

Tetapi benarkah hanya PKI yang berhasil membangun partai politik yang solid, hidup, dan dinamis seperti itu? Dake dan Tempo harus melakukan koreksi atas teorinya itu atau setidaknya menoleh ke PKS.

Pasalnya, kini telah muncul partai seperti itu, yaitu PKS! Meski secara ideologi dan cita-cita berbeda secara diametral, PKS seperti halnya PKI memiliki mesin organisasi yang hidup, kuat, dan dinamis. Rapat-rapat massa dan rally PKS yang selalu rapi dan disiplin menambah bukti hidupnya partai ini. PKS mengurus anggotanya dan karena itu anggotanya juga menjalankan keputusan partainya, termasuk membayar iuran karena merasakan manfaat dari kehadiran partainya.

Partai bukan hanya menguntungkan dan menjadi alat bagi elitenya, melainkan juga bagi anggotanya dan cita-citanya. Di PKS, presiden partai harus berkonsentrasi penuh untuk mengurus partai dengan segala tetek bengeknya. Ada konvensi yang unik dan menarik di PKS: jika presiden partai terpilih menduduki jabatan publik, dia harus melepaskan jabatannya di partai.

Walhasil, dengan tradisi ini, orang yang bersangkutan bukan hanya tidak dihadapkan pada situasi dilematis karena konflik kepentingan akibat perangkapan jabatan, melainkan juga waktu, energi, dan pikirannya tercurah untuk partai atau jabatan politik yang dipegangnya. Sementara partai-partai politik lain justru punya kelaziman yang sebaliknya: memilih orang yang sedang menduduki jabatan publik (berkuasa) untuk menjadi ketua.

Di sisi lain, untuk mengamankan jabatan publik yang sudah diraihnya (menteri, gubernur, bupati, dan lain-lain), orang tersebut justru semakin memperkuat cengkeramannya dalam partainya. Rupanya ada psikologi ketakutan dalam diri orang-orang ini bahwa jika posisinya di partai lepas akan membahayakan jabatan politiknya itu.

Walhasil, alih-alih membangun partai menjadi kuat, mereka justru memperalat partai! Dalam suasana kepartaian yang seperti itulah PKS dengan spirit yang merona menyeruak ke depan dalam pentas politik nasional. Primus inter minus malum! (*)


Oleh: Hajriyanto Y Thohari
Pengamat Kenegaraan dan Keagamaan

__._,_.___

_,___

Selasa, 07 Februari 2012

Paradoks Investment Grade

PARADOKS INVESTMENT GRADE

Arif Budimanta,

Anggota DPR RI FPDI Perjuangan, Komisi Keuangan & Perbankan,

Sumber : REPUBLIKA, 4 Februari 2012

"Peringkat ini rawan de ngan krisis, sedikit saja terjadi persoalan ekonomi, dapat jatuh ke kategori peringkat spekulatif."

Investment Grade atau peringkat investasi dalam konteks pengelolaan ke uangan negara adalah suatu status atau kategori pemeringkatan yang di buat oleh suatu lembaga. Status ini berguna untuk memberikan gambaran tentang keuntungan dan risiko mengenai kondisi suratsurat berharga (surat-surat utang/ pengakuan utang/bond/obligasi) yang dikeluarkan oleh suatu negara atas dasar perencanaan, pengelolaan, dan sistem per ekonomian/keuangan negara itu.

Peringkat investasi secara umum dikategorikan atas layak investasi (Investment Grade) dan tidak layak (Non-Investment Grade). Kategori tersebut disimbolkan dengan huruf A hingga C. Makin mendekati A, maka menandakan bahwa investasi tersebut makin prima dan layak.

Paradigma peringkat investasi adalah keuntungan. Investasi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pena naman uang atau modal di suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Investasi menyangkut investor (pemilik uang) sebagai pembeli dan pemilik proyek/perusahaan sebagai penjual.

Pada sisi pembeli, dia mempergunakan modalnya untuk mendapatkan keuntungan atau imbal hasil dari penjual. Pada sisi penjual, dia mempergunakan/menjaminkan asetnya untuk memperoleh modal kerja untuk memproduksi sesuatu yang menghasilkan imbal hasil lebih tinggi dari yang diberikannya kepada penjual/investor.

Semakin produktif, stabil, dan dominan kekuatan keuangan sua tu negara, maka peringkat inves tasinya akan semakin membaik. Karena—persoalan produktivitas, stabilitas, dan kekuatan sistem ke uangan—memberikan jaminan dan kepercayaan kepada para pe milik dana (investor) untuk membeli surat-surat berharga yang di terbitkan oleh suatu negara. Atas dasar itu, biasanya investor membeli surat-surat berharga de ngan harapan mendapatkan modalnya kembali plus imbal hasilnya.

Lembaga pemeringkat yang ternama di dunia yaitu, (1) Fitch merupakan bagian dari Fitch Grup yang didirikan oleh John Knowles Fitch pada 1913 dan berkantor pusat di Paris. (2) Moodys merupakan bagian dari Moodys Corporation yang didirikan oleh Jhon Moody pada 1909 dan berkantor pusat di New York. (3) Standars & Poors merupakan anak perusahaan dari Mc Graw Hill Companies, berdiri pada 1941 dan berkantor pusat di New York.

Anomali

Ketika krisis ekonomi melanda, Indonesia harus merelakan kehilangan peringkat layak investasi. Saat ini, lembaga pemeringkat yang sejatinya adalah korporasi, seperti Moody's Investor Service, Fitch Ratings, serta Japan Credit Rating yang mengembalikan peringkat layak investasi tersebut ke Indonesia.

 

Seiring peningkatan peringkat utang tersebut, tentu saja diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap sektor riil yang lebih bersinggungan dengan penciptaan lapangan kerja dan pengu rangan tingkat kemiskinan di Indonesia. Apalagi, hal ini mening katkan peluang Indonesia untuk memperoleh dana jangka panjang yang murah sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembangunan infrastruktur.

Peringkat Indonesia menurut lembaga pemeringkat Fitch, walaupun layak investasi (BBB-), tapi kelasnya tidaklah sama seperti peringkat yang diraih Singapura (triple A), Malaysia (A-), ataupun Thailand (BBB). Peringkat yang diberikan perusahaan Moody's ke Indonesia Baa3 sebenarnya adalah peringkat paling bawah kategori layak investasi.

Ciri dari kategori ini adalah setiap obligasi atau surat utang yang diterbitkan negara memiliki risiko moderat dan memiliki karakteristik spekulatif. Artinya, menarik untuk investasi, tetapi memiliki risiko yang tinggi bagi investor yang menanamkan modalnya. Peringkat ini rawan dengan krisis, sedikit saja terjadi persoalan ekonomi, dapat jatuh ke kategori peringkat spekulatif.

Dalam keterangannya ketika pemerintah mengumumkan bahwa Fitch telah menaikkan status Indonesia ke beringkat BBB-, pemerintah menjelaskan bahwa salah satu yang menyebabkan kenaikan peringkat ini adalah rasio utang yang rendah dengan tren yang menurun. Pernyataan tersebut sebenarnya anomali karena beberapa negara Eropa yang rasio utang dengan PDB-nya sangat tinggi dibanding Indonesia, seperti Italia, Spanyol, bahkan Amerika sampai saat ini peringkatnya jauh lebih baik dari Indonesia.

Yang menarik adalah imbal hasil (bunga yang diberikan) terhadap obligasi yang diterbitkan oleh negara-negara tersebut jauh lebih rendah dari kita. Harusnya, kalau memang layak investasi dengan pertimbangan kebijakan ekonomi yang hati-hati, stabil, dan berkelanjutan, kita lebih memiliki keberanian untuk menurunkan imbal hasil dari surat utang negara yang diterbitkan.

Tetapi, untuk menurunkan tingkat imbal hasil terhadap surat utang ini, pemerintah belum percaya diri dan akan terus memakai patokan UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Aturan itu mengasumsikan suku bunga terhadap surat berharga negara untuk jangka waktu tiga bulan berada pada kisaran enam persen.

Setidaknya, ada dua hal yang menjadi dasar dari pemberian imbal hasil yang tinggi tersebut karena pemerintah khawatir defisit APBN tidak tertutupi. Jika Surat Utang Negara tidak dijual dengan imbal hasil atraktif, maka investor tidak akan berminat. Selain itu, produktivitas dari Kebijakan Fiskal yang ditunjukkan dengan perbaikan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Paradoks

Utang Pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari Rp 1.800 triliun dengan beban cicilan bunga utang sebesar Rp 122 triliun dari total APBN 2012 sebesar Rp 1.435 triliun. Beban cicilan bunga utang ini meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir.

Penerbitan surat utang baru yang dilakukan pemerintah dilandasi oleh UU APBN. Dalam Pasal 23 UUD 1945 dikatakan bahwa APBN harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, dalam perspektif konstitusi, harusnya kita dapat memaknai dan merasakan bahwa seharusnya capaian Investment Grade itu diikuti dengan perbaikan kemakmuran rakyat.

Tetapi, kenyataannya, beberapa indikator global menunjukkan peringkat Indonesia yang malah merosot pada 2012, seperti Doing Business Indonesia turun tiga peringkat dari 126 pada 2011 menjadi 129 pada 2012.

Secara umum, penyebab masih rendahnya peringkat doing business di Indonesia masih disebabkan oleh hal yang sama, yaitu masalah birokrasi dan infrastruktur. Salah satunya ditandai dengan menurunnya peringkat untuk mendapat sambungan listrik dari yang sebelumnya 158 pada 2011 menjadi 161 pada 2012. Peringkat global dalam mendapatkan aliran listrik di Indonesia jauh lebih buruk dari Kamboja yang mendapat peringkat 138 di tingkat global, padahal peringkat investasi kamboja ada di bawah kita.

Itulah paradoks Investment Grade yang saat ini kita hadapi. Kita harus cepat melakukan evaluasi dan merestrukturisasi kebijakan ekonomi kita. Sehingga, kekhawatiran yang terjadi saat ini tentang menguatnya fenomena decoupling, yakni semakin terjadi pemisahan antara arus finansial dan arus barang, dapat kita hindari. ●

__._,_.___

___

[kisunda] Fikmin Einstein jeung si Kabayan

  Hiji mangsa Kabayan panggih jeung  Einstein elmuwan Yahudi di pesawat
terbang. Kabeneran tempat diukna teh pasisi-sisi alias rendengan. Saperti
ilaharna anu kakara panggih, masing-masing ngawanohkeun  maneh. Tamba kesel,
Einstein (E) ngajak tatarucingan jeung si Kabayan (K). Pangajak eta
dilayanan ka ku Si kabayan, tapi make aya saratna. Upama si Kabayan teu bisa
ngajawab kudu mayar US $ 5 ka Einstein. Tapi mun sabalikna, Kabayan bakal
narima US $ 500. Kaduana sapuk kana sarat eta. Pananya munggaran diajukeun
ku Einstein. (E):  Upama ti bumi rek ka bulan make pesawat roket kecepatan
589 km/jam, sabaraha lila anjog ka bulan? Kabayan teu loba omong, kusiwel
ngaluarkeun US $ 5 tina dompetna, disodorkeun ka Einsten. Terus Einstein
ngajukeun pertanyaan kadua. (E): Naon anu bakal kajadian  upama reaksi fusi
berantai dilaksanakeun di rohangan hampa Udara? Kabayar ngan sakilat
ngaluarkeun US $ 5 tina dompetna teu mikir panjang deui. Einstein surak
bakating kubungah pertanyaanana teu kajawab ku si Kabayan.  Kabayan menta
waktu pikeun ngajukeun pertanyaan. (K): Sato naon upama naek gunung jalanna
make opat suku tapi lamun turun, jalanna make tilu suku? Einstein kerung
mikir sataker kebek, tapi weleh teu katebak. Terus ngaluarkeun lap top menta
bantuan ka google. Teu bisa oge. Nelepon ka babaturanana sasama elmuwan
sugan aya nu nyaho. Tapi lebeng teu bisa ngajawab. Ngarasa taak, Einstein
ngaluarkeun US $ 500, golosor dibikeun ka si Kabayan. Giliran Kabayan  anu
suka bungah. Masih panasaran, Einstein nanya ka si Kabayan, sato naon anu
dimaksud teh. Kabayan heunteu ngajawab, tapi langsung nyodorkeun US $ 5 ka
Einstein. Tapi duit US $ 500 digeber-geber di hareupeun Einstein.
"Kabayan..,Kabayan geura hudang geus beurang, geuwat ka sawah,"ceuk  nyi
Iteung bari ngaguguyah awak si Kabayan.      

Senin, 06 Februari 2012

Peradaban Indonesia - ternyata teknologi pertanian dan peternakan dikuasai sejak 20.000 tahun yl

 

Dikopas dari milis sebelah, ditulis oleh Ketua Tim Peneliti Bencana Katastropik Purba - DR. Danny Hilman N

(Tim ini sedang meneliti situs Gunung Padang dan Sadahurip....yang disinyalir sebagai Piramid kerajaan Sunda/Jawa purba...rofiq)

Perkenankan saya menguraikan ini dari sudut yang berbeda.

Kebetulan saya berkesempatan berdiskusi panjang lebar sampai 1 jam lebih dengan Mang Stephen Oppenheimer itu waktu tgl 2 Februari kemarin. Saya juga hadir ketika rombongan Pak Gumilar dan Mang Oppenheimer bertemu dan
berbincang-bincang dengan Presiden SBY. 

Oppenheimer adalah seorang dokter spesialisasi di bidang genetika. Obyek
utama dari riset beliau adalah DNA manusia dari berbagai pelosok Indonesia,
Asia, Afrika, dll. Saya sangat kagum dengan kemampuan dari riset DNA ini,
meskipun terusterang belum mengerti sepenuhnya. Yang jelas, dari DNA
manusia yang hidup di satu wilayah kita bisa merekonstruksi evolusi
perkembangan DNA tersebut sampai sampai puluhan ribu tahun ke belakang
dengan ketelitian yang mengagumkan (meskipun tentu saja tidak seakurat
radiometric dating untuk time histories-nya). Nah berdasarkan riset DNA,
manusia Indonesia yang hidup sekarang dapat diketahui bahwa nenek moyang nya sudah di Nusantara sejak 60.000 tahun lalu. Ini sangat menarik, karena
kemungkinannya adalah permulaan masa re-populasi manusia setelah Letusan Katastropik Toba!

Dari meneliti DNA ini pula Openheimer dapat memetakan pergerakan populasi
manusia purba. Yang membuat saya "excited" adalah hasil pemetaan DNA yang menunjukan adanya penyebaran populasi tiba-tiba dari manusia (human
dispersions) sebagai respon terhadap bencana banjir besar (kenaikan airlaut
yang sangat cepat atau tiba-tiba) sebanyak tiga kali yaitu dalam perioda
15.000 sampai dengan 8.000 tahun lalu (seperti yang pernah saya uraikan di
email ke Pak Koesoema). Alhamdulillah, saya juga dapat Info baru dari
Oppenheimer bahwa diduga kuat terjadi banjir katastropik purba sekitar 8000
tahun lalu (6000 SM) ditandai oleh "human dispersal" tsb . Jadi banjir
katastropik ini tidak hanya terjadi pada sekitar 14.800 tahun lalu dan
12.000-an tahun lalu saja seperti yang saya pahami sebelumnya.

Ngomong-ngomong soal penggenangan daratan Sunda sejak 20.000 s/d 8000 tahun lalu itu, Openheimer bilang bahwa dia terpaksa ngomong bak geologist untuk bukunya tsb, dan dengan rendah hati minta maaf kalau salah-salah katanya (sambil tersenyum). Kemudian kita ngobrol tentang betapa indah permainya "lembah" Laut Jawa pada waktu masa sebelum tergenang laut, yaitu sebuah dataran padang rumput yang sangat luas dialiri oleh sungai yang sangat besar yang berhulu ke Pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan sekarang, juga dikelilingi oleh hutan tropis, dan gunung-gunung api... benar-benar Eden in the East. Ingat juga bahwa pada jaman dingin diantara 20.000 s/d 10.000
tahun lalu iklim masih ekstrim - dan wilayah yang paling tidak ekstrim adaah
di dekat khatulistiwa (Saya dengarbaru-baru ini ada larangan ke beberapa
Negara di Eropa karena iklim di sana sangat ekstrim - banyak orang
meninggal...). Saya bercanda bahwa:"kalau saya adalah bangsa yang paling adikuasa di Dunia waktu itu maka sudah dipastikan wilayah Indonesia khususnya lembah Laut Jawa yang akan saya diami (kalau perlu saya taklukan dulu penduduk aslinya)" - Oppenheimer tertawa, lalu bilang: "Benar, tentu

saja; Saya yakin bahwa manusia Nusantara Purba mendiami wilayah dataran rendah tersebut sebelum digenangi air". Lalu teman di sebelah langsung nyeletuk iseng: " Jadi Pak Oppenheimer percaya bahwa Atlantis itu di Indonesia". 
Ini jawaban Oppenheimer: "Hmm, saya selalu berusaha menghindari nama itu (bukannya tidak percaya) karena setiap saya bilang Atlantis orang-orang langsung memalingkan muka". Katanya sambil mesem-mesem. Kemudian teman di sebelah saya nyeletuk lagi:" Sudah dengar tentang Piramid Sadahurip? Apakah Pak Oppenheimer percaya Piramid itu ada"? (dalam hati saya: "waduhh konyol juga nih teman...kaya pertanyaan wartawan aja).
Jawaban Oppenheimer, seperti yang saya duga: "Hmm, yeahh, that's
interesting, but forgive me that I always be skeptical to hear such things
until I know the facts". Teman itu terlihat agak kecewa, tapi saya bisikan
:" Jawaban dia justru bagus, artinya dia peneliti beneran; kalau dia bilang
percaya saya malah akan kecewa". Kemudian saya cerita bahwa kami menemukan hard facts yang menakjubkan di Gunung Padang - yang dikenal sebagai Situs Megalitikum. Saya cerita sedikit - dan Oppenheimer kelihatannya sangat tertarik, dia bilang ingin sekali berdiskusi tentang masalah "scientific findings" detil di Gunung Padang. Dia bilang kalau punya waktu ingin berkunjung ke sana. Oppenheimer sebetulnay berencana datang pada acara tgl 7 Februari, tapi minta maaf tidak bisa karena harus segera ke Bali untuk persiapan acara Seminar Kebudayaan di Sanur yang diadakan oleh UI. 

Kemudian Oppenheimer bilang bahwa tentu saja akan sangat mengagumkan apabila kita dapat menemukan artefak berupa sebuah Monumen/bangunan purba yang megah, meskipun demikian dia tidak riset kearah sana karena terlalu susah katanya (dalam hati saya:"tentu saja, ente kan dokter... ). "Yang saya cari
adalah domestikasi/peralatan-peralatan sederhana untuk pertanian dan peternakan karena ini gampang ditemukan dimana-mana. Untuk bikin monumen yang megah-megah pasti butuh makan kan" Kata Oppenheimer sambil senyum.
Nah, hasil penelitian Oppenheimer ini dahsyat, diantaranya adalah sbb:

1. Bahwa binatang ternak ayan, babi, dan kambing (kalo tidak salah)
adalah berasal dari Nusantara. Bangsa nusantara sudah berternak ini sejak

SEBELUM 10.000 tahun lalu! Oppenheimer menemukan bukti bahwa sekitar 8000 tahun lalu hewan-hewan ternak ini sudah dibawa oleh para pelaut Nusantara ke Pulau Bismarck dan pulau-pulau lainnya di Pacific. Kemudian juga tentunya hewan-hewan ternak ini menyebar ke Asia juga.

2. Induk peradaban teknologi pertanian juga dari Nusantara (lebih dari
10.000 tahun lalu)

3. Teknologi pelayaran di dunia ini asal-muasalnya juga dari Nusantara. Menurut Oppenheimer, yang mendorong bangsa Nusantara "dipaksa" mengembangkan teknologi pelayaran ini adalah peristiwa banjir besar dari
14.8000 sampai 8000 tahun lalu tersebut.

Nah, bagi saya konklusi Oppenheimer bahwa di Zaman Pra Sejarah Indonesia
adalah pusat peradaban dari teknologi pertanian, perikanan, dan pelayaran
sudah lebih dari cukup. Itu adalah basis utama untuk membangun peradaban
adijaya pada masa itu...apapun namanya...sebut sajalah Kerajaan Inohong Sunda Purba...he he he.

Masa Dokter Oppenheimer kita paksa juga untuk ngerti masalah gunung dan
piramida (mending kalo ditemenin Cici Piramida), lebih-lebih lagi disuruh
nyilem ke dasar laut seperti candaannya Pak Sby .. Kasian dong bo, udah tua
lagi...tega amat... Ta Iya.

Catatan: Dalam acara temu-muka dengan RI-1, Pak SBY hanya tanya apakah dia (Oppenheimer) ada niat untuk melanjutkan penelitian di Indonesia, dan kalo iya kenapa engga ditelliti aja tuh Laut jawa yang dia duga sebagai pusat peradaban purba-nya. Si Oppenheimer tentu saja kelabakan - klemar-klemer dan jawabnya muter-muter ga jelas... Akhirnya Pak SBY ngomong sambil nyengir: "Don't worry, I know your background is a medical doctor". 
Wassalam
DHN
 

 

__

Hakim hebat

Kasus Nenek Curi Singkong.
kasus tahun 2011 lalu dikab prabumulih, lampung (kisah nyata),...... diruang
sidang pengadilan, hakim marzuki duduk tercenung menyimak tuntutan jaksa PU
thdp seorg nenek yg dituduh mencuri singkong, nenek itu berdalih bahwa
hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, cucunya lapar,.... namun manajer PT
andalas kertas (bakrie grup) tetap pada tuntutannya, agar menjd contoh bg
warga lainnya.

hakim marzuki menghela nafas., dia memutus diluar tuntutan jaksa PU,
'maafkan saya', ktnya sambil memandang nenek itu,. 'saya tak dpt membuat
pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jd anda hrs dihukum. saya mendenda
anda 1jt rupiah dan jika anda tdk mampu bayar maka anda hrs msk penjara 2,5
tahun, spt tuntutan jaksa PU'.

nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam, smtr hakim marzuki mencopot
topi toganya, membuka dompetnya kemudian mengambil & memasukkan uang 1jt
rupiah ke topi toganya serta berkata kpd hadirin.

'saya atas nama pengadilan, jg menjatuhkan denda kpd tiap org yg hadir
diruang sidang ini sebesar 50rb rupiah, sebab menetap dikota ini, yg
membiarkan seseorg kelaparan sampai hrs mencuri utk memberi mkn cucunya, sdr
panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini lalu berikan
semua hasilnya kpd terdakwa."

sampai palu diketuk dan hakim marzuki meninggaikan ruang sidang, nenek
itupun pergi dgn mengantongi uang 3,5jt rupiah, termsk uang 50rb yg
dibayarkan oleh manajer PT andalas kertas yg tersipu malu krn telah
menuntutnya. Sungguh sayang kisahnya luput dari pers.


Powered by AgusArab.com-YourWriterR

Rahasia Dibalik Kenikmatan Jengkol

Rahasia Dibalik Kenikmatan Jengkol


Apakah ini itu - Jengkol atau jering dalam bahasa latin Pithecollobium Jiringa atauPithecollobium Labatum adalah tumbuhan khas di wilayah Asia Tenggara, termasuk yang digemari di Malaysia, Thailand dan Indonesia terutama di wilayah Jawa Barat yang seharinya dikonsumsi ±100 ton.
Jengkol termasuk tanaman polong-polongan. Buahnya berupa polong dan bentuknya gepeng berbelit, berwarna lembayung tua. Biji buah berkulit ari tipis dengan warna coklat mengilap. Jengkol dapat menimbulkan bau tidak sedap setelah diolah dan diproses oleh pencernaan.

Kenapa Jengkol itu punya bau yang menusuk??? Tidak jauh dari penyebab kenapa petai bau, penyebab bau itu sebenarnya adalah asam-asam amino yang terkandung di dalam biji jengkol. Asam amino itu didominasi oleh asam amino yang mengandung unsur Sulfur (S). Ketika terdegradasi atau terpecah-pecah menjadi komponen yang lebih kecil, asam amino itu akan menghasilkan berbagai komponen flavor yang sangat bau, karena pengaruh sulfur tersebut. Salah satu gas yang terbentuk dengan unsur itu adalah gas H2S yang terkenal sangat bau.

Bau yang ditimbulkan dari jengkol itu sebenarnya cukup mengganggu, terutama bagi orang lain yang tidak ikut makan. Kalau yang makan, meskipun bau, setidak-tidaknya sudah menikmati kelezatan jengkol. Tetapi bagi orang lain yang tidak ikut merasakan, tetapi cuma kebagian baunya, akan merasa sangat terganggu. Apalagi dengan air seni yang dikeluarkannya. Jika pemakan jengkol ini buang air di WC dan kurang sempurna membilasnya, maka WC akan bau tidak enak dan mengganggu ketenangan orang lain.

Manfaat Jengkol Bagi Tubuh Kita
Jengkol memiliki khasiat mencegah diabetes dan baik untuk kesehatan jantung. Tanaman jengkol sendiri diperkirakan mempunyai kadar penyerapan air yang tinggi dari dalam tanah.

"Pohon Jengkol diperkirakan dapat menyerap air lebih banyak dibanding tumbuhan lain. Dengan kata lain dengan ditanaminya pohon Jengkol di lereng-lereng gunung dan bukit disekitar sumber mata air di Bogor maka kemungkinan besar terjadinya banjir akan sangat kecil." Begitu ujar Direktur Hutan Pendidikan Gunung Walat, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Dr. Ir. Supriyanto.

Jengkol merupakan juga mengandung kandungan Kalsium yang tinggi,

Jengkol merupakan sumber protein yang baik, yaitu 23,3 g per 100 g bahan. Kadar proteinnya jauh melebihi tempe yang selama ini dikenal sebagai sumber protein nabati, yaitu hanya 18,3 g per 100 g.

Kebutuhan protein setiap individu tentu saja berbeda-beda. Selain untuk membantu pertumbuhan dan pemeliharaan, protein juga berfungsi membangun enzim, hormon, dan imunitas tubuh. Karena itu, protein sering disebut zat pembangun.

Protein juga memberikan efek menenangkan otak. Protein membantu otak bekerja dengan cepat dalam menerima pesan. Bagi anak-anak, protein sangat berperan untuk perkembangan tubuh dan sel otaknya. Pada orang dewasa, apabila terjadi luka memar dan sebagainya, protein dapat membangun kembali sel-sel yang rusak.

Jengkol cukup kaya akan zat besi, yaitu 4,7 g per 100 g. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia. Gejala-gejala orang yang mengalami anemia defisiensi zat besi adalah kelelahan, lemah, pucat dan kurang bergairah, sakit kepala dan mudah marah, tidak mampu berkonsentrasi, serta rentan terhadap infeksi. Penderita anemia kronis menunjukkan bentuk kuku seperti sendok dan rapuh, pecah-pecah pada sudut mulut, lidah sulit menelan.

Remaja, wanita hamil, ibu menyusui, orang dewasa, dan vegetarian adalah yang paling berisiko untuk mengalami kekurangan zat besi. Di dalam tubuh, besi sebagian terletak dalam sel-sel darah merah sebagai heme, suatu pigmen yang mengandung inti sebuah atom besi.

Jengkol juga sangat baik bagi kesehatan tulang karena tinggi kandungan kalsium, yaitu 140 mg/ 100 g. Peran kalsium pada umumnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu membantu pembentukan tulang dan gigi, serta mengatur proses biologis dalam tubuh.

Keperluan kalsium terbesar adalah pada saat masa pertumbuhan, tetapi pada masa dewasa konsumsi yang cukup sangat dianjurkan untuk memelihara kesehatan tulang. Konsumsi kalsium yang dianjurkan pada orang dewasa adalah 800 mg per hari.

Kandungan fosfor pada jengkol (166,7 mg/100 g) juga sangat penting untuk pembentukan tulang dan gigi, serta untuk penyimpanan dan pengeluaran energi. Dengan demikian, sesungguhnya banyak manfaat yang diperoleh dari mengonsumsi jengkol.

Kaya akan zat Gizi
Selain itu yang tak kalah penting diketahu, jengkol kaya akan zat gizi
Di luar urusan bau dan kandungan asam jengkolat penyebab keracunan, jengkol sesungguhnya termasuk bahan pangan kaya gizi. Hasil penelitian memperlihatkan, jengkol kaya karbohidrat, protein, vitamin A, B, dan C, fosfor, kalsium, alkaloid, minyak atsiri, steroid, glikosida, tanin, dan saponin. Bahkan, kandungan protein jengkol masih lebih tinggi daripada tempe (18,3 gram per 100 gram bahan) yang selama ini disebut-sebut sebagai sumber pangan nabati berprotein tinggi.

Dalam 100 gram biji jengkol, terkandung energi 133 kkal, protein 23,3 gram, karbohidrat 20,7 gram, vitamin A 240 SI, vitamin B 0,7 mg, vitamin C 80 mg, fosfor 166,7 mg, kalsium 140 mg, besi 4,7 mg, dan air 49,5 gram. Sebagai catatan, angka kecukupan gizi vitamin C yang dianjurkan per hari adalah 75 mg untuk wanita dewasa dan 90 mg untuk pria dewasa. Ini berarti, untuk memenuhi kebutuhan vitamin C per hari, kita cukup mengonsumsi jengkol sekitar 100 gram.

Karena jengkol kaya akan zat besi, tidak heran jika jengkol sering dianjurkan bagi para penderita anemia. Jengkol juga sangat baik bagi kesehatan tulang karena tinggi kandungan kalsium, yaitu 140 mg/100 g. Peran kalsium pada umumnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu membantu pembentukan tulang dan gigi, serta mengatur proses biologis dalam tubuh. Dengan demikian, di balik efek bau, sesungguhnya banyak manfaat yang diperoleh dari mengonsumsi jengkol. Jadi, kenapa mesti takut makan jengkol?

 

lestariana

 

 

._,___

Jumat, 03 Februari 2012

[alumni-ipb] Ekonom itu Binatang apa ??--Mas Saein-HPT IPB 1995

Aku tuh gak nyalahin siapa2 yaw, juga masalah model ekonominya.
Tapi Ekonom (bukan hanya di Indonesia)itu binatang apa, mereka kan gak pernah jelas. Kalo ilmu Pertanian itu kan eksak dan jelas.
Jadi jangan pernah sekalipun percaya dgn Ekonom yg dakik2 buat postulat gini gitu utk kemajuan ekonomi, lah mereka itu "untung2an" dan melihat "arah angin" jeee he he he he
Jadi bukan hanya FB atau IN meh kabeh dasarnya ya "pemangat" dan menganalisa pemngamatan sehingga "seolah-olah" postulatnya yg bener dewe he he he, kalo meleset (samnila lihat arah angin nih) maka mulailah dimunculkan "faktor" gini gitu gini gitu.
Seminar lagi, masuk TV lagi, nulis di koran lagi, duwit lagi hi hiiii
Maka, kalo mau pakai sistim ekonomi ya ikuti ajah tuh UUD45 dah jelas. Kerna pada tidak taat hukum, dan sosial politik yg dzalim ya sulit mempunyai konsensus dlm pembangunan bangsa ini.
Ada model ekonomi yg baik, yaitu model Syariah, tapi di Indonesia he hehe kok jadi syariah syaridul syarimanah. Wis ra genah kok kalo urusan mental gak punya rasa kebangsaan ya repot.

Salam ngupi2

/MG Soetopo®

Kamis, 02 Februari 2012

Hiduplah demokrasi (bagian ke-1) Kasus Minangkabau.

disitulah hal yang perlu ditukik lebih tajam...sejauh ini demokrasi prosedural yang dianut barat untuk setiap pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak, jelas2 telah lari atau bahkan bertentangan dengan preambule UUD-45 (satu2nya bagian yang belum diacak2 para penunggang) yakni asas musywarah untuk mufakat. sehingga demokrasi substansial untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat terhalangi dengan telah dibajaknya ketuhanan yang maha esaberakibat tergganggunya sendi2 persatuan. padahal sudah jelas mekanisme demikian belum atau tidak sesuai dengan struktur sosial masyarakat dan budaya nusantara yang sangat majemuk dan berstrata. jika kita mau menyimak mekanisme pengambilan keputusan demokrasi ala nusantara adalah:"bulat air karena pembuluh (bambu)---> bulat kata karena mufakat". mekanisme ini sangat mengandalkan harmonisasi setiap kepentingan dengan konsep win-win solution. penuh dengan filosofi dan kedalam jiwa orang2 di dalamnya dengan mengandalkan kematangan berfikir dan keluasan hati. kemampuan berdiplomasi, berpantun, petatah-petitih yang pada akhirnya mendapatkan dukungan dengan melaksanakan hasil secara gotong-royong.

inilah yang menyebabkan kegagalan adopsi demokrasi prosedural ala barat  tersebut utk harus dan segera diformulasi ulang.

 

Hi

,___

Kasus Matriakhat Minangkabau

> Apakah minang kabau menggunakan jargon agama??? Kayaknya gak dech.. ....Malah minang menggunakan pola keturunan matriakat di saat dalam islam menggunakan patriakat....

Bapak Fadli yang budiman, mohon kiranya saya diberikan kesempatan untuk memberikan sedikit penjelasan.

Orang minang masa dulu itu dalam beragama tidak hobi memberi stempel agama untuk setiap hal. Hukum syariah, ekonomi syariah, partai Islam dll. itu kan jargon2 masa kini. Karena semangat islami sudah mendarah daging, amalan lahiriyah dan ruhiyah masyarakat insya Allah sudah sesuai dengan nilai2 keislaman.

Soal memelihara sistem matriakhat ini lebih merupakan ijtihad para mujtahid minang. Memang konsep matriakhat ini mungkin bukan merupakan produk asli minang, karena konsep ini sendiri sudah dikenal sejak jaman perunggu. Tapi konsep ini tetap dipertahankan dengan alasan yang akan dijelaskan sebagai berikut:

Sebelum membahas lebih jauh harus diperjelas dulu beberapa definisi. Matriakhat di minang ini lebih tapatnya disebut dengan matrilokalitat (tinggal di mertua dari istri) dibandingkan dengan matriarchy (kepemimpinan oleh wanita). Masalah definisi ini terkadang menggiring kekeliruan bahwa adat minang bertentangan dengan Islam yang memberi porsi kepemimpinan lebih tinggi pada pria. Minang matriarchy Vs. Islamic Patriarchy. Padahal ini merupakan keekliruan karena kurang cermat dalam memberi definisi.

Sejarah membuktikan bahwa nilai2 adat minang kuno pernah pula berbenturan dengan nilai2 yang dibawa kaum padri. Akan tetapi sejarah pula yang membuktikan bahwa pertentangan antar keduanya meskipun harus mengalami perang saudara yang besar akhirnya bisa diselesaikan secara musyawarah (demokrasi pancasila). Sehingga hadirlah nilai2 minang-Islam baru termasuk pepatah adat bersandi syara, syara bersandi kitabbullah. Termasuk tigo sajarangan: ninik mamak (eksekutif), alim ulama (yudikatif) dan cerdik pandai (teknokrat). Legislatif tidak menonjol karena kedaulatan berasal dari kitabbullah (demokrasi Islam).

Kembali lagi soal matrialokalitat. Dalam masyarakat minang, umumnya anak laki2 muda menjelang dewasa pergi dari rumah orang tuanya untuk merantau. Memang asalnya merantau ini lebih dikarenakan tuntutan ekonomi, akan tetapi kemudian berkembang menjadi suatu bentuk ideal dari proses pendewasaan diri (termasuk menuntut ilmu di rantau nan bertuah). Merantau ini telah berktontribusi pula atas penyebaran Islam di berbagai daerah seperti Sulu (Filipina selatan), Sulawesi Selatan, Bima, Kutai, Palu, kerajaan Manggarai (Flores), dsb.

Karena budaya merantau dari anak laki2 inilah maka kekayaan keluarga lebih banyak diprioritaskan pada anak perempuan, sebagai penjaga gawang keluarga besar (rumah gadang).

Bagaimana hubungan antara fiqih Islam dan adat matrialokalitat terutama dalam soal warisan. Disinilah kecerdasan pada mujtahid minang boleh pula dipuji. Harta pusaka dibagi menjadi dua macam, harta pusaka tinggi (yg merupakan warisan suku dan diwariskan menurut adat) dan harta pusaka rendah (merupakan hasil upaya sendiri diwariskan menurut fiqih Islam). Tentu saja pertentangan tetap ada, misalkan Syeih Akhmad Khatib al-Minangkabawi beliau meninggalkan tanah minang selama2 dan pernah pula menjadi seorang imam Mesjidil Haram.

Dari sudut pandang ekonomi, warisan pusaka tinggi secara adat terutama dalam harta tanah pusaka (harus tetatap utuh dan tidak boleh dijual) ini ternyata memiliki keunggulan dibandingkan pewarisan tanah lain di Indonesia terutama di Jawa. Salah satu permasalahan pertanian di Jawa ini adalah kepemilikan tanah yang terlalu kecil oleh pelaku pertanian dimana luas lahan yang dimiliki tidak ekonomis lagi untuk melakukan upaya secara komersil. (Karena seorang ayah membagi tanah nya utk masing2 anak, kemudian sang anak membagi2 lagi seterusnya). Sekali lagi ini bukan untuk membenturkan fiqih Islam dan adat Minang, justru ini merupakan suatu ijtihad terhadap pesoalan baru.

Tentu saja sistem matrialokalitat ini terkadang dapat mengkerutkan kening beberapa orang non minang. Suami kok, lebih ngurusin rumah ibunya dibandingkan istrinya. Tapi bukankah ada sabda Rasul saw. yang mengatakan surga berada dibawah telapak kaki ibu.

Wassalam

Ken

__._,_.___

__

Carpon - Lalakon Awon

Carpon - LALAKON AWON
Ku Godi Suwarna

AWON. Sakitu-kituna ngaranna téh. Teu kurang teu leuwih. Duka kumaha pipikiran jenatna kolot-kolotna pangna méré ngaran kawas kitu. Disebut goréng patut da henteu manéhna téh. Malah mun ditilik-tilik, nya aya rupaan wé sakitu mah. Pédah teu kasartaan wungkul. Éta wé geura, barang pakéna téh teu weléh rangkedut baé. Kungsi éta gé manehna téh maké pakéan rada pantes. Diberé lungsuran seragam pagawé negri ku Mang Sidik, pesuruh SD. Na da éta mah, guru-guru sadésa ngadon ribut Ngaromongkeun. Teu sarukaeun. Seragam saenya-enya dipapaké ku jelema kitu, ceuk nu karukulutus. Mang Sidikna ogé diseukseukan ku Kepala Sakola. Atuh manéhna téh teu tulus ganti pakéan. Balik deui wé mamaké gidril, saban poé, ka mamana, bari jeung gogodombrangan éta téh.

"Jih, étah, Mang Awon mani saé kitu, eum!"
"Uhun. Mang Awon mah saé baé da!"
"Naha sakitu saé bet di-awon-awon?"
"Ah, sakali Awon mah tetep wé awon!"

Dina hiji mangsa, isuk-isuk, barudak SD mani raéng ngaheureuyan Manéhna ngan ukur imut bari jongjon wé digawé, nyapuan buruan balédésa Kitu biasana, boh ku budak boh ku kolot, manéhna téh teu weléh digareuhgeuykeun. Nya kitu, diheureuyan atawa dicarekan ku saha baé ogé manéhna mah teu weléh imut jeung imut. Imut nu matak deungdeuleueun ceuk Mang Sidik téa mah.

Rengsé sasapu, ger, ngadurukan runtah. Deregdeg ka jero rék nyokot bandéra. Rohangan karosong keneh. Can aya pamong nu ngantor najan geus nyedek ka beurang. Dirigdig deui ka buruan bari mamawa bandera. Bandera dikelat. Manehna mundur tuluy ngahormat kana bandera. Kituna téh bari ngawih lagu Dengkleung, da ngan eta-etana nu apal. Hansip ngadon tingcalengir sabot nyerangkeun nu keur upacara sosoranganan.
"Ka dieu heula sakeudeung, Won," ceuk Pa Ulis pabeubeurang, tuluy ngoyoyod ka pipir. Awon ngiclik nuturkeun.

"Apal imah Nyi Nenih, Won?" Pa Ulis haharéwosan.
Awon unggeuk.
"Kieu, Won. Panganteurkeun ieu, ka Nyi Nenih," Pa Ulis ngusiwel, ngaluarkeun amplop dines tina sakuna. "Béjakeun, Won, Bapa keur sibuk kituh. Kadé tong comel, nya!"

Awon imut. Imut nu matak deungdeuleueun tea ceuk Mang Sidik mah. Katenjona rada nyiak Pa Ulis gé. Era jigana. Bangun nu ngarasa rumasa keur boga dosa. Tapi da ngan Si Awon-awonna nu dipercaya. Awon imut bari manggut. Pa Ulis katenjo rampang-reumpeungna.
Rada jauh imah Nyi Nenih téh, nenggang, di tonggoh, di tungtung lembur. Awon ngagedig bari teu weleh umat-imut. Najan ceuk batur kurang saeundan, lamun amis budi mah nu sejen gé tangtu bakal nyaraaheun, dunya bakal jadi lega, kitu ceuk jenatna akina nu teu weleh kapireng baé, najan teu kaharti kabeh.

"Bang Awon, apa masih tetep awon, rojer?" ceuk Jang Dudung nu keur ngariung jeung baturna papada pamuda nganggur.
"Jin, lain gé Kang Awon mun teu awon mah, nyah?" nu sejenna mairan.
Awon ukur imut sabot ngagidig, teu maliré pamuda nu garugupay ban ngaracung-ngacungkeun botol. Sajajalan Awon ngahariring Dengkleung, dibulak-balik. Sanggeus ngesang, Awon anjog ka buruan imah Nyi Nenih nu hieum ku tangkal sawo. Panggung imahna téh. Barala da teu kaurus. Nyi Nenih téh hirup kadua ninina nu geus pikun pisan.

Sanggeus pupuntenan sawatara lila, Nyi Nenih ngulutrak. Didadaster. Ngaléléké. Buukna acak-acakan. Sédowna ngadaragleg keneh. Lipstikna ludang-lading kana pipi jeung gadona. Karek hudang pisan jigana mah.

"Jih, Awon geuning? Aya naon, Won?" Nyi Nenih diuk dina golodog, gigireun Awon.
"Ieu, ti Pa Ulis ..."Awon ngasongkeun amplop.
"Gering puguh uing téh," Nyi Nenih nyoekeun amplop dines, aya duitan salambar. "Jurig sugan! Cedit-cedit teuing mangkeluk téh! Teu kawas mun keur aya kahayang!! Nyaho aing keur gering!"
"Gering? Nyeri naon, Nyai?" Awon imut mani nganjut.
"Rieut. Sarebel baé deuih," Nyi Nenih leuleuy sanggeus nenjo imut Awon.
"Jin, atuh. Pencetan, Nyai?"

Nyi Nenih unggeuk tuluy nukang bari rada ngadayagdag. Awon imut. Nyi Nenih didangheuakeun. Tarangna diurut, turun kana beuheungna, kana pundukna nu ngaliglag. Aya kulit mani lemes kieu, ceuk Awon nu mindeng mencetan Hansip. Imut Awon beuki nganjut, beuki leleb. Imut Awon digebah ku nu nyorowok: "Nanaonan ieu téh? Maneh keur naon di dieu?"

Ngarenjag duanana gé. Ret. Singhoreng Pa Kulisi geus ngajega bari ngumis. Awon gancang nangtung. Ajeg. Ngahormat. Kitu biasana mun tepung jeung Pa Kulisi. Nu dihormatna mah ngadon ngabalieur, ngadon meletet kana daster anu nyingkab, ka nu ngaboleklakna.

"Keur naon ari maneh, Awon?"
"Siap, Komandan! Nuju mencetan, Komandan!" Awon daria naker, teu weleh ngahormat nurutan Hansip, ngan ditungtungan ku imut ieu mah.
Nyi Nenih nyikikik.
"Sia mah. Batur digarawé, ieu kalah ngahénén jeung nu dénok!" Pa Kulisi angger meletetan pingping.
"Ari Aa? Badé naon siang-siang ka dieu?" Nyi Nenih ngadilak, ngoyag-ngoyag pingping nu keur dipencrong ku Pa Kulisi.
"Ngon... trol wé atuh. Pajar gering apan." walon Pa Kulisi. "Indit kaituh. Awon!"
"Siap, Komandan! Dilaksanakan, Komandan!" cenah, ngahormat, tuluy balik kanan.
Nyi Nenih nyeuleukeuteuk.

Nu diseungseurikeunana mah noyod wé. Awon ngahariring Dengkleung, lagu nu ngan sakitu-kituna tea. Ngalieuk deui sotéh pedah Nyi Nenih ngagerewek bangun getek. Barang malik, horeng nu duaan téh geus arasup ka imah. Pantona meundeut. Tapi da kadenge keneh sora Nyi Nenih aduh-aduhan. Parna kitu geringna? Ceuk Awon, tuluy balik deui rurusuhan. Lalaunan manehna muka panto. Kasampak Pa Kulisi jeung Nyi Nenih keur patutumpuk dina korsi panjang, di tepas.

Kadengé sora Nyi Nenih nu hos-hosan sada entog.
"Peryogi nyaur Pa Mantri, Komandan?" Awon hariwangeun pisan.
Puguh wé, Pa Kulisi ngagurubug badis nu direwég kanjut.
"Siah, dasar jelema eusleum! Mantog, Awooon!" Pa Kulisi tibubuncelik, ngangsrodkeun calana dinesna.

Awon ngarenjag, reuwas. Tapi tuluy manehna imut. Imut nu matak deungdeuleueun ceuk Mang Sidik tea mah. Nenjo imut Awon, Pa Kulisi bangun anu rada nyeblak. Bangun teu pararuguh rarasaan. Pa Kulisi ngajeten. Pias. Awon ngahormat, balik kanan tuluy ngagedig deui.
Beu, parna Nyi Nenih téh! Renghapna gé mani hos-hosan kitu! Sada entog! Untung wé aya Pa Komandan! Mun euweuh Komandan mah uing meureun kariripuhan! Bieu gé terus wé geuning dijampe! Karek apal. Komandan téh horeng bisa ngubaran! Omong Awon.

Pasosoré, Awon ngagidig deui ka imah Nyi Nenih. Rek ngalongok. Teu weleh kadengé baé, sora Nyi Nenih nu hos-hosan sada entog basa dijampé ku Pa Kulisi tea. Awon ngeupeul cau tilu siki, sesa Pa Kuwu di kantor. Karunya! Rek saha nu ngurusna! Boga nini geus pikun kitu! Ceuk Awon nu keur ngagedig.

Na atuh. di buruan imah Nyi Nenih. Awon bet pasarandog jeung dununganana, Pa Kuwu. Pa Kuwu keur memener baju jeung calana dinesna. Awon rikat nyumputkeun cau kana saku. Rumasa. Rumasaeun nyokot cau teu bebeja.

Awon kuram-kireum da puguh Pa Kuwu téh jalma nu pangdipikaserabna.
"Kateterasan Nyi Nenih téh, Pa?" Awon alangah-elengeh.
Pa Kuwu ngarenjag da keur malaweung tea.
"Na da Bapa mah ... Bapa mah tas neang sapi..." tembal Pa Kuwu teu pupuguh.
"Oh, teu damang deuih sapina, Pa?"
"Geus aya nu rek nukeuran ku sawah ..." Pa Kuwu beuki teu puguh.
Awon imut. Imut nu matak deungdeuleueun tea. Nenjo imut Awon, Pa Kuwu ngejat tuluy ngabigbrig badis nu tas tepung jeung jurig dempak. Reuwas awon gé, meh lumpat ngudag Pa Kuwu. Bari hemar-hemir, Awon luak-lieuk, tatanggahan kana tangkal sawo. Tapi da sidik taya nanaon.
Ret ka imah Nyi Nenih. Rarat-reret. Sarimpe.

"Saré Nyi Nenihna gé. Dikirim obat ku Pa Kuwu. Heg obatna téh nu marahal tea," Awon yakin pisan da puguh bageur tea Pa Kuwu mah.
Awon teu wani unggah, bisi ngaganggu. Ngan barang inget kana cau, manehna tuluy ngahuleng. Cau dialak-ilik. Dipikiran kudu kumaha mikeunna. Da piraku ari kudu dibawa balik deui mah. Tungtungna, cau téh ditunda wé dina golodog.

"Jangeun ninina. Lumayan. Nyi Nenih mah geus dikirim apan ku Pa Kuwu! Nu ngeunah wungkul dahareunana oge," cenah ban ngaleos.
Kakocapkeun, peutingna di baledesa—enya, Awon téh sok ngagojod di dinya wé, matuh, da puguh teu bogaeun imah tea—sarena teu pati tibra. Ngimpi diudag-udag baé ku sapi gering nu hos-hosan sada entog. Ngimpi ngapung jeung Nyi Nenih bari nananggeuy cau tilu siki. Manehna jeung Nyi Nenih murag tina mega malang, ngagebrus kana cubluk. Dina cubluk. Pa Kuwu, Pa Kulisi, Pa Ulis, jeung batur salelembur ngadon silih reweg, silih segag, silih cakar. Parebut cau nu ngan ukur tilu siki. Awon ceurik, ngadingdiut di pangimpianana.
"Ari Awon can hayang rarabi?" Pa Kuwu nalek, hiji mangsa, heuleut tilu bulan sanggeus Nyi Nenih gering tea.

Awon teu nembalan, kalah tatanggahan mencrong Galudra.

"Jen, kalah ngalamun! Kumaga mun dikawinkeun ku Bapa? Daek, Won?"
Kawin. Lebeng pisan. Teu kapikireun. Teu kaciptaeun.
"Ka Nyi Nenih daek, Won?" Pa Kuwu beuki nyedekeun.
"Engké Nyi Nenihna dibaturan ku abdi, kitu?" Awon kalah malik nanya ban ngagaroan sirah.
"Enya kitu. Engké Awon sarena pindah ka imah Nyi Nenih," Pa Kuwu rada seuri.
"Saha atuh engké nu ngemitan baledesa?" Awon bingung.
"Ah, cuang nitah batur wé. Kumaha? Daek Won?" Pa Kuwu mimiti teu sabar.

Tungtungna mah Awon téh unggeuk najan bingungeun keneh pisan. Bray weh, Pa Kuwu munggah marahmay. Kitu deui Pa Kulisi. Kitu deui Pa Ulis. Beja yen Awon rek kawin ka Nyi Nenih tereh pisan narekabna. Loba lalaki, nu bujangan jeung nu boga pamajikan, ujug-ujug plung-plong haté barang mireng eta beja. Sugan wé baleg ari geus kawin mah, kitu ceuk kaum ibuna.

Mang Sidik nu ngajenghok mah, tuluy ngaheruk meunang sawatara poe.
"Nyaan Awon téh rek kawin?" Mang Sidik ngahaja nepungan Awon.
Awon unggeuk bari imut. Nenjo imut Awon, Mang Sidik kalah ngalimba. Rus-ras ka kulawarga, ka dulurna Awon nu kabeh geus tilar dunya.
"Pikiran heula, Won. Ulah rurusuhan." Mang Sidik dareuda.
"Ah, uing mah kumaha Pa Kuwu wé, Mang. Bageur Pa Kuwu mah da," omong Awon. "Karunya cenah Nyi Nenih téh ceuk Pa Kuwu ogé. Jaba ninina geus maot apan. Keueungeun. Kudu dikemitan ceuk Pa Kuwu téh."
"Nya ari kitu onaman," tuluyna mah Mang Sidik téh ngabarabat mamatahan nu rek laki-rabi, mamatahan Awon nu ukur imut jeung imut.

Kacaturkeun, ger weh kawin. Ramé sakitu mah. Nu daratangna loba. Nyarambungan. Kasep geuning Awon téh ari dangdan mah, ceuk nu nyaraksian. Ti Pa Ulis supenirna telepisi, urut-urut baé mah. Pa Kulisi meré kongkorong. Jang Dudung mah ngadon heureuy, ngadon mungkus pel anti sepilis. Pa Kuwu ngaharewos ka Awon, ti Bapa mah sawah dua ratus bata, cenah. Tuluy Pa Kuwu ngaharewos ka Nyi Nenih nu beuki gumuleng baé. Nyi Nenih unggeuk mani haget.

Bagja Awon téh. Bungaheun pisan. Imutna teu pegat-pegat. Sapopoé umat-imut. Ras deui kana caritaan akina. Enya we! Batur téh nyaraaheun geuning! Padahal dulur gé lain! Hanjakal kawin téh teu ti bareto! Carek Awon nu terus imut jeung imut.

"Saré di tepas wé. Tipi bisi aya nu maling!" Nyi Nenih nyurungkeun, peutingna, basa Awon nyampeurkeun ka kamar.
"Moal keueung kitu, Nyai?" Awon mundur deui.
"Ah. da lain bolon! Sorangan biasana ge!" Nyi Nenih nyentak tuluy ngagebrugkeun panto kamar.

Awon ngahuleng. Tapi kapan ceuk Mang Sidik ogé kudu silih eledan ari jeung pamajikan mah. Awon imut deui. Kayungyuneun meureun pedah boga pamajikan ludeungan. Sanggeus karalang-kuriling teu puguh cabak, tungtungna mah Awon nyangsaya dina korsi panjang. Dina korsi eta pisan Nyi Nenih téh dijampe ku Pa Kulisi, bareto.

Awon lalajo telepisi nu teu disetel. Ramé geuning, ceuk Awon pedah keur bungah. Dina tipi, katembong manehna keur pangantenan. Jenatna indung bapana tarurun ti langit, tarumpak kuda, diiringkeun ku widadari nu naranggeuy cau sasikat sewang. Awon seuri da geuning beungeut kuda téh bet siga Pa Ulis jeung Pa Kulisi. Dulur-dulurna, nu geus talilar dunya, ngariung di balandongan. Nanggap wayang. Beungeut wayang téh kabeh jiga manehna. Sindenna teu eureun-eureun ngahaleuang lagu Dengkleung.

Barang lilir, kadengé sora nu hos-hosan ti kamar. Sora nu humarurung deuih. Awon ngojengkang, ngadeudeukeutan panto kamar. Kadengé sora nu rereketan. Bangsat kitu? Ceuk Awon sabot noong tina bilik carang. Nu katenjo ukur korsi. Aneh. Bet aya kulit oray nu nyampay dina korsi. Awon gigisik. Noong deui. Jeket. Jeket Pa Kuwu geuning nu nyampay téh. Apal da sok mangnyeuseuhkeun.

Naha aya jeket Pa Kuwu di dinya? Awon bingung.
Nu hos-hosan, nu humarurung, nu rereketan, beuki lila beuki tarik.
"Nyi! Nyi! Ku naon? Gering, Nyai?" Awon ngetrokan panto.
Sora-sora ti kamar ngadadak jempé. Leuh, boa maot, Awon reuwaseun.
"Buka, Nyai! Buka! Buka heula, yeuh!" Awon ngagudrag-gudrag panto.
"Naon ieu téh? Peuting-peuting ngadon riweuh!" sora Nyi Nenih semu haroshos.
"Teu kua kieu, Nyai? Teu gering?" Awon hariwangeun pisan.
"Meugeus gandeng! Teu pupuguh! Ngaganggu nu keur sare!" Nyi Nenih nyentak.
"Nyaan teu ku ..."
"Gandeng! Gandeng! Molor ka dinyah!"

Ngemplong geus kitu mah. Melang tuda, bisi kumaonam, cenah. Da ceuk Mang Sidik ogé kudu tulaten, kudu nyaah ka pamajikan mah. Awon seuri maur Rumasa. Bet ngaganggu nu keur saré, nu keur ngimpi boa, keur ngalindur. Ras kana jeket Pa Kuwu. Ah, tetenjoan wé meureun eta mah, lulungu tuda, cenah bari ngagoledag deui.

Geus kitu mah guher deui baé dina korsi panjang. Geus ngimpi deui baé. Nyambung. Ngimpi kawin. Ratu Entog panganten awewena teh. Badag pisan entogna gé. Badag bujur. Jeung disada baé deuih. Hos-hosan. Imah eundeur basa Ratu Entog ngagarapak da disampeurkeun ku oray sanca nu kaluar tina jaket Pa Kuwu. Oray Sanca beuki lila beuki badag, beuki panjang, beuki buleud. Ratu Entog dibeulitan ku Oray Sanca. Ratu Entog jeung Oray Sanca disarada babarengan. Sorana sarua hos-hosan.
"Pareuman tipina. Awon! Geura sare!" Nyi Nenih gegebes, peuting isukna, basa Awon keur lalajo telepisi nu karek meunang menerkeun.
"Jih, raramena, Nyai! Kagok atuh," Awon imut.
"Pareuman! Uing rek sare! Rarieut!" Nyi Nenih ngulas-ngulas lipstik, midang keneh najan peuting beuki peuting.
"Meunang Akang saré di kamar, Nyai?" pokna sabot mareuman telepisi. "Rea reungit di dieu mah. Tuh, mani barentol kieu."
"Ah, di dinya wé, dina korsi. Tungguan tipi!"
"Jih. apan cikeneh gé dina tipi, sararena téh bareng di …"
"Dina tipi sotéh. Imah uing mah lain tipi!"
"Tadi, ceuk Jang Dudung. Akang kudu saré di kamar, cenah!"
"Jelema burung Si Dudung mah! Didenge-dengé teuing! Meugeus di dinya we!"

Sora nu hos-hosan téh peuting harita gé geus kadengé deui baé. Sora nu seuhah deuih. Kitu deui peuting isukna. Peuting isukna deui. Ti peuting ka peuting. Geus tara dipikiran ieuh. Kitu biasana meureun, sarena sok ngimpi baé, sok ngalindur baé, ceuk Awon. Paling ogé sok ras deui kana impianana sorangan, ka Ratu Entog jeung Oray Sanca tea. Awon seuri da geuning beuki dieu Nyi Nenih téh beuki jiga Ratu Entog.

Bujurna beuki badag baé. Beuteungna deuih. Leumpangna ngagetot badis entog nu rek ngendog. Ka dieunakeun mah tara kadengé ngalindur Nyi Nenih téh. Jaba jadi bageur deuih. Paingan ceuk Mang Sidik, bageur cenah engké gé, asal Awonna sabar wé. Ngan edas ogoanana. Kudu digeberan baé. Atoh wé Awon mah. Atoheun pisan. Komo barang mimiti meunang asup ka kamarna mah. Sapeupeuting Awon ngahihidan Nyi Nenih bari ngahariring Dengkleung.

Kacaritakeun, heuleut lima bulan ti tas dikawinkeun tea, Nyi Nenih geus ngalahirkeun. Orokna lalaki Kasep. Mani rabul nu ngalongokna gé. Abring-abringan. Lalaki wungkul. Awon beuki ngarasa dipikanyaah. Ku nu ngarubung, orok téh sok disaridik-sidik, tuluy saleuseurian bari silih tunjuk irung.
"Jiga Pa Ulis, Won!" aya nu pok nyarita kitu.
"Jih, puguh jiga Pa Kulisi!"
"Tarangna! Tingal tarangna! Tarang Pa Kuwu!"

Reueus wé nu aya Awon mah. Reueus pisan. Sugan atuh katuliskeun jadi pamong, cenah. Orok teu weleh diteuteup. Teu weleh geugeut. Teu weleh hayang deukeut baé. Teu weleh hayang nungguan di kamar. Tapi sanggeus Nyi Nenihna jagjag mah Awon téh teu meunang asup ka kamar. Tong boro mangku, teu meunang nyabak-nyabak acan. Bisi katepaan, ceuk Nyi Nenih.

Kakocapkeun hiji mangsa. sanggeus rengsé ngariung nyukuran orok, peutingna téh bulan ngempray kasawang ti tepas jempling. Awon ngabaheuhay dina korsi panjang. Asa jadi lalega tepas téh, buruan deuih ituh, ceuk Awon nu ras deui kana omongan akina.

Awon nyetel tipi. Sorana dileutikan pisan da bisi ngagareuwahan orok nu keur tibra. Sabot lalajo. Awon rut-ret kana panto kamar, ngarep-ngarep Nyi Nenih kaluar bari ngais budak. Kacipta baé, sirah orok nu bolenang karek meunang nyukuran. Kacipta lemesna mun diusapan. Hayang ngais deui. Hayang ngeyong. Hayang ngahariringan. Hayang...

"Hayang daging Oraaay!" Ratu Entog kutap-ketap.
"Hayang daging Entooog!" Oray Sanca kutap-ketap.
"Hayang daging oroook!" Ratu Entog ngacay.
"Hayang daging oroook!" Oray Sanca ngelay.
"Hos! Hos! Hos!" ceuk Ratu Entog.
"Hosss! Hosss! Hosss!" ceuk Oray Sanca.

Awon ngorejat. Hudang. Culang-cileung. Bulan ngempray keneh. Tipi hurung keneh. Dina tipi, aya awewé gegelehean di basisir. Aya lalaki nyampeurkeun. Awewé jeung lalaki tuluy patangkod-tangkod. Ti kamar. geus kadengé deui baé sora nu hos-hosan. Ras deui kana impianana dkeneh, ka Ratu Entog jeung Oray Sanca tea. Awon seuri.

Sora anu hos-hosan téh mimitina lalaunan, laun-laun beuki tarik. Na atuh, orok ujug-ujug ngagoar. Awon curinghak. Jol kacipta orok dibeulitan ku Oray Sanca, dilolodok ku Ratu Entog. Awon ngojengkang, rek ka kamar, rek nulungan budak. Tapi Awon diuk deui. Teu wani da sieun dicarekan. Dina tipi, nu keur patangkod-tangkod aya nu ngintip. Lalaki jabrig nyangking balati gedé. Ceurik orok beuki tarik. Awon ngojengkang deui. Rek lahlahan ngetrok panto. Panto kamar muka manten. Breh. Ratu Entog ulag-ileug. Awon hemar-hemir Disidik-sidik. Nyi Nenih geuning. Nyi Nenih nangtung di lawang, bulucun semu ngesang, mangku orok nu gogoaran.

"Leweh baé budak téh! Pependé, yeuh! Dieyong geura!" Nyi Nenih ngasongkeun orok jeung pangaisna.
"Karasa beuteung deui, Nyai?" Awon ngarawu orok.
Nyi Nenih teu nembalan, kalah gura-giru meundeutkeun panto.
"Dibaju geura, Nyai. Bisi asup angin keh." Awon ngais budak.

Teu weleh geugeut ka orok téh Teu weleh ditatap. Teu weleh diusap. Orok dieyong-eyong bari diharinngan. Dengkleung. Sora ti kamar mimiti kadengé deui. Dina tipi, nu keur patangkod-tangkod dibongohan. Si Jabrig ngaheumbat. Gabres. Gabres. Getih muncrat maseuhan kikisik. Sora ti kamar beuki tarik. Jol kacipta. Ratu Entog gutat-getot beurat ku bujur. Oray Sancana calawak. Tuluy garulet. Silih lodok. Silih pacok. Silih cokcrok. Dina tipi. Si Jabrig terus ngahanca nu keur kokoloyongan. Gabres deui. Gabres deui. Dicehcer. Terus dicehcer. Getih busrat-basret. Tapi teu direret-reret acan. Si Jabrig terus ngaheumbat. Sakali deui. Gabres deui. Ngaheumbat deui. Gabres. Gancang Awon mareuman telepisi bari terus humariring.

Sora nu hos-hosan, sora nu humarurung, sora nu nyikikik. sora nu ceplak, sora nu rereketan awor jeung hariring Dengkleung.

Jempling tungtungna mah. Jempling pisan.

"Ujang rek jadi naon jaga? Jadi Pamong? Ah, jadi naon wé nya, Jang. Asal bageur," Awon ngaharewos, nompo kana ceuli budak nu geus tibra deui.

Ti kamar kadengé sora nu batuk, ditungtungan ku cikikik.
"Sing amis budi Ujang mah, nya?! Ngarah rea nu nyaraaheun. Sing amiiis téh nya, Jang?"

Awon imut bari nyium budak. Awon bangun hayang nepakeun imutna nu matak deungdeuleueun tea. Awon seuri barang nenjo orok ngarenyu nu imut. Aya nu nyalangkrung dina juru panon Awon.
Di buruan, caang bulan beuki ngebrak.***
=====
Catetan:
Pinunjul I Pasanggiri Ngarang Fiksi Paguyuban Pasundan/Hadiah Sastra DK Ardiwinata 1997. Dimuat dina Majalah Manglé No. 1628, Oktober 1997

_