Selasa, 14 Februari 2012

Orang-Orang Bloomington: Quiet Before the Storm

 

Orang-Orang Bloomington: Quiet Before the Storm

 

(Disclaimer: Namaku KenSatria. Asal dari Indonesia dan sekarang hidup di Amerika. Izinkan aku untuk bercerita tantang apa saja yang aku lihat, dengar, dan rasakan selama hidup di sini. Tanpa editing dan sensor. Jika ada hal-hal yang yang sekiranya perlu diedit dan disensor, mohon para pembaca untuk mengedit dan meyensornya sendiri sesuai dengan tingkat umur dan kedewasaannya. Dengan berbagi cerita semacam ini, tujuanku bukan sok berbagi inspirasi. Tapi siapa tahu ada manfaat yang dapat dipetik dari kisah-kisah sederhana yang akan aku tuturkan nanti).

 

Sudah hampir tiga tahun aku hidup di rumah sepasang suami-istri sepuh yang bernama Vince Amstrong  dan Lindsay Amstrong. Vince kira-kira berumur 92 tahun, sementara istrinya, Lindsay, berumur sekitar 77 tahun. Mereka hidup di rumah yang terletak di hutan pinggiran kota Bloomington itu berdua saja. Tanpa anak, tanpa cucu. Vince memang pernah memiliki dua orang anak dari istri sebelumnya, tapi  kedua anaknya sudah meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

 

Saat masih muda dan aktif bekerja, Vince adalah orang yang sangat disegani di kalangan akademisi. Dia adalah pencetus dan pembela utama teori "public choice" di bidang kebijakan publik; pembaru teori-teori Alexis De Tocqueville, James Buchanan dan Gordon Tullock,  Alexander Hamilton, serta James Madison dalam disiplin ilmu politik; dan yang terakhir, teori-teorinya juga menjadi pondasi bagi konsep "collective action" yang menghantarkan Elinor Ostrom untuk memenangi Penghargaan Nobel Ekonomi tahun 2009. Di tahun pertama aku hidup bersamanya, dia masih bisa menceritakan idealismenya secara berapi-api. Dia ingin melihat Amerika, Kanada, dan Meksiko berada dalam sebuah ikatan politik bersama,  dalam sebuah "Compound Republic." Di ulang tahunnya ke-90, para koleganya bertanya tentang apa keinginannya. Dia jawab, "Aku ingin hidup 25 tahun lagi."

 

Tahun berikutnya, memorinya sudah banyak berkurang, dan raganya mulai tampak makin rapuh; apalagi setelah dia didiagnosis menderita kanker prostat yang membuatnya harus hilir mudik ke dokter dan rumah sakit. Beberapa perawat (caregiver) dipekerjakan untuk membantu keperluan sehari-harinya. Ada yang masih bertahan sampai sekarang; tapi ada pula yang dalam hitungan minggu dan bahkan dalam bilangan hari. Satu hal yang dulu membuatnya hebat tapi kini membuat orang di sekitarnya keder, yakni, pendirian dan keinginan yang sulit dibantah atau ditolak.  Misalnya, dia sangat menikmati kehangatan yang memancar dari tungku perapian di beranda rumahnya. Tanpa mengenal musim, dia meminta perawatnya untuk memasukkan kayu ke tungku perapian tersebut walau di dalamnya sudah penuh dengan bara. Permintaannya saat seperti itu layaknya sebuah sabda. Bantahan hanya akan membangkitkannya dari tempat duduk untuk mengambil sendiri kayu-kayu itu meski sambil terhuyung. Meski tidak ada amarah yang meladak, tapi muka merahnya menyiratkan kharisma yang masih tersisa. Bagusnya, kalau permintaanya dipenuhi, dia akan mengucapkan terima kasih dengan ketulusan yang tak pernah kujumpai sebelumnya.      

 

Tahun ketiga dalam kebersamaan kami, kesehatan Vince tak kunjung membaik. Pernah suatu kali dia tidak bisa bangun dari tempat tidurnya, bahkan sulit berkomunikasi dan mengingat nama-nama orang di sekitarnya, bahkan nama istrinya sendiri. Saat aku berusaha membangunkan dan menyadarkannya, dia sempat sadar dan berujar di telingaku, "Saya akan segera mati. Kalau saya meninggal nanti, tolong jaga istri saya, ya!" Aku kaget bukan kepalang.  Sebenarnya masih banyak kisah berharga yang dapat dituturkan dari sosok Vince ini. Tapi, karena ini cerita pengantar, untuk sementara kisahnya sampai di sini dulu saja dan sekarang beralih ke kisah tentang istrinya yang bernama Lindsay.

 

Lindsay bukan hanya istri yang sangat baik bagi Vince. Dia adalah juga penyempurna pencapaian intelektual dan akademik Vince. Dia yang setiap pagi membuatkan kopi dan sarapan buat suami tercintanya. Dia pula yang mengganti pakaian dan diaper suaminya saat para perawat belum datang dan pada saat mereka sudah pulang.  Begitu aku bangun pagi lalu mengambil koran dan menyalakan tungku api setiap jam 8 pagi, Lindsay sudah membuat kopi dan duduk di depan komputernya. Kadang dia melakukan konferensi jarak jauh dengan koleganya di Swedia, Swiss, Jerman, India, China, Korea, dan kolega dari berbagai belahan dunia lainnya. Kadang menyelesaikan sebuah artikel, menyusun atau mengedit sebuah buku, memeriksa paper mahasiswanya, dan kadang membayar tagihan-tagihan yang menumpuk. Apapun yang dia lakukan pagi dan hari itu, dia akan berbagi cerita denganku setelah aku menyelesaikan tugas menyalakan api. Suatu pagi, saat aku masih sibuk dengan kayu dan ranting untuk perapian, suara telpon berdering kencang. Dia tergopoh-gopoh meraih gagang telpon itu. Terdengar suara di seberang sana memberitahukan bahwa Lindsay memenangkan penghargaan yang paling bergengsi dalam bidang ekonomi.

 

Kebahagiaan membuncah. Aku menghambur kepadanya untuk mengucapkan selamat. Dia juga segera menghampiri dan memeluk suaminya yang masih pulas untuk memberitakan kabar membanggakan itu. Tak lama berselang permintaan wawancara datang silih berganti. Berganti bulan dan tahun jadwalnya makin padat saja. Undangan wawancara, permintaan menjadi pembicara, pemberian penghargaan dan gelar honoris causa, serta sederet kegiatan lainnya membuat roda kehidupannya berpilin kencang. Dan dia menjalani semuanya dengan gembira, tanpa mengeluh.

 

Sampai suatu waktu, tepatnya bulan Oktober tahun 2011 lalu, mukanya tampak sangat pucat. Jalannya juga agak limbung. Saat aku tanya apa yang terjadi dan apa yang dirasakan. Dia jawab bahwa sudah hampir dua minggu rasa perih dan sakit menyerang perut dan punggungnya. Selama dua minggu itu pula dia tidak bisa buang air besar, sehingga perutnya terasa sangat sakit. Siang harinya dia memutuskan untuk ke rumah sakit untuk mengeluarkan isi perutnya, dan juga  memeriksakan darah serta kadar gulanya. Begitu pulang konsidinya sedikit membaik. Hanya saja rasa sakitnya masih menjalar di daerah pinggang hingga punggungnya. Beberapa hari berikutnya dia menjalani pemeriksaan lebih lanjut di Indiana Health Bloomington Hospital. Hasilnya, dia didiagnosis terkena kanker pankreas stadium lanjut. Berita itu betul-betul memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Sesampai di rumah, Lindsay terlihat lunglai saat sendiri tapi berusaha menunjukkan ketegarannya saat berhadapan dengan orang. Namun benteng ketegaran yang dia coba bangun sempat digerogoti oleh kenyataan bahwa beberapa hari kemudian dia terjatuh dan tak sanggup berdiri lagi. Tulang metatarsalnya patah. Aku mengantarnya ke Prompt Care untuk mendapatkan perawatan. Setelah diketahui ada yang patah pada telapak kakinya, dia segera diberi sepatu boot khusus untuk mengurangi tekanan. Disarankan pula agar Lindsay memakai kursi roda.

 

Beberapa hari kemudian, jadwal kemoterapi untuk kanker pankreasnya datang. Lindsay diantar oleh perawat yang sebenarnya dia angkat untuk merawat suaminya. Namanya Calvin. Kemoterapi hari itu berjalan lancar. Hanya saja, sebagaimana penuturan Lindsay, dia tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang apa diet dan aktivitas pendukung untuk menaklukkan kanker. Bahkan, tidak ada informasi yang cukup dari dokter tentang apa saja efek samping kemoterapi dan bagaimana cara mengatasi efek samping tersebut. Yang dia tahu dari dokter itu, kemoterapi adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkan kanker. Ada satu hal yang tidak diketahui, atau mungkin sengaja tidak disampaikan, oleh Lindsay kepadaku. Calvin mengatakan kepadaku bahwa saat dia mendampingi Lindsay untuk kemoterapi, dokternya memberitahukan satu hal yang menyetakkan. Katanya, Lindsay mempunyai kesempatan hidup antara 6 minggu sampai 6 bulan lagi. Mendengar cerita itu, air mataku menetes tanpa terasa.

 

Dengan kondisi yang sakit seperti itu, minggu lalu Lindsay masih melakukan perjalanan seminggu penuh ke New Delhi dan Bangalore sendiri. Dia masih bangun pagi untuk membaca, menulis, telekonferensi, dan mengurusi proyek artikel dan bukunya.  Saat aku menulis sekarang ini, dia sedang menghadiri sebuah konferensi bersama koleganya di Munster, Jerman selama tiga hari.  Menanggapi kondisi Lindsay yang sanggup melakukan perjalanan jauh dengan semua aktivitasnya,  dokternya hanya bilang, " This is a period of Quiet Before The Strom." Hanya Dia yang tahu persisnya kapan saatnya memanggil dan siapa yang dipanggil untuk kembali. Hanya doa yang terpanjat dari lubuk hatiku untuk Lindsay: "Semoga kesehatan dan kepulihan dikaruniakan untukmu, perempuan tangguh yang tak pernah lelah menebarkan ilmu."

 

 

KenSatria,

Senin 13 Februari, 2012.

 

__._,_.___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar