Selasa, 07 Februari 2012

Paradoks Investment Grade

PARADOKS INVESTMENT GRADE

Arif Budimanta,

Anggota DPR RI FPDI Perjuangan, Komisi Keuangan & Perbankan,

Sumber : REPUBLIKA, 4 Februari 2012

"Peringkat ini rawan de ngan krisis, sedikit saja terjadi persoalan ekonomi, dapat jatuh ke kategori peringkat spekulatif."

Investment Grade atau peringkat investasi dalam konteks pengelolaan ke uangan negara adalah suatu status atau kategori pemeringkatan yang di buat oleh suatu lembaga. Status ini berguna untuk memberikan gambaran tentang keuntungan dan risiko mengenai kondisi suratsurat berharga (surat-surat utang/ pengakuan utang/bond/obligasi) yang dikeluarkan oleh suatu negara atas dasar perencanaan, pengelolaan, dan sistem per ekonomian/keuangan negara itu.

Peringkat investasi secara umum dikategorikan atas layak investasi (Investment Grade) dan tidak layak (Non-Investment Grade). Kategori tersebut disimbolkan dengan huruf A hingga C. Makin mendekati A, maka menandakan bahwa investasi tersebut makin prima dan layak.

Paradigma peringkat investasi adalah keuntungan. Investasi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pena naman uang atau modal di suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Investasi menyangkut investor (pemilik uang) sebagai pembeli dan pemilik proyek/perusahaan sebagai penjual.

Pada sisi pembeli, dia mempergunakan modalnya untuk mendapatkan keuntungan atau imbal hasil dari penjual. Pada sisi penjual, dia mempergunakan/menjaminkan asetnya untuk memperoleh modal kerja untuk memproduksi sesuatu yang menghasilkan imbal hasil lebih tinggi dari yang diberikannya kepada penjual/investor.

Semakin produktif, stabil, dan dominan kekuatan keuangan sua tu negara, maka peringkat inves tasinya akan semakin membaik. Karena—persoalan produktivitas, stabilitas, dan kekuatan sistem ke uangan—memberikan jaminan dan kepercayaan kepada para pe milik dana (investor) untuk membeli surat-surat berharga yang di terbitkan oleh suatu negara. Atas dasar itu, biasanya investor membeli surat-surat berharga de ngan harapan mendapatkan modalnya kembali plus imbal hasilnya.

Lembaga pemeringkat yang ternama di dunia yaitu, (1) Fitch merupakan bagian dari Fitch Grup yang didirikan oleh John Knowles Fitch pada 1913 dan berkantor pusat di Paris. (2) Moodys merupakan bagian dari Moodys Corporation yang didirikan oleh Jhon Moody pada 1909 dan berkantor pusat di New York. (3) Standars & Poors merupakan anak perusahaan dari Mc Graw Hill Companies, berdiri pada 1941 dan berkantor pusat di New York.

Anomali

Ketika krisis ekonomi melanda, Indonesia harus merelakan kehilangan peringkat layak investasi. Saat ini, lembaga pemeringkat yang sejatinya adalah korporasi, seperti Moody's Investor Service, Fitch Ratings, serta Japan Credit Rating yang mengembalikan peringkat layak investasi tersebut ke Indonesia.

 

Seiring peningkatan peringkat utang tersebut, tentu saja diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap sektor riil yang lebih bersinggungan dengan penciptaan lapangan kerja dan pengu rangan tingkat kemiskinan di Indonesia. Apalagi, hal ini mening katkan peluang Indonesia untuk memperoleh dana jangka panjang yang murah sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembangunan infrastruktur.

Peringkat Indonesia menurut lembaga pemeringkat Fitch, walaupun layak investasi (BBB-), tapi kelasnya tidaklah sama seperti peringkat yang diraih Singapura (triple A), Malaysia (A-), ataupun Thailand (BBB). Peringkat yang diberikan perusahaan Moody's ke Indonesia Baa3 sebenarnya adalah peringkat paling bawah kategori layak investasi.

Ciri dari kategori ini adalah setiap obligasi atau surat utang yang diterbitkan negara memiliki risiko moderat dan memiliki karakteristik spekulatif. Artinya, menarik untuk investasi, tetapi memiliki risiko yang tinggi bagi investor yang menanamkan modalnya. Peringkat ini rawan dengan krisis, sedikit saja terjadi persoalan ekonomi, dapat jatuh ke kategori peringkat spekulatif.

Dalam keterangannya ketika pemerintah mengumumkan bahwa Fitch telah menaikkan status Indonesia ke beringkat BBB-, pemerintah menjelaskan bahwa salah satu yang menyebabkan kenaikan peringkat ini adalah rasio utang yang rendah dengan tren yang menurun. Pernyataan tersebut sebenarnya anomali karena beberapa negara Eropa yang rasio utang dengan PDB-nya sangat tinggi dibanding Indonesia, seperti Italia, Spanyol, bahkan Amerika sampai saat ini peringkatnya jauh lebih baik dari Indonesia.

Yang menarik adalah imbal hasil (bunga yang diberikan) terhadap obligasi yang diterbitkan oleh negara-negara tersebut jauh lebih rendah dari kita. Harusnya, kalau memang layak investasi dengan pertimbangan kebijakan ekonomi yang hati-hati, stabil, dan berkelanjutan, kita lebih memiliki keberanian untuk menurunkan imbal hasil dari surat utang negara yang diterbitkan.

Tetapi, untuk menurunkan tingkat imbal hasil terhadap surat utang ini, pemerintah belum percaya diri dan akan terus memakai patokan UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Aturan itu mengasumsikan suku bunga terhadap surat berharga negara untuk jangka waktu tiga bulan berada pada kisaran enam persen.

Setidaknya, ada dua hal yang menjadi dasar dari pemberian imbal hasil yang tinggi tersebut karena pemerintah khawatir defisit APBN tidak tertutupi. Jika Surat Utang Negara tidak dijual dengan imbal hasil atraktif, maka investor tidak akan berminat. Selain itu, produktivitas dari Kebijakan Fiskal yang ditunjukkan dengan perbaikan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Paradoks

Utang Pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari Rp 1.800 triliun dengan beban cicilan bunga utang sebesar Rp 122 triliun dari total APBN 2012 sebesar Rp 1.435 triliun. Beban cicilan bunga utang ini meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir.

Penerbitan surat utang baru yang dilakukan pemerintah dilandasi oleh UU APBN. Dalam Pasal 23 UUD 1945 dikatakan bahwa APBN harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, dalam perspektif konstitusi, harusnya kita dapat memaknai dan merasakan bahwa seharusnya capaian Investment Grade itu diikuti dengan perbaikan kemakmuran rakyat.

Tetapi, kenyataannya, beberapa indikator global menunjukkan peringkat Indonesia yang malah merosot pada 2012, seperti Doing Business Indonesia turun tiga peringkat dari 126 pada 2011 menjadi 129 pada 2012.

Secara umum, penyebab masih rendahnya peringkat doing business di Indonesia masih disebabkan oleh hal yang sama, yaitu masalah birokrasi dan infrastruktur. Salah satunya ditandai dengan menurunnya peringkat untuk mendapat sambungan listrik dari yang sebelumnya 158 pada 2011 menjadi 161 pada 2012. Peringkat global dalam mendapatkan aliran listrik di Indonesia jauh lebih buruk dari Kamboja yang mendapat peringkat 138 di tingkat global, padahal peringkat investasi kamboja ada di bawah kita.

Itulah paradoks Investment Grade yang saat ini kita hadapi. Kita harus cepat melakukan evaluasi dan merestrukturisasi kebijakan ekonomi kita. Sehingga, kekhawatiran yang terjadi saat ini tentang menguatnya fenomena decoupling, yakni semakin terjadi pemisahan antara arus finansial dan arus barang, dapat kita hindari. ●

__._,_.___

___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar