Oleh Andrinof A Chaniago
Dua minggu lalu, 26 Juli 2010, saya berhasil mewujudkan keinginan saya untuk
bertemu dan berbincang dengan Walikota Solo (Surakarta), Joko Widodo, yang
akrab dipanggil Jokowi. Sepanjang penglaman saya bertemu dengan seorang
pemimpin yang sedang menjabat maupun dengan mantan pejabat, inilah pertemuan
yang paling mengesankan buat saya. Jokowi memang bukan seorang Menteri,
bukan seorang Gubernur, atau seorang mantan Presiden atau mantan Wakil
Presiden. Tetapi, sebagai seorang Walikota, menurut saya dia bukan walikota
biasa. Status sebagai walikota terbaik tahun 2009 dalam pengembangan
Meeting, Incentives, Conference, and Exhibitions (MICE) di wilayahnya,
hanyalah satu saja dari sejumlah alasan untuk dia patut ditempatkan sebagai
kepala daerah dan pemimpin daerah yang patut diberi tempat khusus. Ada
sejumlah pengakuan dan penghargaan yang sudah diraih Kota Surakarta maupun
Jokowi pribadi. Salah satunya, Kota Terabaik dalam perlindungan Perempuan
dan Anak. Karena karya-karya nyatanya sebagai Walikota Solo selama periode
pertama yang berakhir Juli 2010 lalu, Jokowi telah beberapa kali diundang
oleh lembaga-lembaga internasional untuk membagi pengalamannya. Sementara,
Kota Solo pun makin banyak didatangi pihak luar untuk melihat dari dekat apa
yang mereka dengar dari media.
Pelajaran pertama yang perlu saya bagi dari pertemuan saya dengan Jokowi
adalah sikap anti gaya birokrat, anti gaya pejabat pada umumnya,
antibasa-basi, antiformalitas, dan antifeodal. Banyak juga kepala daerah
yang berasal dari pengusaha, tetapi walaupun umumnya mereka tidak
birokratis, mereka tetap dihinggapi gaya boss dan membuat jarak dengan lawan
bicaranya.
Saat pertama kali berhadapan, sekitar pukul 19.40, di ruang rapat sederhana
di sudut rumah dinas Walikota Solo ini, kami seperti berlomba menggenggamkan
erat telapak tangan kanan dan memberikan salam pipi kiri kanan. Selanjutnya
adalah gerakan dan ucapan yang mengalir cair dalam arus percakapan lepas.
Tidak ada staf yang biasa kita lihat mengambil peran mencatat pembicaraan
untuk membantu atasannya yang melayani tamu, sementara tuan rumah melayani
tahu dengan setengah basa-basi. Ini betul-betul pertemuan sepenuh hati.
Seperti seorang yang menjamu kawan lama. Urusan-urusan berat diperbincangkan
dalam obrolan ringan, seperti dua orang yang tidak terlibat urusan politik
dan pemerintahan tetapi ingin ikut-ikutan membicarakan isu politik,
kepemimpinan dan pemerintahan sebagai pengisi waktu luang. Padahal, yang
satu adalah pelaku, dan satu lagi adalah pengamat politik dan kebijakan
publik.
Tanpa terasa, satu jam berlalu. Pengalaman saya dengan para pejabat pada
umumnya, ini adalah waktu untuk mendengar lontaran kalimat yang mengandung
makna ingin mengakhiri pertemuan. Tetapi, tidak ada tanda-tanda kalimat
seperti itu akan keluar dari mulut Jokowi. Tidak berapa lama, dengan menarik
sedikit kedua tangannya yang diletakkan di di atas meja, terlontar ajakan
dengan nada sungguh-sungguh untuk pergi mencari makan malam ke luar. Karena
ajakan pergi keluar untuk makan malam ini bukan basa basi, dan saya
merasakan betul kami mulai terlibat pembicaraan hangat untuk berbagai topik,
tentu saja saya spontan menyambut ajakan ini.
Hal kecil yang perlu saya catat saat melangkah meninggalkan rumah dinas
walikota ini adalah, kami berjalan ke samping rumah tempat mobil Kijang
Innova yang akan digunakan pergi jalan. Umumnya, pejabat setingkat
Bupati/Walikota biasanya sudah disambut sedan cukup mewah di depan pintu
utama rumahnya. Bahkan, sekarang ini, untuk urusan keluar kantor di luar
kedinasan seperti yang akan kami lakukan ini biasanya mobil itu diiringi
mobil pemandu bersirine di depan. Sedikitpun tidak ada tanda yang membuat
mobil Kijang Innova yang membawa kami ini berbeda dengan kendaraan pribadi
lain yang melintasi Jalan Raya Slamet Riyadi, Solo.
Sempat juga saya terpikir saya akan dibawa ke sebuah restoran berAC,
sebagaimana pengalaman beberapa kali pertemuan dengan pejabat daerah.
Tetapi,
ternyata, saya diajak ke kawasan penjual makanan pedagang kaki lima di depan
Pusat Grosir Solo (PGS). Sepanjang jalan, sampai memilih sebuah tenda di
depan jejeran gerobak pedagang sebagai tempat duduk, dan seterusnya, nyaris
tidak ada pembicaraan yang terputus. Saya pun terpikir bahwa suasana akrab
dengan topik-topik perbincangan selalu berisi seperti ini pernah terjadi
ketika saya berjumpa dengan mitra sesama peneliti, akademisi atau mantan
aktifis mahasiswa waktu akhir tahun 1980-an. Mengherankan, kami yang belum
pernah terlibat bersama dalam urusan apapun sebelumnya, bisa menjalani
pertemuan malam itu dalam suasana pertemanan yang sangat akrab.
Di bawah tendah yang kami pilih, kami melanjutkan perbincangan tanpa script.
Saya memilih nasi dengan sayur gudeg, salah satu diantara sedikit masakan
Jawa yang cocok dengan lidah saya. Perbincangan mengalir lepas. Pemandangan
gerobak yang berjejer rapi tidak perlu menyita perhatian saya, karena
pemandangan ini sudah saya saksikan juga setahun lalu. Jejeran pedagang kaki
lima yang rapi itu hanya mejadi salah satu dari sekian banyak bahan diskusi
perbincangan ringan kami. Kalaupun diam-diam saya mencuri perhatian, sasaran
saya adalah bagaimana perilaku orang-orang di sekitar kami, karena di situ
sedang duduk orang nomor satu di kota itu. Di sini, saya memetik pelajaran
kedua, yakni tentang kepemimpinan tanpa jarak. Dari sapaan orang-orang yang
melintas dan balasan sapaan dari Jokowi, Jokowi terlihat sebagian dari jiwa
mereka. Mereka jelas sangat menghormati, tetapi penghormatan mereka terhadap
Jokowi tidak diiringi dengan penghormatan berlebihan yang tidak perlu kepada
pemimpin mereka.
Cara penghormatan seperti itu, saya yakin, adalah hasil didikan Jokowi
sendiri terhadap warganya. Banyak pemimpin yang mendapatkan penghormatan
yang berlebihan saat berada di tengah warganya. Tetapi, saat mereka maju
lagi untuk kedua kalinya dalam Pemilu Kepala Daerah, perolehan suaranya
hanya sekedar meloloskannya dari angka batas kekalahan. Bahkan, tidak jarang
sebagian dari mereka terjungkal. Gaya kepemimpinan yang betul-betul merakyat
seperti Joko telah membuat biaya Pemilu Kepala Daerah Kota Surakarta tahun
2010 kemarin menjadi berbiaya murah, baik bagi calon maupun bagi KPUD
sebagai penyelenggara. Kota Semarang menghabiskan sekitar Rp 30 miliar untuk
biaya Pilkada. Sementara, Solo hanya menghabiskan Rp 8,6 miliar. Begitu juga
dengan pengeluaran Jokowi selaku kandidar *incumbent*. "Saya pribadi tidak
mengeluarkan uang sepeserpun", kata Jokowi, yang meraih dukungan suara lebih
dari 90% pada Pemilu Kepala Daerah Kota Surakarta beberapa bulan lalu!.
Saya tadinya memperkirakan akan duduk sambil makan sekitar satu jam, karena
sebelum berangkat meninggalkan rumah dinasnya, saya pun sudah menghabiskan
waktunya sekitar satu jam.. Tanpa terasa, waktu sudah mendekati pukul 23.30.
Kami sudah bicara banyak hal. Juga sudah melepaskan ketawa beberapa kali
ketika sama-sama menemukan "kelucuan" sejumlah pemimpin dalam pembicaraan
kami. Karena tidak ingin pedagang di sekitar itu menunda menutup dagangannya
dikarenakan di situ ada Walikotanya, Jokowi mengajak saya bangkit. Tentu
dengan cepat saya membenarkan alasannya itu.
Saya meninggalkan rumah Dinas Walikota Solo dengan perasaan sangat senang
karena merasa mendapatkan sambutan persahabatan yang melebihi dari yang saya
harapkan. Jelas yang baru saja saya dapatkan dari Jokowi adalah kehangatan,
keikhlasan, penghormatan, yang amat langka. Seorang Walikota yang baru saja
terpilih kembali dengan perolehan dukungan lebih dari 90%, sepantasnya
bergerak ke sana kemari dengan fasilitas protokoler, betapapun kecilnya
urusan yang sedang ia jalani, memilih menampilkan diri sebagai orang biasa.
Dia tidak hanya ingin menunjukkan keinginan untuk berbagi pengalaman dan
gagasan-gagasan.Ia juga tidak tampak sama sekali sebagai orang yang ingin
didengar walaupun ia sangat pantas menjadi orang yang lebih banyak didengar
daripada mendengar, dengan hasil kerja nyatanya mengubah kondisi Kota Solo
dari tahun ke tahun selama masa kepemimpinannya yang pertama dengan anggaran
yang amat terbatas.
Anda bisa membandingkan secara kasar antara besaran rasio anggaran
pembangunan Kota Solo per kapita dengan anggaran pembangunan DKI Jakarta per
kapita, sekaligus membandingkan hasil pembangunan kedua kota ini berdasarkan
besaran anggaran per kapita tadi. Katakanlah Pemrov DKI harus punya alokasi
khusus anggaran karena statusnya sebagai ibu kota. Tetapi perbandingannya
tetap saja menunjukkan betapa borosnya biaya pembangunan di DKI Jakarta dan
betapa efisiennya penggunaan anggaran pembangunan di Kota Solo. Lima tahun
terakhir, total APBD Kota Solo hanyalah sekitar Rp 4 tirliun, dengan jumlah
penduduk sekitar 650 ribu jiwa. Sementara, total anggaran yang dialokasikan
untuk Pembangunan di DKI Jakarta selama periode yang sama mencapai .Rp 110
triliun dengan penduduk 8,5 juta jiwa. Artinya, dengan jumlah penduduk DKI
Jakarta yang 12 kali lipat dari penduduk Kota Solo, DKI Jakarta memiliki
besar anggaran 22 kali lipat. Silahkan dihitung berapa anggaran pembangunan
per kapita untuk masing-masing. Pelajaran pertama yang perlu saya sebarkan
di awal pertemuan kami berdua adalah sikap anti gaya birokrat,
antibasa-basi, antiformalitas, dan antifeodal.
Kalau kita tidak bisa menerima perbandingan antara cara mengelola Kota Solo
(Surakarta) dan DKI Jakarta, boleh juga kita bandingkan Kota Surakarta
dengan Jakarta Utara. Kota Surakarta memiliki kepadatan penduduk sebesar
12.750 jiwa per km2, lebih tinggi dari tingkat kepadatan Jakarta Utara yang
memiliki kepadatan penduduk 10.959 jiwa per km2. Silahkan lihat sendiri
perkembangan wajah Jakarta Utara lima tahun terakhir. Tiga pasar tradisional
mati di wilayah Jakarta Utara, sementara di Kota Surakarta, selama lima
tahun terakhir berdiri 13 pasar tradisional. Belum lagi pembangunan taman
kota, trotoar pejalan kaki, perbaikan adminsitrasi pelayanan, dan saat ini,
hampir saja rampung green belt di tepian Bengawan Solo sepanjang lebih dari
7 (tujuh) kilo meter. Untuk yang terakhir ini, saya berani pastikan Solo
akan menjadi kota yang memiliki *green belt* terpanjang di Indonesia.
Dengan anggaran per kapita di DKI Jakarta yang 22 kali lipat dari Kota Solo
tadi, masalah di DKI Jakarta terus bertambah. Sebaliknya, masalah di Kota
Solo terus berkurang dari tahun ke tahun. Di Solo, dalam lima tahun, 13
pasar tradisional berhasil dibangun, sekian hektar taman kota bertambah,
sekian M2 trotoar pejalan kaki bertambah dan berfungsi efektif. Di DKI
Jakarta, 8 pasar tradisional hilang. Taman kota juga tidak bertambah,
kemungkinan besar menyusut. Jalur pejalan kaki juga tidak bertambah,
sementara jalur yang ada semakin tidak efektif karena Pemprov DKI tidak
melakukan pencegahan dalam proses okupasi awal fasilitas umum. Cara kerja
aparat tramtib mengadopsi cara kerja pemadam kebakaran. Mereka bertindak
kalau masalah sudah terjadi, bukan mencegah bagaimana masalah tidak terjadi.
Saya diberi tahu kiat-kiat penggunaan anggaran yang dilakukannya. Sangat
masuk akal. Itulah yang bisa saya pastikan tidak dilakukan oleh Pemprov DKI
Jakarta. Dengan banyaknya instansi atau unit kerja yang keberadaannya
mengada, dan kerjanya tumpang tindih, jelas birokrasi Pemprov DKI menjadi
pembelanja besar yang tidak produktif. Jika semua jajaran pimpinannya hanya
bekerja dengan gaya birokrat, struktur yang boros itu akan terus bekerja
menghisap anggaran yang besarnya kini sudah Rp 27 triliun per tahun itu.
Selain penggunaan anggaran yang efisien, yang harus dicatat dari kebijakan
anggaran Pemko Solo ini adalah pemihakannya yang nyata kepada rakyat. Salah
satu programnya yang sudah dikenal cukup luas oleh masyarakat di luar Kota
Solo, bahkan sampai ke luar negeri adalah, program pemindahan pedagang kaki
lima dari lokasi yang kurang tepat dan dibuat semerawut oleh keberadaan
pedagang kaki lima tersebut ke lokasi khusus yang dibangun Pemko Solo.
Tetapi, di luar itu, masih ada program lain yang juga bermaksud memberi
tempat yang layak bagi kelompok masyarakat yang akan dipindahkan, yakni
masyarakat daerah slum yang berhasil dipindahkan ke rumah susun, dan
penghuni bantaran Sungai Bengawan Solo yang diberi lahan gratis untuk
dibangun menjadi milik sah warga asal bantaran Sungai Bengawan Solo
tersebut.
Anda bisa bandingkan berapa banyak kelebihan program tadi program
membagi-bagi uang santunan kematian, kupon berobat gratis, dan sebagainya,
hanya butuh selembar SK yang ditandatanngani seorang Kepala Daerah. Program
pemindahan lokasi berusaha atau lokasi tempat tinggal kelompok warga tadi
adalah program yang juga mengubah cara hidup warga dari kebiasaan-kebiasaan
kurang baik, seperti mengotori lingkungan, menimbulkan kesemrawutan dan
kekumuhan, dan menggunakan fasilitas yang seharusnya digunakan untuk
kepentingan umum, menjadi warga yang mulai membiasakan hidup tertib, bersih,
rapi dan tahu akan hal yang bukan menjadi hak mereka. Untuk membuat
perubahan itu, dibutuhkan waktu dan perjuangan yang sangat tidak bisa
disamakan dengan waktu untuk melahirkan sebuah SK membagi-bagikan APBD untuk
sebuah program populis. Butuh waktu berbulan-bulan untuk berdialog langsung
dengan warga yang akan diajak berubah itu. Itulah yang dilakukan oleh
Jokowi. Dengan kelompok pedagang kaki lima yang kemudian berhasil diajak
pindah ke lokasi baru, Jokowi bersama wakilnya harus melewati 54 kali
pertemuan dengan para pedagang kaki lima tersebut. Hasilnya toh luar biasa.
Program ini merupakan contoh bagaimana mengatasi masalah pedagang kaki lima
tanpa konflik, apalagi penggusuran paksa. Hasil nyata lainnya, Kota Solo
memiliki kawasan pedagang kaki lima yang tertata rapi, ruang publik lain,
seperti trotoar berfungsi sebagaimana mestinya, dan ditambah lagi munculnya
ruang terbuka hijau berbentuk taman di lokasi-lokasi strategis.
*****
Pagi hari, saya bangun tidur masih diliputi oleh perasaan senang karena
sedikitpun saya belum bisa melepaskan apa yang saya rasakan setelah malamnya
saya berdua Jokowi ngobrol panjang lebar di bawah sebuah tenda penjual
makanan gerobak di depan Pasar Grosir Solo (PGS). Saya pun menyempurnakan
rasa senang saya dengan melakukan jalan pagi (jogging) dari ujung ke ujung
trotoar pejalan kaki di Jalan Slamet Riyadi yang lebarnya sekitar tiga
meter. Karena keterbatasan anggaran, trotoar ini dibangun secara bertahap.
Tetapi, saat ini hanya tinggal ruas terakhir yang terletak di depan Stasiun
Kereta Purwosari yang belum dikerjakan. Kalau segmen yang tersisa ini
rampung, jalur trotoar sepanjang hampir dua kilometer ini akan menjadi
jalur trotoar yang paling memanjakan pejalan kaki dan penggemar jogging di
negeri ini. Secara fisik, tempat ini memang bisa disaingi oleh jalur trotoar
jalan MH Thamrin di Jakarta. Tetapi, dari segi kenyamanan dan keteduhan,
trotoar pejalan kaki Jalan Slamet Riyadi ini jauh lebih unggul. Selain
dipayungi oleh pohon-pohon besar, di beberapa titik sudah tersedia
bangku-bangku tempat orang duduk-duduk bersantai.
Usai jogging tadi, saya tinggal punya satu agenda penting sebelum kembali ke
Jakarta sore harinya. Agenda yang memang selalu saya buat kalau mau ke Solo
adalah berbelanja batik ke Pusat Grosir Solo (PGS) dan kemudian disambung
dengan berbelanja batik ke perkampungan batik Laweyan. Harap maklum juga,
selain batik adalah pakaian yang enak dipandang, harganya jelas jauh lebih
murah dibanding jenis baju lain.
Tetapi, saat baru saja melunjurkan kaki di kamar hotel usai jogging di
trotoar Jalan Slamet Riyadi, suara panggilan telepon masuk ke handphone
saya. Saya lihat di layar HP muncul nama Mas Jokowi. Ketika saya angkat dan
dekatkan ke telinga, suara dari seberang yang amat santun itu adalah
ajudannya yang ingin menyampaikan pesan dari Mas Jokowi yang saya yakini
pastilah sedang sibuk dengan pekerjaannya di pag hari. Pasan dari Mas Jokowi
itu tepatnya poertanyaan tentang agenda saya siang ini. Untung saja instink
saya sedang bekerja dengan baik, sehingga dengan spontan saya bisa menjawab
bahwa saya tidak ada kegiatan penting lagi sebelum Mas ajudan ini
melanjutkan, "Kalau Pak Andrinof tidak ada acara, nanti sekitar jam sepuluh
Pak Walikota akan nyamper ke hotel, Pak. Bapak mau diajak jalan keliling
Kota Solo".
Banyak cerita yang mestinya bisa saya paparkan dari pertemuan lanjutan ini.
Tetapi, singkatnya, dengan gaya Jokowi yang sederhana, antiformalitas, anti
gagahan pejabat, antiprotokoler, antifeodal, dan antibasa-basi yang tidak
perlu (kecuali dalam kesantunan Jawa), kami berkeliling Kota Solo dan
mengunjungi beberapa lokasi mulai pukul 10.20 hingga berakhir tepat pukul
16.00 di rumah dinasnya. Saya beruntung telah melihat bagaimana warga dan
pedagang pasar menyapa Walikotanya. Selain melihat sejumlah pasar
tradisional yang baru dibangun dan direnovasi, ruma susun yang dihuni warga
eks area slum, green belt yang lebih dari 50% sudah rampung, kantor
kecamatan, kami sempat makan di warung pecel yang sangat khas untuk makan
siang, dan mampir sekitar 20 menit di Kantor Walikota Solo. Sepanjang jalan
kami hampir tidak pernah putus berbincang. Sebagai orang yang gemar mengmati
kebijakan publik, pertanyaan saya kepada Jokowi sudah hampir habis. Tetapi,
yang lebih penting lagi, tidak ada jawaban yang tidak melegakan saya.
Misalnya, ketika saya melihat beberapa mobil angkot berhenti di lampu merah,
saya mencoba mengajak Jokowi waspada, kalau suatu saat jenis angkutan ini
merupakan salah satu sumber kemacetan. Dengan cepat Jokowi menjawab, "Kalau
di Solo jumlah angkutan itu tidak banyak. Dan, jumlahnya sudah saya kunci.
Tidak boleh ada penambahan". Jawaban Jokowi tentang angkota kota alternatif
tidak perlu saya tanyakan lagi, karena saya sudah melihat kenyamanan minibus
melayani warga kota ini, karena jumlahnya mencukupi dan para pengemudinya
sangat tertib. Lagi-lagi kebijakan pengaturan angkutan kota ini penting
untuk kita bandingkan dengan yang diperbuat oleh para pejabat dan birokrat
di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Di
daerah-daerah ini, populasi angkot dibiarkan berlebih hingga menjadi salah
satu penyebab kemacetan, hanya karena para birokratnya mementingkan
pemasukan dari jasa ijin trayek yang mereka keluarkan.
Detil perjalanan dari menit ke menit ini tentu akan menjadi bahan kajian dan
cerita saya di lain kesempatan nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar