Senin, 29 Maret 2010

Sunda Vs Jawa

 

-Wawancara dengan K.H Fuad Affandi. Pengasuh Pondok Pesantren Agribisnis Al-Ittifaq, dan Pemimpin Koperasi Agribisnis Al-Ittifaq, Ciburial, Alam Endah, Rancabali Kabupaten Bandung.

Ada satu sisi yang menarik untuk dikemukakan panjang lebar di sini menyangkut pandangan Fuad tentang perbedaan budaya, terutama dalam hal etos kerja antara masyarakat Sunda dengan masyarakat Jawa.  Fuad Affandi memang bukan peneliti, juga bukan seorang ahli sosiologi-antropologi. Namun hampir setiap tindakan dan pemikirannya selalu menyandarkan diri pada kebudayaan, terutama hubungannya dengan budaya Jawa dan Sunda. Sebelum menjawab pertanyaan, Fuad dengan rendah hati memberi catatan bahwa apa yang ia alami sebagai kenyataan pribadi, bukan kenyataan umum. Ia sadar pandangannya terhadap kultur masyarakat pasundan, lebih tepatnya kultur masyarakat pedalaman Ciburial dan sekitarnya tidak bisa digeneralisasi. "Ini pendapat saya pribadi, suka atau tidak suka itulah yang saya alami," katanya merendah.

Bagaimana sebenarnya Anda melihat perbedaan etos kerja antara Jawa dengan Sunda di sekitar masyarakat sini?

Saya orang Sunda yang punya pengalaman lama berenang di lautan kehidupan orang Jawa. Sekalipun tidak lagi menetap di sana, tetapi sampai sekarang silaturrahmi dengan sahabat-sahabat di Jawa terus terjalin erat.  Secara umum orang Jawa itu lebih jujur, ulet tidak bandel, sopan santunnya kepada orang tua luar biasa. Satu hal, etos kerjanya sangat ulet, tidak takut nyebur ke pekerjaan yang rendah jika memang mereka mampunya memang masih bekerja rendahan. Anak-anak mudanya lebih memilih keluar dari pekerjaan dengan orang tua. Mereka merasa punya perasaan kurang enak kalau bekerja dengan orang tua. Perempuan pun memiliki keberanian bekerja sebagaimana laki-laki. Kalau di Sunda, tak ada perempuan mencangkul atau mengerjakan hal-hal yang dilakukan suaminya. Orang Jawa juga lebih berani mengambil resiko dan nekad.

Tapi saya sendiri sebagai orang Jawa tak terlalu merasakan hal itu. Bahkan di kampung halaman saya di Temanggung, saya kenal para penjual kerupuk asal Tasikmalaya yang etos kerjanya luar biasa.

O, kalau itu benar. Itu artinya kalau ingin membuat orang Sunda maju jangan tinggal di Sunda. Kalau sudah merantau akan lebih bagus etos kerjanya. Saya mendukung orang Sunda hijrah ke Jawa supaya ketularan etos kerja dan mental prihatinnya orang Jawa. Orang Sunda itu kalau tinggal di Sunda kayak kodok dalam tempayan. Legenda antara kancil nyolong timun dan kabayan adalah cermin yang pas mengambarkan dua mentalitas suku bangsa ini. Bagi saya, Jawa itu kancil. Jangankan terhadap orang bodoh, terhadap orang pinter pun kancil bisa menipu. Kalau kabayan itu, mau ngambil keong di sawah dari pagi sampai sore cuma ditonton saja. Air bening di sawah menunjukkan langit, e di tafsirkan airnya dalam sekali. Orang sunda mesti diceburin ke lumpur biar kerja. Harus banyak gebrakan jadi kyai sunda itu. Bahaya kalau orang sunda tinggal di sunda itu. Makanya hijrah itu penting. Kalau di Jawa seorang kyai kenapa mengirim anaknya ke pesantren luar tidak ditanyakan masyarakat. Merantau sudah menjadi kebutuhan. Di sini saya masih suka ditanya kenapa Anak pak Haji dikirim ke luar? Apa enggak cukup belajar di Al-Ittifaq? Ya saya jawab bahwa sekolah maupun nyantri itu hanya status. Untuk menjadi manusia seorang anak harus dilepas dari orang tua. Kalau terus bergayut pada orang tua bakal repot kelak.

Dari sisi pergaulan keluarga perbedaan yang mencolok apa?

Seorang anak Jawa, sekalipun orangtuanya miskin dan bodoh, dia tetap menghormati. Di Sunda anak berani dengan orang tua itu biasa. Orang Jawa itu sangat menjaga amanah. Dulu saya  waktu nyantri di Lamongan punya pengalaman menarik yang sampai sekarang sangat berharga. Saya kan sering bantu-bantu mengepel di rumah orang. Si bapak itu bilang sama istrinya, bu, ini si Fuad angkat jadi saudara kandung kita. Nanti kalau aku sudah tidak ada, kamu bisa minta nasehat sama si Fuad. Beberapa puluh tahun kemudian anak dari sang bapak ini jadi jenderal dan sampai sekarang anaknya  atas amanah ibunya selalu menghubungi saya sekedar meminta nasehat. Ini luar biasa. Ini adalah investasi sosial yang sangat rasional buat saya. Bagaimana amanah seorang bapak kepada istri dijalankan, kemudian sang istri meneruskan kepada anaknya, dan sang anak sampai kini tetap menjalankan. Sebagai orang Sunda saya jarang melihat kebaikan diberlakukan secara turun temurun seperti itu. Hubungan dengan orang tua lain juga memiliki sisi positif. Di Jawa tidak ada orang berani menelikung atau menipu kyai. Saya ini ngasuh santri Sunda repot. Sering orangtua santri berani nelikung. Contohnya, santri sudah kerasan di pesantren, tapi di minta pulang dengan alasan ini itu. Akibatnya santri ketinggalan pelajaran, target agribisnis pun juga kacau. Kalau di Jawa sekali kyai menegur orangtua murid tidak akan berani membantah. Di sini kita menasehati begitu mereka bisa saja punya alasan mengelak. Kalau alasannya tepat sih tidak masalah. Kadang-kadang alasannya justru kurang baik bagi anak.

Dari sisi intelektualitas bagaimana perbandingannya?

Orang Sunda itu vakum, masih lebih banyak terpengaruh pada kultur sufi. Pengertian sufi di sini juga bukan dalam artian substansial, melainkan kecenderungan laku eskapis. Hal ini dipengaruhi oleh perjalanan sejarah tarekat asketik Islam di pedalaman Sunda. Ini jelas tidak menguntungkan. Masyarakat kita yang vakum seharusnya tidak didorong ke asketisme, melainkan harus digalang dan digerakkan ke arah gotong-royong. Dengan begitu terjadi perubahan secara bersama sebagaimana yang kami lakukan saat ini. Membiarkan dirinya percaya pada ide jauh dan lupa akan kenyataan untuk diubah melalui kerja keras. Orang Jawa masih ada dimensi duniawinya. Semua itu saya lihat karena masih ada pengaruh sejarah di masa lalu.

Apa hal itu bukan disebabkan faktor kultur pedalaman itu sendiri?

Ya, orang Sunda memang mayoritas tinggal di pedalaman. Kota Bandung pun berada di Pedalaman, bukan di pesisir. Sementara kota-kota di Jawa yang memiliki keterbukaan itu jelas berada di pesisir. Semarang, Kudus, Rembang, Pati, Juwana, Tuban, Lamongan, Surabaya sampai Banyuwangi. Kota-kota di jawa pesisir ini telah banyak memainkan peranan bagi perkembangan tradisi keterbukaan. Di sunda kultur sufi lebih berkembang ketimbang kultur sosial. Dari sisi sejarah perjuangan Jawa juga lebih lama dan kuat. Banyak pejuang dari tanah Jawa sehingga sampai kini energi perlawanannya masih berhembus. Makanya saya amat sangat setuju kalau yang memimpin negeri ini sebaiknya memang orang Jawa saja. Itu lebih bagus. Mentalitasnya sudah teruji. Pengalaman sejarah tak bisa dibantah.

Anda kok sangat Jawaisme begitu?

Ya, dalam hal politik saya memang Jawaisme. Suka atau tidak suka itulah kenyataan. Jamaah saya juga saya tekankan agar tidak sungkan menerima kenyataan dari pihak luar, sekalipun pahit adanya. Kalau memang itu sebuah kenyataan terimalah, kita jangan ragu belajar dari yang lebih maju. Dengan cara ini orang Jawa toh akan bisa belajar menggali potensi kelebihannya setelah melihat suku bangsa lain.

Tetapi tidak fair rasanya jika Jawa seratus persen demikian. Saya sendiri sebagai orang Jawa merasakan ada elemen-elemen yang fatalis dari orang Jawa. Termasuk feodalismenya…

O, tentu. Setiap budaya pasti ada plus-minusnya. Apa yang saya katakan di atas adalah serapan yang positif dari Jawa. Adapun yang kurang bagus dari tradisi jawa jangan ditiru.

Apa yang harus ditinggalkan dari budaya Jawa?

Itu kyai Slamet….haha…..(mendadak tertawa lebar). Ceritanya Kebo Kasultanan Surakarta kabur ke pasar. Karena si Slamet ini adalah kebo milik kerajaan lantas dianggap sakral. Saat berak di pasar tahinya mau dibersihkan oleh orang-orang di pasar. Sebelum dibersihkan disembah dulu. Ini adalah sesuatu yang tak patut dipertahankan. Sayangnya kita masih melihat kebiasaan itu. Di kalangan pejabat bawahan menganggap atasan sesuatu yang sakral, apapun dituruti tanpa koreksi. Di kalangan akademisi sendiri juga masih gemar mensakralkan sesuatu yang tidak sakral, termasuk di kalangan santri. Buat saya itu tradisi yang tak perlu dipertahankan. Kita semua dihadapan Allah sama, setara sebagaimana gerigi sisir. Hanya Allah yang layak kita sakralkan dan kita patut bersujud kepadanya. Karena itulah dalam berhubungan dengan santri saya tak menerapkan kebiasaan itu. Saya melawan tradisi orang tua saya juga.

Dalam melihat realitas sosial, Fuad sering menyerap tradisi kehidupan melalui sejarah. Kepemimpinan Nabi Muhamad di Mekkah dan Madinah misalnya, sangat banyak menginspirasikan tindakan kepemimpinannya. Di mata Fuad, Nabi sendiri menghadapi masyarakat tertutup (Mekkah) yang sangat sulit diajak maju. Sayangnya, ketertutupan masyarakat Mekkah memiliki banyak perbedaan dengan masyarakat tertutup pedalaman di kawasan Rancabali Bandung. Setelah lama merenung, Fuad justru bisa bercermin dari legenda rakyat untuk melihat realitas sosial. Kenapa masyarakat di sekitarnya sulit diajak maju?

Fuad teringat oleh pengalaman pribadinya manakala masih remaja, saat nyantri di Lasem Jawa Tengah. Suatu ketika, di sebuah masjid ia ditanya oleh seseorang. Dengan gaya bicara blak-blakan khas pesisir seorang itu bertanya, "saking pundi?" Fuad menjawab, "saking Sunda. "

"Kamu tahu apa itu Sunda?

Fuad menggeleng tersipu.

"Embahmu itu asu!," ujar orang itu sambil tertawa kegirangan karena berhasil meledek dirinya. Fuad yang tahu ini hanyalah ledekan khas pesisir tak terbawa emosi.

"Bagaimana itu ceritanya?" tanya Fuad penasaran.

Orang itu lantas menjawab "hikayat leluhurmu itu Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Kamu itu cucunya si Tumang yang kawin sama Dayang Sumbi. Haha…"

Orang itu lantas bilang, legenda Jawa adalah kancil nyolong timun. Jangankan kepada orang bodoh, kepada orang pinterpun kancil bisa menipu. Khususnya dalam hal politik orang Jawa itu kalau tidak bisa cerdik, dia harus bisa licik, kayak kancil," katanya.

Cerita tinggal cerita. Keduanya hanyalah cermin untuk melihat kenyataan dari apa yang terjadi dalam tradisi kehidupan kita. "Semua ini jangan terlalu serius lah. Masing-masing tradisi memiliki potensi, bagaimana saja memanfaatkan menggalinya. Yang jelas Kabayan itu memang sangat terlihat di sekitar sini," ujarnya.

Apakah dengan seringnya Anda mengolok-olok kemalasan petani di sini tidak mendapat perlawanan dari Orang Sunda?

Haha….ya, itu wajar. Tapi kita kan menjelaskan perlahan-lahan. Khusus dalam hal agama orang Sunda sudah merasa bahwa kyai lulusan Jawa lebih bisa dipercaya ketimbang lulusan pesantren dari Pasundan. Tanya saja deh sama orang-orang sini. Kyai wedalan Jawa Tengah atau Jawa Timur lebih mudah dipercaya ketimbang kyai Sunda. Wong di sini sudah lazim, kalau ada mubalig dari Jawa pengunjungnya membludak. Kalau mubalignya dari Sunda biasanya sedikit yang datang. Saya ini menjadi bukti yang real. Karena mereka tahu saya wedalan Jawa, air banyak yang datang, gula teh melimpah. Mereka pada minta doa. Jadi menurut orang Sunda di sini, ulama Jawa itu sering diartikan sebagai ulama do'a.

Kenapa bisa begitu?

Pengamatan saya melihat bahwa kyai sunda yang nyantri di  Sunda itu kurang prihatin, kurang tirakat, alias kurang menyiksa diri. Ada pameo santri kerja, kyai doa, kelak pulang ke kampung tetap saja bisa ngaji. Saya sendiri tidak ngaji banyak. Saya ditanya sama Mbah Puteri Nuriyah (Istri KH Maksum Lasem Rembang), "Fuad apakah kamu betah di sini?"  Saya jawab betah. Beliau bilang, terimakasih kalau betah. Tapi buatlah ngaji itu nomor tujuh belas. Yang nomor satu adalah khidmat. Apa artinya khidmat? Tentu saja bekerja tanpa pamrih dengan rasa ikhlas. Inilah yang menurut saya membangun mentalitas positif sehingga seseorang itu bisa dipercaya lahir batin, dengan kata lain menujukkan kesalehan seseorang. Disitulah muncul kepercayaan untuk dimintai doa.

Saya melihat ada persepsi tentang identitas santri di Sunda agaknya kurang berkesan baik di kalangan kelas menengah dan elit perkotaan. Apa yang Anda lihat?

Golongan santri di Sunda menempati kasta bawah karena kebanyakan para santri ini tidak bisa sekolah. Kalau di Jawa nyantri atau sekolah adalah pilihan, artinya tidak setiap santri dari kelompok miskin, tetapi juga ada keturunan priyayi. Para gus-gus itu selain nyantri juga sekolah. Terlebih di pesisir, antara sekolah dan pesantren bukan sesuatu yang dikotomis.

Saya lihat kitab-kitab yang dipelajari santri Al-Ittifaq persis dengan gaya santri pesisir di Jawa. Anda sendiri mendapatkan penafsiran kitab tersebut dari Jawa. Sementara santri di sini mayoritas orang Sunda. Apakah tidak repot mengubah penafsiran dari bahasa Arab ke bahasa Sunda?

Kalau itu begini. Salah satu problem kyai Sunda sendiri adalah menerjemahkan bahasa Arab ke Sunda secara langsung. Ini terjadi sejak dulu. Variasi bahasa Sunda sedemikian kompleks sehingga cukup menyulitkan para kyai Sunda. Kalau dalam bahasa Jawa variasinya lebih pada kekastaan, yakni bahasa rakyat dan bahasa priyayi, dalam Sunda kompleksitasnya meliputi banyak hal. Satu contoh saja. Makan. Dalam bahasa Jawa kita mengenal mangan untuk bahasa rakyat, dan dahar untuk priyayi. Tetapi di sunda ada banyak jenis, tuang, nedak, emam, dahar, nyatu, ngalebok, teuteureuy, nyegek. Sulit sekali kita menerjemahkannya. Makanya para kyai Sunda lebih suka menerjemahkan kitab kuning dari Arab ke jawa dulu, baru transfer secara umum ke Bahasa Sunda. Kalau santri Jawa ngaji sama kyai sunda yang tidak menerjemahkan ke jawa dulu juga membuat pusing. Tapi kalau santri sunda ke jawa tidak terlalu sulit karena kosakata bahasa Jawa juga sudah banyak yang masuk ke Sunda, ini terjadi sejak kekuasaan Sultan Agung Mataram berpengaruh di tanah Sunda. Lagian kosakata bahasa Jawa itu sudah sangat popular karena dari sisi mayoritas Jawa memang dominan di mana-mana. Orang Jawa di Sunda sendiri sangat banyak. Nah, saya tak terlalu mewajibkan diri menerjemahkan bahasa Arab ke Sunda langsung. Kalau ini dilakukan malah rugi. Biar saja penafsiran literalnya pakai bahasa Jawa kemudian penjabarannya pakai Bahasa Sunda. Dengan begitu para santri juga bisa bertambah wawasan dalam penguasaan bahasa suku bangsa lain.[]

(Naskah ini adalah penggalan dari buku "Entrepreneur Organik: Rahasia Sukses K.H Fuad Affandi Bersama Pesantren dan Tarekat Sayuriahnya: Nuansa Cendekia Bandung 2009).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar