Kamis, 04 Maret 2010

Bacaan di kala senggang 1

 

 

Pengantar... jika kawan-kawan merasa seperti sedang membaca kisah Kam Bu Song (Suling Emas) atau Petualangan Haryo Saloko (Nogo Sosro Sabuk Inten) ketika membaca tulisan ini, teman-teman tidak salah. Saya membaca kedua buku itu lebih dari empat kali. Mau tidak mau warna cerita yang saya tulis banyak dipengaruhi oleh kakek Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo atau kakek S.H. Mintardja. Cerita ini mulai saya tulis ketika saya mendengar KPH meninggal dunia. I thought someone must continue his tradition (nulis cersil). Saya memilih episode ketika keraton Kartosura harus pindah ke desa Sala dan berganti nama men jadi Surakarta Hadiningrat. Cerita ini is completely fiksi. Ada sedikit inside story tapi saya samarkan. Saya tulis mostly di perjalanan kalau lagi nunggu pesawat atau di dalam kereta api. Cersil sebenarnya bukan genre cerita yang saya plan untuk ditulis, karena saya sebenarnya lebih condong nulis cerita roman politik yang digabung dengan action, spt cerita-cerita John Grisham atau Robert Ludlum (penulis trilogy Bourne). Saya memang pernah mengambil m.k. American Fiction, American Short Stories, dan Writting Poetry pada kelas summer. Tapi nulis cersil ini benar-benar ndak ada kuliahnya. Ini straight from the heart. Buku satu, k.l. 160 halaman 1 spasi sudah pernah diterbitkan di koran Bengkulu Ekspress, terbit tiap hari selama kurang lebih 2 tahun. Nulis cerita kejar tayang begitu, capek. Saya minta berhenti dan kubikin tamat doeloe. Boekoe kedua dan ketiga sudah ditulis, tapi belum selesai. Ini saya share dengan kawan-kawan, itung-itung nyimpen arsip hehehehe....

 

 Buku 2_EP-1.

ANGGUR  EMAS

Karya: Usdek Emka J.S.

 

          Iring-iringan prajurit Mataram itu tampak seperti ular besar yang sedang terluka.  Mereka bergerak dengan sangat lambat. Tanpa semangat. Mereka baru saja dikalahkan secara telak oleh pasukan Tumenggung Narpati Bowo Leksono, yang sekarang lebih suka dipanggil Kecu Surobrewok. Yang lebih menyakitkan lagi, perwira yang memimpin mereka dikalahkan oleh seorang bocah ingusan yang tak jelas asal usulnya. Lebih dari itu, ada tamparan panas yang menerpa wajah mereka. Ternyata pemberontak Suro Brewok yang mereka kejar-kejar justru merawat, menjamu, dan menerima mereka dengan sangat baik setelah pertempuran selesai. Menerima perlakuan seperti itu dari seorang musuh yang akan ditangkap merupakan tamparan yang sangat memalukan bagi seorang prajurit. Tapi mereka memang tak punya pilihan lain. Semua prajurit terluka, sedangkan pimpinan mereka tergolek tak berdaya, berjuang mempertahankan jiwanya. Dan, satu pendekar pengapit telah gugur.

          Jamuan yang tulus dari Suro Brewok itu diterima dengan berbagai sikap oleh para prajurit. Sebagian berterima kasih karena mereka dibebaskan. Sebagian lagi merasa sangat terhina. Sebagian lain terkesan dengan sikap ksatria yang ditunjukkan Suro Brewok. Seorang ksatria harus berani dan bisa membunuh lawan di medan tempur. Tapi, seorang  ksatria juga harus mampu menunjukkan rasa welas asih kepada mereka yang lemah dan tidak berdaya. Munculnya perasaan dianggap tidak berdaya inilah yang membuat sebagian prajurit merasa terhina. Mereka bersumpah akan menuntut balas. Entah kapan dan dengan cara bagaimana. Sebaliknya, mereka yang merasa telah tertolong, diam-diam merasa berhutang budi dan berjanji akan membalas kebaikkan itu suatu saat kelak. Tanpa mereka sadari, rombongan kecil itu kembali ke Mataram dengan hati yang mendua.

 

-***-

 

          Tidak lama setelah rombongan prajurit Mataram meninggalkan markas Suro Brewok, kecu yang sebenarnya adalah seorang Senopati Mataram di masa lalu itu, mengumpulkan semua anak buahnya.  Mereka harus pindah ke tempat yang baru dalam kelompok kecil. Tiap kelompok hanya terdiri dari empat atau lima orang. Dan, setiap kelompok diwajibkan menyamar sebagai pedagang keliling agar tidak dikenali oleh prajurit Mataram. Untuk sementara, mereka akan pindah ke pinggir Kali Pepe. Di sana ada hutan lebat yang berbukit-bukit. Tanahnya subur. Banyak gua dan air terjun.  Tempat itu cukup ideal untuk markas bagi pasukan yang mempunyai dua ratusan prajurit. Letaknya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Kadipaten Pajang. Dengan demikian, ki Suro Brewok tetap dapat memantau keadaan kota raja Mataram tanpa harus berurusan dengan prajurit-prajurit Mataram.

          Sebelum berangkat, Ki Suro Brewok memberikan pesan-pesan penting kepada anak buahnya.

          "Dengar semua. Meski penampilan sehari-hari kalian tampak seperti kecu dan orang kasar, tetapi di dalam sini," kata ki Suro Brewok menunjuk hatinya, "kalian adalah prajurit pejuang yang menentang penjajah Londo. Ingat itu. Kita tidak memusuhi Mataram. Tetapi, kita memusuhi antek-antek Londo yang bersembunyi di istana Mataram. Oleh karena itu, dalam perjalanan ini, sedapat mungkin hindari bentrok dengan prajurit-prajurit Mataram. Gunakan sandi-sandi kelompok dalam perjalanan ini. Kami akan membayangi kalian dari dekat. Nah, selamat jalan para prajuritku," Ki Suro mengakhiri pesan-pesannya. Dan, satu demi satu, kelompok kecil dalam rombongan besar itu bergerak dalam jarak yang tidak akan mudah dikenali sebagai kelompok.

          "Ayah, bagaimana dengan kakang Gemak Seto?" tanya Putri setelah kelompok terakhir meninggalkan markas mereka. Di situ masih ada ki Supo, ki Mangun, dan beberapa orang yang oleh ki Suro dianggap sebagai komandan prajurit.

          "Tidak usah dirisaukan. Dia sudah besar dan bisa menjaga dirinya sendiri. Sudah saatnya bagi kakangmu untuk mencari pengalaman baru," jawab ki Suro.

          "Maksud Putri bukan itu, ayah."

          "Maksudmu?"

          "Kakang Gemak Seto kan tidak tahu perkembangan terakhir markas ini. Dia juga tidak tahu kalau kita memindahkan markas ke pinggir kali Pepe. Bagaimana nanti kalau kakang Gemak mencari kita?"

          "O, itu maksudmu. Kakangmu akan punya cara menemukan rombongan kita. Jangan terlalu kawatir tentang itu."

          "Ayah yakin?"

          "Yakin."

          "Ya sudah kalau menurut ayah begitu. Aku hanya kawatir kakang Gemak Seto tidak dapat menemukan kita."

          "Menurut paman berdua bagaimana?" ki Suro menoleh ke ki Supo dan ki Mangun.

          "Saya sependapat dengan anakmas," jawab keduanya.

          "Bagus kalau begitu. Ayo kita jampangi anak-anak itu dari dekat," ajak ki Suro menggandeng Putri yang pada pagi itu sudah berpakaian ringkas seperti seorang pemuda.

          Dengan berat hati mereka meninggalkan markas besar yang sudah belasan tahun memberinya perlindungan  dari kejaran prajurit Mataram. Di belakang mereka tertinggal dua kepala pengkhianat yang tertancap di ujung tombak. Merekalah yang telah membocorkan gudang penyimpanan perbekalan kepada prajurit Mataram.

 

-***-

__._,_.___

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar