Minggu, 07 Maret 2010

Membangun Generasi Global

 

Membangun Generasi Global*

M. Syamsi Ali

 

Tiada dipungkiri lagi bahwa globalisasi kehidupan telah menjadi realita yang berdampak besar dalam kehidupan semua manusia tanpa kecuali, termasuk umat Islam. Dunia serasa menjadi semakin sempit. Hubungan antar negara, dan bahkan antar manusia menjadi sangat dekat menjadikan dunia terasa mengalami penyempitan. Masa kini yang dikenal dengan era komunikasi dan transportasi menjadikan manusia ‘saling tergantung’ atau ‘inter-dependant’.

 

Fenomena dunia global ini, bagi umat Islam, sesungguhnya bukan sesuatu yang asing. Konsep global bagi umat sungguh bukanlah konsep baru. Bukankah semua sisi agama ini bermuara global, dari konsep Tuhan yang ‘Rabbul alamin’, Kitab Suci yang ‘hudan linnas’, hingga kepada Rasulullah SAW yang ‘rahmatan lila’alamin’ dan seterusnya. Maka, ketika konsep dunia global gelindingkan oleh dunia barat, umat ini seharusnya sudah solid untuk terjun ke dalamnya.

 

Sayang, seringkali dipersepsikan bahwa konsep tatanan dunia global sekarang ini seolah-olah ciptaan dunia lain, selain Islam, sehingga umat Islam nampak terpaksa atau terseret masuk ke dalamnya. Padahal, dengan kenyataan yang ada sekarang ini, mau atau tidak, senang atau benci, semua pihak sedang terjun bebas masuk dalam arena dunia yang baru itu. Oleh karena itu, bagi umat, hanya dua kemungkinan. Apakah terjun ke dalam arena dan menjadi permain yang dapat menentukan arah tatanan dunia baru ini? Atau sebaliknya, menjadi korban dari berbagai pergesekan yang terjadi dalam pejalanan dunia baru tersebut.

 

Sadar akan realita tersebut, di mana umat seharusnya berperan sebagai pemain, dan bukan sekedar penonton, apalagi korban, maka sudah masanya bagi umat ini untuk mempersiapkan pemain-pemain unggul. Dan saya rasa pemain-pemain unggul tersebut hanya akan terlahir dari generasi baru, yang secara ‘aqliyah’ (pemikiran atau pandangan) memang lebih cenderung menembus dinding-dinding lokalitas, baik secara kultur, adat, pendidikan, pandangan politik, ekonomi dan seterusnya.

 

Lalu langkah-langkah apa saja yang perlu diambil dalam rangka mempersiapkan generasi global tersebut? Berikut beberapa langkah prioritas:

 

Pertama, bahwa generasi global memerlukan soliditas dalam iman dan takwa. Dengan keimanan dan ketakwaan yang solid, generasi tersebut akan bangkit dengan fondasi kehidupannya yang solid. Fondasi yang di atasnya terbangun segala aspek kehidupannya, baik secara spiritual, intelektual dan bahkan material. Generasi yang terbangun di atas asas iman dan takwa inilah yang dikenal sebagai generasi Rabbani. Generasi Rabbani diumpamakan dalam Al-Qur’an sebagai ‘pohon yang baik’, yang akarnya terhunjam dalam ke dalam tanah dan dahang-dahangnya tinggi menjulang ke atas langit, memberikan buah-buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya’ (Al-Qur’an).

 

Generasi Rabbani inilah yang pernah menyebarkan buah-buah segar ke berbagai penjuru dunia di masa lalu. Buah-buah segar yang telah memberikan kehidupan sejati kepada manusia, kehidupan ruhiyah, ‘aqliyah maupun maddiyah dan jasadiyah. Barangkali realisasi buah segar itu yang menjadi saksi kemajuan peradaban modern abad kini. Hampir segala apa yang dipandang sebagai kemajuan perdaban manusia saat ini, dari flying object (pesawat) hingga ke sikat gigi (miswak) merupakan bagian dari kontribusi umat masa lalu.

 

Semua ini dimungkinkan oleh generasi yang memiliki ruhiyah ‘imani dan taqiyah’, para generasi Rabbani masa lalu.

 

Kedua, bahwa generasi global itu harus memiliki ‘an-nazdrah al-ijabiyah’ (pandangan positif) dalam melihat segala sisi kehidupan. Pandangan positif akan melahirkan prilaku positif, optimisme dan harapan. Sebaliknya, pandangan negatif akan melahirkan prilaku negatif (destructive), pessimisme dan prustrasi.

 

Kalau kita melihat sejenak sikap sebagian anak-anak umat ini dalam menyikapi berbagai hal selama ini, terutama terhadap berbagai hiruk-pikuk dunia global, dari kemiskinan atau pemiskinan, ketidak adilan, hingga kepada penjajahan di berbagai belahan dunia, nampak bahwa respon yang diberikan masih merupakan refleksi pandangan negatif. Maksud saya, seolah-olah itulah ujung dunia, maka semua itu harus dihadapi dengan cara-cara yang destructive (merusak). Maka yang nampak dominan dalam menyikapi berbagai ‘ujian’ terhadap umat itu adalah marah, geram, pengrusakan, pembunuhan, dan seterusnya.

 

Kalaulah saja umat ini menyikapi semua itu dengan ‘pandangan positif’ maka pasti akan nampak berbagai hikmah di balik dari berbagai kegetiran yang umat telah atau sedang alami. Hikmah terbesar tentunya adalah perlunya melihat ‘solusi’ dan bukan tertahan oleh emosi dan kecenderung untuk menyalahkan pihak lain saja. Padahal, berbagai cobaan yang dihadapi oleh umat ini barangkali justeru penyebab utamanya ada pada diri umat itu sendiri. Bukankah pertolongan Allah terlambat datang kepada Rasulullah SAW karena perilaku beberapa sahabat yang menjauhi ajaran Allah dan RasulNya?

 

Berbagai bentuk ‘hizyun’ (kehinaan) yang menimpa umat saat ini, baik secara ekonomi, politik, sosial, kultur dan bahkan secara militer, tidak terlepas dari penyebab internal, sebelum faktor eksternal memainkan peranan. Kemiskinan sebagai misal, terjadi pada umumnya disebabkan oleh ‘mis-management’ (pengelolaan yang sembrono). Apakah itu karena ketidak mampuan mengembangkan ‘resources’ yang luar biasa di dunia Islam, atau sebaliknya, memang karena ada praktek-praktek jahat dari kalangan umat, korupsi yang paling dominant sebagai misalnya.

 

Demikian seterusnya. Kalaulah umat ini dapat merenung sejenak, lalu menyikapi berbagai cobaan itu dengan pandangan positif, niscaya sikap yang ditampilkan adalah sikap positif dan bersifat penyelesaian (solving in nature). Generasi yang berpandangan positif inilah yang diperlukan oleh dunai global kita saat ini.

 

 

 

Ketiga, bahwa generasi global itu memerlukan ‘aqliyah munfatihah’ (pemikiran yang terbuka dan bahkan kritis) dan ‘an-nadzrah al-wasi’ah’ (pandangan yang luas). Dunia global memerlukan visi yang jauh dan pandangan yang luas. Melihat berbagai permasalahn dengan ‘pandangan yang sempit’ hanya akan melahirkan reaksi yang sesaat. Umumnya, itulah gejala yang nampak di masyarakat Muslim saat ini.

 

Padahal, jika kita kembali melihat sirah Rasul akan nampak betapa beliau mengedepankan hasil jangka panjang ketimbang reaksi sesaat. Mungkin berbagai perjanjian yang beliau lakukan selama hidupnya, termasuk Perjanjian Hudaibiyah, Najran, dan bahkan sejarah Fathu Makkah, semua menunjukkan ‘aqliyah munfatihah’ dan ‘an-nazdrah al-wasi’ah’ Rasulullah SAW.

 

Bahkan dalam melihat berbagai penafsiran ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, masanya bagi umat ini untuk mencoba menelusuri kemungkinan penafsiran-penafsiran kontemporer dan innovative yang tentunya tidak keluar dari batas-batas sewajarnya. Ambil sebagai contoh, di dalam Al-Qur’an kata ‘onta’ (jamal, ibil atau dhomir) terulang beberapa kali. Mungkin masanya bagi generasi muda kembali merenung, apa yang sesungguhnya tersembunyi dari penyebutan onta berkali-kali dalam Al-Qur’an? Secara teologi, sudah tentu dimaksudkan agar kita kagum dengan ciptaan Allah SWT. Tapi secara kekinian, realita kenyataan, apa yang Allah inginkan di balik dari semua itu?

 

Menurut pandangan sederhana saya, penyebutan onta dalam Al-Qur’an, selain dimaksudkan untuk menambah keimanan dan keta’juban kita kepada kebesaran Ilahi, juga merupakan tantangan bagi umat ini untuk menciptakan ‘alat transportasi yang tercanggih’. Onta pada zaman dahulu merupakan alat transportasi yang tercanggih dan paling menakjubkan.

 

Itu sekedar contoh betapa pentingnya membangun generasi yang memiliki pemikiran luas, dan bahkan kritis, dalam rangka mengembalikan era inovasi umat sebagaimana kegemilangan masa lalu.

 

Keempat, bahwa generasi global solid dalam karakter dan prilaku. Akhlak yang mulia merupakan inti dari segala aspek ajaran Islam. Rasulullah SAW terpuji dengan karakternya, dan beliau sekaligus menjadi tauladan karena karakternya yang mulia.

 

Dunia global juga bercirikan ‘keterbukaan’ yang menjadikan segala sesuatu terekspos secara besar-besaran. Ajaran Islam diekspos sedemikian rupa, dan alhamdulillah, telah menjadikan banyak pihak jatuh hati. Yang menjadi dilemma kemudian, di saat prilaku pemeluknya terekspos dan ternyata tidak mencerminkan ajaran yang mulia itu. Inilah yang menjadikan banyak orang yang justeru tertarik, tapi lalu curiga jika memang Islam nantinya akan mempu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Intinya, bukan karena ajaran tapi prilaku pemeluknya yang terkadang jauh dari norma-norma Islam.

 

Untuk itu, generasi global umat harus mempu membangun akhlak karimah yang menjadi representasi keindahan ajaran Islam. 1,5 milyar Muslim akan mampu menggetarkan dunia jika saja semuanya mampu menampilkan Islam dengan wajahnya yang murni. Inilah dakwah yang paling efektif dalam dunia global di abad 21 ini. Jangan sampai generasi umat menampilkan Islam dengan ‘double faces’ (wajah ganda), secara teori indah, tapi dalam prilaku justeru menampilkan ‘hijab’ terhadap keindahan itu.

 

Kelima, bahwa generasi global itu harus mempu membangun ‘daya saing’ yang mapan. Dunia global juga ditandai oleh parsaingan yang dahsyat, dalam segala skala kehidupan manusia. Dari persaingan pasar (ekonomi), politik, kultur, dan bahkan militer, generasi global tertantang untuk masuk dalam dunia global dengan persiapan yang mapan.

 

Kalau kita sejenak merenung, insya Allah dengan mudah akan kita identifikasi bahwa ajaran Islam menuntut umat ini untuk saling bersaing. Mungkin dalam bahasa santun Al Qur’an memakai kata ‘berlomba’ (fastabiqul khaerat). Melalui spirit saling berlomba (tentu dalam kebaikan) inilah, generasi global harus mematangkan diri dalam segala area persaingan itu.

 

Sudah tentu akan tidak mudah untuk menjadi nomor wahid dalam segala hal. Namun masanya bagi generasi itu untuk melihat prioritas-prioritas utama yang diperlukan dalam rangka memasuki dunia global dengan kesiapan bersaing dengan umat-umat lain. Kesiapan inilah yang akhirnya akan menjadikan umat ini sebagai ‘ummatan wasatan’ (a solid nation, dan karenanya mempersaksikan peradaban besar), sekaligus akan mampu menjadi ‘pemain’ yang menentukan arah dunia kita saat ini. Semoga!

 

 

New York, 4 Maret 2010

 

* Artikel ini dimuat di edisi khusus Majalah Ummi Jakarta.

 

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar