Selasa, 30 Maret 2010

Jerit Hati bagong: si Detektif Pajak

 

Bukan Cerpen

Jerit Hati Bagong:  si Detektif Pajak

karya : Usdek Emka J.S.

Karena lulus dengan nilai bagus, Bagong, panggilan alumnus Sekolah Teknik Akuntansi Negeri itu ditempatkan di Ibukota Kerajaan Amarta, sebagai pemeriksa pajak. Perusahaan yang diperiksa bukan perusahaan ecek-ecek, tapi  PMA, atau setidaknya PMD yang besar dan bonafid.

Tiap kali ngobrol via telpon dengan kakaknya, Bagong selalu ngeluh: "Aduh mas, aku mengko yen mati masuk neroko."

"Lho memangnya kenapa?" tanya Gareng keheranan

Bagong pun bercerita panjang lebar tentang mekanisme pemeriksaan. Katanya, sebagai pemeriksa pajak, kadang harus jadi detektif untuk mengungkap sebenarnya berapa banyak pajak yang harus dibayar perusahaan itu. Dan, tim pemeriksa tidak mau disuap, karena mereka tidak ingin kehilangan muka di depan wajib pajak. Kami sering menyingkatnya WP.

 "Lha itu kan bagus. Tim pemeriksa ndak mau deal dengan WP," sahut Gareng

"Aku belum selesai, mas."

"Sori. Teruskan."

"Karena tidak bisa menyuap tim pemeriksa, WP tidak lagi macem-macem. Semua data yang kami tanyakan diberikan. Nah, dari situ kami tahu kalau perusahaan itu akan kena pajak sekian juta. Plus hutang dan denda pajak sekian tahun, maka WP akan kena sekian M. Misalkan saja 14 M. Ini misalnya saja, biar kamu mudah memahaminya."

"Trus, masalahnya di mana?"

"Masalahnya di cerita berikutnya ini mas. WP yang tahu akan kena pajak sebesar itu tentu saja kalang kabut. Mereka juga panik karena tim pemeriksa tidak bisa disuap."

"Aku ndak ngerti arah ceritamu."

"Itu mas,  14 Milyar," sahut Bagong.

"Ya apa artinya 14 M?"

"Ketua tim akan menekan WP supaya membayar semua pajak itu. Tapi WP pasti akan keberatan dan merengek-rengek untuk bisa dikurangi pajaknya."

"Oke. Itu wajar kalau WP minta keringanan. Lalu?"

"Ketua tim biasanya tidak akan mau deal. Tetap menekan kepada WP untuk tanda tangan berita acara pemeriksaan dengan kewajiban membayar 14 M. Kalau sudah begitu, WP akan seperti cacing kepanasan. Lalu, merengek-rengek dan menawar separuhnya saja."

"Trus...?"

"Ketua tim akan melihat apakah nilai itu sudah melebihi kuota yang dipatok kantor. Kalau belum, permintaan WP akan ditolak."

"Lha kalau sudah melebihi target?"

"Misal target dari kantor hanya 5M. Berarti aman. Tapi, ketua tim akan jual mahal. Bilang ndak bisa, ndak bisa, sampai akhirnya WP menawarkan jalan damai. WP. Biasanya WP akan bilang begini 'Kalau bapak membantu perusahaan kami, separuhnya saja pajak yang kami bayar, silahkan bapak ambil yang 1M'."

"Wah ini menjadi menarik."

"Ketua tim itu orang pintar mas. Ndak mau disuap. 'Jangan coba-coba nyuap kami, pak. Kami sudah mendapat gaji yang besar dari negara'. Nah, kalimat itu yang biasanya disampaikan. Ini akan membuat WP semakin kalang kabut. WP pun menaikkan tawaran, hingga akhirnya sampai ke angka 2M."

"Gila. Yang bener?"

"Iya mas. Kalau sudah begitu, ketua tim akan bilang 'yach, pada dasarnya saya bukan orang yang kejam dan tidak tahu berterima kasih. Saya hanya tidak mau disuap'."

"Saya tidak bermaksud menyuap, pak. Sungguh. Ini hanya ucapan terima kasih, itupun jika bapak-bapak mau menerimanya."

""Baiklah. Karena Anda tidak menyuap. Dan, ini juga hanya ucapan terima kasih. Kami tidak akan keberatan menerimanya. Dengan demikian perusahaan bapak akan kena bapak 5.5 M'. Nah, gitu mas."

"Masak sih?"

"Iya begitu mainnya. Target kantor tercapai. Ini malah dapat melebihi target. WP senang, pajaknya berkurang. Dan, pemeriksa juga mendapat ucapan terima kasih."

"Wow...wow....wow...., rupanya begitu to."

"Uang ucapan terima kasih itu dibagi ke semua anggota tim secara proporsional. Aku juga kebagian. Itulah sebabnya, aku takut sekali, mas. Nanti kalau mati aku masuk neroko."

"Lho apa kamu ndak bisa menolak?"

"Sudah mas. Pertama kutolak. Mereka ndak mempersoalkan. Bagianku diambil ketua tim. Kedua kutolak lagi, mereka juga ndak masalah, bagianku ada yang ambil. Tapi, aku dipaksa tanda tangani bukti penerimaan hadiah itu. Ketika aku menolak untuk ketiga kalinya, ada teman yang berbisik 'Gong, kalau kali ini kamu masih menolak, aku takut tiba-tiba perutmu nanti bocor'. Mbilung yang bilang begitu padaku. Aku belum siap mati mas. Ya, kuterima uang itu. Sampai sekarang....makanya mas, gimana ini..."

Mendapat laporan seperti itu dari adik kesayangannya, Gareng tercenung. Adiknya tengah menghadapi masalah serius. Ia benar-benar tak menyangka. Dulu, seluruh keluarganya bangga ketika si Bontot Bagong diterima di Sekolah Teknik Akuntansi Negeri. Kabar gembira itu disebar luas kemana-mana sampai penguasa Amarta, Prabu Puntadewa mengadakan syukuran atas prestasi Bagong, adiknya.

Tapi, sekarang ia prihatin. Ia benar-benar tidak menyangka. Setelah tiga tahun bekerja menjadi detektif pajak, Bagong mengeluh seperti itu. Gareng bisa merasakan betapa perihnya jeritan hati Bagong. Karena, dulu Bagong selalu bercerita bagaimana pembinaan aklaq dilakukan di tempat sekolahnya, Sekolah Teknik Akuntansi Negeri, yang berkampus di pinggiran negeri Amarta.

"Bagaimana kalau kamu keluar saja dari sana?"

"Trus mau kerja apa?"

"Jadi konsultan pajak atau mendirikan kantor akuntan umum?"

"Sama saja mas. Sama menjadi maling."

"Aku ndak tahu maksudmu?"

"Sekarang aku maling uang negara untuk meringankan WP. Kalau aku jadi konsultan pajak, aku juga akan buat laporan supaya WP tidak bayar pajak yang mahal. Padahal mestinya bayar mahal. Jadi sama malingnya. Ilmunya sama. Yang satu digunakan untuk menarik pajak sebanyak mungkin dari WP, nanti dapat deal, WP jadi mbayar murah. Kalau konsultan, mengakali aturan supaya WPnya tidak mbayar mahal ke negara. Itu kan sama-sama menjadi maling, mas."

"Ooooo....begitu to. Ya sudah kalau begitu kabur saja supaya dipecat."

"Tidak akan terjadi itu mas. Aku sudah coba tidak masuk kantor empat minggu, berharap supaya dipecat. Supaya terbebas dari api naraka itu. Tapi, nyatanya aku ndak pernah dipecat."

"Alasannya?"

"Mereka takut aku ngoceh di luar. "

"Emmmm, ya aku faham. Berarti, keluar juga berbahaya. Jiwamu bisa terancam."

"Persis. Itu yang kumaksud. Diteruskan, bahan bakar untuk tubuhku di neraka kelak semakin menumpuk. Kalau keluar, jiwaku terancam. Padahal sekarang ini aku belum siap mati, mas."

"Bagaimana kalau minta dipindahkan saja. Ndak usah jadi penyidik. Minta dipindahkan ke bagian lain yang tidak ada kaitannya langsung dengan WP."

"Itulah satu-satunya harapanku. Aku akan mencari tahu."

"Kira-kira apa yang akan dilakukan  ketua tim dan kawan-kawanmu kalau tahu kamu mau pindah?"

"Tidak tahu mas. Tapi, mereka akan kutemui dulu. Saya akan yakinkan mereka bahwa saya akan pura-pura tidak tahu, sepanjang saya juga tidak diganggu."

"Kira-kira peluangnya bagaimana?"

"Aku belum tahu. Tapi itulah satu-satunya harapanku. Aku akan mencobanya."

Pembicaraan itu dilakukan tiga bulan sebelum kasus Gayus muncul di permukaan. Selama tiga bulan itu pula Gareng mengalami kesulitan menghubungi Bagong. Dusun Karang Kadento sudah disisir oleh pasukan Amarta tapi Bagong tetap tidak ditemukan, hingga suatu hari Gusti Putri Drupadi menjerit jatuh pingsan menemukan potongan tubuh di tamansari. Ketika Gareng melihat apa yang ditemukan di Tamansari, tubuhnya menggigil. Ia melihat potongan jari Bagong sedang diambil petugas forensik Amarta  (Bengkulu, 30 Maret 2010).

__._,_.___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar