Senin, 29 Maret 2010

Sajarah - BUBAT

Sajarah - BUBAT

 

Tragedi Bubat Dalam Perspektif Jawa Timur

Peristiwa pertem-puran Bubat yang terjadi sekitar 650 tahun si-lam
adalah peristiwa sejarah yang paling menarik untuk dikaji. Pasalnya,
peristiwa yang menyisakan dendam kolektif itu tidak saja melahirkan
aneka versi yang berkaitan dengan cerita-cerita tentang latar alasan
kenapa peristiwa itu bi-sa terjadi, tetapi juga memun-culkan pula
aneka versi cerita yang berkaitan dengan apa yang terjadi setelah
peristiwa Bubat.

Dalam tulisan singkat ini, saya ingin mengungkapkan salah satu cerita
yang berkembang secara lisan di lingkung-an keluarga-keluarga yang
memiliki hubungan dengan Kerajaan Majapahit, yang berhubungan dengan
peristiwa Bubat.

Di dalam naskah Kidung Sunda yang diterbirkan C.C. Berg dengan judul
Inleiding tot de studie van het Oud-Javaansch (Kidung Sundayana) pada
1928, disebutkan bahwa Raja Sunda, permaisuri, dan putri bertolak ke
Majapahit disertai 200 kapal besar ditambah kapal-kapal kecil sampai
berjumlah 2.000. Raja Sunda dikisahkan menaiki kapal jenis jong buatan
Cina. Informasi dari Kidung Sunda ini, meski harus dikonfirmasi dengan
sumber lain kesahihannya, menunjukkan bahwa jumlah rombongan dari
Kerajaan Sunda beribu-ribu orang.

Kidung Sunda selanjutnya menggambarkan bahwa di Majapahit saat itu
diadakan persiapan penyambutan tamu secara besar-besaran. Raja Hayam
Wuruk beserta dua pamannya --Raja Kahuripan dan Raja Daha-- sudah
berkumpul di Bale Agung bersama para menteri dengan sukacita. Namun,
semua yang sebelumnya bersukacita, tiba-tiba berdiam diri ketika
melihat raut wajah Patih Gajah Mada menunjukkan rasa tidak suka.
Bahkan, Gajah Mada mencela Hayam Wuruk dengan menga-takan bahwa kurang
tepat raja merendahkan diri menyongsong seorang raja bawahan.

Siapa yang tahu apakah orang-orang Sunda itu tidak datang sebagai
musuh yang menyamar sebagai sahabat? Gajah Mada mempersilakan Hayam
Wuruk agar tinggal di keraton dan menunggu. Hayam Wuruk yang saat itu
usianya belum genap tujuh belas tahun, menurut saja kepada keinginan
Gajah Mada de-ngan memerintahkan semua agar kembali ke keraton dan
membatalkan semua upacara penyambutan. Para menteri terkejut ketika
mendengar pe-rintah tak terduga itu, tetapi mereka takut kepada raja
dan patih sehingga semua diam saja tidak menentangnya.

Setelah memaparkan secara panjang lebar perselisihan yang terjadi
antara Patih Sunda bernama Anepaken dan pejabat tinggi Sunda dengan
Gajah Mada yang berujung pada pecahnya perang (pupuh 1.58-78 sampai
pupuh 2.81-98), yang diikuti bela pati permaisuri, putri raja dan
istri para mantri Sunda yang melakukan bunuh diri di atas jenazah
suami-suami mereka (pupuh 3.l- 26). Setelah itu, secara panjang lebar
digambarkan bagaimana penyesalan Hayam Wuruk atas peristiwa itu, yang
membuatnya ingin mengikuti jejak mempelainya ke alam baka, yang
dilanjutkan upacara mendoakan arwah para korban (pupuh 3.27-42).
**

Langkanya catatan historis dari peristiwa Bubat yang memalukan yang
seperti se-ngaja ditutup-tutupi itu, pada gilirannya menimbulkan
banyak tanda tanya yang ber-ujung pada munculnya berbagai spekulasi
yang melahirkan berbagai varian cerita bersifat historiografi ataupun
lisan seperti cerita bahwa Gajah Mada berasal dari Galuh, cinta
terpendam Gajah Mada terhadap Dyah Pitaloka, dan bahkan kisah saling
cinta antara Gajah Mada dan Dyah Pitaloka.

Lepas dari pembenaran cerita-cerita semacam itu, dalam aspek
kesejarahan langkanya catatan-catatan historis tentang peristiwa
tragis di Bubat, telah menimbulkan sejumlah pertanyaan yang tidak
mudah dijawab seperti berapakah sesungguhnya jumlah rom-bongan dari
Kerajaan Sunda yang gugur dalam pe-ristiwa tersebut? Adakah pejabat
atau prajurit Sunda yang mengiringi Raja Sunda masih hidup setelah
peristiwa tersebut? Di-dharma-kan di ma-nakah jenazah Raja Sunda
beserta permaisuri dan putri serta pengi-ringnya?

Sekalipun Kidung Sunda menggambarkan kehadiran rombongan Raja Sunda
de-ngan hitungan kapal-kapal besar sejumlah 200 ditambah kapal-kapal
kecil sampai 2.000 buah, tidak ada penjelasan perinci tentang berapa
jumlah pasti rombongan Raja Sunda yang terbunuh dalam peristiwa Bubat.
Kidung Sunda hanya mencatat adanya 300 prajurit pengawal yang
mengiringi Patih Anepaken ditambah sejumlah pejabat penting Kerajaan
Sunda saat berselisih de-ngan Gajah Mada.

Selain itu, Kidung Sunda mencatat bahwa dari sejumlah prajurit
pengawal raja yang sudah bertekad untuk gugur bersama sang raja,
ternyata masih ada yang hidup, yang digambarkan sebagai mantri Sunda
bernama Pitar yang pura-pura mati di antara jenazah para korban dan
membiarkan dirinya ditangkap pasukan Majapahit. Setelah dibebaskan
pasukan Majapahit, Pitar diki-sahkan melapor kepada permaisuri Raja
Sunda dan putrinya tentang peristiwa tragis yang dialami sang raja
beserta semua pengikutnya, yang membuat permaisuri, selir, putri, dan
istri para mantri Sunda sepakat untuk melakukan bela pati, dengan
bunuh diri di atas jenazah suami-suami mereka.

Dari cerita mantri Sunda bernama Pitar, dapat disimpulkan bahwa
setelah peristiwa tragis dialami Raja Sunda di Bubat, pasukan
Majapahit di bawah Hayam Wuruk datang ke medan tempur Bubat. Pasukan
inilah yang menemukan Pitar dan kemudian menangkap, tetapi kemudian
membebaskannya. Itu menunjukkan bahwa tidak semua pasukan Majapahit di
bawah komando Gajah Mada. Bahkan, pada akhir cerita Kidung Sunda
digambarkan bagaimana semua orang Majapahit di bawah Raja Kahuripan
dan Raja Daha, paman Hayam Wuruk, menyalahkan Gajah Mada, kemudian
memerintahkan untuk membunuh patih tersebut.

Kidung Sunda tidak sedikit pun memberitakan letak pasti para korban
Bubat di-dharma-kan. Kidung Sunda hanya menuturkan bahwa jenazah putri
Raja Sunda ditemukan di pesanggrahan dan bukan di Bubat. Sementara
dalam cerita tutur yang berkembang dikisahkan bahwa putri Sunda
di-dharma-kan di lingkungan Keraton Majapahit di suatu tempat yang
dinamai Citra Wulan (Rembulan yang cantik. Sekarang tersisa pada nama
toponimis Trowulan-pen.).

Di kompleks situs Trowulan terdapat satu reruntuhan candi yang dikenal
penduduk dengan nama Candi Kenconowungu, yaitu nama seorang ratu
wanita Majapahit dalam dongeng yang biasanya dipentaskan dalam cerita
Damarwulan. Apakah yang dikenal Candi Kenconowungu itu sebenarnya
pen-dharma-an putri Sunda? Perlu dilakukan penelitian lebih dalam.

Sementara masih dalam kompleks situs Trowulan tidak jauh dari Candi
Kenconowungu, terdapat tempat bernama Sentanarajya (Keluarga Kerajaan.
Sekarang tersisa pada nama toponimis Sentanareja-pen.) di mana
ditemukan situs Sumur Upas (sumur beracun). Apakah di Sentanareja ini
Raja Sunda beserta permaisuri dan selir di-dharma-kan? Perlu diadakan
peneli-tian lebih lanjut. (Agus Sunyoto, pengajar di Fakultas Ilmu
Budaya (FIB) Universitas Brawijaya Malang)***


.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar