Senin, 29 Maret 2010

Kesaksian Taufik Ismail.

TEBING BETAPA CURAM, JURANG BETAPA DALAM TAK TAMPAK KEDUA-DUANYA, Puisi TAUFIQ ISMAIL
Bagikan
 Hari ini jam 10:53
Rabu 24 Maret 2010 merupakan sidang terakhirdari uji materil UU PNPS th 1965 tentang penodaan agama yang telah menghadir tidak kurang dari 40 saksi ahli. Hari ini ada yang istimewa karana satu saksi ahli yang ditampilkan adalah Taufiq Ismail yang menyampaikan makalahnya bukan dengan bahasa hukum namun tetap menggunakan bahasa sastra yang sangat memukau.

TEBING BETAPA CURAM, JURANG BETAPA DALAM
TAK TAMPAK KEDUA-DUANYA

Oleh: Taufiq Ismail

Desa kami terletak di kaki gunung yang sangat indahnya
Berpagar perbukitan dengan deretan pohon cemara
Sawah luas terhampar, hijau muda dalam warna
Ladang palawija sangat subur pula keadaannya
Dari jauh tampak ternak kerbau, sapi, ayam dan domba
Kemudian kawanan burung terbang di udara
Tampak menembus awan tak bersuara

Walaupun alam desa kami indah keadaannya
Tapi kami belum makmur sesuai dengan cita-cita
Kemiskinan tidak teratasi seperti semestinya
Berbagai penyakit datang dan pergi bergantian saja
Beri-beri, diare, cacar, busung lapar, juga penyakit mata
Anehnya banyak warga sakit katarak dan radang glaukoma
Sehingga banyak yang rabun bahkan sampai buta
Sehingga dokter Puskesmas sibuk mengobati warga desa

Di barat desa ada sebuah tebing yang curam
Dibatasi sebuah lingkaran oleh jurang yang dalam
Di atas tebing itu terhampar datar lapangan lumayan luasnya
Di sana anak-anak kecil berkejar-kejaran dengan leluasa
Bermain-main, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tertawa-tawa

Karena penduduk desa cinta pada anak-anak mereka
Masih waras dan tak mau anak-anak celaka
Termasuk juga untuk orang-orang dewasa
Maka di tepi tebing dibikinkan pagar sudah lama
Terbuat dari kayu, sudah tua, terbatas kekuatannya
Agar tidak ada yang kepleset terjatuh ke jurang sana

Tebing itu lima puluh meter tingginya
Batu-batu besar bertabur di dasarnya
Semak dan belukar di tepi-tepinya
Hewan buas dan ular penghuni lembahnya
Kalau orang terjatuh ke dalamnya
Akan patah, cedera, cacat dan gegar otaknya

Nah, pada suatu hari
Ada sebagian kecil penduduk desa berdemonstrasi
Menuntut yang menurut mereka sesuatu yang asasi
Dengan nada yang melengking dan tinggi
Tangan teracung, terayun ke kanan dan ke kiri
Dalam paduan suara yang di usahakan harmoni

"kami menolak pagar itu, apa pun bentuknya
Pagar itu kan untuk anak-anak di bawah usia
Itu tak perlu untuk kami yang dewasa
Bahkan juga untuk anak-anak biarkan saja
Kami menuntut kebebasan sebebas-bebasnya
Tidak peduli alasan lama kalian dari zaman kuno
Pagar ini produk fikiran masa dahulu sudah lama
Cabut pagar itu, buang ke keranjang sampah saja

Pagar tebing itu adalah bentuk diskriminasi kuno
Kini waktunya orang menghargai kebebasan sebebas-bebasnya
Seperti negeri luar yang sangat maju keadaannya
Kita harus meniru negeri luar agar maju pula

"Apa itu pagar? Kenapa pelataran ini dibatas-batas?
Tubuh kami ini hak kami
Kami menggunakannya semau hati sendiri
Apa itu pembatasan?
Konsep kuno, melawan kebebasan
Cabut itu pagar, semuanya robohkan!"

Demo itu berlangsung, hiruk-pikuklah terdengar suara
Heboh seantero kampung dan desa
Orang-orang bertanya, lho, ini ada apa?
Kok jadi tegang suasana?

Ada yang bersikeras mau mencabut pagar semua
Tapi yang bertahan tidak sudi membiarkan mereka
Di tepi tebing beregang-reganglah mereka
"Hei, hei, hati-hati, jangan sampai jatuh ke jurang sana!
Hati-hati, jangan sampai jatuh ke jurang sana!
Mendadak mereka berhenti bersama

Ketika itu muncul seorang laki-laki dengan pengiringnya
Dia kelihatan tua dan agak berwibawa
"para hadirin, ini Nabi kami."
Orang-orang desa terkejut, mulut mereka terkunci
Belum sempat mereka menatapnya dengan hati-hati
Muncul pula seorang perempuan dengan ajudannya
Bergaun panjang, berhiasan macam-macam di kepalanya
"Para hadirin, ini Malaikat kami."
Orang-orang desa terkejut,mulut mereka terkunci
Belum sempat mereka menatapnya dengan hati-hati
Muncul pula seorang laki-laki dengan pengawalnya
Dia kelihatan tua dan tidak berwibawa
"Para hadirin, ini Tuhan kami."

Dengan kedatangan tiga orang luar ini
Penduduk desa jadi sibuk mengamati
Kemudian ada warga yang mengajukan interogasi
"Lho Pak Nabi, ente kan dari desa Gunung Bunder, tidak jauh dari sini?
Waa, Bu Malaikat, rumahnya di Betawi kan dekat gang Arimbi?"
Tidak ada jawaban sama sekali.

Menyaksikan hadirnya yang mengaku Tuhan, Nabi dan Malaikat
Lalu seseorang berkata dengan cermat:

"Kita bingung ini dan harus mendapat solusi.
Mari kita hubungi orang yang ahli!
Yang ahli itu pastilah orang luar negeri
Yang jago dalam teori dan kita kagumi
Dengan terorika penuh erudisi
Yang penting liberal, walau kolonial, kita tak peduli
Sehingga mata kita jadi silau sama sekali
Tunggu, tunggu, tak ada hubungan ini
Dengan mental orang bekas jajahan koloni
Tidak ada hubungan ini
Dengan imperialisme ideologi
Tidak ada hubungan ini
Dengan sikap mental rendah diri
Ini semata-mata, semata-mata, ulangi
Ya, semata-mata, yak arena ini."

Setelah selesai ucapan yang kacau begini
Hadirin yang tadinya tenang, menjadi ribut kembali
Kembali beregang-regang, tarik-tarikan ke sana ke sini

Tiba-tiba di ujung keributan ini
Munculah dokter Puskesmas penuh wibawa
Bersama seorang anak muda disampingnya
Dia melihat ke kanan dan ke kiri
Ketika itu penduduk desa tenang semua.
Kemudian dia angkat bicara:
"Saya telah melihat demonstrasi kalian
Saya kecewa dengan geleng-geleng kepala
Kalian semua pasien saya

Lebih dari separuh kalian kena kelainan pada mata
Kalau tidak rabun, ya buta
Kenapa kalian menghabiskan waktu berdemo juga
Padahal mata tidak bisa melihat dengan sempurna
Kasusnya katarak dan glaucoma
Gawat ini situasinya penyakit instrument mata
Virus datang dari negeri lain rupanya
Bukan Cuma dari luar desa
Begini, kita sembuhkan dulu sumber etiologinya
Gawat lho, ini situasi kesehatannya."

Dengan hormat orang desa terdiam mendengarnya
Kemudian anak muda di samping dokter itu bicara
Dia santun, cerdas dan logis cara berfikirnya:

"bapak-bapak, paman-paman, ibu-ibu semua
Saya minta maaf urun berkata-kata
Saya heran kenapa dipandang enteng tebing curam ini
Tingginya 50 meter, sangat tinggi
Di bawahnya batu-batu besar, dalam kali
Kalau terjatuh, bakal patah-patah, gegar otak kanan dan kiri
Jadi kalau tidak di pagar, berbahaya sekali
Maaf ya, maaf, kalian yang mau cabut pagar ini
Kalau tidak rabun atau buta, ya gila

Tebing betapa curam
Jurang betapa dalam
Kok tak tampak kedua-duanya
Konsep tebing dan jurang tak mauk akal rupanya
Gara-gara katarak dan glaukoma menuju buta

Nah, tentang pagar yang memang sudah tua keadaannya
Mari kita gotong royong menggantinya
Kita bikin yang kukuh semuanya
Sehingga anak-anak dan remaja
Bias bermain-main, berlari-lari ke sini dan ke sana
Dengan aman dan gembira."

Kepala desa akhirnya muncul paling akhir lalu bicara:
"Sedulur, masih seabreg-abreg urusan di desa kita,
Kebodohan dan kemiskinan kita, kapan akan selesainya?"
Diperbarui 50 menit yang lalu · Komentari·SukaTidak Suka · Laporkan Catatan
Ari S Imogiri menyukai ini.

Geisz Chalifah
saya sudah menyampaikan pada teman teman yang mengajukan yusaial reviem UU no 1 tahun 1965. Kesimpulan saya sederhana saja. Mereka itu "NORAK".

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar