Selasa, 20 Juli 2010

This Time for Africa by Anies Baswedan

This Time for Africa by Anies Baswedan

Setelah seharian mempresentasikan dan mendiskusikan Indonesia Mengajar, sore
ini duduk di kereta api menuju Stasiun Tugu di Yogya, untuk pergi ke
Magelang.

Kereta baru saja berangkat dari Stasiun Gubeng, Surabaya. Dari jendela
diunjukan deretan pemandangan yang jamak. Kereta api, dimana saja sama:
menyisir sisi suram sebuah kota.

Di kampung-kampung miskin itu, samping rel kereta, terlihat kibaran
bendera-bendera peserta world cup. Di tanah-tanah kosong di samping rel
kereta, anak-anak berkumpul main sepak bola. Suasana piala dunia masih hidup
dimana-mana. Ya, semalam world-cup memang baru saja purna.

Dibalik hiruk pikuk Piala Dunia ini, ada seorang lelaki usia 92 tahun itu
menyambut kehadiran dunia di kampung halamannya. Rambutnya sudah putih,
jalan agak tertatih tapi senyum tetap lebar dan pancaran semangat itu belum
sirna. Lambaian tangannya saat mengintari lapangan disambut gemuruh dua
ratusan ribu hadirin dan disaksikan 700 juta penonton di seluruh dunia.

Sebuah kado yang luar biasa untuk dia. Saya jadi ingat peristiwa historis yg
terjadi saat saya masih kuliah di tahun pertama.

Di awal Februari 1990, majalah Newsweek edisi minggu itu datang dengan cover
yang aneh. Gambar ilustratif, bukan foto. Lukisan wajah seorang lelaki
Afrika, usia senja, berambut ikal pendek, kulit legam, sedikit menyungging
senyum. Saya tidak kenal wajah itu. Gambar yang janggal utk sebuah sampul
depan majalah yang pembacanya sedunia.

Newsweek datang tiap minggu ke rumah, paman beri hadiah ulang tahun dng
dilangganankan Newsweek. Kali ini Newsweek hadir dng gambar unik.

Wajah ilustratif di sampul Newsweek itu ternyata adalah hasil rekonstruksi.
Mereka mencoba menggambarkan wajah seorang pemberontak yang sudah mendekam
selama 27 tahun, sebagian adalah kurungan solo (solitary containment).

Selama 27 tahun ini dunia luar tdk pernah melihat wajah, gambar atau foto si
pemberontak itu. Berdasarkan cerita berbagai kalangan yang pernah menjenguk,
dicoba digambarlah wajah itu.

Minggu depan sang pemberontak akan dibebaskan dari kurungan. Sulit
membayangkan, berada di penjara di sebuah pulau mungil, Robben Island, sejak
1963 sampai 1990. Tak sempat lihat perang dingin, tak sempat lihat manusia
menapak bulan, tak tahu ada mesin faximile, dan tak melihat dunia berubah
pesat.

Nelson Mandela, manusia berkulit gelap dikurung sendirian dalam gulita.
Diganjar penjara karena melawan kebodohan. Minggu itu Dunia menanti bebasnya
Mandela.

Sayapun ikut menanti dibebaskan Mandela. Sayapun ingin lihat wajah pejuang
luar biasa ini. Bagaimana wajah Mandela hari ini?

Begitu datang harinya, 11 Februari 1990 dunia seakan bergetar. Berita TV,
radio, koran, majalah dan semacamnya semua mengabarkan keluarnya seorang
lelaki dari penjara dengan kekuatan yg luar biasa: sosok yang bergelora tapi
lembut, wajahnya tangguh tapi bersahabat, kata-katanya tegas tapi pemaaf.

Tidak ada amarah, kebengisan, apalagi kebencian. Dia melangkah keluar dengan
keanggunan, kehormatan, dan keteguhan lelaki Afrika. Mengingatkan kita pada
cerita Bilal.

Hari itu wajah Mandela bukan wajah tua dan lemah, wajahnya adalah wajah
hadirnya era baru.

Hari itu Mandela jadi simbol berakhirnya era gelap di Afrika dimana manusia
berkulit putih dipastikan bermasa depan cerah sementara manusia berkulit
legam diharuskan bermasa depan gelap.

Mandela hadir membawa misi rekonsiliasi. Menarik garis dengan masa lalu.
Kini, rekonsiliasi ala Afrika Selatan sering dijadikan contoh. Dunia pun
belajar kemuliaan dari orang-orang berkulit legam.

Dua dekade kemudian, dunia hadir di Afrika Selatan. Pesta olah raga terbesar
sejagat dihadirkan di hadapan Mandela. Selama satu bulan ini Mandela dan
seluruh pejuang Afrika Selatan menerima penghormatan dunia.

Jika bukan karena Mandela, negara itu sudah mandi darah balas dendam.
Kesabaran dan keteguhan untuk mengutamakan perdamaian dijaga dengan
konsisten.

Hari ini semua itu terbayar. Tentu tidak terbayangkan oleh Mandela, bahwa 27
tahun siksaan lahir dan bathin itu akan menjadikannya simbol keteguhan yang
suatu saat dihadiahi pesta terbesar umat manusia.

Spanyol bisa saja pulang membawa trophy juara dunia, tapi sebenarnya
pemenangnya adalah Nelson Mandela, pemenangnya adalah konsistensi melawan
ketidakadilan.

Samina-mina e e waka-waka e e . . .
Samina-mina sangkalewa . .
Anawa a a . . . .

Samina-mina e e waka-waka e e...
Samina-mina sangkalewa . .
This time for Africa . . . .

Anies Baswedan

Sent from my BlackBerryR
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar