Selasa, 06 Juli 2010

Sosok seorang raja stand contractor

 

Kenalkan, Rajanya Stand Contractor…
Thursday, June 24th, 2010

oleh : Henni T. Soelaeman



Sempat bekerja serabutan di Ibu Kota, lewat Pentawira, Egi
Kristian mampu menaklukkan Jakarta. Bahkan, bisnisnya juga menggelinding
sampai ke negeri jiran. Bagaimana lika-likunya?

Pentawira
dan Egi Kristian adalah dua nama yang sangat familier di kalangan
pelaku bisnis pameran. Pentawira dikenal sebagai official contractor
langganan para penyelenggara pameran dan event besar. Sebut
saja Pekan Raya Jakarta (PRJ) dan Java Jazz. Sementara Egi Kristian,
tak lain, pemilik sekaligus Presdir Pentawira. Di tangan Egi, Pentawira
melesat meninggalkan puluhan pemain yang mengerumuni bisnis stand
contractor. Bahkan, Pentawira mampu menyalip Citineon Prima
Mandiri, official contractor tempat Egi dulu bekerja.

Pengakuan
itu datang dari kolega bisnis Pentawira, yang sama-sama menerjuni
bisnis serupa. Benjamin Bramono, Manajer Pemasaran Griya Raya Disatama,
mengakui perusahaan yang dibangun Egi merupakan perusahaan nomor satu di
bidang stand contractor. Saat ini, menurutnya, ada sekitar 50
perusahaan sejenis di Indonesia. "Paling besar Pentawira, selain itu di
bawahnya Citineon Prima Mandiri, kalau kami masih berada di middle,"
tuturnya. Ia menilai, Pentawira memiliki lingkup yang luas dan
menyeluruh, banyak pameran besar menjadikan Pentawira sebagai official
contractor.

Pengakuan
serupa diungkapkan Ralph Scheusnemann, Direktur Pemasaran Jakarta
International Expo. Sudah bertahun-tahun, menurutnya, Pentawira menjadi
mitra JIExpo sebagai official contractor PRJ, perhelatan besar
yang dikerjakan JIExpo. Dalam pandangannya, yang dilihat dari pelanggan
terhadap perusahaan jasa stand contractor adalah kualitas yang
bagus. "Pentawira memiliki keunggulan itu, mengikuti perkembangan
pasar, selera pasar, serta dapat dipercaya kala diberi pekerjaan," kata
pria berkebangsaan Jerman ini.

Ia
menambahkan, di antara para pelaku bisnis stand contractor,
Pentawira bisa memvisualisasikan keinginan dan kebutuhan pelanggan.
Toh, ia menyarankan Pentawira agar tetap bisa menjaga kualitasnya.
"Kalau sudah kelas Mercedes, istilahnya, dia harus jaga kelas di situ,"
katanya. Begitu pula, sang komandan Pentawira dinilai Ralph adalah orang
yang mau belajar dan bekerja keras. "Dalam bisnis ini, menjaga hubungan
sangat penting, Egi memiliki kekuatan tersebut. Tidak heran, Pentawira
merupakan stand contractor terbesar saat ini," katanya.

Ya,
puluhan pameran besar bertaraf internasional hadir di Jakarta saban
tahun, mulai dari pameran kerajinan, furnitur, kecantikan, komputer,
laboratorium, perhiasan, pendidikan, sampai otomotif. Di antara puluhan
pameran itu, Pentawira kerap mengambil bagian sebagai official
contractor. Memang, di kalangan event organizer (EO) yang
menjadi penyelenggara pameran tersebut, mitra yang sering digandeng
adalah Pentawira, yang membantu mereka mendesain stan pameran. Saat ini,
Pentawira menguasai banyak klien besar. Sebut saja Yamaha, Bajaj,
TVS, BNI (official partner Java Jazz, sehingga Pentawira selalu
membantu salah satu perhelatan jaz terbesar di dunia itu saban tahun),
PT Gudang Garam Tbk., Minerva, PT Summarecon Agung Tbk., PT Sony
Indonesia, Nestle (produk Dancow), PT Pertamina (Persero) dan JIExpo.

"Bisnis
kami membantu mendesain stan mereka kala ingin mengikuti pameran," kata
Egi. Pentawira juga kerap menjadi official contractor oleh EO
besar dalam penyelenggaraan pameran yang diadakan mereka. "Kami jadi official
contractor untuk PRJ," ujar Egi. Ia menambahkan, pada Mei ini
pihaknya mengerjakan 10 stan di pameran yang diadakan Indonesia
Petroleum Association, antara lain stan untuk BP Migas, Pertamina,
Cevron, dan COSL.

Tak
hanya jago kandang, sejak dua tahun lalu Pentawira juga merambah
Malaysia dan Singapura. Dengan nama Pentrex International Pte. Ltd. yang
berkantor di Kreta Ayer Road, Singapura, Egi berambisi mengepakkan
sayap ke mancanegara. Target Egi dalam 10 tahun ke depan, Pentawira bisa
dikenal di Asia Tenggara. "Sekarang sudah mulai pasar bebas, kami harus
bersiap, bahkan mestinya lebih besar. Kami ingin Pentawira bukan saja
dikenal di Malaysia tapi hingga ke Hong Kong," Egi menerangkan.

Menurutnya,
saat ini di Indonesia ada lima perusahaan sejenis yang berada di papan
atas. "Pentawira harus dikenal sebagai perusahaan stand contractor
yang pandai memvisualkan harapan pelanggannya," katanya. Jadi,
pelanggan merasa puas kala berpameran, karena stan yang dibuatkan
Pentawira memiliki desain yang khas, spesial dan dikenang pengunjung
pameran selain pemilik stan.

Pergumulan
Egi di ranah bisnis ini boleh dibilang sebuah kebetulan. Ketika itu,
Egi yang perantauan dari Pontianak, memutuskan menerima ajakan Yos
Theosabrata bergabung di perusahaan stand contractor, PT
Citineon Prima Mandiri, tahun 1986. Citineon Prima Mandiri yang
berpatungan dengan orang Singapura ini tercatat sebagai raja stand
contractor era 1980-an.

Ajakan
Yos bak durian runtuh bagi Egi. "Saya pikir, ya coba deh
peluang itu, toh usaha saya juga redup. Kadang suka nangis sendiri juga
waktu itu, kok usaha susah sekali, padahal sudah berjuang keras," ungkap
Egi mengenang masa sulitnya. Diakuinya, ketika memutuskan merantau ke
Jakarta, ia berpikir semuanya akan berjalan sesuai dengan impiannya.
"Alasan biaya juga sih," kata Egi mengenang sambil tersenyum.

Ia
menceritakan, orang tuanya yang asli Cina merantau ke Indonesia karena
ingin memperbaiki hidup. Keterbatasan pendidikan orang tuanya membuat
keluarga Egi hidup pas-pasan. "Sekolah pun susah, sejak usia lima tahun
saya biasa jualan kue," ungkap kelahiran 21 Maret 1950 ini. Upah
berjualan kue ia gunakan untuk makan dan jajan. Bahkan, sejak SMP ia
sudah bekerja di agen perjalanan yang dimiliki oleh Yudiawan – kini
pemilik Batavia Air – yang terus berlanjut sampai SMA. "Ya mulai dari
tukang antarsurat hingga tukang tagih," ceritanya. Anak pertama dari
lima bersaudara ini tak pernah menyesali keadaan. Ia justru tertantang
untuk mengubah nasibnya. Setamat SMA, Egi sempat kuliah di Fakultas
Hukum Sekolah Tinggi Panca Bakti. "Kuliah di Universitas Tanjung Pura,
tak ada biaya, ya masuk saja ke sekolah tinggi yang baru buka, jadi
murah, meski dosennya kadang-kadang tidak masuk," katanya sambil
terbahak.

Keinginan
mengubah nasib dan keterbatasan biaya membuat Egi bertekad bulat hijrah
ke Ibu Kota. "Jabatan saya di agen perjalanan itu cukup bagus, sudah
manajer," katanya. Toh, niatnya tak bisa dibendung. Tahun 1980-an Egi
merantau ke Jakarta. Namun hidupnya bukan lebih baik. Bukan hal yang
mudah bagi orang berijazah SMA mencari kerja di Jakarta. "Pekerjaan
pertama yang saya dapat jadi penjaga toko mebel," tuturnya. Hanya
bertahan seminggu Egi sebagai penjaga toko mebel. Karena pekerjaan masih
serabutan, Egi terpaksa indekos di rumah petak yang kamar mandinya
harus berbagi dengan penghuni lain.

Hingga
akhirnya ia mendapat ide membuka usaha sablon. "Orang Pontianak memang
banyak yang berusaha konveksi dan sablon," katanya. Membuka usaha sablon
dengan modal kecil dan alat sederhana dikerjakan sendiri secara
serabutan. "Semua saya kerjakan sendiri, tapi juga tidak berkembang, ngepas
deh hidup saya," katanya lagi. Dari usaha sablon, Egi mencoba
usaha percetakan. Ia kerjakan sendiri semua. Ada order cetak kartu nama
misalnya, mulai dari desain, sablon hingga cetaknya dikerjakan sendiri
oleh Egi. "Tapi tidak juga bisa besar, lha dapat ordernya cuma bikin
buku bon, kartu nama, dan lain-lain dari perusahaan kecil, kalau
perusahaan besar tidak bisa tembus," ceritanya.

Hidupnya
berubah kala bertemu salah satu pelanggannya, Yos Theosabrata yang
kemudian mengajak Egi agar bekerja dengannya. Dewi Fortuna menghampiri
Egi saat ia bergabung dengan Yos di Citineon. Pelahap bacaan ini mengaku
belajar banyak di perusahaan yang ketika itu paling moncer. "Waktu
zaman Pak Harto (Presiden Soeharto – Red.) banyak pameran
diadakan, Indonesia sedang banyak melakukan promosi, Citineon pun
berkembang pesat," tuturnya. Ketika itu bidang usaha stand
contractor belum dikenal di Indonesia. Perusahaan-perusahaan asing
yang mengadakan pameran di Indonesia selalu mengorder pembuatan stannya
pada Citineon yang asal Singapura.

Kerap
berinteraksi dengan orang Singapura juga membawa hoki bagi Egi. "Orang
Singapura kan banyak yang bicaranya Hokian, kalau saya bisanya Kek
(salah satu gaya bahasa Mandarin – Red.), tapi hampir sama,
jadi saya agak mengerti bahasa Hokian," paparnya. Tak ayal, Egi pun
kerap mendapat tugas menemani para bos dari Singapura itu ke mana-mana.
Interaksi langsung tersebut membuat Egi mendapat banyak pelajaran
tentang bagaimana sebenarnya usaha stand contractor. "Saya baru
benar-benar merasakan, inilah pekerjaan yang membuat saya jatuh cinta.
Saya tidak hitungan, orang lain sampai bingung, saya kerja sampai pagi
pun tak apa," kata Egi yang memulai karier dari bawah di Citineon sampai
mencapai posisi cukup baik, sebagai manajer operasional.

Keinginan
membangun bisnis yang terus menggelitiknya memicu tekad Egi untuk
melepas kenyamanan yang sedang dia nikmati. Tahun 1994, Egi meminta
izin pada Yos untuk bisa mandiri. Setahun berikutnya, Egi pun menapaki
babak baru kehidupannya dengan menggeluti bisnis di bidang stand
contractor. Bidang ini dipilihnya selain karena ia sudah belajar
banyak, juga ia menilai ada banyak hal yang masih bisa dikembangkan.
"Saya lihat ada hal-hal yang mestinya bisa dikembangkan di bisnis ini,"
ungkapnya. Pada 1 Januari 1995, lewat bendera Pentawira, Egi memulai
debutnya sebagai pengusaha yang bermain di ranah official contractor.


Ketika
itu, penguasa bisnis kontraktor pameran hampir semua dari Singapura.
Ada empat perusahaan besar asal Singapura selain Citineon yang membuka
usaha stand contractor di Indonesia. "Saya pikir, mesti pakai
nama lokal agar terasa Indonesianya," kata Egi. Menurutnya, nama
Pentawira berasal dari kata Penta (lima) yang diambil karena Egi
terlahir dari lima bersaudara. Wira sendiri diambil dari kata perwira.
Ia berharap perusahaannya dijalankan dengan jiwa ksatria, beretika, dan
mengambil sari dari perwira yang berjiwa ksatria.

Modal
sebesar Rp 25 juta untuk menggelindingkan Pentawira saat itu diambil
dari uang pesangon dan pinjaman dari adiknya. "Uang terima kasih dari
saya bekerja di Citineon ditambah pinjaman dari adik perempuan saya
yang sudah menikah yang kebetulan usahanya cukup bagus di Pontianak,"
Egi menuturkan. Kantor Pentawira pertama, Egi meminjam rumah milik adik
perempuannya yang lain di sebuah kompleks perumahan di Sunter. "Workshop
saya gunakan fasum (fasilitas umum – Red.) kompleks perumahan
di depan rumah, baru beberapa minggu berjalan saya ditegur pengurus RT
setempat," ujarnya sambil terbahak.

Jaringan
yang dibangun selama Egi bekerja di Citineon membawa kemudahan baginya
mengembangkan Pentawira. Ia langsung mendapat order pertama Majalah Femina.
Kala itu ia dipercaya membuka dua stan buat pamerannya. "Saya di
Citineon bukan orang pemasaran lho, tapi saya senang bantu pekerjaan
orang lain, maka itu jaringan saya juga bagus, banyak teman," katanya.
Waktu awal membangun bisnis ini, menurutnya, sangat banyak perusahaan
sejenis. Sebagai pemain baru, Egi pun melancarkan jurus yang berbeda
agar bisa lebih menonjol dibanding pesaing.

Dalam
menjalankan bisnis, Egi sangat peduli pada kualitas dan pelayanan
prima. Setiap pekerjaan yang diterima selalu dikerjakan sebaik-baiknya.
"Strategi saya waktu itu, memberikan lebih dari mereka. Karena waktu itu
perusahaan stand contractor kebanjiran order, kondisinya demand
lebih besar dari supply, efeknya, mereka rada arogan,"
katanya. Sebagai perusahaan baru, Egi melihat ada celah yang bisa
dimasuki Pentawira, yakni memberikan layanan yang lebih bagus.
"Pekerjaan tidak pernah ditinggal, orang Pentawira akan stand by
di tempat itu hingga pekerjaan selesai." Selain itu, Pentawaira
berusaha memenuhi keinginan dan kebutuhan klien. Karyawan ditekankan
untuk ready to serve. "Hanya itulah satu-satunya yang bisa
saya jual, sebab kalau dari segi desain kala itu mungkin kalah, maka
segi pelayananlah yang saya tekankan," ucap Egi.

Kala
Pentawira pertama dibangun, Egi hanya dibantu beberapa orang. "Semua
saya kerjakan sendiri, mulai dari pemasaran dan pekerjaan lain,"
tuturnya. Tahun 1996, Egi sudah bisa melihat perkembangan yang cukup
bagus dari bisnisnya. Kondisi terbaik dirasakan pada 1997. Ketika itu
Pentawira bisa mengerjakan banyak stan pameran. Bisa dikatakan tiap hari
pasti ada kesibukan mengerjakan stan pameran. Sayang, Egi tidak
berkenan menyebut angka omsetnya kala itu. Ia berdalih lupa berapa stan
pameran yang dikerjakan Pentawira. Tahun 1997, selain order berlimpah,
Egi juga diuntungkan dengan harga jasa membangun stan pameran yang
cukup bagus.

"Perusahaan
luar negeri memberi kami harga dolar," kata Egi seraya mencontohkan,
dulu ia bisa mendapat Rp 20 juta untuk satu stan, padahal modalnya
hanya Rp 5 juta. Dalam satu kali pameran, Pentawira bisa mengerjakan
lebih dari 10 stan. "Saya saat itu bisa beli rumah," kata suami Patricia
yang menikah tahun 1988 ini.

Namun,
buah manis itu tak selamanya bisa ia cecap. Saat krismon tahun 1998,
Pentawira juga terkena imbasnya. "Baru mau menikmati, terempas krisis
ekonomi dan kerusuhan," ujar Egi. Dampak kerusuhan di Jakarta waktu itu
membuat perhelatan pameran pun sepi. Akibatnya Pentawira sepi order.
"Kami sebenarnya sempat mendapat berkah 1997, dolar melimpah, tahun 1998
kan dolar melambung hingga Rp 14 ribuan per dolar, tapi itu tidak bisa
kami gunakan terus untuk membiayai karyawan," paparnya.

Akhirnya
Egi harus mengambil keputusan yang cukup berat atas 40 karyawan yang
ada saat itu. Egi memang bersikeras tidak mau menutup Pentawira meski
kondisinya parah sekali. "Saya sampaikan pada karyawan, Pentawira jangan
tutup, karena saya yakin kami masih bisa jalan," ujarnya. Walau
demikian, Egi tidak mau menelantarkan karyawan. Uang yang ada harus
dikelola secara hati-hati. Akhirnya, dari usulan urun rembuk dengan
karyawan, Egi menyarankan sebagian karyawan pulang kampung (sebab
sebagian besar karyawan Egi adalah tukang – Red.). Hanya saja,
mereka tidak mendapat gaji, Namun kala pekerjaan di Pentawira kembali
aktif, para karyawan itu meminta agar diprioritaskan untuk dipanggil
kembali. "Sebagian karyawan lainnya, saya terapkan shifting
masuk kerja. Giliran 7 hari, 7 orang masuk, gantian minggu kemudian
giliran yang lain," tuturnya.

Meski
perkerjaan tidak ada, bukan berarti mereka tidak berbuat apa-apa. Egi
tetap membangun kerja sama, meski karyawan hanya berjaga saja di kantor
dan mengerjakan pekerjaan kecil-kecil. "Percaya tidak, kami sampai
menanam kangkung," ungkap Egi, yang kemudian bersyukur dengan pilihannya
untuk tetap beroperasi di tengah-tengah pemain lain yang memilih tutup.
Ternyata keputusan itu tidak salah. Egi mendapat berkah. Setelah
kerusuhan mulai reda, para perusahaan pengelola pameran (EO) larinya ke
Pentawira. "Mereka cari ke stand contractor langganan tapi
sudah tutup, akhirnya order jatuh ke Pentawira."

Pentawira
pun kembali menggeliat. Apalagi saat itu dolar masih tinggi dan banyak
perusahaan mengekspor produknya ke luar negeri. Pentawira pun kebanjiran
pekerjaan membantu membangun stan pameran produk ekspor. Setelah
selama 6 bulan terpuruk tidak ada pekerjaan, karyawan yang dipulangkan
kembali dipanggil Egi karena order pameran mulai berdatangan. Sejak itu
Pentawira makin berkibar. Pelanggan besar pun bisa digaet Pentawira.

Diakuinya,
kekuatan dirinya dalam membangun Pentawira selain memberikan pelayanan
terbaik adalah membangun jejaring bisnis yang bagus. "Saya percaya,
bisnis itu harus punya jejaring yang bagus. Kami harus tahu di mana
'ikan' itu ada," katanya. Egi sadar betul, word of mouth marketing
menjadi kunci bagi Pentawira bisa mendapat repeat order. "Saya
kan tidak mungkin lakukan promosi saat awal bisnis, jadi ya saya
mengandalkan promosi dari mulut ke mulut." Maka, ia tak segan nongkrongin
pekerjaan yang diberikan padanya. "Bahkan kalau perlu, berikan
yang unexpected kepada pelanggan." Contohnya, memberi hiasan
bunga gratis di stan yang dikerjakannya. Padahal dalam penawaran jasa,
tidak ada item tambahan itu.

Apa
yang dicari dari stand contractor, menurut Egi, bukan
perusahaan yang paling murah. Melainkan, memperoleh stand contractor
yang bisa mengimplementasi konsep yang diharapkan pelanggan.
"Perusahaan yang tujuannya branding dengan perusahaan yang
tujuannya menjual produk, beda nuansanya, jadi kami harus paham apa
tujuan mereka. Pentawira harus bisa memvisualkan apa yang diharapkan
klien," tutur pria yang punya cita-cita awal sebagai wartawan ini. Meski
bukan arsitek, Egi punya insting seni yang tajam. Maklum, sejak SMA ia
menyukai menggambar dan mendesain. Saat ini Egi memiliki 100 pekerja
tetap, dengan 13 arsitek dan desainer interior, plus pekerja harian 300
orang (tukang kayu, tukang cat, dan sebagainya).

Seiring
keberhasilan yang diraih, Pentawira pun kemudian tidak lagi hanya
mengerjakan pembangunan stan. Bisnisnya juga sudah merambah peluncuran
produk, road show dan berbagai kegiatan aktivasi merek. "Merek
itu kan banyak melakukan aktivasi, Dancow itu kami yang membantu desain
aktivasinya," katanya. Pentawira juga membantu dekorasi acara besar di
mal, seperti mendekor mal untuk perayaan Imlek, Natal dan lain
sebagainya. Jadi pekerjaan Pentawira saat ini, selain stand
contractor adalah stand design dan konstruksinya,
peluncuran produk, aktivasi merek, dekorasi mal (sifatnya festive),
dan displai point of sales.

Diakui
Egi, tantangan paling berat dalam bisnisnya adalah manajemen SDM.
Karena itu, ia sangat peduli pengembangan SDM, meskipun belum
menggunakan konsultan khusus. Egi yang kerap mengikuti seminar dan
lokakarya manajemen, selalu menerapkan dan menularkan ilmu yang dia
peroleh. "Aset kami adalah karyawan. Pekerjaan ini menuntut kami harus
tepat waktu, orang tidak peduli, harus jadi stan sesuai dengan waktu
yang diharapkan dan desain yang dipesan," ia menjelaskan. Makin besar
pameran yang dikerjakan, persiapan SDM-nya pun harus bagus. Apalagi
jika pameran itu dibuka oleh RI 1 dan RI 2. "Dibutuhkan tim yang paham time
schedule, paham fungsi masing-masing, solid, mau berkomunikasi dan
sebagainya," imbuhnya.

Kunci
sukses menjalankan bisnis stand contractor, menurutnya, harus
memiliki perencanaan yang baik. Toh, itu bukan hal mudah, sebab
kebanyakan orang kita masih kurang menghargai waktu. "Saya ingin
Pentawira dikenal bukan karena Egi-nya, pelan-pelan saya mundur, yang
muda-muda saya dorong. Ini saya lakukan sambil belajar," kata Egi, yang
ingin perusahaannya terus berdiri hingga waktu yang lebih panjang. "Saya
tidak ingin ini jadi perusahaan keluarga, saya berharap Pentawira
menjadi perusahaan profesional."

Tantangan
Pentawira, menurut Egi yang minimum melahap lima buku tiap bulan,
bagaimana agar bisa sukses melakukan regenerasi dan estafet
kepemimpinan. "Saya ini tidak punya latar belakang pendidikan manajemen,
saya dapatkan pengetahuan itu dari buku, seminar dan lokakarya," kata
Egi, yang setiap kali membaca buku yang bagus, dia akan membeli lagi
buku itu cukup banyak, lalu membagikannya ke karyawan. "Tiap dua minggu
mereka akan saya kumpulkan, lalu saya tanya apa isi buku yang saya bagi
itu," ujar Egi yang punya keinginan keliling Indonesia di masa
pensiunnya kelak.

Egi
mengaku perkembangan Pentawira dari waktu ke waktu menunjukkan
pertumbuhan yang bagus. Sayang, ia tidak mau menyebut omsetnya. "Harga
per stan beda-beda, ada yang per 1 m2 Rp 2,5 juta, ada pula yang satu
stan simpel desainnya hanya Rp 150 ribu per m2," katanya. Total setahun
berapa m2 dikerjakan Pentawira? Lagi-lagi Egi menjawab dengan senyum.

Dalam
pandangan Andre Vincent Wenas, pertumbuhan bisnis sebuah usaha itu
berhubungan erat dengan gaya manajemen seseorang. Artinya, komitmen
seseorang untuk mengurus bisnisnya. Kala seseorang habis-habisan dalam
mengelola bisnisnya, Andre yakin perusahaan itu 99,9% pasti jalan.
"Hanya tinggal sinergi bisnis itu dengan kesempatan pasar yang ada, nah
kesempatan itulah yang diambil Egi," kata pengamat kewirausahaan ini.

Ia
menilai Egi memiliki kekuatan dalam berusaha. "Apalagi dia menghadapi
kenyataan hidup bahwa dia harus bangkit dari kemiskinan, Egi saya nilai
pekerja keras yang pantang menyerah," katanya. Apalagi, menurut Andre,
Pentawira didirikan kala Indonesia sedang berkembang dan perusahaan
mulai sadar betapa pentingnya mengikuti pameran. Kebutuhan pasar ini
terbuka dan Egi menggunakan kesempatan ini dengan baik. Ia menyarankan,
agar Pentawira bisa terus berkembang sesuai dengan harapan Egi sendiri,
maka tidak boleh melupakan Customer Relationship Management.
"Saya menyarankan agar klien dikelola secera individual, jadi manajemen account-nya
harus kuat," tutur Andre yang kerap mentransformasi bisnis
perusahaan. "Pekerjaannya terkait dengan promosi getok tular, dari mulut
ke mulut, maka itu layanan harus kuat," ia menegaskan.

Dalam
pandangannya, jika Pentawira ingin menjadi yang terbesar di Asia
Tenggara, harus sudah mulai ancang-ancang mengepakkan sayap layanannya
ke negeri tetangga. Saran Andre, Pentawira harus mulai menggarap
membantu pembangunan stan di Singapura. "Singapura itu kerap mengadakan
pameran tingkat dunia, di sanalah Pentawira bisa dikenal," ujarnya.
Setelah itu, baru masuk ke negara lain seperti Malaysia dan negara Asia
lainnya. "Pengembangan bisnis itu kuncinya di people, jadi
kalau ingin keluar dan besar di Asia Tenggara, SDM-nya harus kuat. Saya
pikir itulah kekuatan Pentawira," katanya.

Andre
juga berharap Egi sudah harus mulai mengembangkan ke impresario atau arranger
pameran ke luar negeri. "Egi harus membangun organisasi yang kuat, agar
bisa membangun orang-orang sehingga bisa membangun bisnisnya di luar
nantinya. Jika ingin lebih besar, Pentawira harus mencoba juga ke
Jerman, banyak pameran besar dunia diadakan di sana," tutur Andre.

Reportase:
Herning Banirestu

Dikutip dari -SWA-
Roberto Rulli Andrea



.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar