Selasa, 06 Juli 2010

Sosok seorang taipan: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan dan Azrul Ananda: Keteladanan yang Mengalir Sampai Jauh

Thursday, June 10th, 2010

oleh : Henni T. Soelaeman

Dahlan Iskan membangun kerajaan bisnis Jawa Pos dengan kerja

keras luar biasa. Bahkan, beberapa kalangan menilai Grup Jawa Pos

menggurita karena sikap one man show Dahlan. Toh, kalangan

dekatnya justru mengaku banyak melihat keteladanan yang begitu nyata

diperlihatkan Dahlan dalam keseharian. Apa saja itu?

Dahlan

Iskan sudah lama tak berkantor di Graha Pena, Surabaya. Namun,

semangat, disiplin, kerja keras, kesederhanaan yang dimiliki Dahlan

tertancap kuat di seantero kantor Jawa Pos yang membentang dari Sabang

sampai Merauke. Jejak keberhasilan Dahlan bukan saja terukir dari

pencapaian Jawa Pos yang menjelma menjadi konglomerasi bisnis media

dengan sekitar 120 media cetak dan 20-an stasiun televisi lokal yang

terserak di berbagai wilayah Nusantara, 40 jaringan percetakan, pabrik

kertas, power plant, perminyakan, agrisbisnis, dan properti.

Dahlan juga mewariskan sebuah keteladanan. Teladan tentang

kesederhanaan, kerja keras, dan logika akal sehat sehingga melahirkan

budaya bersikap, budaya berpikir, budaya bekerja pada segenap awak Grup

Jawa Pos (GJP) sehingga grup usaha ini terbang sangat tinggi.

Di

bawah kendali peraih penghargaan Enterpreneur of the Year 2001

dari Ernst & Young yang dilahirkan di Magetan 17 Juli 1951 ini,

gurita bisnis GJP merentang seantero Nusantara. Aset GJP ditaksir

mencapai triliunan rupiah dengan omset sekitar Rp 2 triliun.

Keberhasilan

Dahlan dinilai banyak kalangan karena memiliki keberanian mengambil

risiko yang terukur dan kerja keras, serta kepiawaian membaca peluang.

Dan, Dahlan konsisten dengan sikapnya. Kini, sebagai komandan PLN, di

minggu pertama berkantor di Trunojoyo, ia sudah langsung memperlihatkan

taringnya dengan mengganti sumber energi primer dan menyediakan trafo

cadangan untuk keperluan distribusi listrik sebagai upaya menghemat

beban subsidi sebesar Rp 5 triliun tiap tahun. Ia juga memangkas jalur

birokrasi dan membenahi struktur organisasi. Dan, seperti juga di Jawa

Pos, ia selalu memberi teladan disiplin waktu dan kesederhanaan. Pukul

6.45 ia sudah tiba di kantor. Rapat direksi pun diubah menjadi pukul

7.00. Ia juga biasa makan di kantin karyawan dan seminggu sekali suntik

imunisasi hepatitis B di Poliklinik PLN.

Tak

ada yang berubah dari seorang Dahlan. Yang berubah hanya penampilannya.

Dulu, sebagai CEO GJP ia kerap terlihat berkemeja panjang gombrong

dengan sepatu kets membungkus kakinya. Kini, ia lebih terlihat perlente

dengan setelan jas. Bagaimana ia mewariskan wisdom strategi

bisnisnya sehingga GJP tetap melaju kencang meski ayah Azrul Ananda dan

Isna Fitriana ini tak lagi ikut cawe-cawe? Berikut petikan

wawancara SWA dengan Dahlan Iskan:

Bagaimana

perasaan Anda meninggalkan Jawa Pos?

Sekarang,

posisi saya Chairman Grup Jawa Pos. Benang merah yang harus

dipahami oleh seluruh pemimpin di Grup Jawa Pos adalah harus percaya

bahwa di setiap zaman itu punya generasinya tersendiri, dan setiap

generasi itu punya zamannya tersendiri. Nah, agar bisa lintas generasi

alias bisa diterima di setiap generasi, pahamilah hal tersebut lebih

dulu dengan sikap mau menerima, berpikiran terbuka, dan fleksibel. Kalau

tidak paham akan hal tersebut, jangan coba-coba bisa menjadi pemimpin.

Jadi, pahamilah setiap zaman itu pasti ada bedanya dan pelakunya. Jangan

pernah ngotot untuk bisa terus memimpin di zaman yang sudah

bukan zamannya lagi. Sesungguhnya, itu sama saja omong kosong. Saya saja

menyadari kalau sudah bukan zaman saya lagi memimpin dengan tipikal dan

cara saya di zaman sekarang. Sudah saatnya alih generasi. Saya legowo

akan hal ini.

Sekarang

Azrul ikut di Jawa Pos. Pendapat Anda?

Ya,

begitulah.

Azrul

jadi pemimpin Grup Jawa Pos?

Hmmm…

sebenarnya saya tidak pernah bercita-cita dan menginginkan Azrul

bergabung dan bahkan menjadi pemimpin di Grup Jawa Pos. Saya lebih

senang dia menjadi profesional atau menjadi sesuatu yang dia inginkan.

Saya tidak mau dia menderita seperti saya. Apa sih kayanya jadi

wartawan itu? Makanya, sejak lulus SMP, dia saya sekolahkan ke Amerika

Serikat supaya jauh dari "bau tinta". Di AS kan dia lebih punya banyak

pilihan. Saya menyadari sepenuhnya sejak dini kalau saya memang tidak

mau menyiapkan Azrul sebagai pemimpin di Grup Jawa Pos. Saya tidak mau

dikecam dan anak saya dikecam karena tindakan nepotisme itu.

Namun,

akhirnya Azrul masuk juga di Jawa Pos …

Sepulang

dia dari Kansas, AS, tahun 1999, sebagai master international

marketing, dia datang kepada saya meminta bekerja di koran Jawa

Pos. Saat itu saya masih menjadi Dirut Jawa Pos. Saya

jawab saja, gak mungkin kamu bisa kerja di sini. Azrul heran

dengan pernyataan saya itu, lalu dia membalas pernyataan saya kalau dia

tidak dibolehkan kerja di Jawa Pos, dia akan bekerja di Kompas.

Waduh bingung kan saya dan saya merasa dipojokkan dengan pernyataan

Azrul yang mau kerja di Kompas kalau tidak diizinkan bergabung

dengan Jawa Pos. Saya berada di posisi sulit. Paling sulit

dalam kehidupan saya. Saya diskusikan dengan kawan-kawan petinggi Jawa

Pos. Saya tahu hal ini bertentangan dengan hati nurani saya, dan

melanggar prinsip manajemen.

Bagi

saya, sangat sulit memutuskan menerima Azrul bekerja di Jawa Pos.

Saya tahu saya sudah berupaya menjauhkan Azrul sedemikian rupa dari bau

tinta Jawa Pos, tapi kalau ternyata dia masih mau dan memilih

untuk dekat dengan bau tintanya Jawa Pos, saya anggap itu sudah

takdir Azrul. Bahwa akhirnya dia ada di Jawa Pos, ya takdir

Azrul. Sampai-sampai saya membujuk dia untuk bergabung di JTV saja dulu,

biarpun bukan koran Jawa Pos, kan masih Grup Jawa Pos. Tapi

dia tetap tidak mau dan tetap ingin masuk di koran Jawa Pos.

Akhirnya, ya iyalah, daripada di Kompas karena gak

enak kan, masa kerja di kompetitor. Apalagi Azrul sangat optimistis dan

percaya diri kalau dia bisa diterima di Kompas dengan background

pendidikan formal dan pengalaman jurnalistiknya di koran orang tua

angkatnya waktu tinggal di Kansas. Dia pun sering menjadi koresponden

luar negeri Jawa Pos. Saat itu, memang dia diizinkan menjadi

koresponden Jawa Pos karena tidak ada ikatan karyawan.

Bagaimana

prosesnya?

Azrul

memulai sebagai wartawan. Ketika diterima bekerja di Jawa Pos,

dia juga harus menjadi reporter lebih dulu biarpun dia pernah menjadi

koresponden Jawa Pos selama tiga tahun. Selama setahun, dia

menjadi reporter dan ditempatkan di Surabaya. Kemudian menjadi redaktur

untuk desk olah raga setahun, redaktur desk kota

setahun, lalu redaktur anak muda satu tahun, terus redaktur halaman 1

satu tahun. Setelah proses itu baru deh dia menjadi pemred

selama dua tahun. Jadi, kata siapa dia dengan mudahnya begitu saja

diterima jadi wartawan Jawa Pos. Apalagi dia juga mendapat

penilaian yang sama seperti wartawan Jawa Pos lainnya karena

ada sistem penilaian yang harus dipatuhi.

Bagaimana

meminimalkan kesan nepotisme?

Apa

yang saya lakukan untuk meminimalkan kesan nepotisme antara saya dengan

anak saya? Pertama, ya Azrul harus mau memulainya lagi dari posisi

terbawah meski dia punya pengalaman jurnalistik di tempat lain. Kedua,

dia juga punya nilai lebih baik dari kawan-kawan selevelnya bahkan dari

kawan-kawan di Jawa Pos. Dan, dia dinilai oleh sekelilingnya.

Kalau rata-rata orang terbaik saya di Jawa Pos itu nilainya

7,5, nilai Azrul harus lebih dari 7,5 itu. Misalnya hasil penilaian

Azrul itu juga 7,5 atau 8, maka saya tidak akan memilih Azrul. Saya

lebih baik memilih karyawan Jawa Pos yang bukan anak saya yang

punya nilai sama dengan Azrul untuk menjadi pemimpin. Artinya, Azrul

harus bisa menunjukkan kemampuan yang lebih dari rata-rata nilai

karyawan-karyawan terbaik saya.

Bagaimana

proses penilaiannya?

Untuk

menilai prestasi seseorang di koran kan mudah. Ketika dia jadi

reporter, berita-berita hebat seperti apa yang sudah dia berhasil cover

dan tembus. Kemudian, ketika dia menjadi redaktur, dilihat

bagaimana isi halaman desk yang menjadi tanggung jawabnya.

Ketika dia jadi redaktur pun, akan terlihat bagaimana relationship-nya

dengan wartawan lain di Jawa Pos dan dengan wartawan dari

media-media lain. Berita-beritanya berbobot dan netral atau tidak.

Apalagi ketika dia menjadi pemred, termasuk terobosan-terobosan yang

bisa dia lakukan yang akhirnya berujung pada peningkatan penjualan atau

tiras dan pendapatan di samping konten koran itu sendiri.

Akhirnya

Anda memutuskan Azrul menjadi pengganti Anda?

Saya

memutuskannya menjadi pemred ketika Azrul membuat terobosan-terobosan

seperti dia melahirkan konsep DetEksi yang berpengaruh pada peningkatan

tiras, citra, dan penjualan Jawa Pos. Dia punya ide kreatif dan

berhasil diwujudkannya. Ketika dia menjadi redaktur kota, dia berhasil

mengubah tampilan halaman desk kota menjadi sangat metropolis

sehingga Jawa Pos semakin dikenal bukan hanya sebagai koran

lokal dari Surabaya. Ketika dia menjadi redaktur olah raga, dia

melahirkan konsep sportivo. Ketika dia menjadi redaktur halaman 1 dan

saat itu ada bom Bali, dia berhasil membuat liputan yang deep mengulas

tentang bom Bali. Dan, pastinya, keberhasilan Azrul itu bukan hanya

prestasi Azrul karena dia punya tim biarpun ide itu berasal dari dia.

Ketika Azrul ditetapkan menjadi Pemimpin Umum setara Dirut Jawa Pos,

Azrul dua poin lebih unggul dari kandidat yang lain. Jadi, bukan

semata-mata dia anak saya. Toh, Azrul pun saat menjadi dirut pernah saya

pecat.

Mengapa?

Sebetulnya,

pemecatan Azrul itu tidak terkait dengan pekerjaan dan posisi Azrul di Jawa

Pos. Ada urusan pribadi, yang tidak ada hubungannya dengan Grup

Jawa Pos sama sekali, Azrul saya berhentikan sementara. Kalau dia orang

lain, mungkin tidak akan diberhentikan karena masalah itu baru hanya

rumor belaka. Nah, karena Azrul anak saya, saya putuskan untuk

diberhentikan sampai penyelidikan atas kebenaran rumor tersebut.

Ternyata setelah penyelidikan yang berlangsung 6 bulan, itu hanya rumor,

dan kawan-kawan di Jawa Pos meminta Azrul kembali. Saya

perhatikan selama 6 bulan nganggur dari Jawa Pos itu,

Azrul tidak bersikap negatif. Dia tetap meliput dan menulis serta

mengirimkan tulisannya dari luar kantor Jawa Pos. Dia tidak

berkantor selama penyelidikan berlangsung. Kan bisa saja dia ngambek,

namanya anak muda, wong gak salah kok, cuma rumor, dia

diberhentikan. Dia bisa saja menuntut hal tersebut pada saya. Tapi,

sepertinya dia gak beban dalam menghadapi cobaan itu.

Hikmah

saya berobat, saya bisa lebih rileks dan perusahaan baik-baik saja.

Sakitnya saya juga yang membuat saya berpikir untuk melepaskan semua

jabatan saya.

Ketika

Azrul menjadi Kepala Pemasaran dan Produksi, sistem pemasaran dan

produksi koran jadi lebih sistematis. Dengan kata lain, Azrul jauh lebih

sistematis, efisien dan efekif. Dan, saya rasa memang sudah saatnya

Grup Jawa Pos itu berubah, dari yang awalnya di masa saya yang bisa

disebut kelompok perintis itu banyak menggunakan pendekatan personal.

Nah, di zaman Azrul dan anak-anak yang lebih muda lagi, Grup Jawa Pos

sudah mulai dikelola dengan sistem yang rapi, tertib, tertulis, dan

akuntabel. Ya kalau kata orang pintar, lebih GCG-lah (Good Corporate

Governance – Red.) dan lebih terstruktur. Tapi, sifat

egaliternya dan sederhana dalam berpakaian yang kasual itu juga nurun

dari saya, padahal saya tidak pernah mengajarinya begitu.

Apa

harapan Anda pada kepemimpinan Azrul?

Kelebihan

Grup Jawa Pos di bawah kepemimpinan yang sekarang, kalau saya

perhatikan, lebih sistematis dan metodologis. Azrul berada di dalam era

kepemimpinan yang sekarang. Nah, yang saya harapkan dari Azrul itu lebih

memahami perhitungan akuntasi keuangan perusahaan dengan cara belajar

lagi.

Bagaimana

dengan putri Anda, mengapa tidak bergabung?

Anak

saya yang lain yang bernama Isna itu memang benar-benar tidak bergabung

dalam bisnis keluarga. Isna punya perusahaan sendiri, butik atau toko

pakaian. Kalau tidak salah ada tiga butik. Dia juga punya bisnis

penyewaan peralatan musik dan sound system. Isna sih

boro-boro punya passion bergabung dengan Grup Jawa

Pos.

Bagaimana

Anda mendidik putra-putri Anda, dalam kehidupan ataupun bisnis?

Saya

tidak pernah menasihati anak-anak secara langsung. Tidak pernah

mengarahkan mereka harus seperti apa. Tidak. Saya biarkan mereka

berpikir dan berbuat sesuai dengan keinginan mereka. Sepanjang hidup

saya sampai sekarang, saya hanya bicara dua kali tentang wisdom

pada anak saya. Itu pun saya sampaikan dengan bercerita.

Pada

kesempatan pertama, saya ceritakan pada mereka tentang Surabaya

Post. Ini koran sangat besar pada masa itu. Bahkan Jawa Pos tidak

ada apa-apanya. Saya bilang kerajaan ini runtuh karena tidak ada yang

mau melanjutkan. Anaknya yang pertama, Iwan Jaya Aziz, terlalu pandai.

Tiap kali disuruh pulang selalu menolak, karena di kampusnya pangkat dia

selalu naik. Dia juga menjadi tokoh ekonomi yang besar. Anaknya yang

kedua di Jakarta, menjadi psikolog. Sementara anaknya yang ketiga tukang

menghabiskan uang. Kerajaan Surabaya Post runtuh karena tidak

ada yang melanjutkan.

Saya

menyampaikan ini bukan bermaksud memengaruhi mereka. Biar saja mereka

yang memutuskan. Tetapi saya mau menunjukkan kalau ada kasus seperti

ini.

Lalu,

saat anak saya lulus dari SMA di Kansas, AS. Waktu itu saya undang

mereka berdua untuk makan malam sangat spesial. Saya katakan kalau saya

mau berterima kasih kepada mereka. Saya katakan kepada mereka, saya

undang Anda makan karena ingin berterima kasih. Karena, selama ini Anda

tidak merepotkan saya. Seandainya Anda terlibat narkoba, tentu saya

harus berurusan dengan polisi. Saya juga tidak bisa bekerja. Kalau Anda

terjerat narkoba mungkin saya juga akan "habis". Kedua, Anda tidak

menghamili anak orang. Tidak menyakiti cewek lain. Saya katakan seperti

itu kepada anak-anak saya. Saya ingin dengan bercerita, tidak secara

langsung mengarahkan anak-anak. Mereka juga akan merasa kalau apa yang

mereka lakukan selalu saya perhatikan.

Bagaimana

Anda melihat kehidupan?

Saya

melihat orang tua saya bekerja terlalu keras. Jadi mungkin secara tidak

sadar saya melihat orang hidup ya seperti itu. Misalnya, bapak saya

habis sembahyang Subuh terus ke pekarangan. Jam 7 dia berangkat menjadi

tukang kayu. Lalu pulang sembahyang Dzuhur, ke pekarangan lagi.

Selanjutnya kembali nukang kayu. Dan setelah sembahyang Isya,

dia ke pekarangan orang lain untuk menjaga air dan sebagainya. Nah,

secara tidak sadar saya menilai bapak bekerja terlalu keras. Dan ini

menginspirasi saya dalam menjalani kehidupan. Saya percaya pada hidup.

Itu saya istilahkan sunatullah, bahwa orang mau dapat itu harus

kerja. Kalau mau sukses harus kerja keras.

Seberapa

sering Anda gagal?

Pertanyaan

menarik. Karena saya lebih senang bicara soal kegagalan. Sebab orang

kalau sudah sukses, ngomong apa saja enak. Sebenarnya ini tidak

fair. Saya sering diminta mengisi seminar untuk berbicara

sukses saya. Saya merasa tidak begitu-begitu juga. Karena, saya

mengalami kegagalan juga banyak banget. Tapi saya tidak pernah diundang

seminar dengan topik kisah-kisah kegagalan Dahlan Iskan.

Padahal,

kegagalan saya banyak sekali. Misalnya, provider Internet.

Saat belum banyak orang masuk Internet, saya masuk duluan. Karena

terlalu dini kami masuk ke bisnis itu, ya kami gagal. Koran ada juga

beberapa yang gagal. Real estate, saya gagal. Kemudian masuk ke

hotel, saya gagal. Properti saya gagal. Saya kira kalau Rp 5 miliar

saja kegagalan saya itu ada. Tetapi karena banyak yang berhasil, orang

lantas menilai Dahlan Iskan itu orang yang bertangan dingin. Apa saja

yang dia pegang pasti jadi. Itu sama sekali tidak betul.

Tip

supaya sukses dalam berbisnis?

Ketika

memulai bisnis, ketika mau memulai harus tahu apa escape yang

harus dilakukan kalau menghadapi masalah yang berbahaya. Misalnya, rugi

Rp 10 miliar masih lebih baik daripada rugi Rp 15 miliar. Rugi Rp 15

miliar harus lebih baik ketimbang rugi Rp 20 miliar. Itu harus menjadi

pegangan. Nah, ketika sudah rugi-rugi-rugi dan sesudah dianalisis

investasinya ini akan rugi terus, ya berhenti.

Banyak

orang yang tidak berani berhenti. Wah, kita kan sudah rugi Rp 10

miliar. Kenapa harus berhenti? Ah, tidak boleh seperti itu. Kalau memang

diperkirakan tidak tertangani harus berhenti. Jangan bilang, sayang

kan sudah habis Rp 10 miliar. Harus berani bilang, mumpung masih Rp 10

miliar, harus berhenti.

Kalau

mau sukses, harus jalani apa yang ada. Mulai dari kecil, sekarang,

jangan nunggu nanti-nanti. Fokus. Jangan berpikir ingin cepat

besar. Yang penting tekuni dahulu sampai batas waktu tertentu, baru

mengembangkan diri.

Nilai-nilai

bisnis apa yang Anda pegang?

Banyak

orang salah sangka memandang Dahlan Iskan. Orang berpikir kalau saya

punya grand plan. Menurut saya tidak. Saya ini benar-benar

seperti air yang mengalir, tetapi kalau bisa yang deras. Jangan air yang

mengalir tapi biasa saja. Karena apa? Saya pikir saya ini tidak punya

cita-cita. Hahahaha…. Tapi setelah saya rasa-rasakan, beruntung juga

tidak punya cita-cita. Hehe… Kenapa? Karena tidak terlalu mempertaruhkan

segala sesuatu untuk mewujudkan cita-cita itu.

Orang

yang tidak punya cita-cita lebih fleksibel. Bayangkan misalnya saya

harus sampai di sana, dan itu harus tercapai. Lalu di depan sana

tiba-tiba ada dinding. Kalau orang yang punya cita-cita keras, dia akan

tabrak dinding itu. Iya kalau dindingnya kalah. Lha kalau dindingnya

terlalu kuat? Mati dia.

Tapi

kalau orang yang gak punya cita-cita, bilang wah di depan ada

dinding. Ya belok aja. Misalnya di sana ada batu, ya belok aja.

Jadi saya merasa tidak punya cita-cita itu ya bagus juga. Hahahaa…. Ini

saya serius. Tidak mengada-ada.

Cita-cita

tertinggi Anda, apa?

Hahahaha…

Cita-cita tertinggi saya cuma satu: pengen punya sepeda! Itu

saja. Bahwa sekarang punya helikopter, punya Jaguar, punya Mercy itu

sama sekali di luar cita-cita saya. Cita-cita saya cuma punya sepeda.

Kenapa? Karena saya anaknya buruh tani. Saya tidak boleh latihan naik

sepeda. Berarti saya harus meminjam sepeda teman. Bapak saya bilang,

"Kalau nanti sepedanya rusak, bagaimana cara menggantinya?" Jadi sampai

saya tamat SMA, saya belum punya sepeda. Saya sekolah jalan kaki

pergi-pulang 12 km. Teman saya yang punya sepeda tidak pernah mau

memboncengkan saya. Katanya, orang yang tidak bisa naik sepeda lebih

berat kalau diboncengkan.

Keinginan

Anda yang belum tercapai?

Saya

sudah tidak punya keinginan apa-apa lagi. Karena sejak saya sakit,

kemudian perusahaan ditangani oleh anak saya. Dan selama saya tinggal

tetap berkembang, berarti ya sudah boleh ditinggal. Sebelum saya

dioperasi, saya kan membeli dua helikopter. Karena perasaan saya,

setelah sembuh pasti tidak bisa ke mana-mana. Jadi bisa naik helikopter.

Tapi ternyata setelah operasi saya seperti begini. Ya akhirnya

helikopter itu nganggur. Makanya ketika saya dipanggil

Presiden untuk menjadi Dirut PLN, ya sudahlah, ada kesibukan baru.

Nilai

dalam kehidupan yang Anda pegang?

Saya

percaya takdir. Tetapi takdir yang diusahakan. Jadi saya tidak percaya

takdir begitu saja. Misalnya begini. Ada seorang wartawan foto Jawa

Pos yang jadi juara foto internasional. Foto itu tentang

tergulingnya truk suporter sepak bola. Orang-orang bilang, "Itu

kebetulan karena si fotografer ada di situ, terus motret." Nah

saya tidak setuju dengan omongan seperti itu. Memang kebetulan dia ada

di situ. Tapi seandainya hari itu si wartawan ada di kantor, atau males-malesan

di rumah, apa ya dia dapat momen itu? Dia dapat foto terbaik dunia itu

karena dia rajin.

Siapa

tokoh idola Anda?

Saya

senang Eka Tjipta Widjaja. Dia pernah bangkrut tiga kali. Bangkrut

habis-habisan dan selalu bisa bangkit dengan hebat. Sebelum saya sakit,

saya nanya ke beliau, "Pak Eka, Anda kebayang nggak akan

bangkrut?" Lalu dia bilang, "Dik Dahlan, saya ini sudah dalam posisi

tidak mungkin bangkrut. Saya sudah terlalu besar untuk bangkrut."

Saya

juga senang Ciputra karena menjalankan prinsip bisnis yang fair.

Moralitas bisnis beliau juga sangat tinggi. Saya salut sekali dengan

Pak Ciputra. Lalu, kerendahan Anthony Salim juga membuat saya kagum.

Ketiga tokoh ini mungkin yang banyak menginspirasi perjalanan hidup dan

bisnis saya.

Dikutip dari -SWA-

Roberto Rulli Andrea

Tidak ada komentar:

Posting Komentar