Thursday, June 10th, 2010
oleh : Henni T. Soelaeman
Dahlan Iskan membangun kerajaan bisnis Jawa Pos dengan kerja
keras luar biasa. Bahkan, beberapa kalangan menilai Grup Jawa Pos
menggurita karena sikap one man show Dahlan. Toh, kalangan
dekatnya justru mengaku banyak melihat keteladanan yang begitu nyata
diperlihatkan Dahlan dalam keseharian. Apa saja itu?
Dahlan
Iskan sudah lama tak berkantor di Graha Pena, Surabaya. Namun,
semangat, disiplin, kerja keras, kesederhanaan yang dimiliki Dahlan
tertancap kuat di seantero kantor Jawa Pos yang membentang dari Sabang
sampai Merauke. Jejak keberhasilan Dahlan bukan saja terukir dari
pencapaian Jawa Pos yang menjelma menjadi konglomerasi bisnis media
dengan sekitar 120 media cetak dan 20-an stasiun televisi lokal yang
terserak di berbagai wilayah Nusantara, 40 jaringan percetakan, pabrik
kertas, power plant, perminyakan, agrisbisnis, dan properti.
Dahlan juga mewariskan sebuah keteladanan. Teladan tentang
kesederhanaan, kerja keras, dan logika akal sehat sehingga melahirkan
budaya bersikap, budaya berpikir, budaya bekerja pada segenap awak Grup
Jawa Pos (GJP) sehingga grup usaha ini terbang sangat tinggi.
Di
bawah kendali peraih penghargaan Enterpreneur of the Year 2001
dari Ernst & Young yang dilahirkan di Magetan 17 Juli 1951 ini,
gurita bisnis GJP merentang seantero Nusantara. Aset GJP ditaksir
mencapai triliunan rupiah dengan omset sekitar Rp 2 triliun.
Keberhasilan
Dahlan dinilai banyak kalangan karena memiliki keberanian mengambil
risiko yang terukur dan kerja keras, serta kepiawaian membaca peluang.
Dan, Dahlan konsisten dengan sikapnya. Kini, sebagai komandan PLN, di
minggu pertama berkantor di Trunojoyo, ia sudah langsung memperlihatkan
taringnya dengan mengganti sumber energi primer dan menyediakan trafo
cadangan untuk keperluan distribusi listrik sebagai upaya menghemat
beban subsidi sebesar Rp 5 triliun tiap tahun. Ia juga memangkas jalur
birokrasi dan membenahi struktur organisasi. Dan, seperti juga di Jawa
Pos, ia selalu memberi teladan disiplin waktu dan kesederhanaan. Pukul
6.45 ia sudah tiba di kantor. Rapat direksi pun diubah menjadi pukul
7.00. Ia juga biasa makan di kantin karyawan dan seminggu sekali suntik
imunisasi hepatitis B di Poliklinik PLN.
Tak
ada yang berubah dari seorang Dahlan. Yang berubah hanya penampilannya.
Dulu, sebagai CEO GJP ia kerap terlihat berkemeja panjang gombrong
dengan sepatu kets membungkus kakinya. Kini, ia lebih terlihat perlente
dengan setelan jas. Bagaimana ia mewariskan wisdom strategi
bisnisnya sehingga GJP tetap melaju kencang meski ayah Azrul Ananda dan
Isna Fitriana ini tak lagi ikut cawe-cawe? Berikut petikan
wawancara SWA dengan Dahlan Iskan:
Bagaimana
perasaan Anda meninggalkan Jawa Pos?
Sekarang,
posisi saya Chairman Grup Jawa Pos. Benang merah yang harus
dipahami oleh seluruh pemimpin di Grup Jawa Pos adalah harus percaya
bahwa di setiap zaman itu punya generasinya tersendiri, dan setiap
generasi itu punya zamannya tersendiri. Nah, agar bisa lintas generasi
alias bisa diterima di setiap generasi, pahamilah hal tersebut lebih
dulu dengan sikap mau menerima, berpikiran terbuka, dan fleksibel. Kalau
tidak paham akan hal tersebut, jangan coba-coba bisa menjadi pemimpin.
Jadi, pahamilah setiap zaman itu pasti ada bedanya dan pelakunya. Jangan
pernah ngotot untuk bisa terus memimpin di zaman yang sudah
bukan zamannya lagi. Sesungguhnya, itu sama saja omong kosong. Saya saja
menyadari kalau sudah bukan zaman saya lagi memimpin dengan tipikal dan
cara saya di zaman sekarang. Sudah saatnya alih generasi. Saya legowo
akan hal ini.
Sekarang
Azrul ikut di Jawa Pos. Pendapat Anda?
Ya,
begitulah.
Azrul
jadi pemimpin Grup Jawa Pos?
Hmmm…
sebenarnya saya tidak pernah bercita-cita dan menginginkan Azrul
bergabung dan bahkan menjadi pemimpin di Grup Jawa Pos. Saya lebih
senang dia menjadi profesional atau menjadi sesuatu yang dia inginkan.
Saya tidak mau dia menderita seperti saya. Apa sih kayanya jadi
wartawan itu? Makanya, sejak lulus SMP, dia saya sekolahkan ke Amerika
Serikat supaya jauh dari "bau tinta". Di AS kan dia lebih punya banyak
pilihan. Saya menyadari sepenuhnya sejak dini kalau saya memang tidak
mau menyiapkan Azrul sebagai pemimpin di Grup Jawa Pos. Saya tidak mau
dikecam dan anak saya dikecam karena tindakan nepotisme itu.
Namun,
akhirnya Azrul masuk juga di Jawa Pos …
Sepulang
dia dari Kansas, AS, tahun 1999, sebagai master international
marketing, dia datang kepada saya meminta bekerja di koran Jawa
Pos. Saat itu saya masih menjadi Dirut Jawa Pos. Saya
jawab saja, gak mungkin kamu bisa kerja di sini. Azrul heran
dengan pernyataan saya itu, lalu dia membalas pernyataan saya kalau dia
tidak dibolehkan kerja di Jawa Pos, dia akan bekerja di Kompas.
Waduh bingung kan saya dan saya merasa dipojokkan dengan pernyataan
Azrul yang mau kerja di Kompas kalau tidak diizinkan bergabung
dengan Jawa Pos. Saya berada di posisi sulit. Paling sulit
dalam kehidupan saya. Saya diskusikan dengan kawan-kawan petinggi Jawa
Pos. Saya tahu hal ini bertentangan dengan hati nurani saya, dan
melanggar prinsip manajemen.
Bagi
saya, sangat sulit memutuskan menerima Azrul bekerja di Jawa Pos.
Saya tahu saya sudah berupaya menjauhkan Azrul sedemikian rupa dari bau
tinta Jawa Pos, tapi kalau ternyata dia masih mau dan memilih
untuk dekat dengan bau tintanya Jawa Pos, saya anggap itu sudah
takdir Azrul. Bahwa akhirnya dia ada di Jawa Pos, ya takdir
Azrul. Sampai-sampai saya membujuk dia untuk bergabung di JTV saja dulu,
biarpun bukan koran Jawa Pos, kan masih Grup Jawa Pos. Tapi
dia tetap tidak mau dan tetap ingin masuk di koran Jawa Pos.
Akhirnya, ya iyalah, daripada di Kompas karena gak
enak kan, masa kerja di kompetitor. Apalagi Azrul sangat optimistis dan
percaya diri kalau dia bisa diterima di Kompas dengan background
pendidikan formal dan pengalaman jurnalistiknya di koran orang tua
angkatnya waktu tinggal di Kansas. Dia pun sering menjadi koresponden
luar negeri Jawa Pos. Saat itu, memang dia diizinkan menjadi
koresponden Jawa Pos karena tidak ada ikatan karyawan.
Bagaimana
prosesnya?
Azrul
memulai sebagai wartawan. Ketika diterima bekerja di Jawa Pos,
dia juga harus menjadi reporter lebih dulu biarpun dia pernah menjadi
koresponden Jawa Pos selama tiga tahun. Selama setahun, dia
menjadi reporter dan ditempatkan di Surabaya. Kemudian menjadi redaktur
untuk desk olah raga setahun, redaktur desk kota
setahun, lalu redaktur anak muda satu tahun, terus redaktur halaman 1
satu tahun. Setelah proses itu baru deh dia menjadi pemred
selama dua tahun. Jadi, kata siapa dia dengan mudahnya begitu saja
diterima jadi wartawan Jawa Pos. Apalagi dia juga mendapat
penilaian yang sama seperti wartawan Jawa Pos lainnya karena
ada sistem penilaian yang harus dipatuhi.
Bagaimana
meminimalkan kesan nepotisme?
Apa
yang saya lakukan untuk meminimalkan kesan nepotisme antara saya dengan
anak saya? Pertama, ya Azrul harus mau memulainya lagi dari posisi
terbawah meski dia punya pengalaman jurnalistik di tempat lain. Kedua,
dia juga punya nilai lebih baik dari kawan-kawan selevelnya bahkan dari
kawan-kawan di Jawa Pos. Dan, dia dinilai oleh sekelilingnya.
Kalau rata-rata orang terbaik saya di Jawa Pos itu nilainya
7,5, nilai Azrul harus lebih dari 7,5 itu. Misalnya hasil penilaian
Azrul itu juga 7,5 atau 8, maka saya tidak akan memilih Azrul. Saya
lebih baik memilih karyawan Jawa Pos yang bukan anak saya yang
punya nilai sama dengan Azrul untuk menjadi pemimpin. Artinya, Azrul
harus bisa menunjukkan kemampuan yang lebih dari rata-rata nilai
karyawan-karyawan terbaik saya.
Bagaimana
proses penilaiannya?
Untuk
menilai prestasi seseorang di koran kan mudah. Ketika dia jadi
reporter, berita-berita hebat seperti apa yang sudah dia berhasil cover
dan tembus. Kemudian, ketika dia menjadi redaktur, dilihat
bagaimana isi halaman desk yang menjadi tanggung jawabnya.
Ketika dia jadi redaktur pun, akan terlihat bagaimana relationship-nya
dengan wartawan lain di Jawa Pos dan dengan wartawan dari
media-media lain. Berita-beritanya berbobot dan netral atau tidak.
Apalagi ketika dia menjadi pemred, termasuk terobosan-terobosan yang
bisa dia lakukan yang akhirnya berujung pada peningkatan penjualan atau
tiras dan pendapatan di samping konten koran itu sendiri.
Akhirnya
Anda memutuskan Azrul menjadi pengganti Anda?
Saya
memutuskannya menjadi pemred ketika Azrul membuat terobosan-terobosan
seperti dia melahirkan konsep DetEksi yang berpengaruh pada peningkatan
tiras, citra, dan penjualan Jawa Pos. Dia punya ide kreatif dan
berhasil diwujudkannya. Ketika dia menjadi redaktur kota, dia berhasil
mengubah tampilan halaman desk kota menjadi sangat metropolis
sehingga Jawa Pos semakin dikenal bukan hanya sebagai koran
lokal dari Surabaya. Ketika dia menjadi redaktur olah raga, dia
melahirkan konsep sportivo. Ketika dia menjadi redaktur halaman 1 dan
saat itu ada bom Bali, dia berhasil membuat liputan yang deep mengulas
tentang bom Bali. Dan, pastinya, keberhasilan Azrul itu bukan hanya
prestasi Azrul karena dia punya tim biarpun ide itu berasal dari dia.
Ketika Azrul ditetapkan menjadi Pemimpin Umum setara Dirut Jawa Pos,
Azrul dua poin lebih unggul dari kandidat yang lain. Jadi, bukan
semata-mata dia anak saya. Toh, Azrul pun saat menjadi dirut pernah saya
pecat.
Mengapa?
Sebetulnya,
pemecatan Azrul itu tidak terkait dengan pekerjaan dan posisi Azrul di Jawa
Pos. Ada urusan pribadi, yang tidak ada hubungannya dengan Grup
Jawa Pos sama sekali, Azrul saya berhentikan sementara. Kalau dia orang
lain, mungkin tidak akan diberhentikan karena masalah itu baru hanya
rumor belaka. Nah, karena Azrul anak saya, saya putuskan untuk
diberhentikan sampai penyelidikan atas kebenaran rumor tersebut.
Ternyata setelah penyelidikan yang berlangsung 6 bulan, itu hanya rumor,
dan kawan-kawan di Jawa Pos meminta Azrul kembali. Saya
perhatikan selama 6 bulan nganggur dari Jawa Pos itu,
Azrul tidak bersikap negatif. Dia tetap meliput dan menulis serta
mengirimkan tulisannya dari luar kantor Jawa Pos. Dia tidak
berkantor selama penyelidikan berlangsung. Kan bisa saja dia ngambek,
namanya anak muda, wong gak salah kok, cuma rumor, dia
diberhentikan. Dia bisa saja menuntut hal tersebut pada saya. Tapi,
sepertinya dia gak beban dalam menghadapi cobaan itu.
Hikmah
saya berobat, saya bisa lebih rileks dan perusahaan baik-baik saja.
Sakitnya saya juga yang membuat saya berpikir untuk melepaskan semua
jabatan saya.
Ketika
Azrul menjadi Kepala Pemasaran dan Produksi, sistem pemasaran dan
produksi koran jadi lebih sistematis. Dengan kata lain, Azrul jauh lebih
sistematis, efisien dan efekif. Dan, saya rasa memang sudah saatnya
Grup Jawa Pos itu berubah, dari yang awalnya di masa saya yang bisa
disebut kelompok perintis itu banyak menggunakan pendekatan personal.
Nah, di zaman Azrul dan anak-anak yang lebih muda lagi, Grup Jawa Pos
sudah mulai dikelola dengan sistem yang rapi, tertib, tertulis, dan
akuntabel. Ya kalau kata orang pintar, lebih GCG-lah (Good Corporate
Governance – Red.) dan lebih terstruktur. Tapi, sifat
egaliternya dan sederhana dalam berpakaian yang kasual itu juga nurun
dari saya, padahal saya tidak pernah mengajarinya begitu.
Apa
harapan Anda pada kepemimpinan Azrul?
Kelebihan
Grup Jawa Pos di bawah kepemimpinan yang sekarang, kalau saya
perhatikan, lebih sistematis dan metodologis. Azrul berada di dalam era
kepemimpinan yang sekarang. Nah, yang saya harapkan dari Azrul itu lebih
memahami perhitungan akuntasi keuangan perusahaan dengan cara belajar
lagi.
Bagaimana
dengan putri Anda, mengapa tidak bergabung?
Anak
saya yang lain yang bernama Isna itu memang benar-benar tidak bergabung
dalam bisnis keluarga. Isna punya perusahaan sendiri, butik atau toko
pakaian. Kalau tidak salah ada tiga butik. Dia juga punya bisnis
penyewaan peralatan musik dan sound system. Isna sih
boro-boro punya passion bergabung dengan Grup Jawa
Pos.
Bagaimana
Anda mendidik putra-putri Anda, dalam kehidupan ataupun bisnis?
Saya
tidak pernah menasihati anak-anak secara langsung. Tidak pernah
mengarahkan mereka harus seperti apa. Tidak. Saya biarkan mereka
berpikir dan berbuat sesuai dengan keinginan mereka. Sepanjang hidup
saya sampai sekarang, saya hanya bicara dua kali tentang wisdom
pada anak saya. Itu pun saya sampaikan dengan bercerita.
Pada
kesempatan pertama, saya ceritakan pada mereka tentang Surabaya
Post. Ini koran sangat besar pada masa itu. Bahkan Jawa Pos tidak
ada apa-apanya. Saya bilang kerajaan ini runtuh karena tidak ada yang
mau melanjutkan. Anaknya yang pertama, Iwan Jaya Aziz, terlalu pandai.
Tiap kali disuruh pulang selalu menolak, karena di kampusnya pangkat dia
selalu naik. Dia juga menjadi tokoh ekonomi yang besar. Anaknya yang
kedua di Jakarta, menjadi psikolog. Sementara anaknya yang ketiga tukang
menghabiskan uang. Kerajaan Surabaya Post runtuh karena tidak
ada yang melanjutkan.
Saya
menyampaikan ini bukan bermaksud memengaruhi mereka. Biar saja mereka
yang memutuskan. Tetapi saya mau menunjukkan kalau ada kasus seperti
ini.
Lalu,
saat anak saya lulus dari SMA di Kansas, AS. Waktu itu saya undang
mereka berdua untuk makan malam sangat spesial. Saya katakan kalau saya
mau berterima kasih kepada mereka. Saya katakan kepada mereka, saya
undang Anda makan karena ingin berterima kasih. Karena, selama ini Anda
tidak merepotkan saya. Seandainya Anda terlibat narkoba, tentu saya
harus berurusan dengan polisi. Saya juga tidak bisa bekerja. Kalau Anda
terjerat narkoba mungkin saya juga akan "habis". Kedua, Anda tidak
menghamili anak orang. Tidak menyakiti cewek lain. Saya katakan seperti
itu kepada anak-anak saya. Saya ingin dengan bercerita, tidak secara
langsung mengarahkan anak-anak. Mereka juga akan merasa kalau apa yang
mereka lakukan selalu saya perhatikan.
Bagaimana
Anda melihat kehidupan?
Saya
melihat orang tua saya bekerja terlalu keras. Jadi mungkin secara tidak
sadar saya melihat orang hidup ya seperti itu. Misalnya, bapak saya
habis sembahyang Subuh terus ke pekarangan. Jam 7 dia berangkat menjadi
tukang kayu. Lalu pulang sembahyang Dzuhur, ke pekarangan lagi.
Selanjutnya kembali nukang kayu. Dan setelah sembahyang Isya,
dia ke pekarangan orang lain untuk menjaga air dan sebagainya. Nah,
secara tidak sadar saya menilai bapak bekerja terlalu keras. Dan ini
menginspirasi saya dalam menjalani kehidupan. Saya percaya pada hidup.
Itu saya istilahkan sunatullah, bahwa orang mau dapat itu harus
kerja. Kalau mau sukses harus kerja keras.
Seberapa
sering Anda gagal?
Pertanyaan
menarik. Karena saya lebih senang bicara soal kegagalan. Sebab orang
kalau sudah sukses, ngomong apa saja enak. Sebenarnya ini tidak
fair. Saya sering diminta mengisi seminar untuk berbicara
sukses saya. Saya merasa tidak begitu-begitu juga. Karena, saya
mengalami kegagalan juga banyak banget. Tapi saya tidak pernah diundang
seminar dengan topik kisah-kisah kegagalan Dahlan Iskan.
Padahal,
kegagalan saya banyak sekali. Misalnya, provider Internet.
Saat belum banyak orang masuk Internet, saya masuk duluan. Karena
terlalu dini kami masuk ke bisnis itu, ya kami gagal. Koran ada juga
beberapa yang gagal. Real estate, saya gagal. Kemudian masuk ke
hotel, saya gagal. Properti saya gagal. Saya kira kalau Rp 5 miliar
saja kegagalan saya itu ada. Tetapi karena banyak yang berhasil, orang
lantas menilai Dahlan Iskan itu orang yang bertangan dingin. Apa saja
yang dia pegang pasti jadi. Itu sama sekali tidak betul.
Tip
supaya sukses dalam berbisnis?
Ketika
memulai bisnis, ketika mau memulai harus tahu apa escape yang
harus dilakukan kalau menghadapi masalah yang berbahaya. Misalnya, rugi
Rp 10 miliar masih lebih baik daripada rugi Rp 15 miliar. Rugi Rp 15
miliar harus lebih baik ketimbang rugi Rp 20 miliar. Itu harus menjadi
pegangan. Nah, ketika sudah rugi-rugi-rugi dan sesudah dianalisis
investasinya ini akan rugi terus, ya berhenti.
Banyak
orang yang tidak berani berhenti. Wah, kita kan sudah rugi Rp 10
miliar. Kenapa harus berhenti? Ah, tidak boleh seperti itu. Kalau memang
diperkirakan tidak tertangani harus berhenti. Jangan bilang, sayang
kan sudah habis Rp 10 miliar. Harus berani bilang, mumpung masih Rp 10
miliar, harus berhenti.
Kalau
mau sukses, harus jalani apa yang ada. Mulai dari kecil, sekarang,
jangan nunggu nanti-nanti. Fokus. Jangan berpikir ingin cepat
besar. Yang penting tekuni dahulu sampai batas waktu tertentu, baru
mengembangkan diri.
Nilai-nilai
bisnis apa yang Anda pegang?
Banyak
orang salah sangka memandang Dahlan Iskan. Orang berpikir kalau saya
punya grand plan. Menurut saya tidak. Saya ini benar-benar
seperti air yang mengalir, tetapi kalau bisa yang deras. Jangan air yang
mengalir tapi biasa saja. Karena apa? Saya pikir saya ini tidak punya
cita-cita. Hahahaha…. Tapi setelah saya rasa-rasakan, beruntung juga
tidak punya cita-cita. Hehe… Kenapa? Karena tidak terlalu mempertaruhkan
segala sesuatu untuk mewujudkan cita-cita itu.
Orang
yang tidak punya cita-cita lebih fleksibel. Bayangkan misalnya saya
harus sampai di sana, dan itu harus tercapai. Lalu di depan sana
tiba-tiba ada dinding. Kalau orang yang punya cita-cita keras, dia akan
tabrak dinding itu. Iya kalau dindingnya kalah. Lha kalau dindingnya
terlalu kuat? Mati dia.
Tapi
kalau orang yang gak punya cita-cita, bilang wah di depan ada
dinding. Ya belok aja. Misalnya di sana ada batu, ya belok aja.
Jadi saya merasa tidak punya cita-cita itu ya bagus juga. Hahahaa…. Ini
saya serius. Tidak mengada-ada.
Cita-cita
tertinggi Anda, apa?
Hahahaha…
Cita-cita tertinggi saya cuma satu: pengen punya sepeda! Itu
saja. Bahwa sekarang punya helikopter, punya Jaguar, punya Mercy itu
sama sekali di luar cita-cita saya. Cita-cita saya cuma punya sepeda.
Kenapa? Karena saya anaknya buruh tani. Saya tidak boleh latihan naik
sepeda. Berarti saya harus meminjam sepeda teman. Bapak saya bilang,
"Kalau nanti sepedanya rusak, bagaimana cara menggantinya?" Jadi sampai
saya tamat SMA, saya belum punya sepeda. Saya sekolah jalan kaki
pergi-pulang 12 km. Teman saya yang punya sepeda tidak pernah mau
memboncengkan saya. Katanya, orang yang tidak bisa naik sepeda lebih
berat kalau diboncengkan.
Keinginan
Anda yang belum tercapai?
Saya
sudah tidak punya keinginan apa-apa lagi. Karena sejak saya sakit,
kemudian perusahaan ditangani oleh anak saya. Dan selama saya tinggal
tetap berkembang, berarti ya sudah boleh ditinggal. Sebelum saya
dioperasi, saya kan membeli dua helikopter. Karena perasaan saya,
setelah sembuh pasti tidak bisa ke mana-mana. Jadi bisa naik helikopter.
Tapi ternyata setelah operasi saya seperti begini. Ya akhirnya
helikopter itu nganggur. Makanya ketika saya dipanggil
Presiden untuk menjadi Dirut PLN, ya sudahlah, ada kesibukan baru.
Nilai
dalam kehidupan yang Anda pegang?
Saya
percaya takdir. Tetapi takdir yang diusahakan. Jadi saya tidak percaya
takdir begitu saja. Misalnya begini. Ada seorang wartawan foto Jawa
Pos yang jadi juara foto internasional. Foto itu tentang
tergulingnya truk suporter sepak bola. Orang-orang bilang, "Itu
kebetulan karena si fotografer ada di situ, terus motret." Nah
saya tidak setuju dengan omongan seperti itu. Memang kebetulan dia ada
di situ. Tapi seandainya hari itu si wartawan ada di kantor, atau males-malesan
di rumah, apa ya dia dapat momen itu? Dia dapat foto terbaik dunia itu
karena dia rajin.
Siapa
tokoh idola Anda?
Saya
senang Eka Tjipta Widjaja. Dia pernah bangkrut tiga kali. Bangkrut
habis-habisan dan selalu bisa bangkit dengan hebat. Sebelum saya sakit,
saya nanya ke beliau, "Pak Eka, Anda kebayang nggak akan
bangkrut?" Lalu dia bilang, "Dik Dahlan, saya ini sudah dalam posisi
tidak mungkin bangkrut. Saya sudah terlalu besar untuk bangkrut."
Saya
juga senang Ciputra karena menjalankan prinsip bisnis yang fair.
Moralitas bisnis beliau juga sangat tinggi. Saya salut sekali dengan
Pak Ciputra. Lalu, kerendahan Anthony Salim juga membuat saya kagum.
Ketiga tokoh ini mungkin yang banyak menginspirasi perjalanan hidup dan
bisnis saya.
Dikutip dari -SWA-
Roberto Rulli Andrea
Tidak ada komentar:
Posting Komentar