Selasa, 09 Februari 2010

Tangkuban parahu

Sampurasun… pun apun ka paralun bagea baraya sadaya..

Sateuacan nyuckruk galur ka nu di teang.. aya sae na apal heula ka elmu panimu ti paralun..

 

 

Ini hanya sebuah analisa pemetaan pergeseran pusat ajaran dan peradaban bangsa Sunda dari era Dirgantara hingga era Indonesia saat ini.

 

Tampaknya wilayah "Mandala Hyang" itu tidak hanya berada di satu tempat (Mandailing - Bata Ka-Ra), ia akan dipindahkan setelah 'Sang Hyang sudah tidak menghendaki' lagi tempat tersebut, dan hal ini ditandai dengan gunung meletus. Maka, wilayah Mandala Hyang terakhir yang ada saat ini adalah di Gunung Agung - Bali (Agung = Gede = Besar).

 

Jika kelak Gn. Agung atau Gn. Gede di Bali meletus maka seharusnya Mandala Hyang akan berpindah ke Gn. Tambo-Ra (Gn. Kitab Cahaya). Disamping itu, boleh jadi maksud dalam "Wangsit Prabhu Silihwangi" yang berbunyi "...gunung gede bitu disusul ku tujuh gunung...maka geunjleung sajagat..." itu adalah Gn. Agung - Bali.

 

 

Salah satu keunggulan (kearifan lokal) bangsa Sunda adalah kemampuannya dalam menitipkan ajaran dalam bentuk makanan.

"Sing saha nu bisa ngadahar GUNUNG maka jadi si SEMAR...!"

 

Sangu Tumpang (Tumpeng) merupakan ajaran tentang keunggulan bangsa (manusia) dalam sebuah negara, oleh sebab itu ia termasuk dalam jenis SAJEN (Sa-Ajian) yang sarat makna dan bukan SUGUHAN.

 

Sangu Tumpang boleh dimakan setelah terpahami ajaran yang terkandung di dalamnya, biasanya dilakukan dalam Upa-Cara sebagai RASA TERIMA-KASIH KEPADA NEGARA. Jadi, TIDAK BOLEH dibuat asal-asalan (ada standar persyaratan) sebab semua yg ada di situ mengandung MAKNA yang AGUNG.

 

Di jaman sekarang Sangu Tumpang hanya menjadi syarat acara tanpa memahami nilai keagungannya... Jadi, lain asal koneng, asal aya hayam, lalab jeung asal nyungcung...eta NGAWURRRR...! (lamun laparmah nuang sangu bodas biasa we ulah make ririweuhan dikonengan sagala).

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar