Selasa, 09 Februari 2010

Prabu Jayabaya Seorang Muslim?

Prabu Jayabaya Seorang Muslim?
Oleh: Totok Sunaryanto

Ramalan Prabu Jayabaya seputar dinamika kehidupan yang akan terjadi di Pulau Jawa terutama masalah pergantian kekuasaan dari abad 12 sampi akhir jaman telah menjadi legenda di kalangan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Bahkan beberapa pemimpin bangsa secara politis menggunakannya sebagai `legitimasi' akan keberadaannya. Yang pada akhirnya membuat masyarakat Jawa memaklumkannya untuk naik tahta. Maka tak heran jika ada kandidat presiden tetapi dari suku non Jawa sebaik dan sehebat apa kualitasnya pasti akan susah naik tahta karena kendala historis ini. Lepas dari benar-tidaknya ramalan-ramalan prabu Jayabaya tersebut, ternyata ada sisi-sisi menarik dari bait-bait ramalan Prabu Jayabaya tersebut, yaitu adanya unsur pengaruh ajaran Islam. Yang mana hal ini membuktikan bahwa Islam telah datang dan berhasil mempengaruhi rajanya di pulau Jawa sebelum era Wali Sanga.

Sumber ramalan Prabu Jayabaya yang beredar di masyarakat tidak hanya satu, juga tidak langsung dari sumber primernya, yakni Prabui Jayabaya sendiri, maksudnya belum ada bukti yang menguatkan bahwa ramalan tersebut ditulis sendiri oleh Prabu Jayabaya. Para peneliti sepakat bahwa sumber terkuat ramalan ini adalah Kitab Asrar (musarar) karya Sunan Giri Perapen (Sunan Giri ke-3) yang dikumpulkannya pada tahun 1540 Saka = 1028 H = 1618 M. Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan metode dan pola yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri, sebuah nama yang diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang ditulis oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Prabu Sri Jayabaya di Daha (Kediri).

Adalah seorang pujangga, yakni Pangeran Wijil dari Kadilangu (Pangeran Kadilangu II) yang kemudian setelah mendapat pathokan data baru, lalu menuliskan kembali dalam bentuk gubahan "JANGKA JAYABAYA" dengan memadukan antara sumber Serat Bharatayudha dan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara yang ditulis sebelumnya berupa babad. Menurut masyarakat jawa, kenapa kemudian ia disebut Jangka, karena naskah tersebut tidak sekedar ramalan (yang kemungkinan bisa meleset), tetapi lebih dari itu Jangka Jayabaya adalah urutan kejadian yang sudah diketahui. Apakah memang dari suatu kajian ilmiah atau hanya kebetulan belaka, diakui atau tidak, urutan peristiwa (jaman-jaman) yang di-jangka-kan tersebut setelah ditafsirkan sedemikian rupa, akhirnya menjadi sesuai dengan sejarah, bahkan sampai saat ini. Padahal ia ditulis jauh sebelum sejarah berlangsung. Maka saya berasumsi bahwa jangka ini pasti mempunyai landasan ilahiyah, bisa jadi Al-Qur'an maupun hadits shahih, atau setidaknya ada seorang waliyullah kasyaf yang mengajarkannya. Oleh karenanya pada uraian selanjutnya saya tidak menggunakan kata ramalan tetapi jangka.

Di awal-awal kisah Jangka Jayabaya diceritakan tentang kehebatan Prabu Jayabaya sang penakluk yang tampan dan gagah, lalu sampai pada kisah tentang kedatangan tamu seorang muslim dari negeri Rum, yang akhirnya menjadi guru Prabu Jayabaya, berikut kisahnya:

Maksihe bapa anenggih
langkung suka ingkang rama
Sang Prabu Jayabayane
duk samana cinarita
pan arsa katamiyan raja pandita saking rum
nama sultan maolana, ngali samsujen kang nami,

dst..

Lajeng angguru sayekti Sang-a Prabu Jayabaya
Mring sang Prabu raja panditane
Rasane kitab musarar wus tunumplak sadaya
lan enget wewangenipun
yen kantun anitis ping tiga…

Terjemahan bebas:

Hal tersebut menggembirakan hati Sang Prabu Jayabaya
Waktu itu diceritakan, Sang Prabu akan kedatangan tamu,
seorang raja pendeta dari Rum bernama, Sultan Maolana.
Lengkapnya bernama Ngali Samsujen (mungkin maksudnya Maulana Ali Syamsudin)…
dst..

Kemudian Sang Prabu Jayabaya berguru kepada sang pendeta
terasa kitab musarar sudah dipahaminya semua, dan diingat pesannya
bahwa tinggal tiga kali dia menitis..

Siapakah Ali Syamsudin yang dimaksud? Belum ada yang bisa memberi keterangan dengan jelas siapa sebenarnya tokoh ini. Kita serahkan saja PR ini kepada ahli sejarah untuk menelitinya. Yang jelas, selanjutnya sang maulana memberi sebuah ajaran atau paham sbb:

Benjing pinernahken nenggih sang-a prabu Jayabaya
aneng sajrone tekene ing guru sang-a pandita
tinilar aneng kakbah
imam supingi kang nggadhuh kinarya nginggahken kutbah..

Ecis wesi udharati
ing tembe ana molana pan cucu Rasul jatine
alunga mring tanah jawa
nggawa ecis punika
kinarya dhuwung punika
dadi pundhen bekel jawa..

Terjemahan bebas:

Esok harinya dijelaskan kepada sang prabu Jayabaya
bahwa di dalam tongkat sang guru pendeta
yang ditinggalkan di Ka'bah
seorang imam akan menggunakannya untuk berkhutbah

Senjata (pusaka) yang diberi nama Udharati
Kelak di kemudian hari ada seorang maulana yang sejatinya adalah cucu Rasul
pergi ke tanah jawa membawa senjata (pusaka) itu
dengannya dia akan jadi penguasa/pengayom (pundhen) jawa

Ada sebuah kata yang tidak ditemukan arti dan terjemahannya dalam bahasa Jawa-Indonesia, yaitu udharati, apakah itu? Saya telah mencarinya dari sumber-sumber yang ada, tetapi selalu saja tetap ditulis sebagaimana aslinya, tidak diterjemahkan. Maka tak ada salahnya jika saya kira-kira saja (menggunakan ilmu uthak-athik-gathuk) apa makna udharati yang dimaksud oleh sang maulana.
Dari sisi bunyi ucapan, udharati lebih mendekati pada kata itrati, coba pembaca rasakan, udh-ra-ti lalu it-ra-ti. Dari konteks cerita sepertinya juga sangat berkaitan. Sebab yang dimaksud itrati di sumber-sumber hadits terpercaya artinya adalah "Keturunanku" (anak-cucu Rasul), sebagaimana diberitakan oleh sang guru pendeta pada rangkaian kalimat berikutnya, "Kelak di kemudian hari ada seorang maulana yang sejatinya adalah cucu Rasul…

Simak hadits berikut:
Dalam kitab Ma'rifat Wal Tarikh karya Yaqub bin Sufyan Al Fasawi 1/536 disebutkan hadis Tsaqalain dengan sanad yang shahih.

Telah menceritakan kepada kami Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah dari Abi Dhuha dari Zaid bin Arqam yang berkata Nabi SAW bersabda "Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh padanya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan Itratii, Ahlul Baitku, keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al Haudh.

Di awal jangka ini saja sudah mulai terlihat adanya pengaruh ajaran Islam, yakni konsep itrati, keturunan Rasul, atau Ahlul-Bait.

Kemudian di bagian selanjutnya diuraikan kejadian seputar masa-masa pergantian raja-raja Jawa, dari jaman Anderpati/Kala Wisesa (Pajajaran) sampai jaman Kala Bendu (Pajang-Mataram modern, yang oleh sebagian masyarakat Jawa ditafsirkan sebagai jaman kita saat ini). Setiap jaman mempunyai lambang atau tanda-tandanya masing-masing. Misalnya jaman Kala Bendu yang dilambangkan dengan "Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih"artinya:" tidak sempat mengurusi badan, direpotkan dengan kemben(pakaian sebagai penutup bagian tubuh yang `membuat malu') yang tidak kunjung selesai". Ada yang menafsirkannya bermakna: tidak sempat mengurusi negara (dan rakyat) karena direpotkan dengan berbagai usaha untuk menutupi kekurangannya (yang mengusik citranya). Ini menunjuk kepada sosok pemimpin di jaman tersebut. Anda bisa tafsirkan sendiri siapa yang dimaksud.

Yang menarik bagi saya adalah di bagian akhir jangka ini, juga bagi anda mungkin, sebab bisa dijadikan sebagai penawar kesedihan dan memberi harapan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Ibarat alur cerita, jangka Jayabaya ini berakhir secara happy ending, sebab jaman terakhir sebelum kiamat adalah jaman penuh kebaikan dan keadilan (Kala Suba) di mana datangnya jaman itu adalah setelah berakhirnya jaman Kala Bendu. Sudah dekatkah jaman itu? Apakah saat ini memang sudah memasuki jaman Kala Bendu? Baiklah, berikut rangkaian bait dari Jangka Jayabaya yang menggambarkan saat terjadi Kala Bendu. Tidak ditafsirkan semuanya secara mendetail, hanya diterjemahkan. Karena ini bukan ayat-ayat kitab suci, anda juga bisa menafsirkannya sendiri dengan persepsi masing-masing, apakah ada kesesuaiannya dengan jaman kita saat ini.

Tan kober paes sarira, sinjang kemben tan tinoleh
lajengipun sineng lambang
Dene Maolana ngali samsujen sang a-yogi
tekane jaman kala bendu
ing semarang tembayat
Poma den samya ngawruhi
sasmitane lambang kang kocap punika

Terjemahan bebas:

Tak sempat mengurusi badan, repot dengan pakaian(kemben) yang tak kunjung selesai
selanjutnya pada lambang tersebut
bahwa maulana Ali Syamsudin menjelaskan
datangnya jaman Kala Bendu
di semarang tembayat (apakah yang dimaksud ini adalah suatu tempat atau sekedar perlambang? Saya belum tahu tafsirnya secara khusus)
Maka mari sama-sama kalian ketahui
tanda-tandanya yang disebutkan berikut ini

Dene pajege wong ndesa
akeh warnanira sami
lawan pajeg mundak-mundak
Yen panen datan maregi
wuwuh suda ing bumi
Wong dursila saya ndarung
akeh dadi durjana
wong gedhe atine jail
mundhak taun mundhak bilahining praja

Terjemahan bebas:

Yaitu ketika pajak orang desa (rakyat maksudnya) banyak macamnya
ditambah lagi pajaknya selalu naik
Jika panen tidak mengenyangkan (mungkin maksudnya hasil bumi yang seharusnya bisa diproduksi sendiri tidak bisa mencukupi, sehingga mesti impor-impor juga)
Seakan berkurang ditelan bumi (apa karena dikorup? Atau salah pengelolaan?)
Orang jahat semakin merajalela
banyak yang jadi pengkhianat
Orang besar/pejabat hatinya jahil/bodoh (yang disebut adalah hatinya, bukan otaknya. Jadi bodoh secara moral, akhlak dan spiritual)
Semakin tahun semakin kacau pemerintahan

Kukum lan yuda negara
pan nora kang nglabeti
salin-salin kang parentah
aretu patraping adil
Kang bener-bener kontit
kang bandhol-bandhol pan tulus
Kang lurus-lurus rampas
setan mindha wahyu sami
Akeh lali mring gusti miwah wong tuwo

Terjemahan bebas:

Hukum dan aturan negara
tidak ada yang konsisten
silih berganti yang memerintah(apakah maksudnya karena sering ganti-ganti menteri?)
jauh dari norma/nilai keadilan
Yang benar jadi terdakwa
yang bejat-bejat bebas
Yang lurus-lurus tercerabut/tersingkir
setan dan wahyu bercampur aduk (inilah `keselarasan' yang unik di jaman ini, setan bisa menjelma jadi ulama, juga sebaliknya)
Banyak yang lupa kepada Tuhan dan orang tua.

Ilang kawirangane dyah
wiwit prang tan na ngabari
nuli ana lamate negara rengka
Akeh gara-gara
udan salah mangsa prapti
akeh lindhu lan grahana
delajate salin-salin
pepati tanpa aji

Terjemahan bebas:

Hilang rasa malu kaum perempuan
mulai ada perang secara tersembunyi
lalu ada tanda-tanda negara pecah (apa mungkin karena banyaknya partai-partai?)
banyak huru-hara (kerusuhan)
hujan salah musim (perubahan iklim)
banyak gempa dan gerhana
datangnya silih berganti
nyawa tak ada harganya (kematian/pembunuhan yang sia-sia)

Di bagian selanjutnya masih banyak diceritakan mengenai tanda-tanda jaman edan ini, yang kalau disebutkan semuanya akan menyita banyak ruang di note ini. Yang pasti dari mulai penyimpangan moral, rusaknya kehidupan rumah tangga sampai kacaunya aturan/hukum masyarakat dan negara ada digambarkan di jangka ini. Juga tanda-tanda alam, kemajuan teknologi (informasi dan transportasi), perilaku menyimpang pria/wanita modern, dsb.

Selanjutnya menurut Jangka Jayabaya, setelah jaman kerusakan dan ketidak-adilan (kezaliman) ini berakhir, maka akan berganti dengan jaman penuh kebaikan dan kegembiraan (Kala Suba), yang dipimpin oleh seorang yang suci dan mulia. Menariknya, jika pada jaman-jaman sebelumnya skala kekuasaan pemimpinannya hanya sebatas lokal saja (Jawa dan Nusantara), di jaman Kala Suba ini skala kepemimpinannya adalah sejagad (dunia secara keseluruhan, global).

Berikut jangkanya,

Dene besuk nuli ana
tekane kang tunjung putih semune pudhak kasungsang
bumi mekah dennya lair
iku kang angratoni jagad kabeh ingkah mengku
juluk ratu amisan
sirep musibating bumi

Terjemahan bebas:

Kemudian kelak akan ada
datangnya si "tunjung putih semune pudhak kasungsang" (inilah lambang jaman ini)
Di tanah Makkah dia lahir (muncul/bangkit)
itulah yang menjadi raja bagi dunia seluruhnya
Bergelar ratu amisan (tafsir yang umum dari ratu amisan adalah karena beliau sangat sederhana bahkan papa, zuhud istilahnya, juga karena yatim piatu)
reda semua musibah di bumi.

Dari alur cerita jangka ini, terlihat mulai ada kesamaan dengan petikan hadits tentang Imam Mahdi berikut: Bahwa Rasulullah saww telah mengabarkan kepada Imam Ali tentang Imam-Imam sepeninggal Beliau saww, sampai pada Imam yang paling akhir yaitu Imam Mahdi

"….kemudian Al Qoim (sang penegak keadilan). Dia adalah keturunan Husain. Namanya seperti namaku, wajahnya yang paling mirip denganku, dan dia akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman..."(Al Bihar 37/355)

Juga,
Rasulullah bersabda, "Al-Mahdi (adalah) dari keturunanku, (dia) memenuhi bumi dengan
keadilan sebagaimana bumi sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman, ia akan berkuasa selama 7 tahun." (Bihar al Anwar 51/102)

Dijelaskan bahwa lambang jaman ini adalah datangnya "tunjung putih semune pudhak kasungsang". Apa maknanya?
Tafsiran yang umum di masyarakat, sebagaimana jaman Kala Bendu, itu adalah sosok pemimpinnya juga, yaitu: "Hati yang putih namun masih tersembunyi". Masyarakat lebih mengenalnya sebagai Satrio Piningit atau menurut Rangga Warsita ia adalah Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu (pemimpin yang tersembunyi, merupakan pasangan dari kitab suci/wahyu).

Kepercayaan ini lagi-lagi sesuai dengan pemahaman sebagian umat Islam, yaitu bahwa Imam Mahdi sebenarnya sudah lahir di tahun 255 H (869 M), Beliau adalah Imam ke-12 dari silsilah Rasulullah saww. Pada masa hidupnya, Imam Mahdi telah mengalami masa gaib (tersembunyi) sebanyak dua kali. Gaib yang pertama terjadi pada tahun 265 H (879 M), biasa disebut dengan ghaib as-sughra (gaib kecil). Gaib yang kedua, disebut ghaib al-kubra (gaib panjang), yang dimulai pada tahun 329 H (941 M) sampai suatu saatnya nanti atas kehendak Allah, beliau akan hadir memimpin dunia ini. Jadi sejatinya saat ini beliau masih hidup (dan berbaur/berinteraksi dengan umat) namun (seolah-olah) tersembunyi (piningit, orang jawa bilang).

Menurut riwayat lain, Imam Mahdi akan muncul di Makkah yaitu di antara rukun dan maqam Ibrahim. Begitu pula di jangka Jayabaya dengan jelas pula disebutkan bahwa lahirnya (munculnya) sang pemimpin jaman Kala Suba adalah di bumi Mekah.
Sedangkan tempat kelahiran/asal Imam Mahdi menurut sejarah adalah di Samarra. Di bait lain di Jangka ini sang pemimpin tersebut juga bergelar Asmara kingkin,

Anjenengaken Sang Ratu Asmarakingkin
Bagus maksih taruna
(Dinamakan sang raja Asmarakingkin, Tampan dan masih muda)

Adakah kesesuaian antara Samarra dengan Asmara? Juga tampan dan masih muda, sepertinya mengisyaratkan saat dimana beliau masih remaja, sebelum ghaib.

Satu lagi, setelah saya cocokkan dengan hadits seputar tanda-tanda kedatangan Imam Mahdi, lambang jaman Kala Suba ini sepertinya juga lebih mendekati pada gejala alam, yaitu munculnya komet. Sebab terjemahan dari bait itu adalah "seroja putih berbentuk pudhak menyilang". Pudhak artinya pandan, jika anda belum tahu pandan, itu adalah sejenis tanaman yang berbau harum dengan bentuk daun yang lebar pada pangkalnya dan makin ke ujung semakin meruncing, jika dilihat satu rumpun seolah seperti air mancur, mirip seperti bentuk sebuah komet (lihat gambar). Jadi makna lambang itu bisa ditafsirkan sebagai `bintang putih berbentuk pandan yang melintang" (komet).

Simak hadits berikut:

Na'im bin Hamad meriwayatkan dari Walid, ia berkata: Ja`far al-Shadiq (ra) mengatakan kepadaku: "Sebelum kedatangan Imam Mahdi akan muncul bintang berekor dari arah timur yang akan menerangi penduduk Bumi, dan cahanyanya bagaikan bulan purnama". (Al Fitan bab 71)

Juga,

Ali bin Abi Thalib pernah berkhotbah di atas mimbar Kufah. Khotbah tersebut dikenal
dengan nama "Khotbah mutiara". Dalam Khotbah tersebut, Ali menyebutkan tanda -tanda
kedatangan Imam Mahdi. Beliau berkata,"....dan setelah itu akan muncul seorang penegak
kebenaran. Pancaran wajahnya bagaikan cahaya purnama di antara planet lain. Tanda-tanda
kedatangannya ada sepuluh. Tanda pertama adalah munculnya bintang berekor (komet )." (Al Bihar 36/355)

Sekali lagi, ada kesamaan kepercayaan yang tersirat di Jangka Jayabaya ini dengan ajaran Islam.

Hal ini dengan jelas membuktikan bahwa agama Islam sebenarnya dengan tangan terbuka telah dianut (setidaknya diterima) oleh masyarakat Jawa sejak abad 12 M, walau mungkin belum secara utuh. Bahkan rajanya yang terkenal, yakni Prabu Jayabaya sendiri yang merintisnya. Sampai saat ini pun jangka Jayabaya masih dipercaya 'kebenarannya' oleh sebagian bangsa Indonesia, bahkan kalangan elit-pemburu kekuasaan- di negeri ini.

Selanjutnya, bagaimanakah menurut Jangka Jayabaya tentang sosok Imam Mahdi (Satrio Piningit), siapakah dia sebenarnya, di mana dia tinggal saat ini, bagaimana bentuk atau ciri-ciri pemerintahannya? Apakah cerita selanjutnya masih ada pengaruh ajaran Islam?. Insya Allah akan dilanjutkan di note berikutnya.

Bogor, 7 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar