Minggu, 14 Februari 2010

Harusnya kita Malu sama Pak Daskan.

From milist alumni ipb

Beberapa waktu yang lalu, saya sholat maghrib di masjid, di jalan Paledang
Bogor, tepatnya di depan warung sate pak kumis, sayang saya tak mencari tahu
nama masjid tsb. Yang saya ingin ceritakan memang bukan tentang masjidnya,
walau masjid tersebut sebenarnya juga patut diacungi jempol, terutama
menyangkut kebersihannya. Tempat wudlu tertata baik dan bersih dengan air
yang cukup melimpah, karpet masjid juga terhampar apik dan tertata. Ornamen
interior masjid sederhana namun tidak mengurangi kesan agung rumah Allah.

Yang saya ingin ceritakan adalah perjumpaan saya dengan pak Daskan.

Selesai sholat, sambil memakai sepatu, duduk di sebelah saya, seorang bapak
baya dengan kerut wajah usia senja. Dengan mengucap salam dan jabat tangan
berkenalanlah saya dengan beliau. Dari perkenalan itulah saya tahu nama dan
usia beliau. Namanya adalah Daskan, usianya 7O tahun. Saya mempercayai
usianya demikian dengan melihat kerut wajahnya, dan sekilas ingatan beliau
ketika anak2 sewaktu tentara NICA, memberondongkan peluru di desa di daerah
Kuningan dimana beliau menghabiskan masa kanak2.

Obrolanpun berlanjut, saya terkaget ketika beliau menyampaikan bahwa
pekerjaan beliau adalah sebagai penarik becak. Kekagetan saya lebih karena
faktor usia beliau yang menurut saya tak lagi laik untuk menunaikan profesi
itu. Saya menebak2 alasan mengapa seorang baya-renta tsb masih harus bekerja
keras membanting tulang dan memeras keringat dalam arti yang sebenarnya.
Mungkin faktor ekonomi pikir saya, anak2 dan istrinya masih membutuhkan
biaya hidup. Ternyata dugaan saya meleset. Pak Daskan adalah seorang duda
yang telah 10 tahun ditinggal meninggal oleh istrinya, dan beliau tak
berniat utk mencari penggantinya. Anaknya tiga orang semua sudah
berkeluarga, dan tinggal di Kabupaten Kuningan, yang pertama bekerja sebagai
sopir angkut sayur, yang kedua petani sedang yang bungsu seorang perempuan
ikut suaminya yang juga petani. Anak2 pak Daskan dengan segala
keterbatasannya cukup untuk hidup mandiri.
Saya pun bertanya, jika anak2nya sudah mandiri, mengapa beliau tidak tinggal
di kampung kuningan saja, dengan salah satu anaknya sambil mengisi hari tua
bersama cucu2. Beliau memberi alasan, " "abdi teu hoyong ngarepotkeun
murangkalih (saya tak ingin merepotkan anak2)". Satu alasan yang sering saya
dengar dari orang2 tua lainnya, mungkin sayapun nanti jika diberi umur
panjang akan bersikap sama. Alasan yang kedua-lah, yang membuat bulu kuduk
saya berdiri, mengoyak serabut jantung saya dan memanaskan seluruh darah
yang mengalir di tubuh saya, saya terdiam, takzim.... Tafakur dan mengucap
subhanallah.
" Cep, abdi mah ngan saukur hoyong ngalebetkeun artos sapuluhrebu sadinten
ka karopak masjid di sesa umur nu aya ( Nak, saya cuma ingin menyumbang ke
masjid sepuluhribu rupiah setiap hari, di sisa umur yang saya miliki)"
Dengan kemampuan aritmetika yang terbatas, saya masih menghitung, ...
Artinya : Pak Daskan yang Seorang tukang becak, menyumbang masjid sebesar
300 ribu setiap bulan !...

Saya bertanya kepada beliau apakah keinginan tersebut dapat beliau penuhi.
Dengan tenang beliau menjawab, "Alhamdulillah, tos tilu taun ieu kacumponan
cep (alhamdulillah, ternyata sudah tiga tahun ini dapat berjalan dengan baik
nak)", saya kembali menghitung.... 300.000x12x3.... Sama dengan RP.
10.800.000..... Subhanallah! Saya mulai meninju diri saya sendiri dan
mengingat2 apakah dalam hidup saya, sudahkah saya menyumbang masjid sebesar
yang pak Daskan lakukan.......

Ah ternyata, saya harus malu.... Saya cuma buliran kecil yang tak berarti
jika dibanding pak Daskan yang tukang becak tersebut......

Haruskah saya terpana oleh seliweran kehampaan duniawi yang melingkari
saya, teman, pejabat, petinggi yang boleh jadi tak semulia yang pak Daskan
lakoni. Ampuni saya ya Allah dengan kebutaan, ketulian dan kedunguan saya
melihat keagungan dan kemuliaan manusia, justru dari tukang becaklah, dari
orang yang termarginalkanlah saya mendapat ilmuMu.

Salam
Yudha Herry Asnawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar