Rabu, 10 Februari 2010

Menyoal liberalisasi kesehatan

Menyoal liberalisasi kesehatan

 

Senin, 1 Februari 2010

Kolom Opini, Bisnis Indonesia

Menyoal liberalisasi kesehatan

Sungguh ironis jika hak dasar warga miskin atas kesehatan diabaikan

Oleh Lena Herliana

Peneliti Ekonomi IPB Bogor

Juni 2008, Mbok Jumi mulai merasakan sakit luar biasa di perutnya. Pada
saat itu keluarga Mbok Jumi membawanya ke Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Sidoarjo. Sekitar 2 minggu Mbok Jumi dirawat di rumah sakit itu.
Namun, karena tak mampu membiayai ongkos rumah sakit, keluarga Mbok
Jumi membawanya pulang ke pengungsian korban lumpur di Pasar Baru
Porong.

Keluarganya pun pasrah. Selanjutnya, Mbok Jumi dirawat dengan
menggunakan pengobatan tradisional seadanya. Celakanya, dalam keadaan
sakit kronis seperti itu Mbok Jumi masih terpaksa melewati hari-harinya
di pengungsian korban lumpur. Hingga pada Minggu, 30 November 2008,
Mbok Jumi mengembuskan napas terakhir.

Di masyarakat, bukan hanya Mbok Jumi yang tidak bisa menikmati layanan
kesehatan yang berkualitas. Banyak warga miskin lainnya yang karena
kemiskinannya tidak mampu membayar ongkos rumah sakit.

Padahal, layanan kesehatan merupakan hak yang harus diterima oleh
setiap warga negara. Hak dasar sebagai manusia untuk memperoleh layanan
kesehatan secara baik, tanpa memandang status, jabatan ataupun kelas
sosial. Ini adalah kewajiban negara untuk memenuhi hak warga tersebut.

Meskipun korban dari tidak terpenuhinya hak atas kesehatan ini telah
berjatuhan, ternyata tidak menghalangi keinginan pemerintah untuk
melakukan liberalisasi di sektor kesehatan. Hal itu tecermin dari
rencana Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terkait daftar negatif
invetasi (DNI) yang akan mengubah kepemilikan asing di sektor kesehatan
menjadi 67%.

Sebelumnya, usaha pemerintah melakukan liberalisasi di sektor jasa
kesehatan yang telah tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan
(Kepmenkes) No. 756/Kepmenkes/SK/VI/2004. Para penganjur liberalisasi
kesehatan berdalih kebijakan itu patut akan mendorong perbaikan layanan
kesehatan melalui kompetisi pasar.

Liberalisasi kesehatan, menurut para pengusungnya, akan memberikan
banyak pilihan bagi masyarakat untuk memilih layanan kesehatan yang
layak. Sayangnya, kebebasan memilih itu hanya dimiliki oleh orang-orang
kaya yang mampu membayar jasa layanan kesehatan tersebut. Dengan
liberalisasi kesehatan, akan banyak rumah sakit swasta bahkan
internasional yang akan bertebaran di seluruh penjuru nusantara. Rumah
sakit swasta itu akan menawarkan layanan kesehatan yang mewah. Namun,
sekali lagi layanan itu hanya untuk orang kaya bukan untuk orang miskin.

Liberalisasi kesehatan akan memicu rumah sakit pemerintah untuk
menggeser orientasi sosialnya menjadi murni komersial. Subsidi terhadap
rumah sakit pemerintah akan dikurangi kalau tidak dihilangkan sama
sekali. Tarif rumah sakit pun akan diarahkan secara bertahap ke harga
keekonomian alias harga pasar. Jika subsidi terhadap rumah sakit
pemerintah terus dikucurkan terlebih dalam jumlah besar, hal itu
dinilai hanya akan merusak pasar.

Untuk itu, tidak bisa tidak rumah sakit pemerintah akan menaikkan biaya
tarifnya. Kenaikan tarif rumah sakit pemerintah itu dapat digunakan
untuk menaikkan gaji dokter, pegawai dan juga standar pelayanannya
setaraf dengan pelayanan rumah sakit swasta. Sudah dapat dipastikan hal
itu akan semakin menutup akses warga miskin terhadap layanan kesehatan.

Para pendukung liberalisasi kesehatan selalu berdalih bahwa
liberalisasi di sektor tersebut untuk menahan orang-orang kaya di
Indonesia agar tidak berobat ke luar negeri yang menawarkan layanan
kesehatan yang mewah. Dari argumentasi itu terlihat bahwa liberalisasi
kesehatan memang sejak awal untuk melayani kepentingan orang-orang kaya
di negeri ini. Liberalisasi kesehatan tidak terkait dengan hak atas
kesehatan warga miskin.

Liberalisasi jasa kesehatan

Sungguh ironis sekali jika hak-hak dasar warga miskin atas kesehatan
itu diabaikan hanya karena pemerintah ingin memenuhi komitmen Indonesia
di World Trade Organization (WTO) untuk meliberalisasi sektor jasa
kesehatan.

Di dalam konstitusi jelas disebutkan bahwa perlindungan terhadap warga
miskin adalah tanggungjawab negara. Sangat tidak demokratis dan juga
melawan akal sehat jika tanggungjawab itu digagalkan oleh
perjanjian-perjanjian dagang di WTO.

Diperlukan keberanian pemerintah untuk meninjau ulang proyek
liberalisasi di sektor kesehatan ini. Warga miskin di negeri ini bukan
sekadar angka-angka yang hanya diperebutkan di saat pemilihan umum.
Mereka adalah warga negara yang memiliki hak-hak dasar yang harus
dipenuhi negara. Mereka juga telah memberikan mandat kepada pemerintah
yang saat ini berkuasa.

Bukan sebuah kehinaan bila Indonesia mengabaikan kesepakatan dagang WTO
demi melindungi kepentingan warga miskin yang menjadi pemilik sah
republik ini. Sebaliknya, sebuah dosa besar bila pemerintah bersikeras
memenuhi kesepakatan WTO seraya mengabaikan pemenuhan hak-hak dasar
warganya atas kesehatan.

Oleh Lena Herliana

Peneliti Ekonomi IPB Bogor


Tidak ada komentar:

Posting Komentar