Senin, 22 Februari 2010

IJP: Koalisi Menjelang Piala Dunia

Koalisi Menjelang Piala Dunia
Indra J. Piliang ANGGOTA DEWAN PENASIHAT THE INDONESIAN INSTITUTE


Sudah berapa jauh bangsa ini melangkah dalam politik? Jauh, bahkan
teramat jauh. Beragam model pemerintahan dijalankan, begitu juga
sistem hu- kum dan perundang-undangan. Hanya, ki- ta sering lupa untuk
melihat catatan, tapi tidak juga memberikan keterangan dengan jelas.
Ibarat sebuah panggung teater, sering kali apa yang ditampilkan
tidaklah sesuai dengan skenario yang dikehendaki oleh para aktor
penting di dalam politik.

Dalam waktu dekat ini, hasil penyelidik- an Panitia Khusus Angket Bank
Century segera digelar. Bukan lagi sikap fraksi atau Pansus yang
muncul, melainkan sikap in- stitusi Dewan Perwakilan Rakyat. Hanya,
independensi DPR sebagai lembaga negara terhubung dengan keberadaan
partai-par- tai politik peserta pemilu. Bisa dikatakan hak individual
anggota DPR terabaikan, mengingat peserta pemilu legislatif adalah
partai politik, bukan perseorangan. Kepen- tingan partai politik
mengatasi kepenting- an perseorangan.

Di seberangnya, pada ranah eksekutif, terjadi juga gejolak diam-diam
dalam arus lebih deras menyangkut nasib koalisi pe- merintah. Namun
ada yang disembunyikan dengan sangat rapi dalam proses itu, yakni
masalah yang substantif secara akademis.
Apakah itu? Pemahaman tentang koalisi sendiri. Koalisi itu sejenis
binatang apa?
Mengapa ia mengabaikan hak-hak perse- orangan anggota Pansus atau
bahkan ke- beradaan partai politik di DPR?

Koalisi, dalam sistem pemerintahan pre- sidensial, sama sekali sunyi
dari definisi.
Tapi ia banyak dikutuk dan dijadikan ba- han permainan, entah atas
nama kaukus, forum, atau nama-nama lain. Bagaimana bisa sebuah sistem
yang tidak dikenal da- lam kategori ilmu politik dan pemerintah- an
malah dianggap sebagai bagian pen- ting? Apakah semua yang diucapkan
oleh politikus selalu harus disepakati sebagai kebenaran tunggal? Rasa-
rasanya, keka- buran dalam penyusunan undang-undang dasar kian diimpit
oleh beragam praktek ketatanegaraan yang bias politik.

Kalau mau sedikit jujur, koalisi yang be- nar-benar dilakukan oleh
partai politik terjadi pada 1 Mei 2009. Para penanda ta- ngan Koalisi
Besar, namanya, adalah pim- pinan teras masing-masing partai politik
dalam satu halaman: Jusuf Kalla (Partai Golkar), Megawati
Soekarnoputri (PDI Perjuangan), Wiranto (Partai Hanura), Pra- bowo
Subianto (Partai Gerindra), dan to- koh-tokoh lain. Butir keempat
dalam nas- kah yang dibacakan oleh Prabowo itu ber- bunyi: membangun
kerja sama politik di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupa- ten/kota
untuk mempererat kebersamaan dan meneguhkan tanggung jawab terha- dap
kemajuan bangsa dan negara di masa depan. Itulah dokumen koalisi yang
paling otentik.

Lalu bagaimana koalisi dalam kaitannya dengan pemerintah SBY-Boediono?
Sama sekali tidak ada dokumen tertulis yang bi- sa diakses oleh publik
dan kalangan aka- demisi.Yang ada hanyalah kontrak politik antara tiap
ketua umum partai politik dan SBY-Boediono. Seperti yang sudah ditulis
sebelumnya bahwa yang menjadi persoal- an mendasar adalah kontrak
politik antara SBY-Boediono dan ketua-ketua partai po- litik yang
ditandatangani di atas meterai itu sama sekali tidak diketahui oleh
publik ("Berlaga di Zona Kosong", Koran Tempo, 29 Oktober 2009).

Sekarang zaman modern. Sudah bukan saatnya lagi mengatakan sesuatu
yang tidak ada menjadi ada. Dokumen menjadi bagian penting, apalagi
untuk urusan se- besar koalisi atau pemerintahan. Kecuali koalisi
dalam tanda kutip, sama sekali ti- dak ada koalisi antara Partai
Golkar dan Partai Demokrat, begitu juga PAN, PPP, PKB, dan PKS.Yang
terjadi hanyalah pe- nandatanganan kontrak politik antara ma- sing-
masing pimpinan partai dan SBY- Boediono.

Ibarat pemain sepak bola, John Terry dan Didier Drogba memang bermain
da- lam klub yang sama, Chelsea. Namun, kon- trak masing-masing pemain
dengan klub berbeda-beda. Tidak ada kontrak antara Terry dan Drogba
atau Frank Lampard.
Mereka bisa saja diputus kontraknya oleh klub, tanpa harus melibatkan
pemain lain.
Hal ini juga terjadi di antara masing-ma- sing menteri dalam Kabinet
Indonesia Ber- satu II. Sekalipun mereka kader partai, sampai mereka
dilantik, tidak ada yang memastikan bahwa nama-nama itu benar- benar
disodorkan oleh masing-masing pimpinan partai dan sama sekali SBY-Boe-
diono tidak berhak menolaknya. Kalau itu yang terjadi, hakikat hak
prerogatif Presi- den SBY terabaikan sama sekali.

Dalam waktu tak lama lagi, kita akan saksikan Piala Dunia sepak bola
digelar.
Momentum seperti ini akan menghilang- kan segala penat dalam politik.
Tidak ha- nya di Indonesia, tapi juga di negara-nega- ra lain. Kaum
separatis dan militer resmi negara biasa meletakkan senjata menonton
para pemain di lapangan hijau. Dalam Piala Dunia, tiap-tiap pemain
klub kemba- li ke negaranya. Di kancah Eropa, mereka berhadapan, namun
di Afrika Selatan, me- reka justru bekerja dalam satu tim.

Idealnya, itu jugalah yang terjadi dalam apa yang dinamakan sebagai
koalisi. Ma- sing-masing pihak patut profesional untuk melakukan
permainan, dalam ranah ber- beda. Keliru jika menyebut pekerjaan se-
jumlah menteri yang berhasil sebagai kip- rah partai politik. Kita
bisa menengok pe- milu dan pemilihan presiden 2009. Rasa- rasanya,
hanya satu partai politik yang merasa bekerja dengan baik, dengan
mengabaikan pekerjaan orang lain. Alasan yang digunakan hanya satu,
yakni sistem kabinet presidensial. Presiden adalah tuan, wakil
presiden dan menteri hanya pem- bantu bagi sang tuan.

Kalau seseorang terlalu banyak meng- ambil untuk dirinya segala
sesuatu yang dikerjakan orang lain, kenapa juga harus merasa khawatir
bahwa orang lain meng- ambil jarak yang tepat dalam menilai se- suatu?
Sebuah kesalahan tetaplah kesalah- an, sekalipun seluruh orang
bersepakat bahwa itu bukan kesalahan. Begitu juga dengan kebenaran.
Kesalahan tidak bisa ditukar dengan kebenaran, sekalipun atas nama
koalisi. Kalau kesalahan sudah di- pertukarkan dalam pasar gelap
politik, pe- taka hanya datang tertunda, cepat atau lambat.

Menjelang Piala Dunia 2010, kita hanya berharap pemerintahan
berlangsung stabil, keamanan terjaga, sandang dan pandang murah-
meriah, serta listrik tidak mudah mati. Kesenangan menonton Piala
Dunia hanya datang sekali dalam empat tahun.
Alangkah membosankan apabila, di te- ngah acara, seseorang yang
menjadi ang- gota DPR berteriak dengan suara yang ti- dak pantas
didengar oleh masyarakat ba- nyak. Kalau ada juga yang berperilaku se-
perti itu, kartu merah layak diberikan, oleh siapa pun yang tidak
ingin terganggu un- tuk melihat pertandingan sepak bola....

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/02/23/ArticleHtmls/23_02_2010_011_00
1.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar