Rabu, 10 Februari 2010

Situmang??? luluhur?

 

Ieu kang tambihan deui referensi, mangga dibundel atanapi dilenyepan

 

Mangga ieu Kang, seratan abah Surya anu mangrupakeun orasi ilmiah dina acara wisuda di Itenas sababaraha taun kapengker. Kanggo rapihna mah diedit deui wae.

manar





 
PERAN SANGKURIANG DAN DANGHYANG SUMBI DALAM LEGENDA GUNUNG TANGKUBANPARAHU 



Suatu kajian Hermeneutika terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkubanparahu 

dengan segala aspeknya 



Legenda tentang terjadinya Gunung Tangkubanparahu sangat dikenal di Tatar 



 
Sunda, disebut pula sebagai sasakala terjadinya Talaga Bandung atau dongeng 

Sangkuriang. Adapun tokoh Danghyang Sumbi yang seharusnya menjadi esensi 

maknawi dalam mitos ini sering tersisihkan oleh peran Sangkuriang - 



 
puteranya. Wacana yang tersaji kali ini adalah upaya untuk mengarifi 

nilai-nilai mitos yang terkandung dalam legenda gunung Tangkubanparahu, 

sehingga mempunyai nilai tambah bagi pemaknaan kita terhadap wawasan budaya 



 
lokal. 





*MITOS SEBAGAI ACUAN PANDANGAN HIDUP* 



Berbincang tentang mitos akan berkaitan erat dengan legenda, cerita, dongeng 

semuanya termasuk kelompok folklore. Mengenai mithos C.A. van Peursen 

(1992:37) mengatakan sebagai sebuah cerita (lisan) yang memberikan pedoman 



 
dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Inti dari mitos adalah 

lambang-lambang yang menginformasikan pengalaman manusia purba tentang 

kebaikan-kejahatan, perkawinan dan kesuburan, dosa dan proses katarsisnya. 



 
Sedangkan Rene Wellek & Austin Warren (1989) menyebutnya sebagai cerita 

anonim mengenai penjelasan tentang asal mula sesuatu, nasib manusia, tingkah 

laku dan tujuan hidup manusia serta menjadi alat pendidikan moral bagi 



 
masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. 



Mengacu kepada pendapat di atas ternyata mitos yang dikandung dalam legenda 

adalah sumber pengetahuan mengenai kehidupan manusia pada masa lampau dalam 

segala aspeknya. Disusun dalam bentuk cerita sastra (sastra lisan) sebagai 



 
alat transformasinya, sebab bentuk cerita lisan mempunyai pola struktur dan 

alur yang cukup ajeg. dalam menuntun ingatan orang sehingga mudah untuk 

seseorang menuturkannya kembali. 





*HERMENEUTIKA ILMU TENTANG PENAFISRAN* 



 


Kegiatan manusia tidak terlepas dari kemampuan untuk menafsirkan terhadap 

apa pun yang dialaminya. Hasilnya adalah didapatkannya arti dan makna dari 

yang ditafsirkannya. Arti adalah hubungan antara sesuatu dengan yang 



 
melingkunginya, hubungan teks dengan konteks (Saini KM, 2004). Adapun makna 

adalah hubungan arti dengan nilai esensial yang dikandungnya. Kemampuan 

mengartikan dan memaknai sesuatu dalam budaya Sunda disebut dengan kemampuan 



 
memanfaatkan Panca Curiga (lima senjata/ilmu), yaitu kemampuan untuk 

menafsirkan secara: silib, yaitu memaknai sesuatu yang dikatakan tidak 

langsung tetapi dikiaskan pada hal lain (allude); sindir yaitu penggunaan 



 
susunan kalimat yang berbeda (allusion); simbul yaitu penggunaan dalam 

bentuk lambang (symbol, icon, heraldica); siloka adalah penyampaian dalam 

bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma) dan sasmita adalah 



 
berkaitan dengan suasana dan perasaan hati (depth aporisma) 



Dalam tulisan ini pun penulis menggunakan konsep hermeneutika untuk mencoba 

menarik arti dan makna yang dikandung dalam legenda Gunung Tangkubanparahu 



 
dengan segala aspek yang dikandungnya. Kaidah lain untuk melakukan analisis, penulis memanfaatkan leksikografi 

(cara menuliskan kata); etimologi (tentang asal-usul kata), semantik 

(tentang arti kata) dan semiotika (tentang arti dan makna lambang). 



 




*BEBERAPA KARYA SASTRA YANG BERTEMAKAN LEGENDA GUNUNG TANGKUBANPARAHU* 



Legenda Gunung Tangkubanparahu dengan tokoh-tokohnya telah mengilhami para 

sastrawan untuk mewujudkannya dalam karya sastra seperti dalam: 



 
   

   - Bentuk Cerita : Sang Koeriang, A.C. Deenik diambil dari Pleyte. Tt. 

   - Gunung Tangkuban Parahu, R. Satjadibrata, 1946 - Babad Sangkuriang dalam 

   Naskah Sunda Lama Kelompok Babad, Edi S. Ekadjati, 1983. 



 
   - Bentuk Gending Karesmen (opera) : Sangkuriang Larung, Hidayat 

   Suryalaga, 1973. 

   - Bentuk Sajak : Sangkuriang, Hasan Wahyu Atmakusumah, 1955 - Sang 

   Kuriang, Kusnadi Prawirasumantri, 1992 - Ngabendung Situ, Ajip Rosidi, 1962 



 
   - Sang Kuriang, Beni Setia, 1972 - Tapak Sangkuriang, Dadan Bahtera, 1989- 

   Sangkuriang Kabeurangan, Wahyu Wibisana, 1992 

   - Bentuk Skripsi : Pergeseran Fungsi Mitos Sangkuriang dari Cerita 

   Sangkuriang ke dalam Sajak Sunda, Suhandi, Fakultas Sastra Unpad, 1994. 



 
   



Semua karya sastra di atas tidaklah sama dalam mengartikan dan memaknai 

legenda Tangkubanparahu atau tokoh pemerannya. Tergantung kepada konsep 

hermeunetika yang diacu oleh penulisnya. Walau demikian alur ceritanya tidak 



 
banyak berubah. 



Secara singkat alur ceritanya sebagai berikut: 



Raja SUNGGING PERBANGKARA pergi berburu, di tengah hutan Sang Raja kencing 

dan tertampung dalam tempurung kelapa. Seekor babi hutan betina bernama 



 
WAYUNGYANG yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air kencing 

tadi. Wayungyang hamil, melahirkan seorang bayi cantik. 



Bayi cantik itu dibawa ke keraton ayahnya dan diberi nama DAYANG SUMBI alias 



 
RARASATI. banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada 

yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. 

Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit 



 
ditemani seekor anjing jantan yaitu si TUMANG. 



Ketika sedang asyik bertenun, TOROPONG (torak) yang tengah digunakan 

bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar 

ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak 



 
yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si 

Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi 

akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama SANGKURIANG. 



 


Ketika berburu di hutan Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk memburu babi 

betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si 

Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan 



 
dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah 

hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta KEPALA Sangkuriang 

dipukul dengan senduk sehingga luka. Sangkuriang pergi mengembara 



 
mengelilingi dunia. 



Setelah sekian lama menuju ke arah Timur akhirnya sampailah di arah Barat 

lagi dan tanpa sadar telah sampai di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya 

berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya 



 
adalah Dayang Sumbi. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, 

dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa 



 
untuk menikahinya. 



Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuat PERAHU dan TALAGA (danau) 

dalam waktu semalam dengan membendung sungai CITARUM. Sangkuriang 

menyanggupinya. Maka dibuatlah PERAHU dari sebuah pohon yang tumbuh di arah 



 
TIMUR, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung BUKIT TUNGGUL, 

rantingnya ditumpukkan di sebelah BARAT dan mejadi gunung BURANGRANG Ketika 

bendungan hampir selesai, Dayang Sumbi memohon kepada Hyang Maha Gaib agar 



 
maksud Sangkuriang tidak terwujud. 



Dayang Sumbi menebarkan irisan BOEH RARANG (kain putih hasil tenunannya), 

sehingga ketika itu pula fajar pun terbit. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di SANGHYANG TIKORO dijebolnya, 



 
sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma 

menjadi Gunung MANGLAYANG. 



Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan 

bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi GUNUNG 



 
TANGKUBANPARAHU. Sangkuriang pun mengejar Dayang Sumbi yang mendadak 

menghilang di GUNUNG PUTRI dan berubah menjadi setangkai BUNGA JAKSI. Adapun 

Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan UJUNGBERUNG 



 
akhirnya menghilang ke alam gaib (NGAHIYANG). 





*ARTI SERTA MAKNA LEGENDA GUNUNG TANGKUBANPARAHU DENGAN SEGALA ASPEK YANG 

DIKANDUNGNYA* 



Seperti pada awal tulisan, bahwa legenda bukanlah kisah historis, tetapi 



 
berupa mitos yang menjadi acuan hidup masyarakat pendukung kebudayaannya. 

Demikian pula yang terjadi pada legenda Gunung Tangkubanparahu. Di bawah ini 

saya susun nama dan tempat serta aspek lainnya yang terdapat dalam legenda 



 
tsb, yaitu: Sungging Perbangkara, babi hutan Si Wayungyang, Dayang Sumbi 

atau Rarasati, anjing Si Tumang, Sangkuriang, taropong (torak), Citarum, Sanghyang Tikoro, Gunung Putri, Gunung Manglayang, Ujungberung, kembang 



 
Jaksi, boeh rarang, Gunung Bukit Tungggul, Gunung Burangrang Gunung 

Tangkuban Parahu dan Talaga Bandung. 



Telah disinggung di atas, bahwa banyak penulis yang memberi arti dan makna 

terhadap legenda ini. Pada kesempatan sekarang penulis mencoba untuk membuat 



 
penasiran arti dan makna menurut konsep nilai-nilai intrinsik pandangan hidup "urang Sunda" yang terkandung dalam alur cerita dan arti-makna dari 

setiap kata-kata kunci. Pemaknaan ini pun telah dikaji-banding dengan nilai-nilai intrinsik yang terkandung dalam cerita lama (pantun) yang 



 
dianggap sakral yaitu Cerita Pantun Lutung Kasarung dan Mundinglaya di Kusuma. Di bawah ini disertakan deskripsi mengenai segala sesuatu yang 

berhubungan dengan legenda gunung tangkubanparahu: 



   

   - SUNGGING PERBANGKARA. Artinya : Sungging = ukiran,ornamen. 



 
   Perbangkara (Prabhangkara) = Prabha = cahaya. > 'ng = penanda hormat, 

   honorifik. > kara = matahari. Maknanya " Penanda dari kebaikan/kebenaran 

   sebagai cahaya pencerahan bagi yang menyimaknya" 



 
 

  - Babi hutan WAYUNGYANG. Artinya: Wayungyang > w(b)ayeungyang = 

   perasaan yang tidak tenteram, gundah gula. Maknanya: Seseorang yang masih 

   berada dalam sifat kehewanan tetapi telah mulai bimbang dan menginginkan 



 
   menjadi seorang manusia seutuhnya (berperi-kemanusiaan). 



   - DAYANG SUMBI (DANGHYANG). Artinya : > Dang = penanda hormat, 

   honorific. Yang < Hyang = gaib. > Sumbi = 1) tendok = alat untuk menusuk 



 
   hidung kerbau agar menurut. 2) Bagian ujung terdepan dari perahu sebagai 

   penunjuk arah dalam berlayar. Maknanya: Petunjuk gaib sebagai kendali 

   manusia dalam menentukan arah dalam melayari kehidupannya. Bisa dimaknai 



 
   pula sebagai kata hati, nurani yang mendapat pencerahan hidayah Allah Swt. 



   - RARASATI nama lain dari Dayang Sumbi. Artinya : > Raras = perasaan 

   yang sangat halus. > ati = hati, qalbu. Maknanya: Hati atau qalbu yang penuh 



 
   dengan kehalusan budi karena mendapat pancaran sinar Ilahi. 



   - Si TUMANG. Artinya: > tumang = 1) Peti yang tertutup (b. Kawi), 2) 

   mangmang = sumpah (b.Kawi) tu-mang-mang = orang yang terkena sumpah 



 
   karena waswas. Maknanya: karakter seseorang yang selalu asal bersumpah, 

   waswas, akhirnya termakan sumpahnya sendiri, hatinya seperti peti yang 

   tertutup rapat tidak mendapat pencerahan. 



   - SANGKURIANG. Artinya: > 1) Sang = penanda hormat, honorifik. > 



 
   Kuriang < kuring = saya, ego. 2) Sang = penanda hormat, honorific. > Kuriang 

   < guru + hyang = ego yang gaib. Maknanya: Sangkuriang = Jiwa (ego) non 

   material yang menjadi dasar tumbuhnya kesadaran mental manusia yang selalu 



 
   mendapat cobaan dan ujian kualitas dirinya. 



   - TAROPONG. Artinya : 1) Alat bertenun dari sepotong bambu kecil 

   (tamiang) tempat benang pakan (torak); 2) Alat untuk melihat sesuatu agar 

   lebih jelas (teropong). Maknanya: Kegiatan (semangat) manusia dalam menata 



 
   perilaku kehidupan agar terusun tertib sesuai dengan kualitas dirinya serta 

   mampu melihat dengan jelas alur (visi) kehidupannya. 



   - Sungai CITARUM. Artinya: > Ci < cai = air. > Tarum = sejenis 



 
   tumbuhan, daunnya untuk memberi warna indigo tua (hampir hitam) pada 

   kain/benang tenun. Maknanya: Kehidupan adalah seperti air mengalir dalam 

   perjalanannya akan mengalami beragam celupan kehidupan, kebahagiaan, 



 
   keprihatinan dan juga hal-hal negatif lainnya sebagai ujian keteguhan 

   hatinya. 



   - SANGHYANG TIKORO. Artinya: > Sang = penanda hormat, honorifik. > 

   Hyang = gaib. >Tikoro = saluran di leher untuk bernafas dan berbicara 



 
   (tenggorokan) atau saluran di leher untuk makan (kerongkongan). Maknanya: 

   Kemampuan manusia dalam berbicara tentang apa pun yang baik atau pun yang 

   jelek serta sering dilalui makanan entah yang halal atau yang haram. 



 


   - Gunung PUTRI. Artinya > Putri = gadis, wanita cantik jelita, 

   bangsawan. Maknanya: Karakter manusia yang dihiasi nilai keindahan dan cinta 

   kasih. Dimaknai sebagi sifat kewanitaan (feminim, jamalliyah, rohimmi) yang 



 
   penuh rasa kasih sayang. 



   - Gunung MANGLAYANG. Artinya: > Manglayang = 1) ngalayang, melayang. 

   2) Mang-layang > palayangan = Saluran untuk pembuangan air kolam/talaga. 

   Maknanya : Kemampuan manusia untuk menguras dan membersihkan dirinya dari 



 
   karakter yang kotor. 



   - UJUNGBERUNG. Artinya: > Ujung = akhir. >berung > ngaberung = 

   menurutkan hawa nafsu. Maknanya : Berakhirnya gejolak hawa nafsu yang 

   negatif. 



   - Kembang JAKSI . Artinya: 1) Jaksi > bisa dimaknai jadi + saksi . 2) 



 
   Jaksi = bunga sejenis pohon pandan. Maknanya: Segala sesuatu yang dikerjakan 

   seseorang akhirnya akan menjadi saksi pula bagi dirinya. 



   - BO'EH RARANG. Artinya : > Bo'eh = kain kafan. > rarang = suci, 



 
   mahal. Maknanya: Semuanya akan berakhir bila satu saat mau tidak mau harus 

   memakai kain kafan yang suci, yaitu datangnya waktu kematian mungkin secara 

   fisik atau secara psikis. 



   - Gunung BUKIT TUNGGUL. Artinya : > Bukit = Bentuk gunung yang lebih 



 
   kecil. > Tunggul = pokok pohon. Maknanya: Siapapun orangnya, kaya-miskin, 

   pembesar atau pun rakyat kecil semuanya mempunyai pokok sejarah dirinya 

   (leluhur) dan juga mempunyai pokok jati dirinya. 





 
   - Gunung BURANGRANG. Artinya > Burangrang > Bukit + rangrang. > 

   rangrang = ranting. Maknanya : Siapa pun orangnya tetap akhirnya akan ada 

   sangkut pautnya dengan keturun dan masyarakat yad. yang pada gilirannya 



 
   semuanya akan hilang ditelan masa (B.S ngarangrangan). 



   - Gunung TANGKUBANPARAHU. Artinya: >Tangkuban = tertelungkup, 

   menelungkup. > Parahu = perahu. > Gunung Tangkubanparahu = gunung yang 



 
   bentuknya seperti perahu yang tertelungkup. Maknanya: Dalam kosmologi Sunda, 

   gunung dimaknai sebagai tubuh manusia. Gunung Tangkubanparahu dimaknai 

   sebagai manusia yang sedang menelungkupkan dirinya dan itu menandakan 



 
   suasana hati yang sedang bingung penuh penyesalan. 



   - TALAGA BANDUNG. Artinya: > talaga = danau. >bandung = 1) perahu atau 

   dua buah rakit yang disatukan dan di atasnya dibuat tempat berteduh. 2) 



 
   bandung > bandung + an = memperhatikan, menyimak. Maknanya: Talaga dimaknai 

   sebagai alam kehidupan di dunia ini. Talaga Bandung = Dalam kehidupan di 

   dunia ini kita ibarat perahu yang dirakit berpasangan dengan sesama makhluk 



 
   lain, seyogyanya dapat membangun kehidupan bersama, yaitu kehidupan yang 

   saling memperhatikan, silih asih, silih asah dan silih asuh, interdependency 

   (saling ketergantungan yang harmonis), equaliter ( setara di depan hukum) 



 
   dan egaliter (setara di dalam kehidupan) 

   







*KESIMPULAN YANG BISA KITA MAKNAI* 



Bila kita runut seluruh informasi di atas, maka akan ditemukan alur kearifan 

pandangan hidup masyarakat Sunda yang terkandung dalam legenda Gunung 



 
Tangkubanparahu. Kearifan yang dibungkus dengan cerita legenda ini dapat 

menjadi acuan hidup bagi siapa pun dalam melayari keberadaannya baik secara 

manusia lahiriah (fisik) maupun manusia transendental (ruhi). 



 


Di bawah ini dirangkai kembali secara ringkas alur legenda tsb. semoga dapat 

memperjelas arti dan makna yang dikandungnya: 



Legenda atau Sasakala Gunung Tangkubanparahu dimaksudkan sebagai cahaya 

pencerahan (= Sungging Perbangkara) bagi manusia yang masih bimbang akan 



 
keberadaan dirinya dan berkeinginan untuk menemukan jatidiri kemanusiaanya ( 

= Wayungyang). 



Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati 

(nurani) sebagai kebenaran sejati (= Danghyang Sumbi, Rarasati); tetapi bila 



 
tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (= taropong), 

maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus 

menerus (= digagahi si Tumang) dan akan melahirkan ego-ego yang egoistis, 



 
yaitu jiwa yang belum tercerahkan (= Sangkuriang). Ketika Sang Nurani 

termakan lagi oleh kewaswasan (= Danghyang Sumbi memakan hati si Tumang) 

maka hilanglah kesadaran yang hakiki. 



Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya 



 
kesombongan rasio Sang Ego (= kepala Sangkuriang dipukul). Tentu saja 

kesombongannya pula yang mempengaruhi Sang Ego untuk menjauhi dan 

meninggalkan Sang Nurani. Keangkuhan rasio yang telah lelah mencari ilmu 



 
dengan mengelilingi seantero jagat, ternyata kembali ke titik awal kehidupannya. Akhirnya menemukan Sang Nurani yang secara sadar atau pun 

tidak tetap dicarinya (= Pertemuan Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi). 





 
Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (= Sangkuriang) 

dengan Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi), tidak semudah yang 

diperkirakan oleh Sang Ego. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya 



 
Sang Ego (= Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang 

dilandasi kasih sayang, interdependency - silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan social (= Talaga Bandung) 



 
yang berasal dari kumpulan manusia yang bermacam corak ragam perangainya (= 

Citarum). Keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego sendiri 

(= pembuatan perahu). 



Keberadaan Sang Ego itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok 



 
yang menjadi asal muasalnya (= Bukit Tunggul, pohon sajaratun) yang berasal 

sejak dari awal keberadaannya (= Timur, tempat awal terbit kehidupan) dan 

Sang Ego pun pada akhirnya akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam 



 
masyarakat yad. dan semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk 

tulang-belulang (= gunung Burangrang). Betapa mengenaskannya, bila ternyata 

harapan untuk bersatunya Sang Ego dengan Sang Nurani yang tercerahkan ( = 



 
hampir terjadinya perkawinan antara Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi), 

gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (= 

Bo'eh rarang = kain kafan). 



Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego tidak lain hanyalah rasa 



 
menyesal yang teramat sangat dan marah kepada "dirinya", maka ditendangnya 

keegoisan dirinya jadilah seonggok manusia transcendental yang tengah 

tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (= Gunung 



 
Tangkubanparahu). Walau demikian lantaran masih merasa penasaran dikejarnya 

terus Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi) dengan harapan dapat 

luluh bersatu antara Sang Ego dengan Sang Nurani, tetapi ternyata Sang 



 
Nurani yang tercerahkan kini hanya menampakkan diri menjadi saksi atas 

perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego ( = bunga Jaksi). 



Akhir kisah dari Sang Ego (=Sangkuriang) yaitu datangnya kesadaran dengan 



 
berakhirnya kepongahan hawa nafsunya (=Ujungberung); dengan kesadarannya 

pula, dicabut sumbat dominasi keangkuhan rasio (= gunung Manglayang), 

melalui proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (= Sanghyang 



 
Tikoro =tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong) serta 

memperhatikan dan menjaga dengan seksama makanan yang masuk ke dalam 

lambungnya yaitu makanan yang halal dan bersih (=Sanghyang Tikoro = 

kerongkongan). 



 


*AKHIR WACANA* 



Seperti ditulis pada awal wacana, Hermeunetika adalah ilmu menafsirkan 

tentang sesuatu agar mempunyai arti dan makna, sehingga dapat dipetik 

manfaatnya. Oleh karena itu sangat bersifat subyektif dan inklusif, serta 



 
tetap terbuka bagi siapa pun untuk memasukkan tafsirannya secara pribadi. 

Boleh-boleh saja dan itu akan besar manfaatnya dalam membentuk masyarakat 

yang bermartabat. 



Bandung, 18 April 2004 

Hidayat Suryalaga - Mkl. 264



 

 

. Nambihan informasi pakait sareng tafsir carita Sangkuriang seratan abah Surya

 

Kang oman pami anu dimaksad seratan abah surya diluhur teh akang gaduh bukuna? Atanapi naon. Tiasa pami abdi hoyong terang, atanapi intina wungkul bral keun. Geuning kaluhungan sunda teh jero …

 

Hatur nuhun

 

 

Hehehe...nya muhun atuh kang, gen anjing sareng gen manusa mah beda. Maenya aya jelema indung/bapana anjing atawa babi?. Kacida teuing wae belegugna jelema anu percaya kana dongeng rahul siga kitu.

Sok sanaos kitu, hatur nuhun kintunana. Nambihan informasi pakait sareng tafsir carita Sangkuriang seratan abah Surya. Yen ikon Dayang Sumbi, Sangkuriang, si Tumang, jst teh pinuh ku maksud filosofis anu luhung. Kunaon cenah perlu dibungkus ku ikon2 saperti kitu? Sangkan malikir, sugan. Sabab, ngilo Al Qur'an oge teu sakabehna ayat-ayat Al qur'an teh muhkam atawa jelas ku soranganana tan merlukeun ta'wil jeung tafsir.

Seueur ayat Al Qur'an anu merlukeun meditasi jeung pikiran anu jero. Contoh anu gampang wae eta soal sawarga anu mindeng digambarkeun salaku tempat anu pinuh ku bidadari. Pikiraneun keur anu ngagarunakeun akalna.

Cag heula.

manar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar