Jumat, 05 Februari 2010

Refleksi 63 Tahun HMI

Refleksi
63 Tahun HMI
HMI dan Agenda Strategis Bangsa
Oleh Arip Musthopa
Ketua Umum PB HMI
2008-2010

Hari ini, 63 tahun sudah Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) berkiprah. Terpaut hanya delapan belas bulan lebih muda dari
usia NKRI. Bernafaskan keindonesiaan dan keislaman, HMI menjadi saksi sejarah
perjalanan republik. Jatuh-bangun mulai era revolusi fisik, demokrasi
parlementer, demokrasi terpimpin, orde baru, hingga era reformasi. Setiap era,
HMI senantiasa berupaya memberikan kontribusi yang terbaik kepada republik.
Menjadi bagian penting dari tiap perubahan besar yang terjadi.
Namun tidak ada gading yang tak
retak. Selalu ada kelemahan dan kekurangan. Hal positif yang menjadi modal HMI,
tak jera untuk terus mencoba. Layaknya insan akademis yang selalu haus untuk trial
and error. Apalagi status mahasiswa cukup membantu menjadi cover, toh kesalahan tidak melulu bermakna kehancuran.
Kiprah alumni HMI yang eksis di
banyak sektor kehidupan berbangsa dan bernegara menandakan 'anak-anak' HMI
mampu survive. Memang HMI dikenal memiliki daya adaptasi yang tinggi dan
tak mudah menyerah menghadapi segala kesulitan. Motto 'yakin usaha sampai'
mendarah-daging dalam jiwa kader HMI.
***
Semangat memberi yang terbaik
untuk republik, tak takut mencoba dan salah, serta optimisme yakin usaha
sampai, kini kami rasakan menggelora dalam sanubari kader menjelang usia HMI
ke-63. Suatu spirit positif yang dibutuhkan bukan saja untuk kemajuan, namun
juga peradaban. Spirit positif tersebut adalah aset berharga yang memungkinkan
kader HMI bangga mengibarkan benderanya. Menjadikan alumni HMI tidak tertunduk
lesu untuk mengaku sebagai alumni. Lantas, kemana energi besar ini harus
disalurkan?
Di tengah kondisi bangsa yang
dibayang-bayangi krisis politik saat ini, HMI dituntut untuk tetap kritis dan
bersuara lantang tanpa harus kehilangan pijakan intelektual. Oleh karena itu,
HMI harus meletakkan sikap dan aksinya dalam koridor agenda-agenda strategis
bangsa Indonesia. Tidak terjebak pada fenomena sesaat dan tarian pihak lain
yang belum tentu sejalan dengan kejatidirian HMI itu sendiri.
Agenda strategis bangsa tersebut
adalah pertama, pembangunan karakter bangsa (nation character building).
Kita telah memilih untuk demokrasi yang pilarnya adalah regulasi (UUD 1945
hasil amandemen) dan iklim kebebasan. Konsensus bangsa telah memilihnya dan
sekali layar terkembang surut kita berpantang.
Memang ada nada sumir yang
meragukan demokrasi cocok bagi Indonesia, atau bukan seperti ini demokrasi yang
kita mau. Namun, demokrasi adalah proses, tak mendadak sontak terwujud.
Kelebihannya, demokrasi memungkinkan pelibatan pelaku dalam proses secara
massif. Sehingga proses dan pembelajaran bukan hanya milik elit, namun juga
rakyat.
Pasti ada jeleknya, proses
menjadi lebih riuh dan potensi liar yang tinggi. Kemajuan bisa melambat,
ketidakpastian juga bisa meninggi dan menciutkan nyali. Namun itulah tantangan
sebuah pembelajaran kolektif atas nama demokrasi. Selama mekanisme checks
and balances berjalan berbasiskan akal sehat, tak perlu khawatir demokrasi
menjerumuskan. Bila telah sampai pada titik kesetimbangannya, kemajuan eksponensial
bukanlah mimpi yang utopis.
Kedua, menjadikan negara
fokus pada national interest-nya. Dalam hal ini kerapkali kita temukan kebijakan Negara yang tidak
menjurus pada kepentingan nasionalnya. Secara gamblang kepentingan nasional
adalah mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan
UUD 1945. Disana disebutkan bahwa tujuan kita adalah 'membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia'.
Analisa-analisa kritis
menunjukkan bahwa kita belum memiliki Pemerintah Negara yang mencerminkan apa
yang diinginkan konstitusi. Alih-alih berada pada posisi tersebut, malah
diidentikkan menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing. Adalah tugas
komponen bangsa yang tercerahkan untuk terus berbisik, berteriak, hingga
tindakan konstitusional pada pemerintah agar mengedepankan pewujudan
kepentingan nasional.
Meski tidak mesti diposisikan
diametral antara kepentingan nasional dan kepentingan asing, pengarusutamaan
kepentingan nasional wajib hukumnya. Masuknya kepentingan asing dimungkinkan
sejauh itu sejalan atau mendukung kepentingan nasional. Perspektif ini harus clear dalam setiap kebijakan Negara.
Globalisasi dan tanda-tanda
pergeseran konstelasi global di awal abad XXI saat ini, menunjukkan intensitas
lobi Negara-negara industri besar. Indonesia menjadi medan pertarungan yang
sengit antara Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Uni Eropa. Kondisi
tersebut mudah menenggelamkan kepentingan nasional dan mendudukkan kepentingan
asing menjadi yang utama.
Ketiga, menjadikan bangsa
Indonesia kompatibel menghadapi tantangan abad XXI. Abad XXI memiliki anasirnya
tersendiri dibandingkan dengan abad XX dan abad-abad sebelumnya. Meski selalu
ada yang sama dalam setiap abad, niscaya selalu lebih banyak yang berbeda di
masing-masing abad.
Konstelasi geo-ekonomi-politik
global, perbenturan antar peradaban tua, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, perjanjian-perjanjian internasional, dan peristiwa-peristiwa besar
di tingkat global dan regional adalah yang akan membentuk perwajahan abad XXI.
Sejarah mencatat bahwa dinamika global antara pra Perang Dunia (PD) I hingga
pasca PD II mampu dimanfaatkan generasi muda bangsa ketika itu untuk merumuskan
kelahiran bangsa dan Negara Indonesia.
Kini telah 100 tahun dari masa
itu, mampukah generasi bangsa saat ini, khususnya kaum muda, merumuskan dan
mendirikan pilar-pilar bagi kebangkitan bangsa selanjutnya? Sehingga apa yang
menjadi janji-janji kemerdekaan, apa yang menjadi raison d'ĂȘtre kita
membentuk Negara-bangsa bernama Indonesia menjadi kian dekat tergapai.
Abad XXI kerapkali digambarkan
sebagai era kebangkitan bangsa-bangsa Asia. Negara-negara di Asia Timur seperti
Jepang, China, Korea, dan Taiwan serta
India di Asia Selatan dinisbatkan akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia.
PDB dunia sebagian besar akan dikontribusi kawasan ini. Pertanyaannya, dimana
letak Indonesia dalam konstelasi tersebut?
Dengan potensi SDA melimpah dan
SDM yang besar sepatutnya kita menjadi emerging forces baik di tingkat kawasan
maupun global. Namun keunggulan komparatif tersebut tidak banyak bicara kecuali
dilengkapi dengan keunggulan kompetitif: penguasaan IPTEK dan SDM yang mumpuni.
***
Akhirnya, usia 63 tahun bukanlah
usia yang muda dan bukan juga senja untuk sebuah organisasi. Namun sudah lebih
dari cukup untuk meneguhkan kedewasaan dan kematangan dalam menyikapi zaman.
Ada ungkapan Nabi dimana adalah orang yang merugi apabila hari esok tidak lebih
baik dari hari ini dan hari kemarin.
Maka terus bergeraklah HMI, jejakkan
langkah-langkah mengharumkan di tengah gelombang dinamika yang terkadang insight-nya
tidak tampil kasatmata. InsyaAllah dengan niatan memberi yang terbaik, berani
mencoba dan salah, serta optimisme yakin
usaha sampai, penempatan historis yang manis akan kau raih. Dirgahayu HMI
ke-63. Wallahu a' lam bishshawab.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar