Jumat, 05 Februari 2010

PENGHANCURAN TERPIMPIN

*Opini Kompas, Sabtu, 30/1/2010*

*Penghancuran Terpimpin
*Chalid Muhammad

Pengerukan perut Ibu Pertiwi oleh industri tambang terus berlangsung
sistematis di negeri ini. Kalimantan adalah fenomena puncak gunung es.
Berita Kompas tentang penambangan batu bara beberapa hari terakhir
menegaskan betapa industri tambang berdaya rusak luar biasa dan tak
terkendali.

Kehancuran ekologis, penggurunan, serta peminggiran dan pemiskinan
penduduk lokal adalah karakter merusak yang melekat pada perilaku
industri tambang, yang populer disebut daya rusak tambang. Industri
tambang boleh dibilang anak emas kebijakan pengurusan negara dari rezim
ke rezim, tergolong sebagai sektor industri vital dan strategis.

Aparatus keamanan pun bergeser menjadi aparatus kekerasan. Sering
berujung pada pelanggaran hak asasi manusia dalam tugasnya mengamankan
industri ini. Itu sebabnya, pelaku tambang amat percaya diri mengeruk
bahan tambang secara tak bertanggung jawab, meninggalkan bom waktu
penderitaan berkelanjutan bagi masyarakat sekitar.

Praktik tak bertanggung jawab itu tak saja di Indonesia. Oxfam Amerika
dalam laporan riset, Extractive Industries and the Poor (2001),
meyebutkan bahwa negara-negara yang bergantung kepada sektor tambang
umumnya berstandar hidup rendah, bertingkat kemiskinan tinggi, skala
korupsinya masif, tingkat anak balita gizi buruk tinggi, rendah layanan
dana kesehatan, rentan gegar ekonomi, dan kerap dilanda perang sipil.
Kebenaran kesimpulan studi itu beberapa terlihat jelas di Indonesia.

Legalisasi penghancuran

Pilihan sadar pemerintah bergantung kepada industri tambang diawali
dengan kelahiran Undang-Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967,
disusul penerbitan Kontrak Karya PT Freeport, serta UU Pertambangan No
11/1967. Sejak itu, ribuan izin pertambangan kontrak karya, kontrak
karya batu bara, dan kuasa pertambangan (KP) dikeluarkan pemerintah.
Semangat obral bahan tambang begitu kental mewarnai kebijakan saat itu.
Ironisnya, semangat serupa masih kental mewarnai kebijakan pemerintah
saat ini.

Pemerintah atas nama pendapatan negara dan pendapatan asli daerah (PAD)
menjadi sangat agresif mengeluarkan izin tambang. Pendapat dan keberatan
rakyat atau pertimbangan rasional lain kerap diabaikan. Dalam lima tahun
terakhir, jumlah KP bertambah dan kegiatan pertambangan ilegal menjamur.
Tak terkendali.

Rekor tertinggi pengeluaran izin tambang dipegang Provinsi Kalimantan
Timur. Total KP batu bara yang diterbitkan di Kalimantan sebanyak 2.225
izin ( Kompas, 25/1).

Jika Kalimantan menjadikan batu bara sebagai komoditas buruan penambang,
Sulawesi memilih emas dan nikel sebagai target utamanya. Walhi mencatat,
lebih dari 429 KP dikeluarkan pemerintah kabupaten di Sulawesi Tengah
dan Sulawesi Tenggara. Penambang di Nusa Tenggara Timur memburu mangan,
emas, dan bijih besi.

Di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat penambangan mangan mengancam
daerah tangkapan air, yang sejak Orde Baru dikelola lewat dana utang
dari Jepang senilai 167 juta dollar Amerika Serikat (AS) untuk Manggarai
Water Investment Project. Kini, sebagian daerah tangkapan air itu
dirusak tambang mangan, yang sumbangannya kepada PAD tak lebih dari Rp
300 juta per tahun. Sungguh pilihan yang tak masuk akal.

Keberanian Presiden

Hampir semua kabupaten mengeluarkan izin tambang. Pulau kecil seperti
Gag, Lembata, serta Karimun tengah dan akan dikeruk. Pemerintah pusat
mengubah pula banyak kebijakan agar perusahaan asing dapat terus
menambang. Penambangan ilegal pun terus meningkat. Di sisi lain,
sebagian besar produksi tambang Indonesia ditujukan bagi kebutuhan
negara lain. Hampir seluruh produksi batu bara Kalimantan dikirim ke
luar pulau. Tiap tahun, Kalimantan mengirim 99 juta ton batu bara ke
Jepang dan Korea, 11 juta ton (Eropa), 600.000 ton (Afrika), 400.000 ton
(Selandia Baru), serta 800.000 ton (AS dan Amerika Selatan).

Melalui pendekatan kebijakan pembangunan berkarakter merusak, Indonesia
berlari menyongsong kebangkrutannya. Daya rusak tambang meningkat
seiring dengan pertambahan izin yang dikeluarkan. Indonesia juga
terancam menghadapi kelangkaan batu bara dan bahan tambang lain karena
eksploitasi berlebihan. UU Mineral dan Batu Bara No 4/2009 secara sadar
tak mengatur langkah antisipatif terhadap krisis tak terhindarkan.

Belajar dari kebobrokan tata-kelola kekayaan alam Kalimantan, Presiden
mestinya segera mengambil langkah tegas mencegah meluasnya kerusakan
Kalimantan dan pulau lain. Ia harus segera menyatakan moratorium
penerbitan perizinan tambang serta mengevaluasi dan melakukan legal
audit terhadap semua izin yang telah terbit.

Pada saat yang sama, ambang toleransi tambang sesuai kebutuhan riil
dalam negeri harus dihitung. Presiden sebaiknya tegas mencabut izin
tambang yang sangat mengancam, dan mewajibkan pelaku industri tambang
memulihkan sosial-ekologis wilayah-wilayah keruk. Tanpa langkah itu,
tepatlah disebut saat ini negara tengah memimpin perusakan Ibu Pertiwi
melalui kebijakan dan rezim perizinan pertambangan.

Chalid Muhammad Ketua Institut Hijau Indonesia dan Direktur Walhi
(2005-2008)

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar