Rabu, 24 Februari 2010

BORNEO: Dying for a Biscuit

 

Opini Kompas, Sabtu, 30/1/2010

Penghancuran Terpimpin
Chalid Muhammad

Pengerukan perut Ibu Pertiwi oleh industri tambang terus berlangsung
sistematis di negeri ini. Kalimantan adalah fenomena puncak gunung es.
Berita Kompas tentang penambangan batu bara beberapa hari terakhir
menegaskan betapa industri tambang berdaya rusak luar biasa dan tak
terkendali.

Kehancuran ekologis, penggurunan, serta peminggiran dan pemiskinan penduduk
lokal adalah karakter merusak yang melekat pada perilaku industri tambang,
yang populer disebut daya rusak tambang. Industri tambang boleh dibilang
anak emas kebijakan pengurusan negara dari rezim ke rezim, tergolong sebagai
sektor industri vital dan strategis.

Aparatus keamanan pun bergeser menjadi aparatus kekerasan. Sering berujung
pada pelanggaran hak asasi manusia dalam tugasnya mengamankan industri ini.
Itu sebabnya, pelaku tambang amat percaya diri mengeruk bahan tambang secara
tak bertanggung jawab, meninggalkan bom waktu penderitaan berkelanjutan bagi
masyarakat sekitar.

Praktik tak bertanggung jawab itu tak saja di Indonesia. Oxfam Amerika dalam
laporan riset, Extractive Industries and the Poor (2001), meyebutkan bahwa
negara-negara yang bergantung kepada sektor tambang umumnya berstandar hidup
rendah, bertingkat kemiskinan tinggi, skala korupsinya masif, tingkat anak
balita gizi buruk tinggi, rendah layanan dana kesehatan, rentan gegar
ekonomi, dan kerap dilanda perang sipil. Kebenaran kesimpulan studi itu
beberapa terlihat jelas di Indonesia.

Legalisasi penghancuran

Pilihan sadar pemerintah bergantung kepada industri tambang diawali dengan
kelahiran Undang-Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967, disusul
penerbitan Kontrak Karya PT Freeport, serta UU Pertambangan No 11/1967.
Sejak itu, ribuan izin pertambangan kontrak karya, kontrak karya batu bara,
dan kuasa pertambangan (KP) dikeluarkan pemerintah. Semangat obral bahan
tambang begitu kental mewarnai kebijakan saat itu. Ironisnya, semangat
serupa masih kental mewarnai kebijakan pemerintah saat ini.

Pemerintah atas nama pendapatan negara dan pendapatan asli daerah (PAD)
menjadi sangat agresif mengeluarkan izin tambang. Pendapat dan keberatan
rakyat atau pertimbangan rasional lain kerap diabaikan. Dalam lima tahun
terakhir, jumlah KP bertambah dan kegiatan pertambangan ilegal menjamur. Tak
terkendali.

Rekor tertinggi pengeluaran izin tambang dipegang Provinsi Kalimantan Timur.
Total KP batu bara yang diterbitkan di Kalimantan sebanyak 2.225 izin (
Kompas, 25/1).

Jika Kalimantan menjadikan batu bara sebagai komoditas buruan penambang,
Sulawesi memilih emas dan nikel sebagai target utamanya. Walhi mencatat,
lebih dari 429 KP dikeluarkan pemerintah kabupaten di Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Tenggara. Penambang di Nusa Tenggara Timur memburu mangan, emas,
dan bijih besi.

Di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat penambangan mangan mengancam
daerah tangkapan air, yang sejak Orde Baru dikelola lewat dana utang dari
Jepang senilai 167 juta dollar Amerika Serikat (AS) untuk Manggarai Water
Investment Project. Kini, sebagian daerah tangkapan air itu dirusak tambang
mangan, yang sumbangannya kepada PAD tak lebih dari Rp 300 juta per tahun.
Sungguh pilihan yang tak masuk akal.

Keberanian Presiden

Hampir semua kabupaten mengeluarkan izin tambang. Pulau kecil seperti Gag,
Lembata, serta Karimun tengah dan akan dikeruk. Pemerintah pusat mengubah
pula banyak kebijakan agar perusahaan asing dapat terus menambang.
Penambangan ilegal pun terus meningkat. Di sisi lain, sebagian besar
produksi tambang Indonesia ditujukan bagi kebutuhan negara lain. Hampir
seluruh produksi batu bara Kalimantan dikirim ke luar pulau. Tiap tahun,
Kalimantan mengirim 99 juta ton batu bara ke Jepang dan Korea, 11 juta ton
(Eropa), 600.000 ton (Afrika), 400.000 ton (Selandia Baru), serta 800.000
ton (AS dan Amerika Selatan).

Melalui pendekatan kebijakan pembangunan berkarakter merusak, Indonesia
berlari menyongsong kebangkrutannya. Daya rusak tambang meningkat seiring
dengan pertambahan izin yang dikeluarkan. Indonesia juga terancam menghadapi
kelangkaan batu bara dan bahan tambang lain karena eksploitasi berlebihan.
UU Mineral dan Batu Bara No 4/2009 secara sadar tak mengatur langkah
antisipatif terhadap krisis tak terhindarkan.

Belajar dari kebobrokan tata-kelola kekayaan alam Kalimantan, Presiden
mestinya segera mengambil langkah tegas mencegah meluasnya kerusakan
Kalimantan dan pulau lain. Ia harus segera menyatakan moratorium penerbitan
perizinan tambang serta mengevaluasi dan melakukan legal audit terhadap
semua izin yang telah terbit.

Pada saat yang sama, ambang toleransi tambang sesuai kebutuhan riil dalam
negeri harus dihitung. Presiden sebaiknya tegas mencabut izin tambang yang
sangat mengancam, dan mewajibkan pelaku industri tambang memulihkan
sosial-ekologis wilayah-wilayah keruk. Tanpa langkah itu, tepatlah disebut
saat ini negara tengah memimpin perusakan Ibu Pertiwi melalui kebijakan dan
rezim perizinan pertambangan.

Chalid Muhammad Ketua Institut Hijau Indonesia dan Direktur Walhi
(2005-2008)

2010/2/23 Annorwar Kelleng <pusaka.cfis@ gmail.com>

>
>
> Kelihatannya, kerusakan alam disebabkan oleh tangan manusia sendiri,
> berarti
> kerusakan alam di borneo akaibat ulah manusia indonesia sendiri, tetapi
> berdampak luas...
> Kasihan tanah airku..
>
> Kelleng
>

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar