Senin, 22 Februari 2010

Menunggu provokator PNS

From : saleh mude

Menunggu provokator PNS

Kita sudah sering dengar adanya slogan pentingnya reformasi birokrasi pusat dan daerah. Tema ini menjadi pilihan utama dalam setiap calon petarung dalam pilpres atau pilkada.

Kenyataannya? Nasib pelayan rakyat kita, yang bermerek Pegawai Negeri Sipil (PNS) belum banyak berubah, masih seperti kemarin, hari ini, dan hari tua mereka. Gaya hidup dan kesejahteraan mereka belum beranjak, kalau hanya diharapkan dari gaji dan tunjangan jabatan mereka sebagai PNS. Maka tidak aneh jika sebagian PNS lebih memilih perilaku seperti ini: datang telat dan pulang cepat ke/dari kantor. Liburan bersama ditambah. Cuti wajib diambil. Mencari objekan di luar kantor. Kalau dipercaya jadi ketua tender, minta komisi. Jadi makelar kasus, tender, dan jabatan. Kalau ada peluang korupsi pasti dimanfaatkan, dan lain-lain.

Padahal kita bayangkan ketika presiden, menteri atau gubernur, walikota/bupati baru telah dilantik, maka ada banyak perubahan dan program seperti janji kampanye mereka. Ada perubahan karakter dan nasib pegawai PNS. Ada perhatian agar mereka bisa hidup layak, profesional, dan mungkin diberi kesempatan meningkatkan pendidikannya. Tapi apa lacur, mereka lebih sering dikorbankan. Gaji mereka dipotong dan ditunda-tunda. Mereka yang masih berstatus calon PNS diharuskan membayar tinggi ke pejabat penentu, misal kepala biro kepegawaian demi predikat PNS. Kasus kriminal jual-beli status PNS pun sudah biasa.

Di sisi lain, mereka yang tidak pernah bermimpi jadi PNS ketika kebetulan masuk tim kampanye calon petarung presiden atau pilkada. Begitu penguasa/rezim baru, baik presiden, wapres, menteri atau gubernur, walikota, dan bupati sudah duduk sebagai orang nomor satu, maka bermunculanlah staf berwajah baru yang kini dipanggil staf khusus. Mereka langsung menjadi pegawai temporer yang mendapat posisi khusus dan fasilitas khusus, kesejateraan khusus dan bahkan lindungan hukum yang khusus pula. Semuanya bertipe khusus.

Tengoklah mereka yang kini diberi predikat khusus, misalnya staf khusus presiden (10 orang), wapres (era JK, 5 orang, kini saya dengar baru 4 orang), tiap menteri 3 orang, dan gubernur, wealikota, dan bupati pasti punya, entah berapa orang staf khusus.

Di kantor presiden, kata teman saya kemarin, yang kebetulan PNS. Di sana itu, ada 10 staf khusus presien. Tiap staf khusus diberi wewenang mengambil 5 asisten. Tiap asisten dibantu lagi oleh dua staf. Jadi seorang staf khusus dibantu oleh 7 orang staf khusus di luar sopir dan sekretaris pribadi dan ajudan. Betapa gemuknya sebuah birokrasi yang semuanya mendapat jatah gaji dan fasilitas yang khusus yang kasat mata dan dapat membikin iri hati seorang PNS yang mulai berkarier dari bawah. Mereka bekerja di bidang-bidang khusus tapi tidak jarang mereka bekerja tumpang-tindih dengan wilayah kerja deputi misalnya.

Bagi teman saya yang PNS itu, kemarin mencurhatkan kesan dan unek-uneknya, sampai pada kalimat yang bernada provokatif. "Jika saja praktik ini terus berlangsung, maka tunggu saja munculnya seorang provokator PNS yang mengajak semua PNS menuntut hak dan kesejahteraannya. ." Yakni, mereka meminta gaji dan fasilitas khusus pula, seperti yang dinikmati oleh mereka yang tiba-tiba nongol dan duduk sebagai staf khusus dan fasilitas khususnya….

Nah, apakah teman-teman termasuk yang pernah atau sedang melihat, merasakan, dan menikmati asyiknya kursi yang bertipe staf khusus itu? Sebuah praktik birokrasi yang tak elok dan mendesak direformasi demi terciptanya keadilan terhadap mereka yang berstatus PNS.

sm




.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar