Senin, 22 Februari 2010

OPINI: Petani, Kelaparan, & Kerusuhan

http://epaper.suarapembaruan.com/

Petani, Kelaparan, dan Kerusuhan

Oleh:
Sofyan Sjaf


Harga beras naik lagi. Inilah fakta yang dilangsir oleh berbagai media baik
cetak maupun elektronik beberapa hari ini. Kenaikan harga beras berkisar Rp.
1.000–Rp. 2.000 per liter disebabkan banyak hal, diantaranya stock
(ketersediaan) beras yang semakin menipis di tingkat petani, penggiling, dan
pedagang. Bagi orang kaya, kenaikan harga beras bukanlah persoalan yang
berarti. Namun bagi orang miskin, kenaikan harga beras adalah ancaman
kelaparan. Di Indonesia, potensi ancaman kelaparan ini menghantui 34,96 juta
jiwa penduduk miskin atau 15,42% penduduk Indonesia. Dengan demikian, inilah
angka yang berpotensi menciptakan kerusuhan sosial di Indonesia.
Laporan FAO menarik untuk kita simak, dimana kenaikan harga bahan pokok
(seperti beras) sebagai pemicu kerusuhan di negara-negara berkembang tahun
lalu. Sheeran (2009) mengingatkan bahwa orang-orang lapar membuat kerusuhan
sekurangnya di 30 negara tahun lalu. Harga pangan yang membumbung menjadi
pangkal kerusuhan di Haiti dan terjungkalnya perdana menteri negara
tersebut. Ini dikarenakan tanpa pangan, orang akan melakukan tiga opsi,
yakni mereka rusuh, bermigrasi, atau mati.
Tak dapat ditafikkan bahwa kejadian ini akan berlangsung dengan pasti di
Indonesia, jika tidak mendapat perhatian serius. Dirjen Bina Kesehatan
Masyarakat melaporkan bahwa saat hari ini terdapat 19 provinsi –lebih dari ½
provinsi di Indonesia— yang belum bisa mengatasi kelaparan. Sebagai
buktinya, peristiwa kelaparan yang berakhir dengan kematian setiap tahunnya
terjadi di Yahukimo, Papua.

Selamatkan Petani
Sangat disayangkan, pemerintah lebih memperhatikan korporasi pangan untuk
menyediakan pangan di republik ini, ketimbang petani kecil sebagai subyek
pembangunan pertanian. Padahal, mayoritas mereka yang kelaparan tersebut
adalah petani kecil. Kebijakan food estate adalah contoh betapa petani
teralienasi dari orientasi pemerintah membangun pertanian. Lahan seluas 2,49
juta hektar di Merauke yang seyogyanya dapat menyelamatkan petani kecil
sebanyak 871.500 KK petani kecil (3,5 juta jiwa) dari kelaparan, malah
diberikan kepada 38 korporasi pangan.
Dengan demikian, jalan satu-satunya mengantisipasi kelaparan dan terjadinya
kerusuhan sosial dikemudian hari adalah menyelamatkan nasib petani kecil.
Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara dari berbagai level. Pada
level makro, mendorong perombakan total paradigma kerja Departemen
Pertanian, yang tidak lagi hanya beroreintasi produksi, melainkan
berorientasi kesejahteraan petani kecil. Selain itu, memuluskan agenda
reforma agraria dan melakukan gugatan terhadap peraturan perundangan yang
tidak berpihak pada petani kecil. Upaya ini dapat terwujud bilamana petani
kecil terorganisir dengan baik.
Pada level meso, menggalakkan pola pertanian berkelanjutan yang sesuai
dengan konteks agroekologinya. Penguasaan teknologi dan keterampilan cara
bertani (budidaya) agroekologi terus ditingkatkan melalui beragam bentuk
pendidikan teknis dan strategis kepada petani kecil. Tidak cukup itu saja,
perluasan jejaring kerja antar petani perlu dilakukan sebagai upaya saling
belajar untuk menciptakan kesadaran kritis antar sesama petani.
Kemudian pada level mikro, memperkuat tradisi yang dimiliki oleh petani.
Ikatan kekerabatan, arisan warga, kebijaksanaan tetua adat, dan lain
sebagainya adalah lokomotif ekonomi desa sekaligus modal sosial yang selama
ini tersisihkan akibat kebijakan liberalisme (neo-liberalisme). Meski
demikian, modal sosial yang dimiliki oleh petani masih dapat kita jumpai
yang melekat dengan sistem sosial masyarakat kita. Subak di Bali, So'bok di
Mamasa, Suf di NTT, dan lain sebagainya merupakan institusi sosial yang
mampu menjamin tidak terjadinya kelaparan. Kerusuhan warga akibat kelaparan,
hampir tidak kita temukan dimana institusi ini berdiri dengan kokoh. Sifat
kegotong-royongan warga melalui kebijaksanaan tetua adat mampu membangun
solidaritas untuk mengatasi kelaparan yang terjadi di pedesaan. Upaya
memperkuat tradisi adalah jejak "revolusi kebudayaan" yang bertujuan
mensejahterakan petani kecil. Meski diperlukan usaha keras untuk
mengidentifikasi dan meramu kearifan tradisi yang masih bertahan dan sesuai
dengan konteks saat ini.
Akhirnya, sejarah pemberontakan kaum tani akibat kesewenang-wenangan rezim
tidak akan terulang bilama petani tidak lagi mengalami kelaparan atau
menjadi buruh di tanah airnya sendiri. []


*) Penulis adalah Dosen Sosiologi Pedesaan FEMA IPB dan Mahasiswa S3
Sosiologi Pedesaan IPB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar