Senin, 15 Februari 2010

PANDANGAN METAFISIS DALAM LEGENDA GUNUNG TANGKUBANPARAHU

 

 

PANDANGAN METAFISIS DALAM LEGENDA GUNUNG TANGKUBANPARAHU

 

Oleh: Rimbo Alfred

 

A. Pendahuluan

 

Legenda terjadinya Gunung Tangkubanparahu adalah salah satu cerita rakyat masyarakat Sunda yang paling populer. Legenda Gunung Tangkubanparahu, atau yang dalam tatar Sunda disebut pula sebagai sasakala terjadinya talaga Bandung atau dongeng Sangkuriang, dalam kaitannya sebagai sebuah cerita populer sering dimaknai ‘hanya' sebagai sebuah cerita Oedipus gaya Indonesia. Dalam benak sebagian besar orang menganggap bahwa Sangkuriang adalah seorang penderita Oedipus Complex yang jatuh cinta pada ibunya sendiri. Pandangan inilah yang akhirnya membawa orang pada kesimpulan yang salah tentang makna yang terkandung dalam legenda ini{www.sundanet.co.id).

 

Dalam Legenda Gunung Tangkubanparahu ada sebuah mitos yang akhirnya menjadi pandangan hidup orang Sunda secara keseluruhan. Mitos dalam hal ini adalah erat kaitannya dengan legenda, dongeng, cerita rakyat dan semuanya yang termasuk pada sebuah folklore. Mengenai mitos (C.A. Van Peursen, 1992:37) adalah sebuah cerita (lisan) yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Inti dari mitos adalah lambang-lambang yang menginformasikan pengalaman manusia purba tentang kebaikan dan kejahatan, perkawinan dan kesuburan, serta dosa dan proses katarsisnya. Di lain pihak, Wellek dan Austin Warren (1989) menyebutnya sebagai sebuah cerita anonim mengenai penjelasan tentang asal mula sesuatu, nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta akan menjadi alat pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Mengacu kepada dua pendapat tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa mitos yang dikandung dalam legenda adalah sumber pengetahuan mengenai kehidupan manusia pada masa lampau. Mitos disusun dalam suatu bentuk cerita sastra lisan sebagai alat transformasinya, sebab bentuk cerita lisan mempunyai pola struktur dan alur yang cukup ajeg dalam menuntun ingatan orang sehingga akan mudah diceritakan kembali.

 

Sastra lisan yang disebarkan melalui penuturan dari mulut ke mulut memang mempunyai kelebihan dimana dengan bahasa komunikasi sehari-hari orang akan lebih memahami apa yang disampaikan kepadanya. Namun, dalam hal ini sastra lisan mempunyai kelemahan yang elementer karena dengan penyebaran dari mulut ke mulut cerita yang orisinil akan tereduksi oleh si penyampai berita sehingga bisa menimbulkan misinterpretasi. Untuk menghindari kesalahan tafsir yang sangat mungkin terjadi kita perlu terlebih dahulu menguasai dasar-dasar hermeneutika. Kemampuan menafsirkan dan memaknai dalam budaya Sunda disebut dengan kemampuan memanfaatkan Panca Curiga ( lima senjata/ilmu), yaitu kemampuan untuk menafsirkan secara:

 

•  Silib, yaitu memaknai sesuatu yang dikatakan tidak langsung tetapi dikiaskan pada hal lain (allude).

 

•  Sindir, yaitu penggunaan susunan kalimat yang berbeda (alussion).

 

•  Simbul, yaitu penggunaan dalam bentuk lambang (symbol, icon, heraldica).

 

•  Siloka, adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma).

 

•  Sasmita, yang berkaitan dengan suasana dan perasaan hati (depth aphorisma).

 

Metode hermeneutika bisa dipergunakan untuk mencari makna-makna tersembunyi yang terdapat dalam Legenda Gunung Tangkubanparahu. Dalam hal ini kita akan memfokuskan diri pada kajian metafisika pada legenda tersebut untuk mendeteksi pandangan masyarakat Sunda tentang sesuatu yang ada dibalik realitas fisik.

 

B. Pembahasan

 

1. Alur Cerita Legenda Gunung Tangkubanparahu

 

Cerita tentang Legenda Gunung Tangkubanparahu mempunyai banyak versi yang berbeda. Hal ini disebabkan penyebaran cerita yang merupakan bahasa lisan yang bisa menimbulkan keanekaragaman interpretasi. Namun, apabila kita kaji lebih dalam sesungguhnya tidak ada suatu perbedaan yang mendasar apabila kita melihatnya dari segi alur cerita yang ingin dibangun (Koentjaraningrat,1971:56).

 

Secara singkat alur cerita Legenda Gunung Tangkubanparahu adalah sebagai berikut (www.sunda.co.id):

 

Raja Sungging Perbangkara pergi berburu, di tengah hutan Sang Raja kencing dan tertampung dalam tempurung kelapa. Seekor babi hutan betina bernama Wayungyang yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air kencing tadi. Hal ini menyebabkan Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik.

 

Bayi cantik itu dibawa ke keraton ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Setelah Dayang Sumbi dewasa banyak para raja yang meminangnya, tetapi tak seorang pun yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permintaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu si Tumang.

 

Ketika sedang asyik bertenun, Toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya menikah dengan si Tumang dan melahirkan bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.

 

Ketika berburu di hutan Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk memburu babi betina Wayungyang. Si Tumang tidak menurut dan karena kesal sangkuriang membunuhnya. Hati si Tumang diberikan kepada Dayang Sumbi oleh Sangkuriang untuk dimasak. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk sehingga luka.

 

Akhirnya Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia.

Setelah sekian lama menuju ke arah Timur akhirnya sampailah di arah Barat lagi dan tanpa sadar telah sampai di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya karena ia melihat tanda luka di kepalanya. Walaupun demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikah dengan Dayang Sumbi.

 

Untuk menghindari perkawinan terlarang itu Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuat perahu dan talaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya, maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi Gunung Bukit Tunggul, rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan mejadi Gunung Boehrangrang Ketika bendungan hampir selesai, Dayang Sumbi memohon kepada Hyang Maha Gaib agar maksud Sangkuriang tak tercapai.

 

Dayang Sumbi menebarkan irisan boehrangrang (kain putih hasil tenunannya), sehingga ketika itu pula fajar pun terbit. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkubaparahu. Sangkuriang pun mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujungberung akhirnya menghilang ke alam ghaib (Ngahyang).

 

2. Arti dan Makna Legenda Gunung Tangkubanparahu

 

Seperti telah dipaparkan pada awal tulisan bahwa legenda bukanlah sebuah kisah historis, tetapi lebih kepada mitos yang dijadikan acuan hidup oleh masyarakat pendukungnya. Di dalam Legenda Gunung Tangkubanparahu ini banyak menggunakan simbol yang harus ditafsirkan lebih lanjut untuk mendapatkabn pemahaman yang bernas tentang pandangan metafisika masyarakat sunda. Dibawah ini akan dipaparkan deskripsi dari setiap kata kunci dalam alur cerita Legenda Tangkubanparahu (www.sunda.co.id):

Sungging Perbangkara. Artinya : Sungging = ukiran, ornamen. Perbangkara (Prabhangkara) = Prabha = cahaya. > 'ng = penanda hormat, honorifik. > kara = matahari. Maknanya " Penanda dari kebaikan/kebenaran sebagai cahaya pencerahan bagi yang menyimaknya"

Babi hutan Wayungyang. Artinya: Wayungyang > w(b)ayeungyang = perasaan yang tidak tenteram, gundah gulana. Maknanya: Seseorang yang masih berada dalam sifat kehewanan tetapi telah mulai bimbang dan menginginkan menjadi seorang manusia seutuhnya (berperi-kemanusiaan).

Dayang Sumbi (Danghyang). Artinya : > Dang = penanda hormat, honorific. Yang < Hyang = gaib. > Sumbi = 1) tendok = alat untuk menusuk hidung kerbau agar menurut. 2) Bagian ujung terdepan dari perahu sebagai penunjuk arah dalam berlayar. Maknanya: Petunjuk gaib sebagai kendali manusia dalam menentukan arah dalam melayari kehidupannya. Bisa dimaknai pula sebagai kata hati, nurani yang mendapat pencerahan dari Tuhan.

Rarasati nama lain dari Dayang Sumbi. Artinya : > Raras = perasaan yang sangat halus. > ati = hati, qalbu. Maknanya: Hati atau qalbu yang penuh dengan kehalusan budi karena mendapat pancaran sinar Ilahi.

Si Tumang. Artinya: > tumang = 1) Peti yang tertutup (b. Kawi), 2) mangmang = sumpah (b.Kawi) tu-mang-mang = orang yang terkena sumpah karena waswas. Maknanya: karakter seseorang yang selalu asal bersumpah, waswas, akhirnya termakan sumpahnya sendiri, hatinya seperti peti yang tertutup rapat tidak mendapat pencerahan.

Sangkuriang. Artinya: > 1) Sang = penanda hormat, honorifik. > Kuriang < kuring = saya, ego. 2) Sang = penanda hormat, honorific. > Kuriang < guru + hyang = ego yang gaib. Maknanya: Sangkuriang = Jiwa (ego) non material yang menjadi dasar tumbuhnya kesadaran mental manusia yang selalu mendapat cobaan dan ujian kualitas dirinya.

Taropong. Artinya : 1) Alat bertenun dari sepotong bambu kecil (tamiang) tempat benang pakan (torak); 2) Alat untuk melihat sesuatu agar lebih jelas (teropong). Maknanya: Kegiatan (semangat) manusia dalam menata perilaku kehidupan agar terusun tertib sesuai dengan kualitas dirinya serta mampu melihat dengan jelas alur (visi) kehidupannya.

Sungai Citarum. Artinya: > Ci < cai = air. > Tarum = sejenis tumbuhan, daunnya untuk memberi warna indigo tua (hampir hitam) pada kain/benang tenun. Maknanya: Kehidupan adalah seperti air mengalir dalam perjalanannya akan mengalami beragam celupan kehidupan, kebahagiaan, keprihatinan dan juga hal-hal negatif lainnya sebagai ujian keteguhan hatinya.

Sanghyang Tikoro. Artinya: > Sang = penanda hormat, honorifik. > Hyang = gaib. >Tikoro = saluran di leher untuk bernafas dan berbicara (tenggorokan) atau saluran di leher untuk makan (kerongkongan). Maknanya: Kemampuan manusia dalam berbicara tentang apa pun yang baik atau pun yang jelek serta sering dilalui makanan entah yang halal atau yang haram.

Gunung Putri. Artinya > Putri = gadis, wanita cantik jelita, bangsawan. Maknanya: Karakter manusia yang dihiasi nilai keindahan dan cinta kasih. Dimaknai sebagi sifat kewanitaan (feminim, jamalliyah, rohimmi) yang penuh rasa kasih sayang.

Gunung Manglayang. Artinya: > Manglayang = 1) ngalayang, melayang. 2) Mang-layang > palayangan = Saluran untuk pembuangan air kolam/talaga. Maknanya : Kemampuan manusia untuk menguras dan membersihkan dirinya dari karakter yang kotor.

Ujungberung. Artinya: > Ujung = akhir. >berung > ngaberung = menurutkan hawa nafsu. Maknanya : Berakhirnya gejolak hawa nafsu yang negatif.

Kembang Jaksi . Artinya: 1) Jaksi > bisa dimaknai jadi + saksi . 2) Jaksi = bunga sejenis pohon pandan. Maknanya: Segala sesuatu yang dikerjakan seseorang akhirnya akan menjadi saksi pula bagi dirinya.

Boehrarang. Artinya : > Bo'eh = kain kafan. > rarang = suci, mahal. Maknanya: Semuanya akan berakhir bila satu saat mau tidak mau harus memakai kain kafan yang suci, yaitu datangnya waktu kematian mungkin secara fisik atau secara psikis.

Gunung Bukit Tunggul. Artinya : > Bukit = Bentuk gunung yang lebih kecil. > Tunggul = pokok pohon. Maknanya: Siapapun orangnya, kaya-miskin, pembesar atau pun rakyat kecil semuanya mempunyai pokok sejarah dirinya (leluhur) dan juga mempunyai pokok jati dirinya.

Gunung Burangrang. Artinya > Burangrang > Bukit + rangrang. > rangrang = ranting. Maknanya : Siapa pun orangnya tetap akhirnya akan ada sangkut pautnya dengan keturun dan masyarakat yad. yang pada gilirannya semuanya akan hilang ditelan masa (B.S ngarangrangan).

Gunung Tangkubanparahu. Artinya: >Tangkuban = tertelungkup, menelungkup. > Parahu = perahu. > Gunung Tangkubanparahu = gunung yang bentuknya seperti perahu yang tertelungkup. Maknanya: Dalam kosmologi Sunda, gunung dimaknai sebagai tubuh manusia. Gunung Tangkubanparahu dimaknai sebagai manusia yang sedang menelungkupkan dirinya dan itu menandakan suasana hati yang sedang bingung penuh penyesalan.

Telaga Bandung. Artinya: > talaga = danau. > bandung = 1) perahu atau dua buah rakit yang disatukan dan di atasnya dibuat tempat berteduh. 2) bandung > bandung + an = memperhatikan, menyimak. Maknanya: Talaga dimaknai sebagai alam kehidupan di dunia ini. Talaga Bandung = Dalam kehidupan di dunia ini kita ibarat perahu yang dirakit berpasangan dengan sesama makhluk lain, seyogyanya dapat membangun kehidupan bersama, yaitu kehidupan yang saling memperhatikan, silih asih, silih asah dan silih asuh, interdependency (saling ketergantungan yang harmonis), equaliter (setara di depan hukum) dan egaliter (setara di dalam kehidupan).

 

3. Manusia Mencari Prinsip pertama

 

Manusia adalah makhluk yang senantiasa berproses dalam setiap detik kehidupannya di dunia. Dalam setiap nafas yang dihembuskan manusia tentu senantiasa berusaha mencari jawaban atas suatu teka-teki besar yang menghadang hidupnya. Mungkin hal ini tidak akan menjadi terlalu rumit apabila kita hanya sebuah realitas fisik yang tidak mempunyai substansi apapun di dalamnya. Apakah mungkin ada suatu hal di balik realitas fisik? Hal inilah kemudian yang membuat manusia untuk bermetafisika. Metafisika sendiri bisa diartikan sebagai sesudah atau di belakang realitas fisik. Dalam metafisika (Louis O. Kattsoff, “Pengantar Filsafat”, 1992:191-207} terdapat 3 macam cara menggapai kenyataan yang terdalam, yaitu :

 

•  Yang ada dan yang tiada (non being)

 

•  Kenyataan dan kenampakkan

 

•  Eksistensi dan non eksistensi

 

Dalam kaitannya dengan Legenda Tangkubanparahu sendiri adalah pada dasarnya Legenda itu adalah sebuah pencarian manusia dalam mencari sebab pertama (causa prima). Metafisika dalam legenda Tangkubanparahu adalah adanya kenyataan dan kenampakkan. Yang nyata adalah legenda gunung Tangkubanparahu sedangkan yang nampak adalah adanya mitos dari masyarakat Sunda. Analisis dari legenda Tangkubanparahu yang akan menjadi mitos dari masyarakat setempat yaitu adanya keyakinan perkawinan sedarah akan menambah kekayaan bagi keluarga mereka.

 

Legenda atau Sasakala Gunung Tangkubanparahu adalah sebuah pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi manusia yang bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan untuk mencari hakikat kemanusiaannya (Wayungyang). Hasil dari pencariannya ini adalah manusia melahirkan hati nurani sebagai sebuah kebenaran sejati (Danghyang Sumbi/Rarasati). Namun, dalam proses pencariannya manusia harus berhati-hati dan berkesadaran penuh/ eling (taropong) agar tidak dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi Si Tumang) dan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika sang nurani termakan lagi oleh kewas-wasan (Danghyang Sumbi memakan hati Si Tumang) maka akan hilanglah kesadaran hakiki.

 

Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Dan karena kesombongannya pula Sang Ego meninggalkan Sang Nurani pergi untuk pergi dan mencari ilmu rasional mengelilingi jagatraya. Setelah lelah mencari Sang Ego akan kembali kepada titik awal kehidupannya. Pada saat itulah Sang Ego bertemu kembali dengan Sang Nurani yang secara sadar ataupun tidak adalah hal yang dicari oleh Sang Ego selama ini (pertemuan Sangkuriang dan Danghyang Sumbi). Namun, penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dan Sang Nurani Yang Tercerahkan (Danghyang Sumbi) tidak semudah seperti yang dibayangkan oleh Sang Ego. Sang Ego, dengan bekal ilmu yang didapatkan dalam perjalanannya, harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang dan interdependensi—silih asah dan silih asuh yang humanis harmonis. Hal ini mewujud sebagai sebuah telaga kehidupan sosial (Talaga Bandung) yang terdiri dari manusia dengan berbagai ragam perangainya (Citarum). Dalam keberagaman itu Sang Ego harus bisa membentuk keutuhan jatidirinya sendiri (pembuatan perahu).

 

Keberadaan Sang Ego tidak bisa terlepas dari prinsip pertama yang mendasari dirinya (Bukit Tunggul, pohon sarajatun) yang ada sejak awal keberadaan dirinya (Timur, tempat awal terbitnya kehidupan). Sang pada akhirnya akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat sampai akhirnya semua ditelan masa menjadi setumpuk tulang belulang (gunung Burangrang). Adalah sebuah tragedi ketika harapan Sang Ego untuk bersatu dengan Sang Nurani Yang Tercerahkan (Sangkuriang hampir berhasil menikahi Danghyang Sumbi) akhirnya gagal karena kehadiran sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (Bo'eh rarang/kain kafan).

 

Akhirnya Sang Ego menyesal dan teramat sangat marah kepada “dirinya”, maka ditendanglah keegoisan dirinya. Keegoisan itu berubah menjadi seonggok manusia transenden yang tengah tertelungkup meratapi nasibnya (Gunung Tangkubanparahu). Namun, Sang Ego masih penasaran dan mengejar Sang Nurani Yang Tercerahkan dengan harapan mereka akan bisa bersatu. Namun yang terjadi adalah Sang Nurani tidak menampak dalam realitas fisik dan hanya menjadi saksi atas apayang dilakukan Sang Ego (bunga Jaksi).

 

Akhir kisah dari Sang Ego ini adalah datangnya kesadaran dengan berakhirnya kepongahan hawa nafsunya (Ujungberung). Dengan kesadaran yang sama Sang Ego mencabut sumbat kepongahan rasionya (gunung Manglayang) dengan proses komunikasi yang santun dengan siapapun (Sanghyang Tikoro/tengorokan) serta memperhatikan makanan yang masuk ke mulutnya agar bersih dan halal.

 

C. Kesimpulan

 

Bila kita runut dari pandangan-pandangan di atas maka kita akan menemukan alur kearifan pandangan hidup masyarakat Sunda yang terkandung dalam Legenda Gunung Tangkubanparahu. Kearifan hidup ini dengan begitu cerdasnya dibungkus dalam suatu cerita sastra lisan populer yang bisa dipergunakan oleh setiap manusia dalam menjalani hidupnya baik keberadaan manusia secara lahiriah (fisik) ataupun yang transenden yang berada di balik realitas fisik.

 

Sangkuriang adalah simbol manusia yang terlempar ke dunia. Dalam hal ini ia berada dalam proses untuk menemukan jati diri kemanusiaannya. Proses pencarian akan nurani ini sangat panjang dan memberikan cobaan yang berat kepada Sang Ego karena keterbatasannya akan segala hal. Dalam pencarian yang maha panjang itu manusia mungkin sudah menjejaki setiap jengkal bumi manusia untuk melahap segala jenis ilmu yang ada di dalamnya. Namun, hanya dengan kesombongan dan ilmu manusia hanya akan selalu merasa tidak lengkap dan merasa ada bagian dari dirinya yang hilang—Sang Nurani Yang Tercerahkan. Ternyata rasio manusia tidak lebih dari setitik garam di lautan. Ada yang jauh lebih besar dari manusia, yaitu prinsip pertama yang transenden. Untuk mencapai pada tingkatan itu manusia harus menghancurkan berhala kesombongannya dan menjalankan hidup yang baik dengan alam dan manusia. Dengan menjalankan ini manusia akan mencapai sebuah titik akhir yang sempurna dimana tidak ada lagi pemisah antara Sang Ego dan Sang Nurani. Sang Ego adalah Sang Nurani dan Sang Nurani adalah Sang Ego.

 

Pada akhirnya ternyata banyak gagasan-gagasan metafisis yang kental dalam Legenda Tangkubanparahu dan itu membuktikan bahwa cerita ini bukan hanya sekedar cerita incest dimana anak jatuh cinta pada ibunya. Ada suatu makna dalam setiap drama kehidupan yang terkadang hanya terlihat realitas fisik dan bukan substansinya. Oleh karena itu, pencarian seperti yang dilakukan oleh Sangkuriang mutlak dilakukan karena kita dijatuhkan ke dunia bukanlah tanpa sebab.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bagus, Lorens. 1996, Kamus Filsafat , PT Gramedia, Jakarta.

 

Kattsoff, Louis O, 1992 Pengantar Filsafat , Tiara Wacana, Yogyakarta .

 

Koentjaraningrat. 1971, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia , Djambatan, Jakarta .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar