Rabu, 29 September 2010

Ekologi-Politik Pesisir


http://cetak.kompas.com/read/2010/09/25/03082957/ekologi.politik.pesisir

EKOLOGI-POLITIK PESISIR

Oleh :

ARIF SATRIA

Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB; Wakil Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4)

Tanggal 24 September 2010 ini adalah tepat setengah abad Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) No 5/1960. Hal yang sering terlupakan adalah bahwa UU PA juga mengatur tentang hak guna air dan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 16 dan 47). Air yang dimaksud adalah perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. Salah satu spirit penting dalam UU PA adalah adanya pengakuan negara atas hak ulayat yang dimiliki masyarakat, baik hak pemanfaatan maupun hak pengelolaan. Di wilayah pesisir, kedua jenis hak tersebut penting sebagai prasyarat menjamin kelangsungan hidup masyarakat pesisir. Hanya saja masalahnya adalah bahwa kedua jenis hak tersebut seringkali diabaikan. Kerusakan sumberdaya pesisir maupun konservasi yang sentralistik akan berdampak pada tak berfungsinya hak-hak mereka. Bagaimana upaya memperkuat kembali hak-hak masyarakat pesisir tersebut sesuai spirit UU PA?

Tragedy of Enclosure

Dulu Hardin mengeluarkan istilah tragedy of the commons, sebagai gambaran dampak dari ketidakjelasan hak-hak penguasaan sumberdaya karena sumberdaya tersebut bersifat akses terbuka (open access) yang kemudian menyebabkan kerusakan sumberdaya. Namun, kini ketika hak-hak penguasaan semakin jelas, yang mestinya masalah kerusakan sumberdaya bisa diatasi, ternyata kerusakan tersebut tetap terjadi. Dalam ekologi-politik, masalah ekologi tersebut bukanlah masalah teknis, tetapi lebih merupakan akibat dari tatanan politik dan ekonomi yang ada serta proses politik dari aktor-aktor yang berkepentingan. Inilah yang disebut Bryant dkk (2001) sebagai bentuk "politicised environment".Aktor yang dominan umumnya adalah negara dan swasta besar. Ternyata dominasi ini justru menyebabkan apa yang oleh Bryant sebagai tragedy of enclosure, yakni sebuah tragedi akibat dominasi negara dan swasta yang menyebabkan akses masyarakat pada pemanfaatan dan pengelolaan makin dibatasi. Melemahnya akses inilah yang membuat masyarakat makin marjinal. Dari sinilah Bryant membuat tesis baru bahwa: (a) biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati para aktor secara tidak merata, (b) distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi, dan (c) dampak ketimpangan sosial ekonomi tersebut merubah relasi kekuasaan antar aktor.Nah, apakah

tragedy of enclosure juga terjadi di wilayah pesisir, dan bagaimana mengatasinya ?

Politik Pesisir

Tentu wilayah pesisir tak bisa lepas dari tragedi ini. Praktek kegiatan pertambangan oleh swasta di wilayah pesisir terbukti memperlemah akses nelayan untuk melaut karena lautnya yang tercemar. Juga rencana adanya kluster perikanan berupa konsesi khusus bagi segelintir pengusaha perikanan bisa berdampak pada melemahnya hak-hak nelayan. Begitu pula praktek konservasi laut yang sentralistik bisa membatasi akses nelayan pada pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan. UU No 5/1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati masih sangat sentralistik dan minim pengakuan terhadap eksistensi hak-hak masyarakat pesisir.

Tragedi ini mestinya bisa diakhiri dengan legislasi pesisir yang populis. Kini pemerintah sudah punya UU No 27/2007 tentang pesisir dan pulau-pulau kecil, yang kini dalam proses revisi. Diharapkan revisi tersebut bisa menggunakan spirit UU PA, sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, bagaimana revisi UU 27/2007 bisa memperkuat posisi masyarakat dalam berbagai proses perencanaan pesisir, yaitu : (a) rencana strategis, (b) rencana zonasi, (c) rencana pengelolaan, dan (d) rencana aksi untuk pengelolaan pesisir. Rencana zonasi – yang harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) -- merupakan titik paling kritis karena memuat peruntukan wilayah pesisir. Proses perencanaan pesisir itu bukan merupakan arena yang netral, tetapi merupakan arena kontestasi kepentingan antar pelaku. Karena itulah, persoalan kritis berikutnya adalah bagaimana memperkuat akses masyarakat pesisir dalam pengambilan keputusan zonasi, sehingga menjamin akses mereka pada pemanfaatan sumberdaya. Nelayan dalam posisinya seperti sekarang ini sering merupakan aktor terlemah sehingga diduga sulit untuk bisa dominan dalam pengambilan keputusan zonasi. Bila posisinya lemah, nelayan berpotensi menjadi korban.

Kedua, meninjau kembali pasal tentang Hak Pemanfatan Perairan Pesisir (HP-3) yang saat ini bisa berlaku untuk masyarakat dan swasta selama 20 tahun dan bisa dialihkan serta diagunkan. Ada kekuatiran dengan berlakunya pasal ini akan terjadi "komoditisasi" perairan pesisir, dan tidak mempertimbangkan hak asal usul masyarakat adat. Padahal ada sejumlah hak yang sebenarnya melekat pada masyarakat adat. Begitu pula menurut UU PA, sumber-sumber agraria seperti tanah dan air memiliki fungsi sosial, sehingga mestinya tidak bisa diprivatisasi secara monopolistik oleh swasta.

Ketiga, memperkuat Pasal 61 yang menegaskan bahwa pemerintah mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearian local atas wilayah pesisir dan pulau kecil yang dimanfaatkan secara turun temurun. Pasal ini bagus sekali, sehingga perlu diperkuat dan dielaborasi pada peraturan turunanya untuk implementasi. Karena itulah pemberdayaan masyarakat pesisir tidak semata pada ekonomi, tetapi juga penguatan posisi politik mereka melalui penjaminan hak-hak agar mampu mengartikulasikan dan mempertahankan kepentingannya dalam setiap kontestasi. Bila kita masih yakin bahwa kita adalah bangsa bahari, maka jaminan terhadap hak-hak masyarakat pesisir itu merupakan suatu keniscayaan.


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar