Kamis, 02 September 2010

Bangsa yang (Dibuat) Kecil - Oleh Daoed Joesoef

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=24067
2010-08-31
Bangsa yang (Dibuat)
Kecil

Oleh : Daoed
Joesoef

Penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh
Polisi Diraja Malaysia di perairan Indonesia, dua hari menjelang HUT ke-65 dari
Kemerdekaan RI adalah satu tamparan bagi kita, selaku satu negara bangsa.
Pelanggaran kedaulatan wilayah kelautan kita oleh negeri jiran yang pongah ini
bukan terjadi baru sekali ini, sudah berkali-kali.
Insiden di antara dua
negara yang selalu digembar-gemborkan serumpun ini sepintas kelihatan aneh. Yang
kecil (Malaysia) kok berani "menampar" yang relatif lebih besar (Indonesia).
Secara fisik, Indonesia memang "besar", in terms of jumlah penduduk, keluasan
wilayah nasional, potensi kekayaan negeri. Namun, secara metafisika ia "kecil"
karena ia terus-menerus dipimpin oleh warganya yang berjiwa kerdil. Hal ini
lagi-lagi merupakan kesalahan kolektif kita, selaku satu Negara-Bangsa.
Kita
pasrah, membiarkan berbagai bidang kehidupan bersama diperintah oleh elite
politik dan pejabat teknis berjiwa kerdil. Kekerdilan jiwa ini, pertama,
tercermin dalam pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan peserta
The Future Defence Leaders Workshop 2010 tanggal 26 – 30 Juli di Jakarta. Dia
mengaku sempat mengalami kesulitan mencari calon Menteri Pertahanan dan pejabat
teras di Kementerian Pertahanan berlatar belakang nonmiliter. Kesulitan itu juga
ditemuinya, ketika hendak mengirim orang untuk menghadiri berbagai konferensi,
seminar, dan simposium di luar negeri tentang pertahanan, keamanan, dan hubungan
internasional.
Pernyataan ini tidak betul. Membohongi masyarakat. Kalau saja
dia tidak berjiwa kerdil, mau melihat lebih jauh dan melewati tembok berlapis
dari opini para penasihat yang "memagari" dan "melindunginya", dia pasti bisa
membaca tulisan-tulisan saya mengenai masalah pertahanan, keamanan (hankam) dan
hubungan internasional yang dibutuhkannya. Atau tulisan-tulisan serupa dari para
staf analis dan peneliti dari lembaga CSIS. Tulisan-tulisan konseptual tersebut
bisa saja berbeda, bahkan berlawanan, dengan apa-apa yang dipikirkannya di
bidang itu. Namun, ini kan bukan berarti bahwa pemikiran di bidang hankam dari
pihak sipil tidak ada.
Saya adalah warga negara sipil (civilian citizen). Di
pertengahan tahun 50-an abad lalu, selaku dosen FE-UI, saya sudah mulai menulis
tentang hubungan pertahanan dan ekonomi (defence economics). Dalam periode yang
sama, dalam rangka kebijakan "Ganyang Malaysia" dari Presiden Soekarno,
lagi-lagi selaku "orang sipil", saya menjadi anggota tim penasihat Inspektur
Jenderal Territorial dan Pertahanan Rakyat (Irjentepra).
Sebelum menulis itu,
saya pernah berkecimpung di bidang militer. Pengalaman kemiliteran saya peroleh
selama periode revolusi fisik (1945-1949). Berawal sebagai kadet di Akademi
Militer Darurat di Berastagi, lalu sebagai perwira di Divisi IV TKR Sumatera
Timur, kemudian selaku anggota Tentara Pelajar selagi ber-SMA di Yogyakarta dan
setelah penyerahan kedaulatan aktif kembali sebagai militer di Komando Militer
Kota Besar Jakarta Raya (1950-1951) selaku liaison officer. Saya keluar dari
dinas kemiliteran, memilih menjadi warga sipil, ketika fakultas ekonomi
didirikan oleh Universitas Indonesia.
Walaupun begitu, perhatian saya pada
masalah hankam dan ketahanan nasional tetap hidup. Ketika mengikuti program S-3
di Sorbonne, saya mengikuti perkuliahan tentang "strategi dan taktik" dari
Jenderal Beauffre, veteran perang di Afrika, Perang Dunia II dan Vietnam dan
disebut sebagai Bapak persenjataan nuklir Prancis. Tanpa perintah siapa pun,
atas kesadaran sendiri, di sela-sela riset dan penulisan tesis doktoral, saya
menyusun tiga konsep pembangunan Indonesia yang saling berkaitan, yaitu
"Pembangunan Sistem Hankam", "Pembangunan Ekonomi dalam rangka Pembangunan
Nasional", dan "Pembangunan Sistem Pendidikan dan
Kebudayaan".

Berprasangka Mencampuri
Sewaktu menjabat Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Pembangunan III, saya pernah
membicarakan pokok-pokok pemikiran saya tentang pembangunan sistem hankam itu
dengan Presiden Soeharto sendiri. Saya pikir kebijakan pemerintah di bidang
tersebut selama ini keliru. Bagaimana pertahanan nasional bisa fungsional dan
efektif kalau kekuatan di darat jauh lebih diutamakan daripada kekuatan di laut,
sedangkan negeri kita dua pertiga terdiri dari laut dengan aneka kekayaan yang
dikandungnya.
Jangan lupa bahwa Indonesia bukan sekadar "negara maritim"
tetapi above all an archipelagic state. Jadi, bukan terdiri atas pulau-pulau
yang dikelilingi laut, tetapi lautan yang ditaburi oleh kira-kira 13.000 pulau
besar dan kecil. Untuk mengamankan dan melindungi (wilayah) lautan ini
diperlukan suatu Angkatan Laut yang tangguh.
Ternyata pikiran strategis saya
tidak diterima sewajarnya oleh Presiden Soeharto. Dia malah berprasangka ada
kehendak mencampuri urusan pertahanan yang selama ini tertutup bagi pikiran
sipil, yang secara de facto merupakan hak prerogatif pikiran militer, mau
mengalihkan "hegemoni" Angkatan Darat dalam penanganan masalah ketahanan
nasional ke angkatan laut, menggoyah "dwi fungsi ABRI", ingin "menggurui" dan
tidak "njawani". Padahal, kalau jiwa Pak Harto tidak kerdil ketika itu dan
bersedia mengikuti koreksian saya terhadap kelemahan-kelemahan konsep hankam
yang dipegangnya, saya yakin Malaysia sekarang dan kapan saja tidak akan gegabah
mengganggu kedaulatan nasional di wilayah kelautan kita, karena harus menghadapi
Angkatan Laut yang relatif lengkap alat persenjataannya.
Saya paparkan ini
bukan hendak menyombongkan diri. Tapi, ingin mengingatkan betapa kekerdilan jiwa
Presiden Soeharto sudah berakibat fatal. Betapa kekerdilan jiwa Presiden SBY
telah menutup matanya terhadap keberadaan konsep hankam yang dibuat oleh warga
sipil yang bertanggung jawab. Saya tidak mengklaim bahwa konsep saya itu yang
paling benar, tidak pula berpretensi menjadi Menhankam. Saya hanya hendak
mengatakan bahwa konsep yang dianggap oleh Presiden sebagai "tidak ada",
sebenarnya sudah lama ada, sudah dipublikasi dan terbuka untuk setiap orang.
Bahkan, konsep itu sudah dijadikan rujukan oleh seorang sarjana Amerika dalam
menyiapkan Ph D tesisnya di bidang ilmu strategi.
Mengenai "Pertahanan
Negara" UUD-45 Pasal 30 menegaskan bahwa "tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara". Usaha ini, kalau mau correct,
lebih dahulu harus berupa "konsep", baru "aksi di lapangan". Penyusunan konsep
ini merupakan suatu tantangan par excellence terhadap penalaran intelektual dan
akademisi sipil. Sadarilah bahwa war is too important to be left to generals
alone.
Harus diakui bahwa kekerdilan jiwa juga menguasai tindak-tanduk dan
keputusan di kalangan penguasa sipil, bahkan di lingkungan komunitas ilmiah. Di
paruh kedua tahun 60-an mulai berpulangan pemuda-pemuda kita yang selama di
Jerman Barat mempelajari teknologi perkapalan karena mereka menyadari bahwa
Indonesia, tanah airnya, terdiri atas lebih banyak lautan daripada daratan.
Namun, mereka ditolak untuk bekerja sebagai insinyur di galangan kapal nasional
dan sebagai dosen di perguruan tinggi hanya karena mereka keturunan etnis
Tionghoa
Kekerdilan jiwa juga terdapat di kalangan penganut agama terbanyak
di negeri kita. Sambil berteriak "Allahu Akbar" dengan beringas mereka
menghancurkan rumah ibadah kelompok Muslimin yang berbeda interpretasi dalam
kepercayaan. Mereka pun tidak segan-segan mencegah warga beragama lain untuk
menjalankan ibadah yang sesuai dengan keimanannya, bahkan merobohkan gerejanya.
Padahal, UUD menyatakan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu".
Kekerdilan tercermin dalam kecenderungan kita yang
berlebihan mendatangkan pakar asing. Kita minta bantuan mereka membuat
undang-undang yang bisa menarik investor asing, demi keuntungan sesaat dari
generasi sekarang, tetapi akhirnya sangat merugikan kepentingan beberapa
generasi penerus.
Parpol-parpol yang menjamur, dengan alasan disiplin
kepartaian, malah memupuk kekerdilan jiwa di kalangan para anggotanya. Mereka
dibiasakan untuk percaya bahwa di luar lingkungan mereka yang sempit tidak ada
orang yang lebih berkemampuan berpikir dan berbuat. Pencalonan untuk menjadi
presiden, anggota jajaran legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus datang dari
parpol. Mereka tidak bersedia melihat, apalagi mengakui bahwa di luar sistem
parpol ada cukup dan semakin banyak jumlah tokoh-tokoh independen yang terdidik,
berpengalaman, dan berdedikasi tinggi terhadap kepentingan murni
Negara-Bangsa.
Negara-Bangsa Indonesia berpotensi besar untuk bisa menjadi
"besar". Namun, bagaimana mungkin begitu kalau ia ditangani oleh warga yang
berjiwa "kerdil". Momen besar telah berkali-kali muncul, tetapi lewat begitu
saja karena tidak direspons dengan tepat oleh pemimpin yang berjiwa
kerdil.

Penulis adalah alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon –
Sorbonne



Tidak ada komentar:

Posting Komentar