http://cetak.kompas.com/read/2010/09/25/03082957/ekologi.politik.pesisir
EKOLOGI-POLITIK PESISIR
Oleh :
ARIF SATRIA
Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB; Wakil Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4)
Tanggal 24 September 2010 ini adalah tepat setengah abad Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) No 5/1960. Hal yang sering terlupakan adalah bahwa UU PA juga mengatur tentang hak guna air dan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 16 dan 47). Air yang dimaksud adalah perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. Salah satu spirit penting dalam UU PA adalah adanya pengakuan negara atas hak ulayat yang dimiliki masyarakat, baik hak pemanfaatan maupun hak pengelolaan. Di wilayah pesisir, kedua jenis hak tersebut penting sebagai prasyarat menjamin kelangsungan hidup masyarakat pesisir. Hanya saja masalahnya adalah bahwa kedua jenis hak tersebut seringkali diabaikan. Kerusakan sumberdaya pesisir maupun konservasi yang sentralistik akan berdampak pada tak berfungsinya hak-hak mereka. Bagaimana upaya memperkuat kembali hak-hak masyarakat pesisir tersebut sesuai spirit UU PA?
Tragedy of Enclosure
Dulu Hardin mengeluarkan istilah tragedy of the commons, sebagai gambaran dampak dari ketidakjelasan hak-hak penguasaan sumberdaya karena sumberdaya tersebut bersifat akses terbuka (open access) yang kemudian menyebabkan kerusakan sumberdaya. Namun, kini ketika hak-hak penguasaan semakin jelas, yang mestinya masalah kerusakan sumberdaya bisa diatasi, ternyata kerusakan tersebut tetap terjadi. Dalam ekologi-politik, masalah ekologi tersebut bukanlah masalah teknis, tetapi lebih merupakan akibat dari tatanan politik dan ekonomi yang ada serta proses politik dari aktor-aktor yang berkepentingan. Inilah yang disebut Bryant dkk (2001) sebagai bentuk "politicised environment".Aktor yang dominan umumnya adalah negara dan swasta besar. Ternyata dominasi ini justru menyebabkan apa yang oleh Bryant sebagai tragedy of enclosure, yakni sebuah tragedi akibat dominasi negara dan swasta yang menyebabkan akses masyarakat pada pemanfaatan dan pengelolaan makin dibatasi. Melemahnya akses inilah yang membuat masyarakat makin marjinal. Dari sinilah Bryant membuat tesis baru bahwa: (a) biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati para aktor secara tidak merata, (b) distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi, dan (c) dampak ketimpangan sosial ekonomi tersebut merubah relasi kekuasaan antar aktor.Nah, apakah
tragedy of enclosure juga terjadi di wilayah pesisir, dan bagaimana mengatasinya ?
Politik Pesisir
Tentu wilayah pesisir tak bisa lepas dari tragedi ini. Praktek kegiatan pertambangan oleh swasta di wilayah pesisir terbukti memperlemah akses nelayan untuk melaut karena lautnya yang tercemar. Juga rencana adanya kluster perikanan berupa konsesi khusus bagi segelintir pengusaha perikanan bisa berdampak pada melemahnya hak-hak nelayan. Begitu pula praktek konservasi laut yang sentralistik bisa membatasi akses nelayan pada pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan. UU No 5/1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati masih sangat sentralistik dan minim pengakuan terhadap eksistensi hak-hak masyarakat pesisir.
Tragedi ini mestinya bisa diakhiri dengan legislasi pesisir yang populis. Kini pemerintah sudah punya UU No 27/2007 tentang pesisir dan pulau-pulau kecil, yang kini dalam proses revisi. Diharapkan revisi tersebut bisa menggunakan spirit UU PA, sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, bagaimana revisi UU 27/2007 bisa memperkuat posisi masyarakat dalam berbagai proses perencanaan pesisir, yaitu : (a) rencana strategis, (b) rencana zonasi, (c) rencana pengelolaan, dan (d) rencana aksi untuk pengelolaan pesisir. Rencana zonasi – yang harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) -- merupakan titik paling kritis karena memuat peruntukan wilayah pesisir. Proses perencanaan pesisir itu bukan merupakan arena yang netral, tetapi merupakan arena kontestasi kepentingan antar pelaku. Karena itulah, persoalan kritis berikutnya adalah bagaimana memperkuat akses masyarakat pesisir dalam pengambilan keputusan zonasi, sehingga menjamin akses mereka pada pemanfaatan sumberdaya. Nelayan dalam posisinya seperti sekarang ini sering merupakan aktor terlemah sehingga diduga sulit untuk bisa dominan dalam pengambilan keputusan zonasi. Bila posisinya lemah, nelayan berpotensi menjadi korban.
Kedua, meninjau kembali pasal tentang Hak Pemanfatan Perairan Pesisir (HP-3) yang saat ini bisa berlaku untuk masyarakat dan swasta selama 20 tahun dan bisa dialihkan serta diagunkan. Ada kekuatiran dengan berlakunya pasal ini akan terjadi "komoditisasi" perairan pesisir, dan tidak mempertimbangkan hak asal usul masyarakat adat. Padahal ada sejumlah hak yang sebenarnya melekat pada masyarakat adat. Begitu pula menurut UU PA, sumber-sumber agraria seperti tanah dan air memiliki fungsi sosial, sehingga mestinya tidak bisa diprivatisasi secara monopolistik oleh swasta.
Ketiga, memperkuat Pasal 61 yang menegaskan bahwa pemerintah mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearian local atas wilayah pesisir dan pulau kecil yang dimanfaatkan secara turun temurun. Pasal ini bagus sekali, sehingga perlu diperkuat dan dielaborasi pada peraturan turunanya untuk implementasi. Karena itulah pemberdayaan masyarakat pesisir tidak semata pada ekonomi, tetapi juga penguatan posisi politik mereka melalui penjaminan hak-hak agar mampu mengartikulasikan dan mempertahankan kepentingannya dalam setiap kontestasi. Bila kita masih yakin bahwa kita adalah bangsa bahari, maka jaminan terhadap hak-hak masyarakat pesisir itu merupakan suatu keniscayaan.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Rabu, 29 September 2010
Ekologi-Politik Pesisir
Senin, 20 September 2010
[kisunda] Urang Sunda Jadi Presiden
Urang Sunda Jadi Presiden
Oleh Jamaludin Wiartakusumah
Belakangan ini muncul berbagai upaya meningkatkan peran urang Sunda di
pentas politik nasional. Lingkung Seni Sunda Institut Teknologi Bandung,
misalnya, Juni lalu di Aula Timur ITB, menggelar acara bincang-bincang
dengan tema "Getih Sunda Solusi Konspirasi Zaman". Gagasan besarnya,
bagaimana urang Sunda mampu memberikan kontribusi positif lebih banyak
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang rudet ini.
Muara semua itu adalah kerinduan melihat urang Sunda menjadi presiden.
Level tertinggi yang pernah dicapai adalah perdana menteri (Ir H Djuanda)
dan wakil presiden (Umar Wirahadikusumah).
Apakah urang Sunda bisa menjadi Presiden RI? Tentu bisa dan sangat
mungkin. Sekarang saja yang menjadi presiden itu orang Cikeas. Yang sulit,
urang Sunda menjadi Presiden Tanzania, Sudan, Finlandia, atau Amerika.
Meskipun ada nama Nia di belakangnya, Tanzania tidak ada hubungan dengan
Nia Daniaty, penyanyi cantik yang urang Sunda. Meski namanya hanya
bertukar huruf dengan Sunda, Sudan bukan negara urang Sunda. Sementara
syarat menjadi Presiden Amerika, antara lain, harus lahir di Amerika.
Menjadi Presiden Finlandia juga repot karena orang Sunda mah melafalkan
huruf f, p, dan v cukup dengan pe. Huruf yang disukai orang Sunda adalah e
karena mirip senyuman. Itulah sebabnya, alfabet Sunda punya , e, dan eu.
Etnik lain belum tentu mudah mengucapkan Cicaheum atau Cibeureum dengan
baik dan benar.
Kearifan lokal
Ketika debat menentukan kapan sebaiknya Indonesia merdeka, Hussein
Djayadiningrat, intelektual Indonesia pertama yang meraih gelar doktor,
mengusulkan mendidik bangsa dahulu, baru merdeka. Hussein yang kuliah di
Universiteit Leiden tentu melihat Belanda sebagai acuan.
Sementara Bung Karno yang lama tinggal di Bandung, kuliah di THS (ITB),
menikah dengan Ibu Inggit dan mendirikan Partai Nasional Indonesia,
mengusulkan merdeka dahulu, baru membangun. Untuk meyakinkan hadirin
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Bung Karno mengajukan
argumen berupa adat urang Sunda masa itu. Katanya (kira-kira), "Lihat
orang Sunda, mereka menikah dulu sebelum punya pekerjaan."
Ujang, Asep, dan Entis yang sudah masuk usia nikah, tetapi hidupnya masih
teu pararuguh, oleh orangtua dijodokeun dan dikawinkeun. Mereka
dikondisikan menjadi suami. Maka, muncullah tanggung jawab untuk mencari
nafkah. Model ini sebangun dengan teori mestakung (semesta mendukung)
ciptaan Prof Yohanes Surya, pelatih siswa fisika kelas dunia. Dalam setiap
kondisi, dunia, alam sadar, alam bawah sadar, dan tubuh manusia mempunyai
mekanisme untuk menciptakan atau membangun kondisi yang mendukung.
Barangkali, karena itulah, orang Sunda gampang tersenyum dan tertawa,
tetapi mudah pundung.
Urang Sunda jelas punya potensi untuk menjadi presiden. Yang penting
adalah kemampuan memenuhi persyaratan. Persyaratan formal selain minimal
berumur sekian, di antaranya harus sehat rohani dan jasmani serta orang
Indonesia asli. Keaslian bisa dibuktikan secara genetik lewat tes DNA.
Pastilah di DNA orang Indonesia asli tertera kode Indonesia, seperti kode
IDR untuk rupiah, PK untuk pesawat terbang, KRI untuk kapal perang, 062
untuk telepon internasional, dan .id untuk situs internet.
Bahwa presiden harus ganteng atau cantik memang tidak ada dalam
Undang-Undang Dasar, tetapi melihat tampang presiden yang sudah-sudah, ya
syarat itu sepertinya fardu ain. Maklumlah, presiden kan juga pesohor.
Tampangnya ada di televisi, koran, dinding kantor, sekolah, dan prangko.
Namun, yang di prangko bernasib kurang mujur karena selalu dipukul palu
cap pos. Untuk urusan kasep atau geulis ini, Sunda tidak kekurangan orang.
Mengenal watak, kondisi, dan budaya bangsa adalah keharusan mutlak calon
presiden. Bila dulu bangsa kita terkenal sebagai pejuang, tabah, berani,
pantang menyerah, dan berani hidup susah, sekarang bangsa kita cenderung
mudah sedih alias melankolis melihat tayangan sinetron seraya mulai tidak
peduli pada tetangga sengsara. Kondisi lain, mau gampangnya saja, sebagian
menjadi penggemar bantuan langsung tunai dan beras untuk rakyat miskin,
lalu setiap saat siap menjadi korban tabung elpiji 3 kilogram. Simpati
kita biasanya tumpah pada tokoh protagonis yang lemah. Jadikan diri
sebagai figur yang teraniaya lawan politik, simpati semua orang akan
tertarik.
"Uga" baru
Bung Karno adalah presiden pertama dan proklamator kemerdekaan. Dia pandai
berpidato berapi-api dan menginspirasi banyak orang. Nyalinya luar biasa
besar. Dia berani teriak, "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis!"
Malaysia dijadikan bulan-bulanan karena dianggap boneka imperialis
Inggris. Bung Karno terkenal punya selera seni tinggi dan pernah punya
lebih dari satu istri. Perkara nyandung ini mah orang Sunda tentu sudah
khatam.
Barack Obama waktu tinggal di Jakarta katanya suka meniru gaya Pak Harto
berpidato di televisi. Urang Sunda yang hobi memancing punya peluang besar
menjadi presiden karena Pak Harto juga gemar memancing. Media luar
menjuluki Pak Harto "The Smiling General". Soal yang ini mah, orang Sunda
jagonya. Jangankan hanya tersenyum, tertawa ngakak ngabarakatak juga
sangat mahir. Pada zamannya, tidak ada kabar kapal perang atau polisi laut
Malaysia berani cari penyakit dengan ngulampreng ke perairan Indonesia.
Semua orang tahu, Pak Habibie cerdas luar biasa. Kalau saja ada 1.000
orang seperti BJ Habibie, Indonesia akan segera menguasai teknologi tinggi
dan disegani. Namun, anggota Dewan waktu itu anak TK, jadi gagap
teknologi. Gus Dur adalah kiai, tokoh besar Nahdlatul Ulama, figur bapak
bangsa yang disegani. Dengan jurus "gitu aja kok repot", ia punya peluang
membereskan kondisi negeri. Akan tetapi, pemikiran serius tapi santainya
relatif sulit diikuti bangsanya yang terbiasa dengan cara rezim Orde Baru.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau Pak Beye berkarier di militer. Oleh
Gus Dur dan lalu Bu Mega, dia diangkat menjadi menteri. Pengalaman di
kabinet dan dicuekin menjadi modal untuk mendirikan Partai Demokrat dan
melejit hingga terpilih menjadi presiden pertama lewat pemilu langsung.
Pak Beye ini merupakan doktor dari Institut Pertanian Bogor, santun dan
pintar mencipta lagu serta menyanyikannya. Selama menjadi presiden, sudah
beberapa album dihasilkan. Orang Sunda yang penyanyi bisa usaha sambilan
meniru Pak Beye ini.
Pertanyaan kritis mengapa urang Sunda belum ada yang menjadi presiden,
kita tunggu sampai ada calon yang mau, dipinang partai peserta pemilu, dan
terpilih. Sementara itu, pertanyaan kenapa urang Sunda harus menjadi
presiden perlu diajukan. Kalau masih heurin ku letah, tentu sulit membuat
kebijakan dan terobosan besar. Mekanisme kontrol kualitas khas Sunda,
yaitu bisi ngerakeun, tentu akan menghambat munculnya urang Sunda maju
menjadi calon presiden.
Yang penting sekarang, untuk menyemangati peningkatan kualitas manusia
Sunda agar lebih mampu berperan di segala bidang, formula Jayabaya
mengenai nama pemimpin nasional, yaitu Notonegoro, perlu didampingi uga
baru, seperti Indonesia jaya mun presidena urang Sunda!
JAMALUDIN WIARTAKUSUMAH Dosen Desain Itenas
?dimuat KOMPAS jawa barat 18 september 2010 ?
__._,_.___
Kamis, 16 September 2010
Nakol Bedugna Beda
Saminggu samemeh lebaran, ngadadak kuring kudu ka Surabaya. Rada wegah sabenerna mah kudu indit-inditan di bulan puasa teh, komo ari geus duekeut ka poe lebaran, tapi teu bisa nolak da parentah "pangab(utuh)" ...hehehe. Ti Bandung make mobil opat urang, kaasup supir. Inditna poe jumaah tas saur, da niat teh arek puasa we sakuatna. Jalan nu nu dipilih jalan Pantura, lumayan gancang, jam 11 geus tepi ka samemeh kota Kendal. Didinya neangan masjid rek ngilu jumaahan. Kabeneran pisan manggihan masjid gede disisi jalan, poho deui aran tempatna mah. Nya eureun didinya, mobil bisa parkir di hareupeun masjid pisan.
Kuring langsung ka tempat wudu, nu lumayan alus jeung bersih, terus asup ka jero masjid, maksud teh rek langsung solat sunat. Di jero masjid kuring nempo bedug mani gede pisan lengkep jeung kohkolna. Kulantaran geus jarang pisan kuring ngareungeu sora bedug, jadi panasaran hayang ngadenge sorana waktu ditabeuh, kuring ngahaja milih tempat deukeut bedug, hareupeunana, padahal di hareup masih karosong keneh.
Jam 12 kurang 20 menit, lamun teu salah mah, tukang nakol bedug, nu make samping jeung kopeah, ngajurungkunung tina diukna, kop kana panakol, terus nabeuh kohkolna, torongtong ..tong..tong ...dur!. Beg teh dada kuring asa aya ninggang, bakating ku eundeur. Dur ..dur ..dur.dur dur, bedug ditakolna beuki ngerepan, tepi ka sorana merekpek, geus kitu irama nakolna teh ngajarangan deui kira kira lamun didetikan mah 5 detik, 10 detik, 15 detik ...40 detik ..samenit ..jep weh jempe. "Ah meureun enggeus nakol bedugna teh", pikir kuring, nu siap-siap rek ngareungeukeun nu khotbah, naha make basa Jawa atawa Indonesia.
Na atuh, Dur ...deui wae bedug teh ditakol deui, kuring tepi ka ngarenjag. Dur ...dur ..dur bedug ditakol ngerepan deui, geus frekuensina kerep pisan, kakara ngajarangan deui, tepi ka intervalna aya 2-3 menitna. Ari sugan teh geus rengse, na ari pek teh dur deui wae, ngerepan terus ngajarang deui, kakara rengse, eureun. Kuring nempo arloji hayang nyaho sabaraha menit "proesesi" nambeuh bedug di lembur urang Jawa teh, euleuh geuning lumayan lila, aya kana 10 menitna da jam kuring nunjukkeun ampir jam 12 pas. Irama nakolna kira-kira ngerepan-ngajarangan-ngerepan-ngajarangan-ngerepan-ngajarangan ....
Rada aneh oge, sanajan irama nakolna ampir sarua jeung di lembur kuring, tapi di lembur kuring mah (baheula) teu lila kitu. Tapi duka upami di lembur sejen di tatar Sunda mah. Nu jelas, ayeuna, di Bandung atawa di lembur kuring di Sumedang geus tara ngareungeu deui sora bedug.
Baktos,
WALUYA
__._,_.___
Burisrawa Kaedanan - 27
Ti bah AA
Sinarna Saratoma moncorong, Raja Ganda Perkasa serabeun pisan, enggalna |
Burisrawa Kaedanan - 26
Ti bah AA
Beletak wae Arjuna ditonjok lebah dada; tapi teu rengrot. 5787EF74-ACDF-2699-46C1-853962BE7E34 1.03.01 |
Rabu, 15 September 2010
Selamat lebaran berbagai bahasa
Indonesia : Selamat Lebaran, Selamat Idul Fitri
Banjar : Salamat Bahari raya
Jawa : Sugeng Riyadi
Padang : Selamet Idul Fitri
Sunda : Wilujeng boboran siyam
Afghanistan : Kochnay Akhtar
Arab : Aid Mubarok
Bangladesh : Rojar Eid
Belanda : Eigendom Mubarak
Bosnia : Ramazanski Bajram
Bulgaria : Pritezhavani Mubarak
Chech : Vlastnictvi Mubarak
Cina : Guoyou Mubalake
Denmark : Ejet Mubarak
Finladia : Omistama Mubarakiin
Inggris : Happy Eid El Fitr
Israel : Bebe'lanat Mawba'rak
Itali : Proprieta Mubarak
Jepang : Chuuko Mubaraku
Jerman : Besitz Mubarak
Korea : Junggo mubarakeu
Kroasia : Vlasnistvu Mubarak
Kurdishtan : Cejna Remezanê
Malaysia : Salam Aidilfitri
Mesir : Ed Karim atau Eid Sahid
Nigeria : Sallah
Perancis : Fete de l'aid
Persia Iran : Eid-e-Sayed Fitr
Polandia : Wlasnosia Mubarak
Portugis : Mubarak propriedade
Rumania : Mubarak aflate in proprietatea
Rusia : Prinadlezhashchikh Mubarakj
Senegal : Korite
Spanyol : Mubarak, de propiedad
Swedia : Agda Mubarak
Turki : Ramazan Bayrami
Urdu India : Choti Eid
Yunani : Aneekoeen Moeemparak
Mugia mangpaat/Semoga bermanfaat.
AS
FW: Burisrawa Kaedanan - 25
Ti bah AA
|
Burisrawa Kaedanan - 24
Ti bah AA
Tunda nu nuju ragot jurit; kacaturkeun di Karaton Madukara, Yudhistira 5787EF74-ACDF-2699-46C1-853962BE7E34 1.03.01 |
Burisrawa Kaedanan - 21
Barang Patih Ganda Setra ningali nu jangkung luhur, ngahalangan ka manehna; 5787EF74-ACDF-2699-46C1-853962BE7E34 1.03.01 |
Burisrawa Kaedanan - 20
|
[kisunda] Burisrawa Kaedanan - 19
Jadi akhirna pasukan Setra Ganda Mayit ngaji ngarebu, bade ngarurug ka Madukara. |
__._,_.___
__,_._,___
[kisunda] Burisrawa Kaedanan - 18
|
__._,_.___
[kisunda] Burisrawa Kaedanan 17
|
Burisrawa Kaedanan - 16
Kacaturkeun Baladewa tos sumping ka Madukara; kaleresan masih rempeg sadaya; |
Senin, 06 September 2010
Burisrawa Kaedanan - 15
Kacatur Dursasana sareng Dur Dur sanesna, lumebet ka Karaton Astinalaya; |
Burisrawa Kaedanan - 14
Kumaha ari Gatotkacha nu amprok sareng Dursasana? |
Burisrawa Kaedanan -13
Aswatama teras wae nyerang ka Nakula; ari Jayadrata jeung pasukanana |
Burisrawa Kaedanan - 12
|
[kisunda] Burisrawa Kaedanan - 11
|
__._,_.___
Jumat, 03 September 2010
[kisunda] Burisrawa Kaedanan - 10
Barang Sumbadra ningali nu silih tonjok kitu enggal wae anjeunna |
__,_._,___
Kamis, 02 September 2010
Bangsa yang (Dibuat) Kecil - Oleh Daoed Joesoef
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=24067
2010-08-31
Bangsa yang (Dibuat)
Kecil
Oleh : Daoed
Joesoef
Penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh
Polisi Diraja Malaysia di perairan Indonesia, dua hari menjelang HUT ke-65 dari
Kemerdekaan RI adalah satu tamparan bagi kita, selaku satu negara bangsa.
Pelanggaran kedaulatan wilayah kelautan kita oleh negeri jiran yang pongah ini
bukan terjadi baru sekali ini, sudah berkali-kali.
Insiden di antara dua
negara yang selalu digembar-gemborkan serumpun ini sepintas kelihatan aneh. Yang
kecil (Malaysia) kok berani "menampar" yang relatif lebih besar (Indonesia).
Secara fisik, Indonesia memang "besar", in terms of jumlah penduduk, keluasan
wilayah nasional, potensi kekayaan negeri. Namun, secara metafisika ia "kecil"
karena ia terus-menerus dipimpin oleh warganya yang berjiwa kerdil. Hal ini
lagi-lagi merupakan kesalahan kolektif kita, selaku satu Negara-Bangsa.
Kita
pasrah, membiarkan berbagai bidang kehidupan bersama diperintah oleh elite
politik dan pejabat teknis berjiwa kerdil. Kekerdilan jiwa ini, pertama,
tercermin dalam pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan peserta
The Future Defence Leaders Workshop 2010 tanggal 26 – 30 Juli di Jakarta. Dia
mengaku sempat mengalami kesulitan mencari calon Menteri Pertahanan dan pejabat
teras di Kementerian Pertahanan berlatar belakang nonmiliter. Kesulitan itu juga
ditemuinya, ketika hendak mengirim orang untuk menghadiri berbagai konferensi,
seminar, dan simposium di luar negeri tentang pertahanan, keamanan, dan hubungan
internasional.
Pernyataan ini tidak betul. Membohongi masyarakat. Kalau saja
dia tidak berjiwa kerdil, mau melihat lebih jauh dan melewati tembok berlapis
dari opini para penasihat yang "memagari" dan "melindunginya", dia pasti bisa
membaca tulisan-tulisan saya mengenai masalah pertahanan, keamanan (hankam) dan
hubungan internasional yang dibutuhkannya. Atau tulisan-tulisan serupa dari para
staf analis dan peneliti dari lembaga CSIS. Tulisan-tulisan konseptual tersebut
bisa saja berbeda, bahkan berlawanan, dengan apa-apa yang dipikirkannya di
bidang itu. Namun, ini kan bukan berarti bahwa pemikiran di bidang hankam dari
pihak sipil tidak ada.
Saya adalah warga negara sipil (civilian citizen). Di
pertengahan tahun 50-an abad lalu, selaku dosen FE-UI, saya sudah mulai menulis
tentang hubungan pertahanan dan ekonomi (defence economics). Dalam periode yang
sama, dalam rangka kebijakan "Ganyang Malaysia" dari Presiden Soekarno,
lagi-lagi selaku "orang sipil", saya menjadi anggota tim penasihat Inspektur
Jenderal Territorial dan Pertahanan Rakyat (Irjentepra).
Sebelum menulis itu,
saya pernah berkecimpung di bidang militer. Pengalaman kemiliteran saya peroleh
selama periode revolusi fisik (1945-1949). Berawal sebagai kadet di Akademi
Militer Darurat di Berastagi, lalu sebagai perwira di Divisi IV TKR Sumatera
Timur, kemudian selaku anggota Tentara Pelajar selagi ber-SMA di Yogyakarta dan
setelah penyerahan kedaulatan aktif kembali sebagai militer di Komando Militer
Kota Besar Jakarta Raya (1950-1951) selaku liaison officer. Saya keluar dari
dinas kemiliteran, memilih menjadi warga sipil, ketika fakultas ekonomi
didirikan oleh Universitas Indonesia.
Walaupun begitu, perhatian saya pada
masalah hankam dan ketahanan nasional tetap hidup. Ketika mengikuti program S-3
di Sorbonne, saya mengikuti perkuliahan tentang "strategi dan taktik" dari
Jenderal Beauffre, veteran perang di Afrika, Perang Dunia II dan Vietnam dan
disebut sebagai Bapak persenjataan nuklir Prancis. Tanpa perintah siapa pun,
atas kesadaran sendiri, di sela-sela riset dan penulisan tesis doktoral, saya
menyusun tiga konsep pembangunan Indonesia yang saling berkaitan, yaitu
"Pembangunan Sistem Hankam", "Pembangunan Ekonomi dalam rangka Pembangunan
Nasional", dan "Pembangunan Sistem Pendidikan dan
Kebudayaan".
Berprasangka Mencampuri
Sewaktu menjabat Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Pembangunan III, saya pernah
membicarakan pokok-pokok pemikiran saya tentang pembangunan sistem hankam itu
dengan Presiden Soeharto sendiri. Saya pikir kebijakan pemerintah di bidang
tersebut selama ini keliru. Bagaimana pertahanan nasional bisa fungsional dan
efektif kalau kekuatan di darat jauh lebih diutamakan daripada kekuatan di laut,
sedangkan negeri kita dua pertiga terdiri dari laut dengan aneka kekayaan yang
dikandungnya.
Jangan lupa bahwa Indonesia bukan sekadar "negara maritim"
tetapi above all an archipelagic state. Jadi, bukan terdiri atas pulau-pulau
yang dikelilingi laut, tetapi lautan yang ditaburi oleh kira-kira 13.000 pulau
besar dan kecil. Untuk mengamankan dan melindungi (wilayah) lautan ini
diperlukan suatu Angkatan Laut yang tangguh.
Ternyata pikiran strategis saya
tidak diterima sewajarnya oleh Presiden Soeharto. Dia malah berprasangka ada
kehendak mencampuri urusan pertahanan yang selama ini tertutup bagi pikiran
sipil, yang secara de facto merupakan hak prerogatif pikiran militer, mau
mengalihkan "hegemoni" Angkatan Darat dalam penanganan masalah ketahanan
nasional ke angkatan laut, menggoyah "dwi fungsi ABRI", ingin "menggurui" dan
tidak "njawani". Padahal, kalau jiwa Pak Harto tidak kerdil ketika itu dan
bersedia mengikuti koreksian saya terhadap kelemahan-kelemahan konsep hankam
yang dipegangnya, saya yakin Malaysia sekarang dan kapan saja tidak akan gegabah
mengganggu kedaulatan nasional di wilayah kelautan kita, karena harus menghadapi
Angkatan Laut yang relatif lengkap alat persenjataannya.
Saya paparkan ini
bukan hendak menyombongkan diri. Tapi, ingin mengingatkan betapa kekerdilan jiwa
Presiden Soeharto sudah berakibat fatal. Betapa kekerdilan jiwa Presiden SBY
telah menutup matanya terhadap keberadaan konsep hankam yang dibuat oleh warga
sipil yang bertanggung jawab. Saya tidak mengklaim bahwa konsep saya itu yang
paling benar, tidak pula berpretensi menjadi Menhankam. Saya hanya hendak
mengatakan bahwa konsep yang dianggap oleh Presiden sebagai "tidak ada",
sebenarnya sudah lama ada, sudah dipublikasi dan terbuka untuk setiap orang.
Bahkan, konsep itu sudah dijadikan rujukan oleh seorang sarjana Amerika dalam
menyiapkan Ph D tesisnya di bidang ilmu strategi.
Mengenai "Pertahanan
Negara" UUD-45 Pasal 30 menegaskan bahwa "tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara". Usaha ini, kalau mau correct,
lebih dahulu harus berupa "konsep", baru "aksi di lapangan". Penyusunan konsep
ini merupakan suatu tantangan par excellence terhadap penalaran intelektual dan
akademisi sipil. Sadarilah bahwa war is too important to be left to generals
alone.
Harus diakui bahwa kekerdilan jiwa juga menguasai tindak-tanduk dan
keputusan di kalangan penguasa sipil, bahkan di lingkungan komunitas ilmiah. Di
paruh kedua tahun 60-an mulai berpulangan pemuda-pemuda kita yang selama di
Jerman Barat mempelajari teknologi perkapalan karena mereka menyadari bahwa
Indonesia, tanah airnya, terdiri atas lebih banyak lautan daripada daratan.
Namun, mereka ditolak untuk bekerja sebagai insinyur di galangan kapal nasional
dan sebagai dosen di perguruan tinggi hanya karena mereka keturunan etnis
Tionghoa
Kekerdilan jiwa juga terdapat di kalangan penganut agama terbanyak
di negeri kita. Sambil berteriak "Allahu Akbar" dengan beringas mereka
menghancurkan rumah ibadah kelompok Muslimin yang berbeda interpretasi dalam
kepercayaan. Mereka pun tidak segan-segan mencegah warga beragama lain untuk
menjalankan ibadah yang sesuai dengan keimanannya, bahkan merobohkan gerejanya.
Padahal, UUD menyatakan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu".
Kekerdilan tercermin dalam kecenderungan kita yang
berlebihan mendatangkan pakar asing. Kita minta bantuan mereka membuat
undang-undang yang bisa menarik investor asing, demi keuntungan sesaat dari
generasi sekarang, tetapi akhirnya sangat merugikan kepentingan beberapa
generasi penerus.
Parpol-parpol yang menjamur, dengan alasan disiplin
kepartaian, malah memupuk kekerdilan jiwa di kalangan para anggotanya. Mereka
dibiasakan untuk percaya bahwa di luar lingkungan mereka yang sempit tidak ada
orang yang lebih berkemampuan berpikir dan berbuat. Pencalonan untuk menjadi
presiden, anggota jajaran legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus datang dari
parpol. Mereka tidak bersedia melihat, apalagi mengakui bahwa di luar sistem
parpol ada cukup dan semakin banyak jumlah tokoh-tokoh independen yang terdidik,
berpengalaman, dan berdedikasi tinggi terhadap kepentingan murni
Negara-Bangsa.
Negara-Bangsa Indonesia berpotensi besar untuk bisa menjadi
"besar". Namun, bagaimana mungkin begitu kalau ia ditangani oleh warga yang
berjiwa "kerdil". Momen besar telah berkali-kali muncul, tetapi lewat begitu
saja karena tidak direspons dengan tepat oleh pemimpin yang berjiwa
kerdil.
Penulis adalah alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon –
Sorbonne
Burisrawa kaedanan - 9
|