Minggu, 13 Juni 2010

Orang Sunda Pasangan Idaman

Orang Sunda Pasangan Idaman

PASANGAN Deni dan Diah memperlihatkan buku dan surat nikah untuk
didokumentasikan seusai ijab kabul di salah satu masjid di Bandung,
beberapa waktu lalu. Dengan adanya globalisasi teknologi dan
informasi, perkawinan orang Sunda dengan non-Sunda cukup banyak dan
berpotensi kian banyak pada masa yang akan datang. Dalam suatu riset
kualitatif, pasangan Sunda dengan non-Sunda cenderung dapat
menyelesaikan masalah dengan baik.* DUDI SUGANDI/"PR"

HIDUP berpasangan adalah fitrah manusia. Pertemuan dua bangsa atau
suku dalam suatu interaksi sosial memung-kinkan terjadinya perkawinan
antarbudaya. Sebagai salah satu provinsi, Jawa Barat memiliki jumlah
penduduk terbesar di Indonesia. Berbagai data menunjukkan bahwa banyak
pendatang memilih Jawa Barat sebagai tempat hijrah.

Secara budaya, orang Sunda tidak memiliki pembatasan dalam perkawinan
(eksogami), kecuali larangan untuk tidak menikah dengan saudara
kandung. Orang tua Sunda kerap menyampaikan kepada anak-anak mereka,
"Boleh menikah dengan siapa saja, yang pen-ting seiman". Meski
demikian, ada beberapa data meng-ungkap mitos mengenai larangan
perkawinan laki-laki Sunda dengan perempuan Jawa. Dapat dipastikan,
per-kawinan orang Sunda dengan non-Sunda cukup banyak dan berpotensi
kian banyak pada masa yang akan datang de-ngan adanya globalisasi
teknologi dan informasi.

Meski dalam hubungan romantis, tiap pasangan kerap menghadapi
ketegangan. Ketegangan tersebut bukan karakter pribadi seseorang,
melainkan terjadi secara alamiah. Sebagai catatan, konflik ada dalam
setiap hubungan yang penting de-ngan adanya interaksi yang terjalin
(Baxter dan Montgomery (1998).

Konflik kian muncul de-ngan adanya perbedaan budaya. Seperti kita
ketahui, budaya memiliki aturan main masing-masing dan asumsi-asumsi
tersembunyi yang diyakini penganutnya. Konflik cenderung lebih besar
pada pasangan dengan budaya sa-ngat berbeda dibandingkan dengan yang
sama (Triandis, 2003). Hal yang benar dari suatu budaya, bisa jadi
merupakan tindakan tidak terpuji bagi budaya lain. Perbedaan tersebut
disebut "jarak budaya". Budaya terserap dalam sistem saraf seseorang
sejak kecil. Budaya dijalankan secara otomatis. Adanya interaksi pada
perkawinan antarbudaya, memungkinkan seseorang kian tergugah
kesadarannya mengenai kepemilikan budaya. Masalah terjadi ketika salah
satu dari pasangan mempercayai dirinya sebagai tempat berlabuhnya
suatu pernilaian. Aturan budayanya paling baik dan sempurna serta
dijadikan standar dalam mengukur budaya pasangan. Padahal budaya tidak
dapat dibandingkan (incommensurability).

Dari berbagai data disimpulkan, potensi konflik dalam perkawinan, di
antaranya perbedaan selera, kebiasaan, nilai-nilai, temperamen,
penghasilan, keyakinan, harapan. Masalah anak, kehadiran pihak lain,
seks, ipar-mertua, komunikasi terbatas, persepsi akan waktu luang,
persepsi akan peran gender, tempat tinggal; politik, teman, uang,
kelas sosial, agama, cara membesarkan anak, etnosentrisme, sekarang
ditambah dengan teknologi seperti Facebook, Twitter, juga berpeluang
menjadi konflik.

Bagaimana cara seseorang menghadapi konflik? Menurut Hocker & Wilmot
(1995) orang cenderung berkomunikasi dengan cara konsisten. Beberapa
taktik yang secara umum kerap digunakan, adalah: 1) taktik menghindar,
2) taktik kolaboratif, 3) taktik kompetitif dan 4) taktik akomodatif

Dalam suatu riset kualitatif yang pernah saya lakukan terhadap
pasangan Sunda de-ngan non-Sunda tahun 2006-2007, dapat disimpulkan
pasangan Sunda dengan non-Sunda cenderung dapat menyelesaikan masalah
de-ngan baik. Umumnya mereka mendiskusikan permasalahan sehingga
keputusan disepakati bersama. Ketegangan di antara mereka, lebih
dipicu masalah budaya, daripada masalah gender.

Istri bersuku Sunda cenderung berani menyatakan pendapat,
mempertahankan keyakinannya dan berdebat dengan cara lebih egaliter
pada pasangannya. Suami Sunda cenderung memberi kesempatan kepada
istrinya bersama-sama membuat keputusan. Pada beberapa situasi, suami
Sunda mempersilakan istrinya membuat keputusan.

Pasangan Sunda dengan non-Sunda cenderung menggunakan taktik
kolaboratif, yaitu taktik yang memperhatikan tujuan masing-masing
individu yang terlibat. Pasang-an juga cenderung menyelesaikan
konfliknya dengan taktik akomodatif. Taktik ini menunjukkan bahwa
salah satu individu dari pasangan tersebut cenderung mengalah, tidak
melawan, kooperatif, mengingkari membutuhkan atau tidak asertif pada
kebutuhannya, dan ekspresi ke- inginan untuk harmoni atau untuk
menyenangkan pa- sangannya.

Taktik kompetitif dan menghindar adalah taktik yang jarang digunakan,
meski bukan berarti tidak pernah. Taktik menghindar terkadang
digunakan dengan cara peng-elakan, perubahan atau menghindari
pembahasan topik, tidak berkomitmen dan menggunakan humor sebagai cara
untuk tidak menyelesaikan konflik secara langsung. Bilapun dilakukan,
taktik menghindar dilakukan pada hal yang tidak terlalu krusial dalam
hubungan mereka. Atau dapat juga pada permasalahan yang cukup krusial
namun telah dibahas dan tidak mudah ditemukan penyelesaiannya. Taktik
kompetitif juga umumnya tidak dilakukan. Taktik ini menunjukkan kesan
agresif, tidak kooperatif atau gaya "kekuasaan di atas". Taktik
kompetitif dapat dilihat datanya pada pasangan istri Sunda-suami
non-Sunda.

Sebagai tambahan, pemilih-an non-Sunda yang diriset, diseleksi pada
orang yang yang terekspos oleh budaya Sunda, misalnya pernah tinggal,
bekerja atau sekolah di wilayah Sunda. Pada non-Sunda yang tidak
pernah terekspos budaya Sunda, hasilnya mungkin berbeda. Namun, secara
umum kesimpulannya adalah, seseorang bersuku Sunda cukup nyaman
dijadikan pasangan terutama berkaitan dengan cara penyelesaian konflik
atas perbedaan yang terjadi di antara mereka. Pasangan Sunda dengan
non-Sunda cenderung kolaboratif dan akomodatif. Studi oleh Rochayanti
(2007) pada perkawinan antaretnik Sunda dengan non-Sunda juga
menyimpulkan hal senada, yaitu bahwa setiap individu dalam pasangan
tersebut berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan adat budaya
pasangan. (Dr. Leila Mona Ganiem, praktisi dan pemerhati budaya,
penulis buku "Beda Itu Berkah")***

web: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=144101

 

__._,_.___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar