Buku 1
ANGGUR EMAS
Karya: Usdek Emka J.S.
[46]
Sejenak tampak merah padam wajah perwira Mataram itu. Ia tahu ilmunya masih jauh di bawah Suro Brewok. Dan, ia juga tahu Suro Brewok tidak sedang sekedar menggertak. Namun demikian ia tak akan mundur. Baginya, gugur dalam mengemban tugas negara adalah sebuah kematian yang sangat didambakan bagi setiap prajurit. Tapi, pulang ke Mataram telanjang? Itu adalah penghinaan paling menyakitkan bagi seorang prajurit. Ia harus mencegah itu. Satu-satunya jalan adalah dengan mengadu jiwa dengan Suro Brewok. Kalau kalah dalam adu kesaktian itu, Ia akan dikenang sebagai pahlawan yang gugur menumpas pemberontak. Itulah keputusannya.
"Aku sudah siap ki Tumenggung," tantangnya dengan suara tenang, meski hatinya rada jerih membayangkan pulang ke Mataram telanjang.
"Wow jangan tergesa-gesa. Aku tak sudi mengotori tanganku."
"Maksud ki Tumenggung?" tanya perwira itu tak mengerti.
"Ajukan dua prajurit terbaikmu. Aku punya dua jago yang harus mereka kalahkan."
"Apa?" perwira itu terkejut. Ia kehilangan kesempatan gugur di tangan Suro Brewok.
"Kau dengar apa yang sudah kuucapkan," jawab Suro Brewok.
"Kalau jagoku menang, apa taruhannya?"
"Rangketlah aku. Serahkan ke Raja Pengkhianat itu."
"Siapa yang bakal menjamin kata-kata Tumenggung?"
"Kurang ajar. Bukankah kau tahu aku ini seorang Tumenggung? Tak adakah rasa hormatmu pada ucapan seorang prajurit berpangkat Tumenggung?" jawab Suro Brewok sewot.
"Jangan lupa, ki Tumenggung adalah prajurit yang memberontak," perwira Mataram itu berkilah.
"Bangsat banyak mulut. Hayo pilih dua jagomu dan cepat buat arena," teriak Suro Brewok dengan wajah ditekuk karena tersinggung.
Mendengar teriakan Suro Brewok, orang-orang yang ada di situ segera menepi membentuk arena pertandingan silat tanpa mengganggu ki Mangun dan lawannya yang sedang mengadu ilmu. [46]
__._,_.___
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar