Buku 1
ANGGUR EMAS
Karya: Usdek Emka J.S
[43]
Saat ini, suasana hutan sudah hampir senyap. Pasukan Mataram sudah mundur di barisan belakang gelanggang. Suro Brewok telah memerintahkan anak buahnya untuk istirahat. Ia memang tidak punya niat untuk menghabisi para prajurit Mataram. Bagaimanapun juga, ia dulu seorang perwira pasukan Mataram. Dia tidak ingin mengorbankan prajurit itu hanya karena kesombongan pimpinannya. Ki Suro membiarkan mereka mundur.
Ditemani Putri dan Raden Pekik, ki Suro Brewok memeriksa keadaan anak buahnya. Sebagian anak buahnya terlihat membantu rekannya yang terluka. Sedangkan sebagian lagi tetap bersiaga dengan senjata di tangan. Bentrokan antara anak buahnya dengan pasukan Mataram telah meningkatkan kewaspadaan anak buahnya.
Malam itu Raden Pekik mendapat ijin Suro Brewok tidur di perkemahan yang tak jauh dari markas induk Suro Brewok. Sebelum ayam hutan berkokok, Raden Pekik sudah terbangun. Telinganya yang tajam menangkap gerakan ringan ke arah tempatnya berbaring, tetapi ia tetap diam di tempat, pura-pura masih tertidur meski matanya mengikuti gerakan dua bayangan itu. Ternyata bayangan itu hanya lewat. Dari postur tubuh dan gerakannya, ia dapat memastikan kalau dua bayangan itu adalah ki Supo dan ki Suro Brewok. Setelah kedua bayangan itu menjauh, Raden Pekik mengikutinya dari belakang dengan sangat hati-hati. Di sebuah pancuran, ia melihat Suro Brewok dan ki Supo mencuci tangan, membasuh muka, telinga, dan kedua kakinya.
"Sepertinya mereka sedang berwudhu," pikir Raden Pekik. "Mereka mau sholat? Mereka merampok, tapi juga sholat" tanyanya penasaran. Sholat apa? Ini masih terlalu malam untuk sholat Subuh. Apakah mereka mau sholat Tahajud? Pikir pemuda itu.
"Anak muda tidak baik mengintip orang. Kalau ingin tahu, kemarilah," tiba-tiba saja pundak Raden Pekik ditepuk dari belakang. Orang itu adalah ki Mangun yang segera berjalan mendekati Suro Brewok dan ki Supo. Pemuda itu dapat mengukur betapa tinggi ilmu ki Mangun. Orang tua mendekat tanpa ia sadari.
Malu ketangkap basah seperti itu, Raden Pekik pun mengikut apa kata ki Mangun. Ia berjalan di belakang orang tua yang segera bersuci itu. Ternyata mereka bertiga memang sedang bersiap-siap untuk sholat Subuh.
"Apakah kamu juga sholat?" tanya ki Mangun, yang ditanya mengangguk. "Kalau begitu, cepatlah ambil air wudhu dan ikutlah kami."
Seperti orang terkena sihir, pemuda itu menurut saja apa kata ki Mangun. Mereka berjalan ke arah sebuah pondok kecil yang berada di bagian ujung markas gerombolan itu. Meski kecil, pondok itu nampak bersih dan rapi. Tanpa banyak cakap, mereka bertiga segera melakukan sholat. Raden Pekik yang melihat ketiganya sholat menjadi malu dan merasa berdosa. Ia pernah menggantung dan merangket Suro Brewok semalam suntuk. Ini berarti ia telah menghalangi hak Suro Brewok untuk menghadap Sang Ilahi. Ia tak menyangka kalau Suro Brewok bukan sekedar gembong perampok. Tadinya ia hanya berpikir perampok adalah perampok. Mereka orang jahat dan tidak mengenal Tuhan. Kalau orang mengenal Tuhan, tidak akan hidup sebagai perampok, demikian pikirnya waktu itu. Sekarang ketika melihat ketiga dedengkot Kecu Alas Roban itu sholat dengan khusyuknya Raden Pekik benar-benar terpukul dan merasa bersalah. Untuk mengurangi rasa bersalahnya, ia segera sholat dua rekaat, mohon ampun kepada Sang Pencipta.
Sebenarnya ia juga ingin menyampaikan permohonan maaf kepada ki Suro Brewok atas apa yang telah diperbuatnya, tetapi ia tak punya kesempatan. Gembong perampok itu berdoa dengan sangat khusyuk setelah sholatnya selesai. Dan belum sempat ia menyatakan permohonan maaf, pondok kecil itu sudah dipenuhi oleh anak buah Suro Brewok. Pagi itu mereka tampak bersih dan rapi. Mereka menunggu jatuhnya waktu sholat Subuh. [43]
__._,_.___
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar