Rabu, 23 Juni 2010

Eisenhower, Soeharto, SBY, dan Nuklir

 

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=19470
2010-06-15

Eisenhower, Soeharto, SBY, dan Nuklir

Oleh : Markus Wauran

Eisenhower, Soeharto, dan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
masing-masing adalah Jenderal dari kesatuan Infanteri Angkatan Darat. Ketiga
Jenderal ini pernah menjadi Presiden di negaranya masing-masing. Eisenhower
adalah Presiden AS ke-34, Soeharto, Presiden RI ke-2, dan SBY Presiden RI ke-6
yang sedang berkuasa saat ini. Masing-masing Presiden ada keunggulannya.

Dari pengalaman perang, Eisenhower lebih populer dan unggul dari Soeharto
dan SBY. Puncak popularitas Eisenhower adalah sebagai Panglima Perang Pasukan
Sekutu di Eropa yang memenangkan peperangan melawan pasukan Nazi dan koalisinya
dimulai dari pantai Normandia sampai ke beberapa Negara Eropa Barat. Soeharto
terkenal sebagai Panglima Perang Mandala membebaskan Irian Barat dari penjajahan
Belanda, melalui kemenangan diplomasi tanpa perang. SBY pernah bertugas sebagai
Commander of United Nations Military Observers dan Komandan Kontingen Indonesia
di Bosnia Herzegovina tahun 1995-1996. Juga pernah memimpin pasukan dalam perang
lokal di Timor Timur.

Ada keunggulan SBY dibandingkan dengan Eisenhower dan
Soeharto. SBY dikenal sebagai Jenderal intelektual yang diakui oleh berbagai
pihak dalam dan luar negeri, serta penulis beberapa buku baik berbahasa Inggris
maupun Indonesia. Dengan pesona yang memukau, SBY mampu berbicara soal politik,
konstitusi, ekonomi, budaya, secara cerdas.
Eisenhower menjadi Presiden untuk
dua masa jabatan (8 tahun), namun Soeharto lebih unggul karena menjadi Presiden
RI selama 32 tahun, yang selalu terpilih secara aklamasi oleh MPR. SBY adalah
Presiden pertama RI yang dipilih langsung oleh rakyat dan sedang menjalani masa
jabatan ke dua (terakhir) sebagai Presiden yang saat ini sedang menjalani ujian
berat dengan berbagai persoalan rumit.

Sebagai Jenderal perang, sesungguhnya
Eisenhower benci perang sebagaimana pidatonya di Ottawa pada 10 Januari 1946.
yang antara lain mengatakan: "saya benci perang sebagai seorang pejuang yang
sudah mengalaminya, sebagai seseorang yang melihat kebrutalitasannya dan
kebodohanannya….

Kemungkinan, sebagai ekspresi bahwa dia benci perang
walaupun dalam setiap penugasan selalu memenangkan perang, dalam Pidatonya
sebagai Presiden AS di depan Sidang Majelis Umum PBB tanggal 8 Desember 1953,
Eisenhower mencanangkan "Atom Untuk Perdamaian"(Atom for Peace). Pidato ini
menggemparkan dunia karena pada waktu bersamaan, AS, Uni Soviet, Inggris,
Prancis sedang berlomba melakukan pengembangan dan uji coba senjata
nuklir.

Akibat pidato tersebut, Eisenhower berjasa dalam 3 hal besar yang
berdampak bagi AS sendiri maupun bagi dunia. Tiga hal tersebut, pertama,
berhasilnya dibangun PLTN pertama di Shippingport, Pennsylvania yang
pengoperasiannya diresmikan tanggal 2 Desember 1957 dihadiri Presiden
Eisenhower. Kedua, ditetapkannya Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear
Weapons yang disingkat NPT oleh PBB 12 Juni 1968 di New York dan mulai berlaku
efektif 5 Maret 1970; Ketiga, dimanfaatkannya Reaktor Triga sebagai sumbangan AS
pada berbagai negara (seperti Austria, Finlandia, Italia, Jepang, Bangladesh,
Kongo, Brazil, Jerman, Filipina, , Meksiko, Indonesia, dll) untuk memanfaatkan
nuklir bagi tujuan damai dan kesejahteraan. Triga adalah singkatan dari
training, research, isotopes, General Atomics. Reaktor Triga artinya reaktor
yang berfungsi untuk latihan, penelitian dan memproduksi isotop yang disain dan
manufaktur-nya oleh General Atomics. Reaktor pertama Indonesia adalah reaktor
Triga Mark II bantuan AS yang sampai saat ini masih beroperasi di-Bandung.

Di
era Soeharto, dibangun 2 reaktor penelitian, Reaktor Kartini di Yogyakarta
(1979) dan Reaktor Siwabessy di Serpong(1987) . Juga di-bangun berbagai fasilitas
Iptek nuklir baik di kawasan nuklir Pasar Jumat Jakarta Selatan maupun di
Serpong yang terkenal dengan Puspitek Serpong. Demikian pula dengan pembangunan
sumber daya manusia yang menguasai Iptek Nuklir, kelembagaan dan perangkat hukum
sangat signifikan sehingga di era ini sebenarnya Indonesia telah memenuhi syarat
untuk mulai membangun PLTN.

Pada peresmian berbagai fasilitas Iptek Nuklir
antara tahun 1987 sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, ada 3 hal penting
yang disampaikan Soeharto yang harus menjadi pegangan bangsa kita, yaitu :
pertama, bahwa hasil penelitian menunjukkan sekitar 25 thn yad untuk memenuhi
kebutuhan listrik di-Pulau Jawa, pengerahan semua sumber daya yang ada seperti
air, panas bumi, gas alam dan batubara tidak akan mencukupi. Karena itu mulai
sekarang kita perlu memikirkan untuk membangun Pusat Listrik Tenaga Nuklir;
kedua, penggunaan teknologi nuklir maupun teknologi manapun memang ada resiko.

Namun, dengan perencanaan yang cermat tidak perlu ragu untuk menerapkannya.
Dalam kehidupan, acapkali kita harus berani menghadapi resiko karena resiko juga
merupakan tantangan. Hanya bangsa yang mampu menghadapi tantangan yang akan
mampu menjadi bangsa yang maju; ketiga, saya percaya bangsa Indonesia mampu
menguasai teknologi canggih. Nenek moyang kita telah membuktikannya dengan
membangun candi yang sangat indah arsitekturnya dan armada laut yang mengarungi
samudra luas. Penjajahlah yang membuat kita lemah dan kurang percaya diri.

Karena itu, setelah menjadi bangsa merdeka kita harus dapat bangkit kembali
untuk mensejajarkan diri dengan bangsa lain yang telah maju.
Persiapan
pembangunan nuklir untuk tujuan damai yang telah dipersiapkan Soekarno sampai
Soeharto baik SDM, perangkat hukum, kelembagaan dan berbagai fasilitas Iptek
nuklir lainnya, kemudian ditindaklanjuti SBY dengan beberapa perangkat hukum
antara lain Peraturan Presiden No 5 tahun 2006, dan Undang No 17 tahun 2007
serta dukungan politik DPR dan dukungan tehnis IAEA, maka tidak ada lagi alasan
apapun untuk menunda pembangunan PLTN. Saatnya Presiden SBY mengeluarkan Keppres
untuk Indonesia siap go PLTN.

Namun, sampai saat ini Keppres tsb belum
terbit. Ada komentar yang mengatakan bahwa SBY orangnya peragu, tidak berani
mengambil resiko dan keputusan jika ada tantangan, karena itu tidak mungkin akan
ada Keppres untuk Indonesia go PLTN. Sebagai Jenderal infantri seperti
Eisenhower dan Soeharto, bagi penulis tidak mungkin SBY peragu apalagi penakut.
Karena kalau peragu dan penakut tidak mungkin SBY jadi Jenderal infantri yang
setiap saat siap mati untuk tanah air.

Jika SBY saat ini sedang mencari kiat
terbaik dan teladan kepemimpinan para Jenderal yang mengilhami dalam mengambil
keputusan untuk Indonesia Go PLTN, maka sikap Eisenhower yang berani mengambil
keputusan dalam situasi yang kontradiktif demi kepentingan kemanusiaan secara
nasional dan global serta sikap Soeharto yang berani mengambil keputusan juga
dalam situasi yang kontradiktif demi masa depan Indonesia yang lebih maju dan
sejahtera, berani mengambil resiko dan menghadapi tantangan serta tidak takut
pada bangsa lain yang sudah maju karena percaya diri dan sangat percaya pada SDM
Indonesia, kiranya menjadi acuan dan pemicu bagi SBY untuk segera mengambil
keputusan Indonesia Go PLTN. Kiranya TYME mengaruniakan kemampuan dan kearifan
bagi SBY untuk mengambil keputusan yang berani, cermat dan cepat Indonesia Go
PLTN seperti yang dibuat oleh Eisenhower dan Soeharto. Amin.

Penulis
adalah Pengurus HIMNI dan IEN serta Anggota DPR/MPR periode
1987-1999

__._,_.___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar