Minggu, 13 Juni 2010

Anggur Emas 44

 

Buku 1

ANGGUR  EMAS

Karya: Usdek Emka J.S.

[44]

"Bermimpikah aku?" tanya Raden Pekik sambil mencubiti pipinya demi menyaksikan apa yang terjadi. Di kejauhan ia juga melihat Putri dengan pakaian tertutup duduk dengan rapi bersama dua wanita yang tak ia kenali.

"Perampok macam apakah mereka ini?" pertanyaan itu ia ulangi untuk kesekian kalinya. Ia benar-benar tak bisa mencerna atas apa yang ia lihat.

Tak lama kemudian ia melihat seseorang berdiri, mengumandangkan adzan. Raden Pekik hampir saja menculek matanya sendiri demi melihat Suro Brewok maju ke depan memimpin sholat pagi itu. "Ya Tuhan, bermimpikah aku?" ia ulangi pertanyaan itu. Raden Pekik hampir tak percaya mendapati kenyataan bahwa pagi itu ia sholat berjamaah dengan para perampok dan diimami oleh gembong perampok.

Seusai sholat, ki Mangun yang pagi itu mengenakan sorban layaknya seorang ustad berdiri diantara mereka. "Sedulur kabeh," katanya. "Kita harus bersyukur kepada Gusti Ingkang Akarya Jagad yang telah menyelamatkan ki Supo pada pertempuran kemarin petang. Lebih dari itu, kita wajib bersyukur bahwasanya pagi ini kita masih segar bugar. Kita tidak tahu apa yang terjadi besok pagi mengingat pemerintah Mataram sudah berhasil mencium jejak kita. Kita tidak tahu apakah saudara-saudara kita yang lain sudah berhasil mereka tangkapi. Yang pasti, kita tak bisa berlama-lama berada di sini. Satu saja yang ingin kusampaikan kepada dulur kabeh. Tidak ada yang lebih berharga di dunia ini kecuali berperang melawan kebatilan. Penguasa Mataram telah bersekutu dengan Kumpeni dan merusak tatanan hidup masyarakat. Untuk itu mereka harus dihentikan."

Kalimat itu diucapkan dengan sangat santun, perlahan-lahan, dan penuh dengan tekanan. Semua yang mendengarkan diam penuh hikmad. Raden Pekik tidak menyangka di tengah hutan seperti ini ada seorang ustad. Demi mendengar kata-kata ki Mangun, Raden Pekik segera teringat wejangan kakek buyutnya. Sejak ia masih kanak-kanak, Eyang Buyutnya sudah sering memberinya wejangan betapa kejamnya Kumpeni Belanda. Oleh Eyang Buyut Dreyo, Kumpeni digambarkan sebagai lintah yang telah menyedot darah bumi Mataram, menyengsarakan para kawula alit, dan merusak tatanan hidup masyarakat.  "Herannya, ada saja bangsawan Mataram yang menjilat kaki Kumpeni.  Mereka-mereka itu pengkhianat perjuangan Raja Besar Mataram Sultan Agung Hanyokrokusuma. Kelak kalau kalian dewasa, bergabunglah dengan orang-orang yang memerangi Kumpeni Belanda," demikian wejangan Eyang Dreyo yang selalu diulang-ulang setiap ada kesempatan.

Tak heran jika pelan-pelan muncul rasa simpati di hati Raden Pekik terhadap kelompok kecu pimpinan Suro Brewok. Pemuda yang belum berpengalaman itu melihat ada persamaan pandangan antara para perampok itu dengan Eyang Buyutnya. Mereka sama-sama membenci Kumpeni Belanda. [44]

__._,_.___

Recent Activity:

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar