Selasa, 31 Mei 2011

Pancasila

Pada permulaan September 1944, tersiarlah ucapan PM Koiso, yang menggantikan Tojo sebagai Perdana Menteri Jepang bahwa Indonesia akan dimerdekakan "kelak kemudian hari". Ucapan itu sangat menggembirakan, boleh dikatakan di seluruh Indonesia. Di Jakarta diadakan rapat umum untuk menyambutnya. Sukarno dan beberapa pemimpin Jawa Hokokai lainnya berpidato di lapangan Ikada. Aku pun diminta berpidato. Sejalan dengan pengumumam Perdana Menteri Koiso itu, di Jawa terdapat banyak perubahan. Lagu "Indonesia Raya" dibolehkan dinyanyikan kembali. Bendera merah putih boleh dikibarkan bersama-sama dengan Hino-maru. Dalam bulan Desember 1944 diangkat beberapa orang Indonesia menjadi sanyo pada tiap-tiap departemen. Mereka itu dianggap sebagai wakil ketua departemen.


Jabatan itu diadakan sebagai latihan untuk kelak menjadi menteri apabila Indonesia dimerdekakan. Pada bulan Mei 1945 diadakan suatu panitia dengan nama Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Anggotanya dipilih oleh badan-badan atau organisasi yang ada pada tiap tiap Shu dan atas pilihan itu ditunjuk Shucokan jumlah anggotanya kira-kira 60 orang. Ketua panitia itu ialah dr. Radjiman Wediodiningrat, yang diangkat oleh Gunseikan dari anggota-anggota yang terpilih. Pada tanggal 29 Mei 1945 sidang panitia itu mulai dibuka oleh dr, Radjiman Wediodiningrat dengan suatu pidato yang agak ringkas. Dalam pidato itu ditanyakannya, Negara yang akan kita bentuk itu apa dasarnya?


Anggota yang terbanyak tidak mau menjawab pertanyaan itu karena khawatir, pertanyaan itu akan membawa pertikaian filosofis yang akan mengambil waktu yang panjang sekali. Ada yang mengemukakan, mana yang baiknya saja bagi Indonesia pada masa peralihan: demokrasi parlementer atau demokrasi yang memakai kabinet presidensiil seperti di Amerika Serikat. Pada hari ketiga agak tajam pertentangan antara golongan yang mengemukakan Negara Islam dan golongan yang mempertahankan Negara yang bebas dari pengaruh agama. Hanya Sukarno yang menjawab pertanyaan Ketua Radjiman Wediodiningrat.


Pada hari keempat tanggal 1 Juni 1945, Sukarno berpidato panjang lebar yang lamanya kira-kira 1 jam yang berpokok pada Panca Sila, lima dasar. Pidato itu disambut hampir semua anggota dengan tepuk tangan yang riuh. Tepuk tangan yang riuh itu dianggap sebagai suatu persetujuan. Sebelum selesai sidang hari itu, Ketua Radjiman Wediodiningrat mengangkat suatu panitia kecil yang didalamnya duduk semua aliran, Islam, Kristen, dan mereka yang dianggap ahli konstitusi, untuk merumuskan kembali pokok-pokok pidato Sukarno itu. Panitia kecil itu menunjuk Sembilan orang diantara mereka untuk merumuskan kembali pidato Sukarno yang kemudian diberi nama Pancasila.


Menurut pidato Sukarno, kelima sila itu urutannya ialah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Panitia Sembilan mengubah susunannya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila yang pertama, sebagai sila yang mempersatukan seluruhnya. Sila kedua diganti menjadi sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila ketiga disebut sila Persatuan Indonesia, untuk menegaskan kepada orang-orang Jepang bahwa Indonesia mau bersatu, tidak mau dibagi-bagi, sila keempat itu ialah sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, sila kelima ialah Sila Keadilan Sosial.


Teks Pancasila yang sudah dirumuskan kembali menurut keputusan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia akan dimuat dalam permulaan UUD Republik Indonesia. Dalam Panitia 9, Sukarno meminta Mr. Muhammad Yamin membuat suatu preambul yang di dalamnya dimuat teks Pancasila. Preambul itu dibuat terlalu panjang oleh Mr. Muhammad Yamin sehingga Panitia Sembilan menolaknya. Bersama-sama dengan Mr. Muhammad Yamin, Panitia Sembilan membuat teks yang lebih pendek, seperti yang terdapat sekarang pada UUD Republik Indonesia.


Mr. Muhammad Yamin kemudian mengambil teks yang panjang itu sebagai pengganti pidato yang diucapkannya dalam sidang Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang kemudian lagi dimasukkannya ke dalam buku pertama yang tiga jilid, yang diterbitkannya dan berjudul Undang-Undang Dasar 1945.(dikutip dari Buku otobiografi Mohammad Hatta Untuk Negeriku pada buku ketiga yang berjudul "Menuju Gerbang Kemerdekaan" hal.64-67)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar