Senin, 03 Mei 2010

Wisata - Curug Randa Bengsrat?

 

 

Ii Sumirat

 

From: kisunda@yahoogroups.com [mailto:kisunda@yahoogroups.com] On Behalf Of mh
Sent: Tuesday, May 04, 2010 5:15 AM
To: Ki Sunda
Subject: [kisunda] Wisata - Curug Randa Bengsrat?

 

 

Kisah Cinta dari Curug Caweni

Caweni atau cawene dalam bahasa Sunda berarti randa bengsrat; janda
yang masih suci, karena berpisah sebelum sempat melakukan hubungan
intim dengan suaminya.

Di Kecamatan Cidolog, sekitar 86 kilometer di selatan Kota Sukabumi,
kata itu diabadikan sebagai nama sebuah air terjun yang saat ini
dikenal sebagai Curug Caweni. Lalu apa hubungannya antara air terjun
dan randa bengsrat?

Jika tak ada patung batu yang menyerupai seorang perempuan, pesona
Curug Caweni barangkali biasa-biasa saja. Meskipun alamnya masih
perawan, air sungainya masih bersih, dan memiliki dinding-dinding batu
yang sedap dipandang, air terjun yang tingginya hanya sekitar lima
belas meter itu pasti tak akan sepopuler saat ini. Patung batu itulah
yang menjadi daya tarik utama Curug Caweni. Keberadaannya membuat
keindahan alam menjadi lebih lengkap karena bersanding dengan sebuah
cerita rakyat yang memikat.

Masyarakat Cidolog, dan juga masyarakat Pajampangan pada umumnya,
meyakini bahwa patung batu setinggi tujuh meter itu merupakan hasil
perubahan wujud Nyi Caweni atau Putri Caweni!
**

Dalam cerita rakyat yang berkembang di Cidolog, Nyi Caweni adalah
perempuan jelita yang telah menikah 99 kali. Dari jumlah itu, 98
suaminya dikisahkan meninggal dunia pada malam pertama. Yang lolos
dari "maut di malam pertama" hanyalah suaminya yang terakhir, Raden
Boros Kaso.

Berbeda dengan suami-suami Nyi Caweni sebelumnya yang hanya
orang-orang biasa, Boros Kaso adalah seorang keturunan bangsawan,
kesatria yang berilmu tinggi. Setelah mengetahui jejak rekam (track
record ) Nyi Caweni, ia melewatkan malam pertama dengan sangat
waspada.

Boros Kaso memutuskan untuk tidak melakukan hubungan intim pada malam
pertama, dan ia pun tidak tidur untuk mengetahui apa yang akan
terjadi. Malam pertama dan malam kedua, tak ada apa-apa. Barulah pada
malam ketiga, Boros Kaso menemukan jawaban atas misteri istrinya.
Ketika Nyi Caweni sedang tidur, dari selangkangannya tiba-tiba keluar
seekor ular berbisa. Boros Kaso yakin itulah penyebab kematian
beruntun itu! Dengan kesaktiannya, Boros Kaso lalu menangkap sang ular
dan menyimpannya di suatu tempat.

Pagi hari selepas sarapan, Boros Kaso berpamitan kepada istrinya.
Sebagai seorang kesatria, ia tak bisa mengelak dari tanggung jawab
untuk mendahulukan kepentingan umum. Untuk itu, ia harus pergi demi
menyelesaikan tugas yang diamanatkan kepadanya. Boros Kaso berjanji
akan kembali kepada Nyi Caweni. Namun ia juga berpesan: jika dalam
waktu tertentu ia belum juga datang, dia mempersilakan Nyi Caweni
untuk menyusulnya. Jika Nyi Caweni menemukan tapak kaki Boros Kaso
pada batu, ia harus menunggu di sana meski dalam waktu yang sangat
lama! Dengan penuh cinta, meski jelas berat hati, Nyi Caweni melepas
kepergian suaminya.

Waktu berlalu, akhirnya Nyi Caweni memutuskan untuk menyusul Boros
Kaso yang tak kunjung datang. Dia berjalan menyusuri sungai yang kini
dinamakan Ci Dolog. Di sungai itu, di sebuah air terjun, ia menemukan
jejak tapak kaki orang yang dicarinya. Nyi Caweni sangat yakin itu
adalah jejak suaminya dan ia pun memutuskan untuk menunggu di sana.
Menunggu sangat lama hingga tubuhnya berubah menjadi batu yang kini
disebut arca Putri Caweni!
**

Setiap masyarakat, sesuai dengan perkembangan zamannya, berusaha
memahami alam dengan cara yang berbeda. Orang-orang zaman dulu, ketika
melihat "Putri Caweni," berusaha memberi penjelasan dengan kekuatan
fantasinya hingga mampu menghadirkan sebuah cerita mengagumkan yang
tetap abadi hingga kini.

Dalam pandangan kekinian, dalam zaman dan pengetahuan yang telah jauh
berubah, cerita Putri Caweni tentu tidak pernah terjadi. Arca batu
yang tingginya setengah dari tinggi air terjun itu, meski bentuknya
mirip seorang manusia, tak lebih dari bongkah batuan breksi (batu
kutil) yang tergerus dan terpahat oleh air terjun yang demikian deras.
Ketika bagian batuan yang lemah hancur oleh air, bagian yang kuatnya
tersisa, dan kebetulan menyerupai manusia. Penggerusan itu masih
berjalan, dan pada masa-masa mendatang, bentuk Putri Caweni barangkali
berbeda dengan apa yang dapat kita saksikan sekarang.

Curug Caweni adalah tempat yang sangat menarik dan membuat orang-orang
senang mengunjunginya. Mereka menikmati gemuruh air terjun dan tentu
saja mengagumi keajaiban Putri Caweni sambil menerka-nerka: "Oh, itu
kepalanya... itu tangannya...!" Anda tertarik?

Letak Curug Caweni tak jauh dari pusat Kecamatan Cidolog dan hanya 200
meter dari jalan lintas menuju Tegalbuleud, salah satu daerah paling
selatan di Kabupaten Sukabumi. (Oka Sumarlin, anggota Jantera dan guru
Geografi SMAN 1 Sagaranten, Kabupaten Sukabumi)***

web: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=139232

__._,_.___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar