Bambang Soesatyo
Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar/
Ketua Kadin Indonesia
SAJIKAN kepada rakyat kita potret utuh kondisi perekonomian Indonesia
terkini. Jangan bohongi rakyat, dan juga berhentilah menipu diri sendiri,
dengan klaim kinerja ekonomi nasional terbilang mumpuni hanya dengan mengacu
pada stabilitas sektor keuangan.Sejumlah kalangan telah melantunkan puja
pujibagi Menteri Keuangan Sri Mulyani, karena menurut mereka dia telah
membuat perekonomian nasional sehat serta meloloskan Indonesia dari sergapan
krisis finansial global. Bahwa pengunduran dirinya dari jabatan menteri
keuangan akan menimbulkan kesulitan bagi perekonomian kita. Benarkah
perekonomian negara yang menaungi lebih dari 200 juta jiwa ini hanya
bergantung pada pemikiran dan kajian satu orang? Kalau benar, betapa
rendahnya kepercayaan diri bangsa ini.
-Kalau puja puji itu disuarakan oleh para pemain di pasar uang dan komunitas
perbankan kita, wajar-wajar saja, karena mereka meraih untung besar dari
arah dan karakter kebijakan Sri Mulyani. Wajar juga kalau mereka bersedih
oleh mundurnya Sri Mulyani dari posisi Menkeu RI. Sebab Mereka takut tidak
bisa lagi menangguk untung besar dari tingginya bunga obligasi negara dan
SUN yang ditawarkan Sri Mulyani dalam beberapa tahun terakhir ini.
-Sedangkan kita, atau siapa pun saja yang berada di luar pasar uang maupun
industri perbankan, mestinya melihat kinerja para menteri bidang ekonomi
secara komprehensif. Menyajikan kepada rakyat potret perekonomian terkini
dalam wujudnya yang utuh dan apa adanya.Tidak dipilah-pilah menurut sektor
atau sub sektor. Tingginya arus hot money, indeks harga saham gabungan di
BEI hingga laris manisnya obligasi negara atau SUN bukan potret utuh kinerja
perekonomian Indonesia. Kalau Anda menjanjikan bunga (imbal hasil) yang
tinggi kepada para pengelola dana (fund manager) asing, sudah pasti mereka
akan mengerubungi anda seperti gerombolan semut memperebutkan sisa permen di
tanah.
-Seberapa besar volume hot money itu memberi nilai tambah bagi perekonomian
kita?.Tak lebih dari sekadar memperbesar likuiditas valas di pasar uang
dalam rentang waktu pendek. Dalam hitungan bulan, hot money itu akan keluar
lagi setelah menangguk untung dari bunga yang tinggi. Pertanyaannya adalah
model stabilitas sektor keuangan kita yang terjaga itu menguntungkan siapa?
Pemodal asing atau perekonomian nasional?
-Para pemuja Sri Mulyani pun jangan tutup mata pada skandal Bank Century.
Ingat bahwa dalam kapasitasnya sebagai Ketua KSSK yang menyetujui bailout
bank kecil itu, Sri Mulyani merasa tertipu dan hanya mau bertanggungjawab
untuk sekitar10 persen dari total bailout yang telah dicairkan. Anda mungkin
tidak suka dengan hasil kerja Pansus DPR. Tetapi, jangan lupa bahwa
keputusan dan rekomendasi Paripurna DPR itu konstitusional menurut
konstitusi Republik Indonesia dan berpijak pada temuan hasil audit
investigasi lembaga tinggi tertinggi negara BPK.
-Kalau Sri Mulyani sukses mereformasi birokrasi kementerian keuangan, negara
mestinya tidak mengalami kecolongan besar akibat ulah Gayus Tambunan dan
kawan-kawannya di Ditjen Pajak. Kasus pencurian pajak besar-besaran sudah
terungkap dan akan terus terungkap. Remunerasi yang dibiayai dengan pinjaman
luar negeri sia-sia karena banyak oknum di Ditjen Pajak dan Ditjen Cea Cukai
masih saja mencuri uang (pajak dan bea masuk) negara/rakyat.
Sektoral
Mengacu pada urgensi kebijakan ekonomi yang komprehensif, akan tampak bahwa
arah dan karakter kebijakan Sri Mulyani sektoral. Melulu demi stabilitas
sektor keuangan dan keseimbangan APBN. Dia cenderung tak peduli seperti apa
ekses kebijakannya terhadap sektor riil dan perekonomian rakyat atau UMKM.
Kebijakannya memberi bunga tinggi bagi pembeli obligasi negara atau SUN,
sedikit banyak mempengaruhi tinggi rendahnya bunga bank. Agar nasabah tidak
memindahkan dananya ke obligasi atau SUN, perbankan kita pun harus
menawarkan bunga tinggi. Akibatnya, bunga bank untuk kredit investasi dan
kredit modal kerja sulit diturunkan dari levelnya yang sekarang. Bunga bank
yang tinggi sekarang ini sudah menjadi salah satu faktor yang mematikan
sektor riil dan UMKM kita untuk bangkit.
-Dia juga masih mengatasi defisit APBN dengan menarik pinjaman luar negeri.
Sayangnya, pemanfaatan utang baru itu tidak produktif karena banyak
digunakan membiayai kebijakan konsumtif. Total utang luar negeri hingga
Maret 2010, menurut Bank Indonesia (BI), mencapai 180,7 miliar dolar AS.
Utang luar negeri pemerintah dan BI 105,6 miliar dolar AS. Sedangkan utang
luar negeri swasta 75,1 miliar dolar AS.
-Padahal, salah satu faktor penekan atau pangganggu efektivitas APBN adalah
besarnya beban pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri. Untuk tahun
anggaran sekarang, pembayaran pokok utang luar negeri Rp 66,9 triliun dan
jumlah pembayaran bunga utang luar negeri Rp 38,3 triliun. Rata-rata beban
APBN kita untuk kewajiban yang satu ini pada kisaran jumlah plus minus Rp
100 trilyun per tahunnya.
-Kalau upaya pemerintah sama militannya antara mendapatkan utang baru dengan
inisiatif renegosiasi memperkecil beban pembayaran pokok dan bunga utang
luar negeri, idealnya kita akan memilih keringanan pembayaran pokok dan
bunga utang. Apalagi, sebagian dari utang baru itu hanya digunakan untuk
merealisasi program remunerasi.
-Selain menarik pinjaman baru, Sri Mulyani pun berulangkali menggunakan
instrumen menaikkan harga energi untuk menjaga keseimbangan APBN. Tetapi,
akibatnya sangat fatal bagi Sektor riil dan UMKM, karena biaya produksi di
dalam negeri mengalami pembengkakan yang luar biasa.
-Kenaikan reguler tarif dasar listrik (TDL), bahan bakar minyak (BBM) dan
gas praktis mengganjal upaya sektor bisnis kita pulih dari krisis. Dunia
usaha Kita bahkan sudah kehilangan momentum pemulihan.
Belakangan ini, sudah terbukti bahwa sektor andalan perekonomian rakyat,
yakni industri tekstil, tak mampu lagi untuk ekspansif. Benar-benar hanya
dalam posisi bertahan. Melemahnya permintaan pasar global dan banjir pasokan
dari China makin menyudutkan industri tekstil nasional.
-Dunia usaha kita memang dalam posisi dilematis akibat mahalnya harga energi
dan tingginya bunga bank. Beban biaya produksi itu tentu mempengaruhi harga
produk. Hampir semua pelaku usaha dari berbagai sektor bisnis mengklaim
bahwa produk dalam negeri tidak kompetitif lagi dengan produk negara lain.
Kalau CAFTA diimplementasikan, produk lokal tidak pernah menjadi pilihan
konsumen karena harganya lebih mahal. dari produk impor.
-Posisi bertahan dunia usaha kita coba diperkuat dengan sejumlah langkah
penyesuaian, seperti rasionalisasi jumlah pekerja guna menghemat pengeluaran
gaji. Hasil penghematan dialokasikan untuk memperkuat anggaran belanja
energi. Rasionalisasi pekerja diikuti dengan optimalisasi waktu kerja. Kalau
tidak mendesak, waktu lembur ditiadakan. Model penyesuaian lain yang banyak
dilakukan para produsen adalah memperkecil target laba. Berarti sebisa
mungkin mematok harga jual produk yang kompetitif.
-Membengkaknya biaya produksi akibat mahalnya harga energi dan tingginya
bunga bank menyebabkan daya serap dunia usaha terhadap kredit terus melemah.
BI mencata bahwa di penghujung April 2010, dana menganggur yang ditampun
dalam instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) mencapai Rp 346,6
triliun,. naik 48 persen dibanding 2009 yang Rp 233,4 triliun. Angka-angka
ini menjelaskan bahwa penyaluran kredit ke sektor industri terus menurun.
-Terhitung sejak 2007, volume kredit yang diserap sektor industri lebih
kecil dari jumlah yang diserap sektor jasa. Kecenderungan itu terus
berlanjut. Per Oktober 2009, total kredit yang diserap sektor industri Rp
238 triliun, ekivalen 16,6 persen dari total kredit Rp 1.438 triliun.
Sedangkan daya serap kredit sektor perdagangan dan jasa masing-masing
mencapai 19,8 persen dan 22,4 persen.
-Kecenderungan itu menjelaskan bahwa sektor industri terus mengalami
kontraksi penyaluran kredit, utamanya pada segmen kredit investasi dan
segmen kredit modal kerja.
-Kalau Menkeu baru melanjutkan arah dan karakter kabijakan menkeu
sebelumnya, kita tinggal mencari ungkapan yang lebih tepat untuk
mendeskripsikan kehancuran sektor riil dan UMKM kita.
Sent from my BlackBerryR smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung
Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar