Selasa, 25 Mei 2010

"Ostrovnitsa" (Negara Kepulauan)

 

”Ostrovnitsa” (Negara Kepulauan)

 

ADALAH sebutan keada Indonesia yang mulai didengar oleh orang-orang Rusia sejak abad ke-17, masa pemerintahan Tsar Peter I yang memperoleh gelar Peter Agung. Ia berkuasa mulai dari 9 Juni 1672 hingga 8 Februari 1725. Tsar Peter Agung atau Pytor Alexeyevich Romanov mendirikan kota St. Petersburg atau Kota Santo Petrus setelah Pecah Perang Dunia I tahun 1914 menjadi Petrogard.   

 

Pada zaman Peter Agung itulah hidup sebuah cerita tentang negeri yang bernama ”Ostrovnitsa” (Negara Kepulauan). Para peneliti modern berpendapat bahwa yang disebut ”Ostrovnitsa” itu adalah Indonesia sekarang ini.

Abad 19, Kedatangan ke Indonesia

 

Dua pengeliling dunia kondang asal Rusia, Ivan Kruzenstern dan Yuri Lisyansky, yang mengelilingi dunia dengan menggunakan kapal Nadezhda dan Neva, dikisahkan pernah berlayar hingga Laut China Selatan. Mereka masuk Laut China Selatan melalui Selat Sunda pada tahun 1806. Pelayaran inilah yang membuka pintu kontak antara orang-orang Rusia dan orang-orang dari wilayah yang kini disebut Indonesia ini.

 

Sejak saat itu makin sering orang-orang Rusia berlayar ke wilayah yang ketika itu disebut India Timur Belanda untuk berdagang. Orang-orang Rusia menjual kerosin dan barang-barang manufaktur ke pulau-pulau di wilayah India Timur Belanda dan sebaliknya mereka membeli kopi, teh, tembakau, kopra, rempah-rempah, dan timah.

Pada tahun 1894, Rusia mendirikan konsulat di Batavia India Timur (kini bagian dari Jakarta) dan mengangkat seorang konsul. Tujuannya adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan perdagangan. Konsulat pertama itu dipimpin oleh M Bakunin, seorang pengarang monograf tentang negeri kepulauan ini. Bakunin dalam bukunya berjudul Tropical Holland (1902) menguraikan tentang kehidupan penduduk dengan segala adat istiadatnya, alam, dan nusantara yang indah permai ini.

 

Sebelum konsulat itu didirikan, bahkan putra mahkota Kekaisaran Rusia, Pangeran Mahkota Nikolay atau Nikolas—yang kelak kemudian hari menjadi Tsar Nikolay II atau Nikolas II—pernah mengunjungi Batavia dalam pelayarannya ke Timur Jauh pada tahun 1890. Pada tahun 1911, Grand Duke Boris Vladimirovich dalam perjalanan pulang dari Bangkok setelah menghadiri pesta pemahkotaan Raja Siam juga singgah di Batavia.

 

Babak baru

 

Perkembangan politik di Rusia dan di Indonesia pada awal abad ke-20 menandai terjadinya perubahan secara radikal hubungan kedua negara. Pada tahun 1917, di Rusia terjadi Revolusi Bolshevik yang mengakhiri pemerintahan Tsar Nikolaus II dan melahirkan pemerintahan komunis Rusia. Sementara ”Ostrovnitsa” telah menjadi negara baru, yakni setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan bernama Republik Indonesia.

 

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia terjadi, paling tidak, di tengah tiga peristiwa bersejarah pada saat itu.

 

Pertama, berakhirnya Perang Dunia II. Sekutu memenangi perang dan muncul persoalan bagaimana mengelola tatanan baru setelah perang.

 

Kedua, mulai era Perang Dingin; persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US); persaingan ideologi antara kapitalisme AS dan sosialisme US.

 

Ketiga, secara global terjadi gerakan dekolonisasi dan nasionalisme di Asia dan Afrika. Di sinilah US ambil bagian, yakni mendukung perjuangan gerakan dekolonisasi dan nasionalisme (sering disebut kelompok new emerging forces).

 

Dukungan US—26 Januari 1950—terhadap kemerdekaan Indonesia ada dalam konteks tiga peristiwa bersejarah di atas. Demikian pula dukungan US terhadap keanggotaan PBB pada September 1950 juga tidak dapat dilepaskan dari konteks Perang Dingin pada masa itu. Sebenarnya persaingan antara AS dan US selama Perang Dingin tidak hanya dalam ideologi, tetapi juga dalam bidang militer, ekonomi, dan juga sosial-budaya. Itulah sebabnya US mendukung Indonesia saat konfrontasi Irian Jaya (AS dan Inggris ada di belakang Belanda).

 

Ketika pada tanggal 3 Februari 1950 Pemerintah US mengajukan usulan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia, hal itu tidak serta-merta diterima. Saat itu, parlemen terpecah. Ada kelompok yang mendukung dan menentang dibukanya hubungan diplomatik dengan US yang komunis.

 

Pendukung perlunya hubungan diplomatik dengan US adalah faksi komunis, sementara penentang dibukanya hubungan diplomatik adalah faksi nasional dan religius. Hal ini sebenarnya merupakan cerminan dan manifestasi dari Perang Dingin. Para anggota parlemen yang mendukung kepentingan US dipandang sebagai prokomunis.

 

Setelah terjadi pertentangan pendapat, pada tahun 1954, US dan Indonesia menyepakati dibukanya kedutaan besar di dua ibu kota negara, Jakarta dan Moskwa. Duta Besar Indonesia yang pertama untuk US adalah Subandrio dan Duta Besar US yang pertama untuk Indonesia adalah DA Zhukov.

 

Sejak itu hubungan kedua negara berkembang. Bahkan, pada periode setelah dibuka hingga 1965, hubungan kedua negara sangat akrab, yang ditandai dengan pemberian bantuan militer US kepada Indonesia dan program beasiswa kepada para mahasiswa Indonesia. Diperkirakan sejak hubungan diplomasi dibuka hingga tahun 1965, sekitar 1.000 mahasiswa Indonesia belajar di sejumlah universitas di US. Bantuan militer US telah membuat Indonesia menjadi kekuatan laut terbesar kedua di Asia setelah China.

 

Sebagai bentuk eratnya hubungan kedua negara, Presiden Soekarno sampai empat kali mengunjungi US, sementara PM US Nikita Kruschev sekali mengunjungi Indonesia, yakni pada tahun 1961. Runtuhnya Orde Lama di Indonesia, hubungan kedua negara mengendur. Setelah peristiwa G30S tahun 1965, PKI dilarang di Indonesia dan komunisme menjadi musuh bersama. Hal itu berdampak pada hubungan kedua negara: bantuan militer dari US dihentikan dan program pengiriman mahasiswa ke US pun dihentikan.

 

Setelah Orde Baru berkuasa, pelan-pelan hubungan mulai diperbarui. Dan, kunjungan Presiden Soeharto pada tahun 1989 menjadi dasar baru hubungan persahabatan dan kerja sama kedua negara. Meskipun demikian, hubungan kedua negara belum begitu ”berbunga-bunga” seperti pada masa Orde Lama. Tiga hari setelah runtuhnya US, Desember 1991, Indonesia mengakui Republik Federasi Rusia sebagai penerus sah US. Dan, sejak itu hubungan kedua negara lebih dilandasi pendekatan pragmatik berdasarkan kepentingan bersama untuk kesejahteraan kedua bangsa.

 

Sejak kunjungan Kruschev itu, baru pada tahun 2007 seorang petinggi Republik Federasi Rusia (penerus resmi Uni Soviet yang ambruk dan bubar pada tahun 1991) mengunjungi Indonesia. Presiden Vladimir V Putin pada tanggal 5 September 2007 mengawali dua hari kunjungannya ke Indonesia. Dua presiden Indonesia pascareformasi—Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono—juga sudah mengunjungi Rusia.

 

Kini, kedua negara dihadapkan pada zaman baru dengan peluang dan tantangan baru. Karena itu, mau tidak mau hubungan kedua negara pun harus didasarkan atas tuntutan zaman dengan cara-cara dan pola-pola baru yang akan memberikan keuntungan kepada kedua negara.

 

 

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar