Rabu, 19 Mei 2010

Ekonomi Islam di Inggris

Ekonomi Islam di Inggris

Oleh Rifki Ismal
(Mahasiswa Program Doktoral Perbankan Syariah Durham University, Inggris)

Tak dapat dimungkiri, Inggris adalah salah satu negara maju dengan
jumlah penduduk Muslim minoritas. Terdapat kurang lebih dua juta
populasi Muslim dari sekitar 60 juta penduduk Inggris. Sementara itu,
Indonesia adalah negara Muslim paling besar di dunia dengan jumlah
penduduk Muslim kurang lebih 185 juta dari sekitar 206 juta jumlah
penduduknya. Apakah betul negara yang berideologi non-Islam dan
berpenduduk Muslim minoritas, seperti Inggris, telah menerapkan
ekonomi Islam? Bagaimana dengan Indonesia?

Secara konsep, ekonomi Islam bertujuan mencapai falah, yaitu
kemenangan dan kesejahteraan abadi manusia di dunia ataupun akhirat.
Di dunia, falah diwujudkan melalui pencapaian kondisi maslahah, yaitu
kebahagiaan dalam beragama, keselamatan jiwa, kebebasan
berintelektual, kebahagiaan berkeluarga, dan berharta benda
(Al-Ghazali). Namun, sangat disayangkan, tujuan ekonomi Islam tersebut
belum dapat sepenuhkan diwujudkan oleh negara-negara berpenduduk
mayoritas Muslim, seperti Indonesia. Setidaknya, ada tiga masalah
pokok dari waktu ke waktu yang selalu dihadapi Indonesia, yaitu
kemiskinan, kebodohan, dan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat.
Penerapan ekonomi Islam yang benar melalui pencapaian kondisi maslahah
sejatinya akan mengatasi ketiga masalah klasik tersebut.

Bagaimana dengan di Inggris? Secara ideologi, Inggris memang bukanlah
negara Islam, apalagi secara legal menerapkan ekonomi Islam. Namun,
dalam kebijakan dan praktik ekonominya, Inggris menerapkan kebijakan
ekonomi yang merupakan perwujudan kondisi maslahah. Apa buktinya?
Setidaknya, ada tiga hal yang membuktikannya.

Pertama, negara (pemerintah) menjalankan fungsi utama untuk
menyejahterakan masyarakat. Perekonomian Inggris secara umum hidup
dari sektor jasa, khususnya jasa keuangan (73 persen dari total GDP),
seperti perbankan, asuransi, dan sebagainya. Sementara itu, sisanya
adalah sektor manufaktur, otomotif, dan tekstil. Penerimaan negara
dilakukan oleh dua otoritas: pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat mendapatkan penerimaan dari pajak penghasilan,
asuransi nasional, pajak pertambahan nilai, pajak perusahaan, dan
pajak bahan bakar. Pemerintah daerah mendapatkan penerimaan dari dana
limpahan pemerintah pusat, pajak pemerintah daerah (council tax), dan
pajak bagi kegiatan/aktivitas bisnis yang dilakukan di daerah.

Menariknya, pajak di Inggris terbilang sangat tinggi, bahkan pajak
penghasilan dikenakan hingga 40 persen bagi setiap individu yang
bekerja dan sifatnya progresif. Akibatnya, penerimaan negara dari
pajak mencapai 46 persen dari GDP (2005-2006) dan 37 persen dari GDP
(2007-2008). Apabila kita bandingkan dengan Indonesia yang penerimaan
pajak tahun 2009 senilai Rp 565.7 triliun dan GDP harga berlaku tahun
2009 sebesar Rp 5613.4 triliun; penerimaan negara dari pajak hanya 10
persen dari GDP. Itu sangat jauh jika dibandingkan perolehan pajak
Pemerintah Inggris.

Lantas, bagaimana Inggris mewujudkan kondisi maslahah? Dengan
penerimaan dana pajak yang cukup besar, Pemerintah Inggris
menyejahterakan rakyatnya dengan memberikan tiga fasilitas. Fasilitas
pertama adalah pendidikan gratis dari tingkat taman kanak-kanak
(nursery) hingga sekolah menengah umum. Fasilitas ini berlaku bagi
semua warga negara Inggris, bahkan termasuk penduduk yang bukan warga
negara (para pendatang). Untuk level pendidikan di atas SMU,
pemerintah memberikan dana pengajaran, riset, dan aktivitas akademis
kepada semua universitas. Untuk tahun anggaran 2009-2011, Pemerintah
Inggris mengalokasikan dana bantuan pendidikan sebesar 7,3 miliar
pounds atau kurang lebih Rp109 triliun.

Terpenuhinya kebutuhan pendidikan merupakan salah satu jalan untuk
membangun intelektualitas dan menurunkan tingkat kemiskinan yang
bersumber dari kebodohan. Dikaitkan dengan penerapan ekonomi Islam,
fasilitas Pemerintah Inggris kepada rakyatnya di bidang pendidikan ini
merupakan pemenuhan dua unsur maslahah, yaitu kebebasan (pengembangan)
intelektual dan kesejahteraan materi (harta benda) karena dapat
bekerja dengan bekal pendidikan yang cukup.

Fasilitas kedua adalah kesehatan gratis bagi semua warga negara
Inggris, termasuk penduduk yang bukan warga negara. Setiap orang yang
bermukim di Inggris hanya tinggal mendaftarkan dirinya kepada sistem
kesehatan (National Health Service). Kemudian, secara online ia telah
terdata. Apabila sakit, ia akan mendapatkan fasilitas layanan
kesehatan (pengobatan) di rumah sakit atau klinik kesehatan di mana
pun di Inggris, apa pun jenis penyakit yang dideritanya, dan apa pun
langkah pengobatan yang harus diambil oleh tim medis. Semua ini tanpa
dipungut biaya sepeser pun karena biaya kesehatan sepenuhnya
ditanggung oleh pemerintah (negara). Bahkan, anak-anak di atas lima
tahun tidak akan dikenakan biaya apabila berobat gigi dan mata,
termasuk bebas biaya membeli kacamata di optik. Dikaitkan dengan
penerapan ekonomi Islam, fasilitas kesehatan gratis ini merupakan
pemenuhan dua unsur maslahah lainnya, yaitu keselamatan jiwa dan
kebahagiaan berkeluarga karena adanya jaminan layanan kesehatan.

Fasilitas ketiga adalah tunjangan bagi para manula (manusia usia
lanjut), balita, janda-janda, dan orang miskin. Setiap orang yang
berusia lanjut (di atas 60 tahun) mendapatkan kartu lansia yang
membebaskannya dari membayar ongkos transportasi umum (bus) dan
kemudahan-kemudahan lainnya. Setiap balita di Inggris, dari keluarga
mana pun ia berasal, mampu ataupun tidak mampu, akan mendapatkan
tunjangan bulanan dari pemerintah, yaitu berupa makanan bergizi,
sayur-sayuran, dan susu, termasuk popok (nappies). Bahkan, pemerintah
juga memberikan uang santunan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan untuk
meringankan beban awal mereka membeli barang-barang keperluan bayi.

Tidak hanya itu, setiap orang yang berstatus janda di Inggris
mendapatkan tunjangan hidup dari pemerintah untuk meringankan beban
menghidupi anak-anaknya. Hal ini karena pertimbangan mereka telah
kehilangan suami yang merupakan sumber nafkah bagi keluarganya.
Terakhir, setiap orang miskin mendapatkan santunan dari pemerintah,
bahkan tempat tinggal yang sederhana untuk mereka. Karena itu, hampir
tidak ada pengemis atau gelandangan di pinggir-pinggir jalan atau
pertokoan. Artinya, pemerintah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan
dasar manusia untuk hidup layak. Untuk hidup lebih makmur, itu
berpulang kepada setiap pribadi untuk rajin belajar, bekerja, dan
berusaha.

Sekali lagi, dikaitkan dengan penerapan ekonomi Islam, fasilitas
ketiga ini merupakan perwujudan keselamatan jiwa dan kebahagiaan
berkeluarga, dua unsur dari maslahah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar