Selasa, 25 Mei 2010

Anggur Emas 36

Buku 1

ANGGUR  EMAS

Karya: Usdek Emka J.S.

[36]

        Tampaknya lawan ki Supo sudah tidak sabar. Baru beberapa jurus saja ia sudah mengerahkan tenaga dalam yang mematikan. Tetapi ki Supo bukanlah anak kemarin sore. Ia ibarat serigala yang sudah menyaksikan ratusan hujan. Pengalaman tempurnya yang luas di berbagai medan membantunya menghadapi serangan ganas pendekar Mataram itu. Tenaga dalam yang dilontarkan oleh lawan, berhasil ia hindari. Tak urung tenaga itu membentur bongkahan batu dan menimbulkan suara gemuruh.

        "Ki Sanak, lawanmu di sini. Janganlah merusak tempat tinggal orang lain," ejek ki Supo kepada pendekar Mataram itu.

        "Jangan sombong karena bisa menghindar dari seranganku. Rasakan yang ini," jawab pendekar Mataram itu sambil melayangkan tendangan ganda disusul pukulan menyilang ke arah lambung. Ki Supo harus melempar tubuhnya ke samping, dan tak urung harus jatuh bangun menghindari serangan ganda itu. Ia tadi berlaku sembrono. Terlalu menganggap enteng serangan lawan. Ia sengaja tak mau menahan serangan itu secara frontal, ia ingin menyimpan tenaga karena tidak tahu seberapa kuat lawan tandingnya itu.

        "Hahaha…rasakan akibat serangan gandaku," pendekat Mataram itu tergelak. Ia seolah sedang mentertawakan ki Supo, tapi sebenarnya ia sedang mengerahkan tenaga dalamnya lewat tawa itu. Raden Pekik dan Putri yang berada tak jauh dari tempat itu sempat melihat akibat suara tawa itu. Ia lihat beberapa pembantu Suro Brewok menutup kupingnya rapat-rapat dan sebagian lagi harus bergulingan di atas rumput.

        "Hentikan jurus murahan itu. Kasihan mereka yang tak tahu apa-apa. Lawanmu adalah aku, bukan berandal kelas rendahan itu," tunjuk ki Supo ke para pengikut Suro Brewok yang bergelimpangan. Tak ingin banyak jatuh korban, ki Supo segera mengerahkan siulan nyaring untuk melawan tenaga dalam lawannya. Dan seketika pudarlah pengaruh tenaga dalam pendekar Mataram itu.

        "Manusia licik. Penjilat pantat pengkhianat. Terima lah ini," ki Supo mengirim serangan tipuan ke arah leher, sementara kakinya menyepak pantat pendekar Mataram itu.

        "Pemberontak cabul. Kurang ajar," teriak pendekar Mataram yang merasa terhina karena pantatnya ditendang. Sebaliknya, ki Supo hanya terkekeh-kekeh menyaksikan kegusaran lawannya. Ia malah sengaja ingin membuat pendekar Mataram itu semakin marah. Maka ketika lawannya merangsek maju dengan kombinasi serangan tangan dan kaki, ki Supo membiarkan dadanya tersentuh. Pada saat lawannya mendaratkan pukulan di dadanya itulah, ki Mangun menendang bokong lawannya lebih keras.

        "Dasar perampok liar. Cara bertempurnya pun cabul. Tak tahu sopan santun," terdengar pendekar Mataram itu berteriak-teriak marah. "Sekarang aku harus hajar tulangmu yang tak lagi laku dimakan anjing itu. Majulah. Coba kau tahan ini," tantang Pendekar Mataram sambil mengirim serangan dengan pengerahan tenaga dalam yang lebih kuat. Ia ingin menjajal seberapa besar tenaga lawannya. Ki Supo yang melihat lawannya tidak lagi main-main meladeni serangan itu dengan sangat hati-hati. Ia tak lagi menganggap remeh serangan lawannya. Maka ia pun menambah pengerahan tenaga dalamnya.

        Dengan gerakan mematuk ibarat burung pelatuk, pendekar Mataram itu menyambar kepala ki Supo. Ki Supo yang tak mau kepalanya melayang cepat merunduk, lalu membalas balik serangan itu dengan mengirim tendangan ke perut lawan. Yang ditendang justru menerjang tubuh lawan bagai ombak yang menghajar tepian karang di pantai. Karena tak mungkin lagi menghindar, kali ini ki Supo terpaksa menangkis tendangan beruntun itu dengan meminjam tenaga lawannya.  Ada rasa nyeri di tangan ki Supo setelah menangkis tendangan lawan. Orang tua itu sadar bahwa lawannya bukanlah orang sembarangan. [36]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar