Senin, 07 Maret 2011

Pak Natsir...

Sebagai orang beriman, saya percaya bahwa kata “kebetulan” hanya diciptakan
manusia untuk mendeskripsikan ketidaktahuannya sendiri, sebagai akibat dari
keterbatasan akalnya untuk memahami taqdir Allah SWT.  Oleh karena itu,
pastilah bukan kebetulan jika gonjang-ganjing koalisi yang sedang banyak
dibicarakan orang belakangan ini begitu bertepatan dengan saat-saat ketika
saya sedang mempelajari isi buku M. Natsir, Sebuah Biografi karya salah satu
sastrawan kawakan Indonesia, Ajip Rosidi.

Sementara tokoh-tokoh negarawan seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan
Syahrir, M. Yamin dan sebagainya sudah lama saya kenal di bangku sekolah,
pribadi Mohammad Natsir justru sangat jarang dibahas orang.  Semasa sekolah,
pengetahuan saya tentang Natsir hanya sebatas fakta bahwa beliau pernah
menjadi Perdana Menteri di Indonesia.  Bahkan foto wajahnya pun sangat sulit
dijumpai di buku pelajaran sejarah.

Barulah ketika kuliah, dalam suatu rutinitas sepulang kuliah mengunjungi
kios buku di Jl. Gelapnyawang, di belakang Masjid Salman ITB, saya menyadari
bahwa Natsir adalah pribadi yang sangat istimewa.  Siang itu, perhatian saya
tertuju pada sebuah buku tebal berjudul Mereka yang Telah Pergi: Tokoh-tokoh
Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer karya ‘Abdullah al-‘Aqil.  Di sampul
bukunya terdapat beberapa foto tokoh pergerakan yang sebagiannya sudah
sangat saya kenal sebelumnya, seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthb dan
Syaikh Muhammad al-Ghazali.  Saya pun membeli buku itu tanpa ragu-ragu,
meskipun harus merogoh kantung cukup dalam untuk ukuran mahasiswa pada saat
itu.

Seperti biasa, salah satu hal pertama yang saya lakukan ketika mendapat buku
baru adalah melihat-lihat daftar isinya.  Sebagian besar tokoh yang dibahas
di buku itu tidak saya kenal, tapi ada satu nama yang benar-benar membuat
penasaran.  Bukan Hasan al-Banna, bukan Sayyid Quthb, tapi Mohammad Natsir.
Begitu penasarannya, sampai-sampai saya langsung membaca kisah Natsir duluan
sebelum yang lainnya.

Cerita tentang Natsir relatif pendek, kemungkinan besar karena sang
penulisnya tidak memiliki banyak kesempatan untuk berinteraksi langsung
dengan beliau.  Di buku itu, Natsir adalah satu-satunya tokoh dari
Indonesia.  Bercampur rasa bangga dan heran saat itu.  Bangga karena ada
orang Indonesia yang dianggap sebagai tokoh pergerakan Islam kontemporer
level dunia, dan heran karena pada saat itu saya sama sekali belum tahu apa
peranan Natsir dalam pergerakan Islam.  Saya tahu beliau tokoh negarawan,
tokoh Masyumi, namun apa yang membuatnya begitu spesial di mata ‘Abdullah
al-‘Aqil?

Dari situlah saya mulai menyadari bahwa dalam konteks pergerakan dan dakwah
Islam, khususnya di mata Timur Tengah, Natsir adalah salah satu representasi
dari Indonesia.  Mungkin hanya sedikit di bawah H. Agus Salim, yang saat itu
sudah jauh lebih senior.  Berbagai teori konspirasi berkejaran dalam benak;
mengapa tokoh sebesar ini luput dari begitu banyak buku sejarah?  Adakah
rekayasa sejarah yang dengan sengaja berusaha menutupi kebesarannya?

Setelah saya menerima beasiswa dari Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII),
lembaga dakwah yang didirikan oleh Natsir setelah ‘keran politiknya’ ditutup
rapat karena Masyumi dilarang bangkit, bacaan saya seputar Natsir pun
semakin banyak.  Namun ketika membaca biografi karangan Ajip Rosidi, barulah
saya memahami bahwa rejim penguasa, terutama sekali Orde Lama, punya
kepentingan sangat besar untuk menutup mata generasi muda Islam dari sosok
yang satu ini.  Natsir adalah pribadi unik yang harus disembunyikan agar –
kalau bisa – tidak perlu ada penerusnya lagi.  Akan tetapi, konspirasi
puluhan tahun itu pada akhirnya runtuh juga setelah pada era reformasi
muncul desakan yang kuat untuk meresmikan Mohammad Natsir sebagai Pahlawan
Nasional.  Beberapa majalah – baik yang berhaluan Islam mau pun sekuler –
sempat mengangkat profilnya sebagai bahasan utama.  Kesimpulannya kurang
lebih sama: Natsir memang dikorbankan oleh para penulis sejarah.

Dalam buku biografinya, satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah
betapa dahsyatnya ‘pertarungan pemikiran’ antara kalangan Islamis dan
sekularis (yang lebih sering bersembunyi di belakang predikat “nasionalis”)
sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia.  Jalan ceritanya persis
sebagaimana yang saya bayangkan.  Rakyat Indonesia menuntut kemerdekaan
negerinya dengan segala cara; kalangan terpelajar berdiplomasi, sisanya
bergerilya.  Namun mereka yang terpelajar ini bagaimana pun adalah hasil
didikan Barat, karena pemerintah kolonial itulah yang mendirikan
sekolah-sekolah tempat mereka menuntut ilmu.  Akibatnya kaum sarjana ini
seringkali bersikap ambigu.  Di satu sisi benci dengan dominasi Barat, di
sisi lain mereka juga berusaha meniru-niru Barat dan lebih percaya pada
Barat, termasuk dalam masalah agamanya sendiri.

Kaum yang tanpa sadar telah didoktrin oleh penjajah bangsanya sendiri ini
pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa cara-cara Barat itulah yang
paling baik, sekularisme adalah ideologi yang menjunjung tinggi agama dan
seterusnya.  Mereka pun lebih percaya pada buku-buku karangan orientalis
daripada karya para ulama, karena kaum orientalis itulah yang mereka pandang
lebih intelek.  Mereka ikut-ikutan membenci ulama, para faqih dan menganggap
bahwa wahyu haruslah tunduk pada akal ‘merdeka’.  Sungguh mengherankan,
betapa kaum sekuler pada masa itu berbicara dengan bahasa yang nyaris sama
persis seperti kalangan sekularis-liberalis masa kini.

Antara Natsir, ulama besar A. Hassan dan Soekarno memang terdapat hubungan
yang sangat unik.  Ketika Soekarno mencari rujukan terhadap ajaran Islam, ia
berpaling pada A. Hassan.  Ulama besar yang jago debat ini pun menyambut
peluang dakwah itu dengan mengiriminya banyak buku untuk dibaca.  Salah satu
tulisan yang menarik hati Soekarno saat itu adalah sebuah artikel Natsir
yang dibuat untuk sebuah publikasi berkala yang diterbitkannya bersama
kawan-kawan seperjuangannya.  Menurut Soekarno, artikel tersebut menunjukkan
bahwa penulisnya memang pandai dan memiliki cara berpikir yang teratur.

Hubungan saling menghormati ini seringkali nampak kontras dengan berbagai
debat terbuka yang terjadi antara Soekarno, A. Hassan dan Natsir melalui
penulisan artikel yang saling berbalas (umumnya A. Hassan dan Natsir
membantah artikel Soekarno, sementara Soekarno jarang sekali membantah
balik).  Soekarno, dengan berbekal sedikit bacaan tentang Turki, yang
menurut A. Hassan dan Natsir masih sangat kurang untuk dijadikan referensi,
memuji-muji revolusi kaum sekuler di Turki yang telah meruntuhkan Khilafah
Islamiyah pada periode 1920-an.

Soekarno juga memuji-muji karangan seorang tokoh yang bernama ‘Ali
‘Abdurraziq yang berjudul Al-Islam wa Ushul al-Hukm yang menyatakan bahwa
Rasulullah saw. diutus semata-mata untuk mengajarkan agama, tanpa membawa
konsep kenegaraan yang jelas.  Oleh karena itu, sistem pemerintahan tidak
perlu dibawa-bawa ke dalam ranah keislaman.  Sudah barang tentu, Natsir
mengkritik keras penggunaan kitab yang sangat kontroversial tersebut sebagai
rujukan.  Puji-pujian Soekarno terhadap buku ini dijawab dengan tuntas oleh
Natsir dalam berbagai artikel yang ditulisnya.  Di kemudian hari, Al-Islam
wa Ushul al-Hukm ini juga diangkat kembali, lagi-lagi untuk mempromosikan
pemerintahan sekuler, salah satunya oleh Nurcholish Madjid, yang langsung
berhadap-hadapan dengan Buya Hamka.  Bertubi-tubi kritik telah dialamatkan
kepada buku ini, baik di Indonesia mau pun di negeri asalnya, bahkan ada
berita yang menyatakan bahwa ‘Ali ‘Abdurraziq di akhir hayatnya telah
bertaubat dan berlepas diri dari karyanya itu, namun buku ini tetap saja
dipromosikan berulang-ulang, terutama oleh Barat yang sepenuhnya menyokong
orientalisme.

Natsir berulang kali mendebat Soekarno yang dianggapnya tidak layak
menganalisis kondisi Timur Tengah, apalagi menjadikan Al-Islam wa Ushul
al-Hukm, terutama karena Soekarno sendiri tidak pandai membaca bahasa Arab,
sehingga bisa dipastikan ia tidak membaca kitab itu sendiri.  Menurut
Natsir, apa yang dilakukan oleh Mustafa Kamal Pasya di Turki bukanlah
demokratisasi, karena ia adalah seorang kepala negara sekaligus pemimpin
tunggal dari satu-satunya partai politik yang ketika itu berkuasa di Turki.
Atas dasar itu, Kamal Pasya seharusnya digolongkan sebagai seorang diktator,
tidak beda dengan Fuhrer di Jerman.  Soekarno juga dianggapnya tidak
konsisten karena menganggap bahwa soal hubungan antara agama dan negara
bukanlah ijma’ ulama (dengan hanya bermodalkan rujukan dari ‘Ali
‘Abdurraziq), sedangkan pada kesempatan yang lain ia menyarankan agar umat
Islam menggunakan ‘akal merdeka’ dengan mengesampingkan semua tradisi
pemikiran, sehingga Al-Qur’an dan Al-Hadits pun boleh ditolak jika belum
bersesuaian 100% dengan akal itu.  Jadi, pada satu hal, Soekarno menolak
karena tidak ada ijma’ ulama, sedangkan pada lain kesempatan ia justru
menolak semua tradisi pemikiran, termasuk pemikiran yang menjadikan
ijma’ulama sebagai acuan itu.  Dengan kata lain, kalau pun pada
akhirnya
ditunjukkan bahwa memang ada ijma’ ulama soal relasi agama-negara itu, patut
dicurigai Soekarno tetap takkan menerimanya, karena ia sendiri membenci
semua aturan berpikir, dan ingin ‘merdeka’.  Semua ini tidak lain hanyalah
persilatan lidah saja sebagaimana yang biasa dilakukan oleh kalangan
sekuler, dulu mau pun sekarang.

Dengan latar belakang konflik pemikiran yang begitu runcing, maka hubungan
Soekarno dan Natsir dalam kabinet pemerintahan RI menjadi semakin menarik.
Bagaimana mungkin Presiden berbeda pendapat sebegitu tajamnya dengan Perdana
Menteri, yang tidak lain adalah orang yang mengemban amanah untuk
menjalankan pemerintahan di negeri ini?  Bagaimana bisa Natsir, seorang
tokoh pergerakan Islam, seorang ‘Islamis’ sejati, seorang ulama yang
disegani dan harum namanya hingga ke Timur Tengah, mau-maunya dipimpin oleh
seorang Presiden yang sekularis murni seperti Soekarno?

Kalau saja Natsir sempat menulis biografinya sendiri, saya sangat ingin
mengetahui bagaimana gejolak perasaannya pada masa-masa itu, ketika ia harus
menahan diri dan bersabar sebisanya untuk menjalankan pemerintahan yang
dipimpin oleh seorang kepala negara yang sekuler, bahkan bermain mata dengan
pihak komunis.  Bagaimana Natsir menjawab pertanyaan dari sekian banyak
orang yang (dalam bayangan saya) datang menggugat posisinya sebagai ulama
yang nyata-nyata bekerja sama dengan – bahkan bekerja di bawah – penguasa
sekuler yang tidak berpihak pada kepentingan Islam dan umat Muslim?
Bagaimana Natsir harus berulang kali meyakinkan dirinya bahwa ia harus
bertahan di tempat yang sangat tidak ia sukai demi kepentingan umat, dan
melakukan kebaikan sebisa yang ia mampu, meskipun kebaikan-kebaikannya bisa
saja (dan memang) tertutupi oleh begitu banyak kezaliman rejim di mana ia
bekerja?  Apakah Natsir juga menggigit gerahamnya keras-keras untuk bertahan
bersama pemerintahan yang jauh dari ideal dan bersikeras untuk tidak
memutuskan koalisi sebelum akhirnya ia benar-benar ditendang dari koalisi?

Ulama adalah para pewaris Nabi.  Mereka tentu mengetahui betapa keras
teguran Allah SWT pada Nabi Yunus as. yang telah meninggalkan tugas
dakwahnya, yang tentu saja tidak layak untuk dilakukan oleh para hamba
pilihan Allah.  Nabi Yunus as. pun bertaubat, dan taubatnya pun diterima
oleh Allah, kemudian beliau pun kembali bertugas.  Tentu para ulama pun tak
lupa pada kenyataan bahwa Rasulullah saw. bertahan sedemikian lama di
Mekkah, menghadapi berbagai cercaan, gangguan, propaganda dan pemboikotan,
hingga batas-batas manusiawi yang mereka miliki.  Hijrah yang pertama
dilakukan ke sebuah negeri kafir yang dianggap mampu memberikan keamanan;
sebuah situasi yang lagi-lagi menuntut kesabaran, karena syariat Islam belum
lagi tegak.  Barulah setelah siksaan-siksaan fisik mendera begitu hebat,
Rasulullah saw. dan para sahabatnya hijrah ke medan dakwah yang baru, yaitu
Madinah.  Natsir, yang sampai akhir hayatnya tidak putus mempelajari Sirah
Nabawiyah dan membaca kitab-kitab tafsir Al-Qur’an, pastilah tidak lalai
dari pelajaran yang satu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar