Selasa, 15 Mei 2012

Kemenangan pemimpin yang rendah hati

Dalam dua minggu belakangan ini ada dua kejadian politik besar yang cukup bermanfaat untuk dijadikan pelajaran.

Pertama adalah kemenangan François Hollande atas Nicolas Sarkozy dalam memperebutkan jabatan presiden prancis. Kedua, adalah kemenangan Hannelore Kraft atas Norbert Röttgen untuk menjadi pemimpin di salah satu negara bagian di jerman (north rhein westphalia-NRW).

Karena terjadi pada tataran nasional maka contoh pertama mendapatkan porsi ulasan media internasional yang cukup besar, sedangkan contoh kedua yang terjadi pada skala regional kurang mendapat perhatian dari luar negeri. Meskipun sebenarnya pilkada di NRW sering disebut sebagai miniatur pemilu nasional, karena NRW merupakan negara bagian terbesar di Jerman.

Akan tetapi karena banyaknya kesamaan antara dua kejadian tersebut, maka ada baiknya bila kita lihat beberapa point penting yang bisa dijakan pelajaran.

1. Kepemimpinan rendah hati.

Satu kesamaan nyata antara Hannelore dan Hollande adalah sifat rendah hati dan simpatik. Berbeda dengan Sarkozy yang konfrontatif, Hollande berusaha mendekati para calon pemilih dari semua level.

--Perancis--

Meskipun merupakan lulusan sekolah elit Ecole Nationale d'Administration, bilau tidak segan2 turun ke daerah2 kumuh di perancis untuk mendengar dan berdiskusi dengan kalangan yang dianggap "sampah masyarakat" itu. Kebalikannya, boro2 mengunjungi, Sarkozy tidak pernah sekalipun selama kepemimpinannya mau memperdulikan nasib masyarakat yang terpinggirkan tersebut.

Sifat tak simpatik, anti imigran dan anti Islam dari Sarkozy sudah terlihat mulai sejak dia menangangi kerusuhan di perancis tahun 2005. Pelarangan penggunaan jilbab di sekolah, pelarangan pengunaan nikab di tempat umum, dan pelarangan penyangkalan pembunuhan massal armenia merupakan hasil dari pemerintahan Sarkozy.

--NRW, Jerman--

Sebelum kita mengulas pertarungan politik ini lebih lanjut ada baiknya untuk memahami kondisi psikologi kaum konservatif kristen jerman belakangan ini.

Hingga kira2 dua tahun yang lalu, kaum konservatif kristen punya satu politisi bintang muda Karl-Theodor Freiherr zu Guttenberg (Karl-Theodor, adipati dari keluarga Guttenberg-suatu keluarga bangsawan yg. telah berumur ribuan tahun). Tampan, muda, cerdas, berwibawa, berkharisma, berasal dari keluarga bangsawan dan memiliki istri yang cantik. Pokonya memang merupakan figur ideal bagi kalangan ini. Tapi karena tersangkut suatu kasus maka karir politinya jatuh dan kaum konservatif kehilangan figur berbakat mereka.

Perhatian pun beralih pada Nobert Röttgen (menteri lingkungan hidup), seorang politis muda yang sangat cerdas dan tampan. Saya pribadi melihat Röttgen sebagai calon kanselir yang sangat potensial. Di bawah kepemimpinannya jerman mengalami perubahan kebijakan energi yang sangat fundamental dan fenomenal, yaitu keluar dari penggunaan energi nuklir. Seperti pekerjaan yang mustahil bagi suatu negara industri nomer 3 terbesar di dunia untuk tidak menggunakan energi nuklir.

Maka ketika Nobert Röttgen memutuskan untuk maju dalam pilkada NRW, kaum konservatif kristen seperti mendapat angin surga. Sebelum masa kampanye resmi dimulai, suara pendukung Hannelore yang sosialis dan Röttgen sebenarnya mirip2 sekitar 30%.

Hannelore Kraft tidaklah memiliki kharisma, tampilan fisik dan kecerdasan yang dimiliki Röttgen. Akan tetapi sebagai laiknya ibu-ibu dia mampu menunjukan kepemimpinan yang simpatik dan mengayomi. Taman kanak2 didatangi, orang2 di jalanan diajak diskusi dari hati ke hati. Saya ikuti kegiatan beliau dari facebooknya. Ngak neko2 dan selalu berusaha memegan omongannya. Karena beliau orang sederhana, pola fikirnya lurus. Tidak penuh trik2 atau tipu daya. Karenanya bisa dipercaya oleh rakyat.

Kebalikannya, Röttgen meksipun sangat pintar, tapi ternyata kurang bisa berempati dengan rakyat. Ketika berdiskusi dengan rakyat di jalanan jadi rada nyombong dan kesanya dibuat-buat (ngak biasa diskusi dengan rakyat jelata). Karena pola fikirnya penuh dengan intrik, jadi omongannya ngak bisa dipegang. Sekarang bilang A besok bilang B. Sering ragu dan ngak jelas maunya apa. (Sepertinya kalau pemimpin sering ragu ini bisa jadi indikator kalau pola fikirnya penuh intrik).

Hasilnya, hanya dalam hitungan minggu, suara pendukung Röttgen turun dari sekitar 30% jadi 20%, sedangkan saingannya naik dari 30% hingga 40% lebih.

2. Kemenangan sosialis.

Kemenangan Bu Kraft dan Hollade ini merupakan kemenangan kaum sosialis terhadap kaum konservatif. Ini merupakan pertanda bahwa rakyat memilih pemimpin yang memang mau memperjuangkan nasib mereka, bukan hanya bekerja demi kepentingan kelompok elit atau kekuatan kaum kapitalis global. Jadi ketampanan, ketenaran dsb. tidak akan ada gunanya bila memang tidak benar2 bekerja untuk rakyat.

Hollande bilang naikan pajak bagi orang sangat kaya, sedangkan Sarkozy bilang potong bantuan buat orang miskin.

Kraft bilang pekerja out sorcing harus digaji sama dengan yang tetap, sedangkan Röttgen ingin pecatin para pns. Kraft juga ingin menghapus sistem sekolah elit*, sedangkan Röttgen ingin melindungi sekolah2 elit tadi (mungkin bisa dianalogikan dengan sekolah standar internasional di Indonesia--meski jauh sih padanannya).

Jadi memang jelas kenapa menang dan kalah.

Wassalam
Ken

PS. soal sekolah elit ini memang jadi momok. Di jerman setelah sekolah dasar selama 4 tahun, ada tiga penjurusan: Gymnasium, Realschüle dan Hauptschüle. Awalnya, Gymnasium untuk mempersiapkan calon mahasiswa, sedangkan yang sisanya disiapkan untuk pendidikan kejuruan. Tapi sekarang kalau tidak lulus gymnasium sebenarnya hampir tidak ada harapan untuk dapat kerja. apalagi kalau dari jenis sekolah yang paling rendah.

Bagi pada pendukung gymnasium, mereka berpendapat para siswa yang pintar harus dipisahkan sedini mungkin untuk mendapat dorongan yang lebih. Akan tetapi bagi para penentang gymnasium, pemisahan yang dilakukan dalam tahap yang dini ini bisa mematikan masa depan para generasi muda meski saat itu mereka baru berumur 10 tahunan saja.

Didasari ketidak cocokan dengan sistem elitis ini, jurusan TIN pada saat dipimpin oleh Pak Irawadi mengambil calon mahasiswa TIN dari tiga level. Sebagian dari pendaftar dengan ranking tertinggi, sebagian besar dari ranking menengah dan sebagian kecil dari ranking terendah. Alasannya, dari yang ranking tertinggi diharapkan ilmu dapat berkembang, dari yang ranking menengah dan bawah diharapkan ilmu bisa diaplikasikan. Dari ranking yang tinggi, para mahasiswa lain bisa mencontoh etos bekerja keras, dari yang rankin rendah para "kutu buku" bisa belajar soal2 lain diluar kehidupan akademik.

__._,_.___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar