Betul Bang, intinya "lokalisasi". Maksud saya pertanian lokal, produk2 lokal, pasar2 lokal, bukan lokalisasi yang sering kucing2an sama Satpol PP lho ;)
Soal BBM ini sebenarnya mudah, konsumsi bahan bakar (jumlah subsidi) ini bakal berkurang kalau jarak tempuh bangsa diperkecil.
Kalau jarak antara sayur, buah, daging cuman 60 km dari konsumen, jelas akan berbeda nyata bila jaraknya 100, 200 km atau lebih.
Kalau jarak antara kantor dan rumah karyawan cuman 15 km (dermaga-bogor) jelas akan berbeda nyata dengan jarak 80 km (bogor-jakarta).
Kalau jarak 80 km bisa ditempuh dalam waktu 40 menit jelas akan sangat berbeda nyata dengan waktu 2-3 jam.
Ini bisa dengan mudah dicapai bila pembangunan diratakan kesemua daerah (jangan jakarta atau jawa melulu). Stop pemberian izin pembangunan perkantoran swasta atau pusat2 pebelanjaan di jakarta. Pusat industri dan perdagangan harus keluar dari jakarta. Biar jakarta jadi pusat pemerintahan saja.
Sebagai contoh:
Sekarang orang2 kaya baru Indonesia ada di kalimantan (krn bisnis batu bara). Tiap akhir minggu mereka pada ke jarakata untuk belanja produk2 mewah dll. Pindahkan saja toko2 barang2 mewah kesana, akan terjadi penghematan bahan bakar yang signifikan nantinya.
Jadi salah besar bila harus memilih antara BBM naik atau gaji PNS turun, meskipun hal ini disampaikan oleh guru besar ITB sekalipun.
Pengurangan subsidi BBM ini sebenarnya suatu upaya untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur (jalan raya). Aneh memang, saat kita kurang BBM (harga naik) pemerintah bikin jalan terus-terusan.
Bikin jalan itu memang sudah resep generiknya ekonom liberal. Karena dengan bertambahnya jalan maka pergerakan produk (import) mereka dapat leluasa bergerak di indonesia. Sedangkan, produk yang dibuat lokal ngak terlalu terpengaruh.
Peningkatan jumlah dan lebar jalan tentu saja memfasilitasi peningkatan permintaan kendaraan baru. Apalagi bila nanti digabungkan dengan peraturan bahwa kendaraan harus berumur kurang dari sekian tahun. Maka bangsa (yang punya duit) ini akan dipaksa untuk membeli mobil2 asing baru terus menerus. Sedang yang ngak punya duit mati aja deh.
Bola sekarang ada di DPR. Mereka yang akan menentukan apakah akan menolak kenaikan harga atau tidak. Tidak cukup hanya dengan mengirim surat atau statement2 di surat kabar. Sikap tegas mereka harus dengan jelas disampaikan di sidang paripurna nanti.
Kita akan lihat sebentar lagi, partai2 mana yang masih perduli dengan nasib bangsa dan rakyat. Dan partai2 mana yang rela jadi budak2 kaum liberalis meski harus mengorbankan rakyat kebanyakan.
Sidang paripurna nanti yang akan jadi pengukur antara loyang emas atau besi (atau sampah).
wassalam
Ken
_,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar