Membedakan Lawan dengan Musuh
Oleh: Anies Baswedan
Geisz Chalifah sedang membuka diri dan berkontemplasi tentang
perubahan sosial dan budaya komunitasnya. Begitu kesan saya begitu
selesai membaca manuskrip kumpulan esai karya Geisz ini.
Ketika Geisz bercerita tentang rumah-rumah di masa lalu, ada nuansa
nostalgik di sana. Di dalam esai-esai ini terlihat jelas observasinya
tentang transisi budaya dan sosial. Sesekali terasa penolakan
terhadap perubahan; terutama saat perubahan itu disejajarkan dengan
degradasi. Padahal kita tahu bahwa komunitas dan budaya itu memang
pada dasarnya dinamis.
Sebagian lagi diwarnai semacam kegerutuan dan kegemasan, terlebih
ketika Geisz memaparkan kemandegan pandangan kultural. Tapi, pada
prinsipnya, terlihat jelas kuatnya pengaruh dan aroma nuansa pribadi
Geisz dalam kumpulan essai ini.
Pengetahuan, pengalaman, dan persentuhan Geisz dengan komunitas
keturunan Arab khususnya di Jakarta tentu saja bersifat pribadi
dan spesifik. Dan melalui kumpulan esai ini Geisz memilih untuk
membaginya dengan publik.
Bagi pembaca yang memiliki pengalaman dan persentuhan yang mirip
dengan Geisz, maka kumpulan esai ini bisa menjadi reflektif sifatnya.
Sebaliknya, esai ini bisa informatif atau justru malah terasa asing
bagi pembaca yang tidak memiliki latar belakang dan konteks
pengetahuan tentang masyarakat keturunan Arab.
Bagi saya sendiri yang tidak tumbuh di tengah-tengah masyarakat
keturunan Arab, sebagian dari fenomena yang diilustrasikan dalam
esai-esai ini terasa asing tetapi informatif. Karena itu saya
memandang kumpulan esai ini merupakan keberanian Geisz untuk membagi
pengalaman, pengetahuan, dan observasi walau sebagian berada di
wilayah private.
Keberanian untuk berbagi pandangan pribadi dan kemampuan mengisolasi
konflik pemikiran dari konflik pribadi mungkin memang merupakan ciri
Geisz. Karena itu ketika saya diminta menuliskan kata pengantar, saya
merasa kumpulan esai ini tidak perlu muqaddimah, kumpulan esai ini
adalah deretan narasi yang bisa berdiri sendiri. Lalu mengapa saya
menuliskan kata pengantar ini?
Menurut saya, esai-esai di sini merupakan ungkapan perasaan dan
pemikiran penulisnya yang perlu dilihat dalam konteks kemampuan
mengelola perbedaan, apalagi sebagian dari esainya diiringi dengan
gelontoran kritik. Jadi bukan isi esai-esai itu yang perlu
muqaddimah, tetapi keberanian untuk mengartikulasikan pengalaman
pribadi dan observasi dari Geisz itulah yang perlu dijelaskan serta
diberi konteks melalui kata pengantar ini.
Saya kenal nama Geisz Chalifah ketika saya sedang kuliah pasca
sarjana di Amerika Serikat. Suatu saat ada perdebatan sengit di milis
antara Geisz Chalifah dengan Hamid Basyaib. Perdebatan itu
terdokumentasi rapi oleh Hamid, di milis Kahmi-Pro yang dikelola oleh
Ichsan Loulembah.
Dalam polemik itu Hamid Basyaib secara konfrontatif dan terang-
terangan menyebutkan Geisz sebagai contoh manusia inkonsisten. Dan,
dengan gayanya yang khas, Hamid menebarkan kesan betapa konyolnya
argumen Geisz.
Dalam salah satu tulisannya, sebagai contoh, Hamid menulis, Berbeda
dari kelaziman (artinya: orang biasanya bereaksi keras terhadap
kesalahan), Geisz meraung-raung justru terhadap kebenaran. Tulisan
tulisan Hamid terhadap Geisz itu terasa seperti tonjokan yang
menyakitkan. Dan, balasan dari Geisz terhadap Hamid juga tak kalah
keras.
Bila keduanya sudah bertempur argumen di milis, maka ratusan peserta
milis itu serasa menahan nafas, menyaksikan baku tinju argumentasi
mereka berdua. Mungkin sebagian merasa ngilu saat membaca argumentasi
yang dikemas dengan kata-kata tajam dan menyengat. Milis terasa sepi,
warganya tiarap kolektif menghindari peluru nyasar dari mereka berdua.
Hamid Basyaib adalah tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL). Pemikirannya
liberal dan diartikulasikan secara lugas. Latar belakangnya di dunia
jurnalistik membuat Hamid memiliki credential solid dalam soal tulis
menulis. Tulisannya analitis dan tajam.
Geisz Chalifah adalah tokoh pemuda Al-Irsyad dan aktif sebagai
Direktur Yayasan Rahmatan Lil Alamin, setelah sebelumnya aktif di HMI
dan ketua Unit Kerohanian Mahasiswa Islam Jayabaya. Geisz adalah
seorang aktivis tulen. Ghirah perjuangan Islamnya terasa kuat dan
artikulatif.
Hamid dan Geisz memiliki alur pemikiran yang berseberangan dan
berbenturan. Melihat latar belakang dan garis gagasannya, maka bukan
hal yang aneh kalau mereka berdua sering bertumbukan dan baku serang
argumentasi. Dan sudah lama mereka sering saling sengat.
Bila Hamid mengkritik Geisz di depan milis, maka Geisz pun bisa
menyerang dengan sengatan yang tajam. Misalnya, suatu ketika Faizal
Motik baru saja berkenalan dan mengobrol dengan Hamid Basyaib. Dia
lalu ketemu Geisz dan menceritakan bahwa Hamid itu ternyata pribadi
yang menyenangkan. Mendengar cerita itu Geisz lalu berkomentar, yang
namanya setan itu ya memang selalu menyenangkan. Singkat dan keras.
Bukan hanya itu, Geisz kemudian menceritakan sendiri komentarnya ini
pada Hamid. Dia tidak hanya membicarakan Hamid dari belakang, tapi
dia sampaikan terus terang pada Hamid.
Menurut pandangan umum dan awam, mereka berdua adalah musuh
bebuyutan. Sewajarnya bila mereka berdua tidak bisa duduk semeja.
Kebiasaan yang biasa dipraktekkan bila ada dua individu berseberangan
semacam ini adalah keduanya saling tebar fitnah.
Tapi inilah uniknya. Dalam keseharian yang senyatanya, Geisz dan
Hamid tidak bermusuhan. Ya, mereka memang berlawanan, tapi mereka
tidak bermusuhan. Geisz melawan Hamid, tapi Hamid bukan musuh Geisz.
Sebagai pribadi, tali silaturahmi mereka tidak putus. Sehingga dalam
kesehariannya mereka sering pergi bersama, makan dan ngobrol bersama,
atau mereka saling jemput untuk pergi ke pertemuan yang sama. Mereka
bisa duduk berdua seperti tidak pernah baku hantam argumentasi.
Dan itu bukan berarti Geisz dan Hamid telah berdamai dalam urusan
pendapat dan gagasan. Sampai sekarang pun mereka masih konsisten
untuk saling sengat dan baku hantam argumentasi.
Bagi kebanyakan umat Islam dan umumnya masyarakat di Indonesia,
fenomena macam ini adalah fenomena yang jarang ada. Umumnya perbedaan
itu diasosiasikan dengan permusuhan. Permusuhan lalu dibesarkan,
disuburkan, dan dilanggengkan dengan mengubur fakta dan membangun
fitnah. Lawan hampir selalu dianggap musuh. Geisz dan Hamid
membuktikan bahwa lawan bisa tetap teman dan tidak harus jadi musuh.
Dalam konteks untuk membangun kemampuan dan kemauan berbeda pendapat
secara dewasa, maka kumpulan essai karya Geisz ini perlu dipahami.
Sebagian dari esai di buku ini mungkin akan menimbulkan perdebatan.
Sebagian analisa dalam esai-esai ini terasa simplistik dan tidak
tuntas.
Saya sendiri tidak selalu setuju dengan analisa dan deskripsi yang
ditulis oleh Geisz di buku ini. Tetapi karena buku ini adalah
kumpulan esai ekspresi pribadi, bukan buku analisa transformasi
sosial yang dibedah secara teoretis dari perspektif sosiologis dan
antropologis, maka esai-esai Geis ini terbebas dari tuntutan agar
tampil teoretis, komprehensif, analitis, dan mendalam. Buku ini
adalah kumpulan esai pribadi yang secara ringan dan santai membawa
pembacanya untuk reflektif.
Meski begitu bila ada yang akan memperdebatkan, maka biarlah
perdebatan itu muncul. Hangatnya perdebatan sering bisa mencerdaskan
asal diiringi dengan kemauan dan kemampuan untuk mengelola perbedaan
pandangan.
Dalam konteks kemampuan mengelola perbedaan inilah kita bisa
menghargai langkah Geisz Chalifah untuk menceritakan observasinya,
pengalamannya dan pandangannya melalui kumpulan esai. Mudah-mudahan,
kumpulan esai ini bisa merangsang observasi lain dan perdebatan baru
yang menarik dan mencerdaskan. Selamat membaca. ***
Judul Buku: Abah Seolah Penguasa, Ummi yang Berkuasa; Esa-esai
Pergeseran Budaya Arab; Penulis: Geisz Chalifah; Isi: 165 halaman
(soft cover, kertas HVS); Terbit: April 2008 (13,5 x 20 cm); ISBN:
978-979-16845-4-5; Harga: Rp 26.000.
__
Tidak ada komentar:
Posting Komentar