Senin, 11 Juni 2012

Soegija: 100 persen Indonesia, 100 persen Katolik

Ibu dan Bapak yang saya hormati. Selamat berhari Minggu.

Sebuah film berjudul Soegija karya Garin Nugroho tentang pahlawan nasional bernama Soegijapranata ini patut ditonton. Tetapi jangan mengharapkan kisah heroik dan perjuangan fisik dari film tersebut. Film ini tenang-tenang saja. Simak saja tulisan tangan Soegija dan percakapannya.

Soegija adalah nama asli Soegijapranata, lahir di Surakarta 25 November 1896 dari keluarga abdi dalem Kasunanan Surakarta. Nama tambahan Pranata (dibaca Pranoto) itu diberikan 15 Agustus 1931 ketika Soegija menerima Sakramen di kota Maastricht, Belanda. Garin, sutradara senior itu memanfaatkan catatan harian Romo Soegija untuk dijadikan film ini. Saya rasa tidak mudah membuat sebuah film perjuangan dari seseorang yang berjuang melalui pola silent diplomacy pada masa revolusi. Untungnya Bung Karno, yang merasakan jasa Romo Soegija ketika pemerintahan harus pindah ke Yogyakarta karena kembalinya Belanda ke Indonesia sehingga pada tahun 1963 pemerintahan Bung Karno memberikan gelar Pahlawan Nasional untuk Soegijapranata. Pada masa pendudukan kembali Indonesia oleh Belanda memaksa para pejuang dan masyarakat harus mengungsi ke Yogyakarta. Begitu juga Romo Sogija dan seluruh jajaran gereja dan pengikutnya di Semarang, mengungsi ke Yogya. Di sini terlihat bahwa Romo Soegija adalah seorang nasionalis sejati. Beliau menamkan ajaran kepada penganut Katolik di Indonesia untuk menjadi Indonesia sejati, katanya 'Seratus persen Indonesia, seratus persen Katolik'. Pemerintahan Indonesia memberikan status pahlawan nasional kepada Romo Soegija, empat hari saja setelah Romo meninggal. Beliau wafat tg 22 Juli 1963 dan status kepahlawanan diberikan pada tg 26 Juli 1963. Terlihat pemerintahan Bung Karno sangat cepat untuk hal2 prinsip, tidak bertele-tele, tidak 'ngayayay'.

Soegija adalah uskup pribumi (Indonesia) pertama yang diberikan oleh Vatikan. Beliau dibaptis menjadi uskup tanggal 6 Nov 1940, masih dalam kondisi pemerintahan Hindia Belanda. Baik di gereja ataupun di luar gereja, Beliau selalu menekankan pentingnya pendidikan dan kebudayaan lokal untuk karakter bangsa. Digambarkan betapa gereja menyatu dengan masyarakat, bahkan saat itu kebaktian pun dilakukan di hamparan lahan terbuka.

Pada tahun 1943 ketika Jepang menduduki Indonesia, gereja dan Rumah Sakit St Carolus dapat terus berjalan. Padahal, pemerintahan Jepang pada waktu itu akan mengambil tempat tersebut untuk markas serdadu Jepang di Semarang. Romo Soegija dengan tenang mengatakan 'penggal dulu leher saya kalau mau mengambil tempat ini'. Komandan tentara Jepang tidak meneruskan pengambilan gereja dan rumah sakit St Carolus. Statement Soegija meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia paling tidak di Semarang, bahwa mepertahankan negara adalah harga mati. Tidak bisa ditawar.

Sisi kemanusiaan Romo Soegijapranata sangat menonjol. Dan juga merakyat. Obrolan dengan pembantunya yang dimainkan oleh Butet Kartaredjasa, memperlihatkan mereka tidak ada jarak. Sebenarnya ini adalah salah satu tipe pemimpin saat ini, di zaman modern.

Film itu mengambil kejadian tahun 40-49, masa Hindia Belanda, Jepang, dan pendudukan kembali Indonesia oleh Belanda. Ada esensi-esensi kemanusiaan dan kecintaan, termasuk dari para penjajah. Kita adalah satu. Hakekatnya manusia adalah sama. Perbedaan pemunculan sifatnya alamiah, sebagai d'etre, tidak perlu dipertentangkan, dipaksakan, apalagi menjadi perang. Biarkan mereka berbeda, dan cintailah perbedaan ini. Bagaimana detilnya, silakan saja nonton..he he he.

AS


Tidak ada komentar:

Posting Komentar